Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Perkiraan Dampak Kebijakan Proteksi dan Promosi terhadap Ekonomi Hortikultura Indonesia nFN Saptana; Prajogo Utomo Hadi
Jurnal Agro Ekonomi Vol 26, No 1 (2008): Jurnal Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jae.v26n1.2008.21-46

Abstract

EnglishTrade liberalization and economic crisis generate greater challenges in agricultural development in Indonesia. Despite the remaining high tariff rate on Indonesian agricultural products as stated in the WTO agreement, this country applied low import tariff rates of 0-5% during the 1998–2004 for almost all its agricultural products, except for rice and sugar which are increased to 25-30%. Since 1 January 2005, Indonesia applies higher tariff rates of 10-40% for a number of agricultural products, including horticultural products. Indonesia also launches policies to promote development of horticultural sector. This paper aims to analyze the impact of protection as well as promotion policies on horticultural economy both at macro and micro level. It is found that he protection policy in terms of increasing tariff rates from 5% to 25% for shallots and oranges would potentially increases wholesale price, producer price, production quantity, producer surplus and farm income, but reduces demand/ consumption, consumer surplus, import and government revenue from import tax. Impact of promotion policy in terms of improved distribution system if the subsidized fertilizers potentially reduces fertilizer cost by Rp 1.37 million for potato farm in Karo (North Sumatera), Rp 0.44 million for potato farm in Tabanan (Bali), and Rp 0.21 million for shallots farm in Majalengka (West Javat) per hectare per season, and by Rp 4.03 million for orange farm in Karo and Rp 1.56 million for mango farm in Majalengka per hectare per year. Meanwhile, import relaxation for potato seeds of french fries and Atlantic varieties is expected to increase production and export of processed products of potato. The future policy perspectives would be maintaining the existing tariff and promotion policies as well as deregulation and de-bureaucratization inclined towards the improved competitiveness of horticultural products and farmer’s income.  IndonesianLiberalisasi perdagangan dan krisis ekonomi menimbulkan tantangan yang semakin berat dalam pembangunan sektor pertanian di Indonesia. Meskipun komitmen tarif produk pertanian Indonesia dalam forum WTO masih cukup tinggi, selama kurun waktu 1998–2004 Indonesia menerapkan tarif impor 0-5 persen untuk hampir semua produk pertanian, kecuali beras dan gula yang dinaikkan menjadi 25-30 persen. Baru pada tanggal 1 Januari 2005, Indonesia mulai menerapkan kebijakan tarif relatif tinggi (10-40%) untuk beberapa produk pertanian termasuk hortikultura. Indonesia juga menempuh kebijakan promosi untuk pengembangan subsektor hortikultura. Tulisan ini bertujuan mengkaji dampak kebijakan proteksi dan kebijakan promosi terhadap ekonomi komoditas hortikultura di tingkat makro dan mikro. Dampak kebijakan proteksi berupa peningkatan tarif impor dari 5 persen menjadi 25 persen untuk bawang merah dan jeruk berpotensi meningkatkan harga grosir, harga petani, produksi, surplus produsen, dan pendapatan usahatani, tetapi mengurangi konsumsi, surplus konsumen, impor, dan penerimaan pemerintah dari pajak. Dampak kebijakan promosi berupa perbaikan sistem distribusi pupuk berpotensi menurunkan biaya pupuk per hektar per musim pada usahatani kentang di Karo (Sumatera Utara) dan Tabanan (Bali), masing-masing Rp 1,37 juta dan Rp 0,44 juta, usahatani bawang merah di Majalengka (Jawa Barat) Rp 0,21 juta, usahatani jeruk di Karo (Sumatera Utara) Rp 4,03 juta, dan usahatani mangga di Majalengka (Jawa Barat) Rp 1,56 juta. Sementara itu, pelonggaran impor bibit kentang varietas french fries dan Atlantik diharapkan akan meningkatkan produksi dan ekspor hasil olahan keripik kentang. Perspektif kebijakan ke depan adalah mempertahankan kebijakan tarif dan promosi, serta kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang di arahkan untuk meningkatkan daya saing produk hortikultura nasional dan pendapatan petani.
Peranan Sektor Tembakau dan Industri Rokok dalam Perekonomian Indonesia: Analisis Tabel I-O Tahun 2000 Prajogo Utomo Hadi; Supena Friyatno
Jurnal Agro Ekonomi Vol 26, No 1 (2008): Jurnal Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jae.v26n1.2008.90-121

Abstract

EnglishDuring the last decade, the increasing intensity of anti-tobacco campaign underpinned by health consideration that has been reinforced by the ratified Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), the reduced government support to tobacco production, and the increasing community’s awareness on the importance of healthy life, has been threatening the world and the Indonesian tobacco economy. The world tobacco economy is expected to be slowing down and severely affects the Indonesia’s tobacco economy. In this connection, this paper is aimed at analyzing the current situation and the roles of tobacco and cigarette industry sectors in the Indonesian economy. Important results of the analysis are as follows: (i) the tobacco production during the 2000-2006 period was decreased by 5.98% per annum; (ii) the per capita cigarette consumption tended to increase with the increased per capita income; (iii) the tobacco and the cigarette sectors shared about 7% of the government domestic revenues, but more depleting rather than generating foreign exchanges; (iv) the tobacco and cigarette industry sectors have small share in the creation of output value, value added and employment, but have relatively high output multiplier, particularly the tobacco sector; and (v) the tobacco sector was able to pull its upstream sectors and push its downstream sectors to develop, while the cigarette sector was able only to push its downstream sector. It is suggested, therefore, that: (i) the future development of tobacco and cigarette sectors needs to consider the balance between economic and health aspects; and (ii) the nicotine and tar contained in the cigarettes needs to be reduced while exploring alternative economically feasible of non-cigarette uses of tobacco.IndonesianSelama dasawarsa terakhir, meluasnya kampanye anti tembakau karena pertimbangan kesehatan yang diperkuat dengan telah diratifikasinya Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau, berkurangnya dukungan pemerintah untuk pengembangan ekonomi tembakau serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka ancaman terhadap ekonomi tembakau dunia dan Indonesia mulai terasa. Dikhawatirkan ekonomi tembakau dunia akan terus melesu dan berdampak pada Indonesia. Sehubungan dengan itu, makalah ini bertujuan untuk menganalisis kinerja serta peranan sektor tembakau dan sektor industri rokok dalam perekonomian nasional Indonesia. Beberapa temuan penting adalah sebagai berikut (i) produksi tembakau selama periode 2000-2006 menurun rata-rata 5,98 persen per tahun, (ii) konsumsi rokok per kapita cenderung naik dengan naiknya pendapatan per kapita, (iii) sektor tembakau dan sektor industri rokok memberikan sumbangan sekitar 7 persen terhadap penerimaan negara dari dalam negeri, namun lebih banyak menguras daripada menghasilkan devisa negara, (iv) peranan sektor tembakau dan sektor industri rokok dalam penciptaan nilai output, nilai tambah, dan penyerapan tenaga kerja kurang signifikan, namun keduanya mempunyai angka pengganda output cukup besar, terutama sektor tembakau, dan (v) sektor tembakau mampu menarik sektor hulunya dan mendorong sektor hilirnya untuk berkembang, sedangkan sektor industri rokok hanya mampu mendorng sektor hilirnya. Disarankan agar (i) dalam pengembangan sektor tembakau dan sektor industri rokok ke depan perlu mempertimbangkan keseimbangan antara aspek ekonomi dan aspek kesehatan dan (ii) kandungan nikotin dan tar dalam rokok perlu dikurangi serta mencari alternatif penggunaan tembakau untuk nonrokok yang fisibel secara ekonomi.
Studi Kebijaksanaan Nilai Tukar Komoditi Pertanian Prajogo Utomo Hadi
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 2, No 1 (1983): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v2n1.1983.20-31

Abstract

IndonesianMakin tinggi nilai tukar komoditi pertanian terhadap komoditi non-pertanian, berarti kedudukan sektor pertanian makin kuat dan petani produsen makin beruntung dilihat dari segi harganya. Cukup banyak peubah yang mempengaruhi tingkat harga komoditi dan arah gerakan nilai tukar tersebut seperti: penawaran dan permintaan, sistem tataniaga baik dalam negeri maupun luar negeri serta kebijaksanaan pemerintah. Melalui kebijaksanaan pemerintah, peubah-peubah kunci dapat dipengaruhi dan nilai tukar dapat diarahkan kejurusan yang dikehendaki untuk mencapai tujuan tertentu dalam pembangunan. Disamping peubah ekonomi, peubah non-ekonomipun perlu diperhatikan karena sering ikut menentukan arah gerakan nilai tukar tersebut. Untuk itu maka diperlukan kajian, baik yang bersifat diskriptip maupun analitis untuk bisa membangun suatu model yang relevan. Dalam tulisan ini disajikan analisa diskriptip maupun analitis dan secara jelas ditunjukkan peubah-peubah mana yang bisa dipengaruhi melalui kebijaksanaan pemerintah agar nilai tukar dapat diarahkan kejurusan yang dikehendaki.
Perubahan distribusi luas garapan dan pendapatan di daerah kantung produksi padi Prajogo Utomo Hadi
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 3, No 1 (1984): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v3n1.1984.36-43

Abstract

Indonesian"Gini Concentration Ratio" merupakan alat analisa yang lazim digunakan oleh banyak orang untuk mengukur penyebaran/distribusi pendapatan agregat masyarakat. Tulisan ini ingin menyajikan hasil penelitian tentang bagaimana perubahan distribusi luas pengusahaan (garapan) sawah dan pendapatan selam 5 tahun, 1981 versus 1976. Hasil penelitian yang patut dicatat :(1) telah terjadi kenaikan ketimpangan luas garapan sawah cukup tajam di seluruh desa contoh, )2) sebanyak 7 deswa diantara 8 desa contoh juga telah mengalami kenaikan ketimpangan pendapatan tetapi tidak setajam pada luas garapan sawah dan (3) kenaikan ketimpangan itu terjadi baik di desa yang pendapatan nyata per kapitanya naik maupun yang turun.
Peta Jalan (Road Map) dan Kebijakan Pengembangan Industri Gula Nasional Sudi Mardianto; Pantjar Simatupang; Prajogo Utomo Hadi; Husni Malian; Ali Susmiadi
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 23, No 1 (2005): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v23n1.2005.19-37

Abstract

EnglishThere are three major problems encountered by Indonesia in relation with sugar agribusiness. First, the declining sugar productivity, due among others to low on farm technology adoption and sugar factory efficiency. Second, the increasing sugar resulted from among others; the international prices of sugar that do not represent the true production efficiency because it is sold below its production cost; ad-hoc border measure policies; and many illegal sugar imports. Third, the unstable domestic prices of sugar because of inefficient distribution system. To overcome these problems, the future sugar industry development needs to be formulated into short-run development program (3 years), medium-run development program (10 years) and long-run development program (20 years). The short-run development program aims to rehabilitate the sugar factories in Java Island to enable them to produce crystal sugar with “cost of good sold” being competitive with the international prices of sugar. The medium-run development program aims to develop the sugar factories outside Java through utilizing dry land’s formerly allocated to transmigration now being no longer competitive for food crops development. The long-run development program aims to switch the ownership of sugar factory from the state enterprise to sugar cane farmers, and development of sugar cane based industry, such as ethanol, alcohol, etc. Moreover, it is also necessary to revitalize research and development activities through providing more sufficient funds.IndonesianAda tiga permasalahan utama yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan agribisnis pergulaan. Pertama, produktivitas gula yang cenderung terus turun yang disebabkan antara lain karena penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah. Kedua, impor gula yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan antara lain, karena harga gula di pasar internasional tidak menggambarkan tingkat efisiensi produksi yang sebenarnya, karena dijual di bawah ongkos produksinya; kebijakan border measure yang sifatnya ad-hoc; dan banyaknya impor gula illegal. Ketiga, harga gula di pasar domestik tidak stabil yang disebabkan oleh sistem distribusi yang kurang efisien. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pengembangan industri gula di masa yang akan datang perlu disusun dalam Program Jangka Pendek (3 tahun), Program Jangka Menengah (10 tahun) dan Program Jangka Panjang (20 tahun). Program jangka pendek ditujukan untuk melakukan rehabilitasi PG di Jawa, sehingga mampu menghasilkan gula hablur dengan harga pokok yang dapat bersaing dengan harga gula di pasar internasional. Program jangka menengah ditujukan untuk pengembangan PG di Luar Jawa, dengan memanfaatkan lahan kering eks transmigrasi yang kurang kompetitif bagi pengembangan tanaman pangan. Program jangka panjang ditujukan untuk pengalihan pemilikan PG BUMN kepada petani tebu, serta pengembangan industri berbasis tebu, seperti ethanol, alkohol, dan lain-lain. Selain itu, perlu juga dilakukan revitalisasi kegiatan research and development, dengan memberikan dukungan dana yang lebih memadai.
Peranan Sektor Tembakau dan Industri Rokok dalam Perekonomian Indonesia: Analisis Tabel I-O Tahun 2000 Prajogo Utomo Hadi; Supena Friyatno
Jurnal Agro Ekonomi Vol 26, No 1 (2008): Jurnal Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (193.917 KB) | DOI: 10.21082/jae.v26n1.2008.90-121

Abstract

EnglishDuring the last decade, the increasing intensity of anti-tobacco campaign underpinned by health consideration that has been reinforced by the ratified Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), the reduced government support to tobacco production, and the increasing community’s awareness on the importance of healthy life, has been threatening the world and the Indonesian tobacco economy. The world tobacco economy is expected to be slowing down and severely affects the Indonesia’s tobacco economy. In this connection, this paper is aimed at analyzing the current situation and the roles of tobacco and cigarette industry sectors in the Indonesian economy. Important results of the analysis are as follows: (i) the tobacco production during the 2000-2006 period was decreased by 5.98% per annum; (ii) the per capita cigarette consumption tended to increase with the increased per capita income; (iii) the tobacco and the cigarette sectors shared about 7% of the government domestic revenues, but more depleting rather than generating foreign exchanges; (iv) the tobacco and cigarette industry sectors have small share in the creation of output value, value added and employment, but have relatively high output multiplier, particularly the tobacco sector; and (v) the tobacco sector was able to pull its upstream sectors and push its downstream sectors to develop, while the cigarette sector was able only to push its downstream sector. It is suggested, therefore, that: (i) the future development of tobacco and cigarette sectors needs to consider the balance between economic and health aspects; and (ii) the nicotine and tar contained in the cigarettes needs to be reduced while exploring alternative economically feasible of non-cigarette uses of tobacco.IndonesianSelama dasawarsa terakhir, meluasnya kampanye anti tembakau karena pertimbangan kesehatan yang diperkuat dengan telah diratifikasinya Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau, berkurangnya dukungan pemerintah untuk pengembangan ekonomi tembakau serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka ancaman terhadap ekonomi tembakau dunia dan Indonesia mulai terasa. Dikhawatirkan ekonomi tembakau dunia akan terus melesu dan berdampak pada Indonesia. Sehubungan dengan itu, makalah ini bertujuan untuk menganalisis kinerja serta peranan sektor tembakau dan sektor industri rokok dalam perekonomian nasional Indonesia. Beberapa temuan penting adalah sebagai berikut (i) produksi tembakau selama periode 2000-2006 menurun rata-rata 5,98 persen per tahun, (ii) konsumsi rokok per kapita cenderung naik dengan naiknya pendapatan per kapita, (iii) sektor tembakau dan sektor industri rokok memberikan sumbangan sekitar 7 persen terhadap penerimaan negara dari dalam negeri, namun lebih banyak menguras daripada menghasilkan devisa negara, (iv) peranan sektor tembakau dan sektor industri rokok dalam penciptaan nilai output, nilai tambah, dan penyerapan tenaga kerja kurang signifikan, namun keduanya mempunyai angka pengganda output cukup besar, terutama sektor tembakau, dan (v) sektor tembakau mampu menarik sektor hulunya dan mendorong sektor hilirnya untuk berkembang, sedangkan sektor industri rokok hanya mampu mendorng sektor hilirnya. Disarankan agar (i) dalam pengembangan sektor tembakau dan sektor industri rokok ke depan perlu mempertimbangkan keseimbangan antara aspek ekonomi dan aspek kesehatan dan (ii) kandungan nikotin dan tar dalam rokok perlu dikurangi serta mencari alternatif penggunaan tembakau untuk nonrokok yang fisibel secara ekonomi.
Perkiraan Dampak Kebijakan Proteksi dan Promosi terhadap Ekonomi Hortikultura Indonesia nFN Saptana; Prajogo Utomo Hadi
Jurnal Agro Ekonomi Vol 26, No 1 (2008): Jurnal Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jae.v26n1.2008.21-46

Abstract

EnglishTrade liberalization and economic crisis generate greater challenges in agricultural development in Indonesia. Despite the remaining high tariff rate on Indonesian agricultural products as stated in the WTO agreement, this country applied low import tariff rates of 0-5% during the 1998–2004 for almost all its agricultural products, except for rice and sugar which are increased to 25-30%. Since 1 January 2005, Indonesia applies higher tariff rates of 10-40% for a number of agricultural products, including horticultural products. Indonesia also launches policies to promote development of horticultural sector. This paper aims to analyze the impact of protection as well as promotion policies on horticultural economy both at macro and micro level. It is found that he protection policy in terms of increasing tariff rates from 5% to 25% for shallots and oranges would potentially increases wholesale price, producer price, production quantity, producer surplus and farm income, but reduces demand/ consumption, consumer surplus, import and government revenue from import tax. Impact of promotion policy in terms of improved distribution system if the subsidized fertilizers potentially reduces fertilizer cost by Rp 1.37 million for potato farm in Karo (North Sumatera), Rp 0.44 million for potato farm in Tabanan (Bali), and Rp 0.21 million for shallots farm in Majalengka (West Javat) per hectare per season, and by Rp 4.03 million for orange farm in Karo and Rp 1.56 million for mango farm in Majalengka per hectare per year. Meanwhile, import relaxation for potato seeds of french fries and Atlantic varieties is expected to increase production and export of processed products of potato. The future policy perspectives would be maintaining the existing tariff and promotion policies as well as deregulation and de-bureaucratization inclined towards the improved competitiveness of horticultural products and farmer’s income.  IndonesianLiberalisasi perdagangan dan krisis ekonomi menimbulkan tantangan yang semakin berat dalam pembangunan sektor pertanian di Indonesia. Meskipun komitmen tarif produk pertanian Indonesia dalam forum WTO masih cukup tinggi, selama kurun waktu 1998–2004 Indonesia menerapkan tarif impor 0-5 persen untuk hampir semua produk pertanian, kecuali beras dan gula yang dinaikkan menjadi 25-30 persen. Baru pada tanggal 1 Januari 2005, Indonesia mulai menerapkan kebijakan tarif relatif tinggi (10-40%) untuk beberapa produk pertanian termasuk hortikultura. Indonesia juga menempuh kebijakan promosi untuk pengembangan subsektor hortikultura. Tulisan ini bertujuan mengkaji dampak kebijakan proteksi dan kebijakan promosi terhadap ekonomi komoditas hortikultura di tingkat makro dan mikro. Dampak kebijakan proteksi berupa peningkatan tarif impor dari 5 persen menjadi 25 persen untuk bawang merah dan jeruk berpotensi meningkatkan harga grosir, harga petani, produksi, surplus produsen, dan pendapatan usahatani, tetapi mengurangi konsumsi, surplus konsumen, impor, dan penerimaan pemerintah dari pajak. Dampak kebijakan promosi berupa perbaikan sistem distribusi pupuk berpotensi menurunkan biaya pupuk per hektar per musim pada usahatani kentang di Karo (Sumatera Utara) dan Tabanan (Bali), masing-masing Rp 1,37 juta dan Rp 0,44 juta, usahatani bawang merah di Majalengka (Jawa Barat) Rp 0,21 juta, usahatani jeruk di Karo (Sumatera Utara) Rp 4,03 juta, dan usahatani mangga di Majalengka (Jawa Barat) Rp 1,56 juta. Sementara itu, pelonggaran impor bibit kentang varietas french fries dan Atlantik diharapkan akan meningkatkan produksi dan ekspor hasil olahan keripik kentang. Perspektif kebijakan ke depan adalah mempertahankan kebijakan tarif dan promosi, serta kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang di arahkan untuk meningkatkan daya saing produk hortikultura nasional dan pendapatan petani.