Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

Kinerja Agribisnis Komoditas Pertanian: Kemampuan Penciptaan Output, Nilai Tambah dan Keterkaitan Antar Sektor (Analisis Komparasi I-O Tahun 2005 dan 2010) Supena Friyatno; Saptana Saptana
Jurnal Manajemen & Agribisnis Vol. 14 No. 3 (2017): JMA Vol. 14 No. 3, November 2017
Publisher : School of Business, Bogor Agricultural University (SB-IPB)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1579.869 KB) | DOI: 10.17358/jma.14.3.250

Abstract

In the perspective of agribusiness, the agricultural commodity has become an economic entity for the actors of businesses to develop the integration of products from upstream to downstream. This paper aimed to analyze any agricultural commodity that had grown into agribusiness commodities in the period 2005 and 2010. The methodology used was to conduct a comparative table of I-O in 2005 and 2010 to identify any agricultural commodity that had: (a) the capability in the creation of high economy through the creation of output; (b) the creation of high added value, and (c) the forward and backward relationships. Growing an agricultural commodity that has been cultivated, the higher the forward and backward linkages with other sectors. Similarly, when the ability of an agricultural commodity in creating added value is higher, the ability in creating economic value is also higher. The results showed that the groups of food commodities had lower capabilities as agricultural commodities compared with the groups of horticulture, plantation, and livestock commodities. The development of primary agricultural commodities into final products can enhance the role of agribusiness commodities. The implication is that the development of downstream industries for the commodities of food, horticulture, plantation and livestock is a strategic step in the creation of output, value added and linkages among the economic sectors.Keywords: agribusiness, agricultural commodities, linkages between sectors, output, added value
Peranan Sektor Tembakau dan Industri Rokok dalam Perekonomian Indonesia: Analisis Tabel I-O Tahun 2000 Prajogo Utomo Hadi; Supena Friyatno
Jurnal Agro Ekonomi Vol 26, No 1 (2008): Jurnal Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jae.v26n1.2008.90-121

Abstract

EnglishDuring the last decade, the increasing intensity of anti-tobacco campaign underpinned by health consideration that has been reinforced by the ratified Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), the reduced government support to tobacco production, and the increasing community’s awareness on the importance of healthy life, has been threatening the world and the Indonesian tobacco economy. The world tobacco economy is expected to be slowing down and severely affects the Indonesia’s tobacco economy. In this connection, this paper is aimed at analyzing the current situation and the roles of tobacco and cigarette industry sectors in the Indonesian economy. Important results of the analysis are as follows: (i) the tobacco production during the 2000-2006 period was decreased by 5.98% per annum; (ii) the per capita cigarette consumption tended to increase with the increased per capita income; (iii) the tobacco and the cigarette sectors shared about 7% of the government domestic revenues, but more depleting rather than generating foreign exchanges; (iv) the tobacco and cigarette industry sectors have small share in the creation of output value, value added and employment, but have relatively high output multiplier, particularly the tobacco sector; and (v) the tobacco sector was able to pull its upstream sectors and push its downstream sectors to develop, while the cigarette sector was able only to push its downstream sector. It is suggested, therefore, that: (i) the future development of tobacco and cigarette sectors needs to consider the balance between economic and health aspects; and (ii) the nicotine and tar contained in the cigarettes needs to be reduced while exploring alternative economically feasible of non-cigarette uses of tobacco.IndonesianSelama dasawarsa terakhir, meluasnya kampanye anti tembakau karena pertimbangan kesehatan yang diperkuat dengan telah diratifikasinya Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau, berkurangnya dukungan pemerintah untuk pengembangan ekonomi tembakau serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka ancaman terhadap ekonomi tembakau dunia dan Indonesia mulai terasa. Dikhawatirkan ekonomi tembakau dunia akan terus melesu dan berdampak pada Indonesia. Sehubungan dengan itu, makalah ini bertujuan untuk menganalisis kinerja serta peranan sektor tembakau dan sektor industri rokok dalam perekonomian nasional Indonesia. Beberapa temuan penting adalah sebagai berikut (i) produksi tembakau selama periode 2000-2006 menurun rata-rata 5,98 persen per tahun, (ii) konsumsi rokok per kapita cenderung naik dengan naiknya pendapatan per kapita, (iii) sektor tembakau dan sektor industri rokok memberikan sumbangan sekitar 7 persen terhadap penerimaan negara dari dalam negeri, namun lebih banyak menguras daripada menghasilkan devisa negara, (iv) peranan sektor tembakau dan sektor industri rokok dalam penciptaan nilai output, nilai tambah, dan penyerapan tenaga kerja kurang signifikan, namun keduanya mempunyai angka pengganda output cukup besar, terutama sektor tembakau, dan (v) sektor tembakau mampu menarik sektor hulunya dan mendorong sektor hilirnya untuk berkembang, sedangkan sektor industri rokok hanya mampu mendorng sektor hilirnya. Disarankan agar (i) dalam pengembangan sektor tembakau dan sektor industri rokok ke depan perlu mempertimbangkan keseimbangan antara aspek ekonomi dan aspek kesehatan dan (ii) kandungan nikotin dan tar dalam rokok perlu dikurangi serta mencari alternatif penggunaan tembakau untuk nonrokok yang fisibel secara ekonomi.
Adaptasi dan inovasi kelembagaan dalam sistem irigasi pompa: Studi kasus di Subang, Gunung Kidul, Kediri dan Pamekasan nFN Sumaryanto; Supena Friyatno; Agus Pakpahan
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 13, No 1 (1995): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v13n1.1995.40-57

Abstract

IndonesianMelalui penelitian ini dapat dibuktikan bahwa secara empiris spirit kolektif hanyalah merupakan suatu syarat keharusan, akan tetapi belum memenuhi syarat untuk meningkatkan kapabilitas organisasi. Kapabilitas organisasi yang ditunjukkan oleh daya adaptasi dan atau inovasi ditentukan oleh kemampuan organisasi dan partisipasi dalam mengumpulkan dan mengolah informasi dalam memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan ongkos transaksi, komitmen, loyalitas, pembonceng (free rider), dan faktor eksternal. Kesamaan persepsi, kelancaran komunikasi dan unsur kepemimpinan merupakan keharusan dalam meningkatkan kapabilitas organisasi. Substansi permasalahan yang secara latent merupakan umpan balik bagi proses adaptasi dan inovasi kelembagaan adalah cara penetapan iuran air, bentuk pembayaran dan tarif iuran air serta sistem distribusi air. Fakta yang menarik adalah bahwa meskipun cukup beragam, petani memiliki kapasitas yang memadai untuk menciptakan kiat-kiat manajemen yang jitu dalam menangani substansi permasalahan itu. Implikasinya adalah bahwa generalisasi model kelembagaan dalam sistem irigasi pompa hanya relevan dilakukan pada tingkat permasalahan yang hak dan kewajiban partisipan secara umum. Dengan fakta lain, rigiditas struktur organisasi atau bentuk kelembagaan yang diintroduksikan pada akhirnya menjadi sangat tidak relevan.
Perspektif Pendirian Bank Pertanian di Indonesia nFN Ashari; Supena Friyatno
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 24, No 2 (2006): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v24n2.2006.107-122

Abstract

EnglishThe role of agricultural sector is very important to enhance the national economic development although its development is not fully supported by sufficient capital. The existing formal financial institutions tend to prioritize non-agricultural services which have high profit but low risk. In this context, efforts to establish agricultural bank institution that especially support agricultural activity services are highly recommended. This paper aimed at a review of the urgency, possibility, potential, and constraints of agricultural bank establishment in Indonesia. The result showed that conceptually and empirically, agricultural bank institution has a promising prospective in Indonesia. There are many options in respect to agricultural bank establishment in Indonesia, such as (1) Credit-agricole “France model”, (2)  “Bank Bukopin”  model, (3) foreign direct investment model, (4) upgrading of “BUMN Bank” to “Agricultrual Bank” model, and (5) utilizing the financial institution that locally available and accessible by the people. For efficient and effective of the services, the agricultural bank should be designed based on agricultural characteristics and typical actors of agricultural business.IndonesianPeran sektor pertanian yang sangat strategis dalam perekonomian nasional belum diimbangi dengan dukungan penyediaan modal yang memadai.  Lembaga perbankan formal yang ada saat ini cenderung bias dan lebih mengutamakan pembiayaan non pertanian. Dengan memperhatikan fenomena tersebut, perlu upaya pembentukan lembaga keuangan yang khusus bergerak dalam pembiayaan sektor pertanian. Salah satu wacana tentang bentuk lembaga keuangan tersebut adalah dengan mendirikan Bank Pertanian. Tulisan ini bertujuan melakukan tinjauan mengenai urgensi, potensi dan kendala pembentukan bank pertanian di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara konseptual maupun empirik, Bank Pertanian sangat prospektif untuk diwujudkan di Indonesia. Ada beberapa format Bank Pertanian yang dapat menjadi pilihan di antaranya (i) pola pendirian credit-agricole Perancis, (ii) pola pendirian bank Bukopin, (iii) investasi langsung modal asing (iv) mendorong bank BUMN menjadi bank pertanian, serta (v) memanfaatkan lembaga keuangan yang tumbuh dan berkembang di tingkat lokal. Agar Bank Pertanian dapat melayani nasabah secara efektif dan efisien, maka bank tersebut harus didesain sesuai dengan kekhasan karakteristik sektor pertanian dan pelaku usaha pertanian.
Revitalisasi Kelembagaan Kemitraan Usaha dalam Pembangunan Agribisnis Hortikultura di Provinsi Sumatera Utara Valeriana Darwis; Endang Lestari Hastuti; Supena Friyatno
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 24, No 2 (2006): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v24n2.2006.123-134

Abstract

EnglishFor market oriented of agricultural development, agribusiness scheme is the most appropriate option. Partnership pattern in agribusiness scheme is one of the alternatives to achieve successful performance. This article aims to introduce the application of partnership pattern on horticultural crops in North Sumatera Province. The current partnership pattern in horticultural production centers is generally developed locally, applying nucleus-plasma pattern, and pattern introduced by the intervention of the government. The locally established partnership pattern was developed based on the common needs and, therefore, this pattern has been institutionalized due to the increasing trustworthy and honesty among the members.  Meanwhile the nucleus-plasma pattern is carried out and controlled by formal rules and regulations which are agreed and approved by the members.  On the other hand, the partnership pattern introduced by the government is designed to support rural development programs.  However, the pattern faces various constraints in internalizing the concept.  There is an assumption that the government aid and support is treated as grant with no obligation to repay.  In this regard, the role of the government and coordination among the related institutions should be intensified and improved.IndonesianPada usaha pertanian berorientasi pasar, pendekatan yang sesuai adalah agribisnis. Kemitraan di antara pelaku usaha di bidang agribisnis merupakan salah satu cara untuk memperbesar peluang keberhasilan. Tulisan ini menggambarkan kemitraan hortikultura yang ada di Provinsi Sumatera Utara dalam upaya menyempurnakan serta merevitalisasi kemitraan yang pernah dikembangkan. Pola kemitraan yang ada di sentra produksi hortikultura umumnya bersifat lokal, pola inti-plasma, dan bentukan pemerintah. Kemitraan usaha yang bersifat lokal terbentuk karena adanya kebutuhan bersama dari pelaku kemitraaan usaha, sehingga relatif melembaga karena adanya nilai-nilai kepercayaan dan kejujuran. Kemitraan usaha dengan pola inti plasma diatur dan dikontrol oleh aturan-aturan yang bersifat formal, yang telah disetujui dan ditandatangani bersama. Pola kemitraan yang dibentuk oleh pemerintah terutama bertujuan sesuai dengan program pembangunan pedesaan, dan sampai saat ini tampaknya relatif sulit melembaga. Hal ini antara lain disebabkan adanya anggapan bahwa setiap bantuan yang diberikan oleh pemerintah merupakan hibah, sehingga tidak perlu dikembalikan. Oleh karena itu peran pemerintah harus ditingkatkan dan koordinasi antar lembaga terkait lebih diintensifkan.
Prospek Model-Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) Dan Replikasi Pengembangan KRPL nFN Saptana; nFN Sunarsih; Supena Friyatno
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 31, No 1 (2013): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v31n1.2013.67-87

Abstract

EnglishFood security issues deal with critical problem, namely food demand grows faster than that of production. To achieve food self-sufficiency and food security, the Ministry of Agriculture Indonesia through Indonesian Agency for Agricultural Research and Development develops the Model of Sustainable Food Houses Region (M-KRPL) and its replication, namely the Sustainable Food Houses Region (KRPL). The concept of M-KRPL and KRPL programs needs to be refined primarily due to program design, implementation period, implementing organizations, introduced technologies, and strengthened local institutions. Implementation of M-KRPL and KRPL should be carried out through excellent social process and stages of growth, i.e. growing, developing, maturation, and self-reliance. M-KRPL replication should take account the technology use as well as community empowerment. M-KRPL and KRPL is promising in terms of technical, economic and institutional aspects. Important policy implications are: (a) taking accounts the technical aspect and social-economic characteristics of the targeted groups, (b) program period must be at least three years along with the growth stages; (c) the main M-KRPL and KRPL implementing organizations are the Assessment Institute for Agricultural Technology (AIATs) and Regional governments, respectively; (d) the technology introduced consists of nursery, farm practice, post harvest, and processing; and (e) managerial and capital development. IndonesianPembangunan ketahanan pangan dihadapkan pada permasalahan pokok, dimana pertumbuhan permintaan pangan adalah lebih cepat dari pertumbuhan produksinya. Dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan dan ketahanan pangan, Kementerian Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian mengembangkan Model Kawasan Rumah pangan Lestari (M-KRPL) dan replikasinya menjadi Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Konsep program M-KRPL dan KRPL perlu disempurnakan terutama terkait dengan rancangan program, jangka waktu pelaksanaan, organisasi pelaksana, serta teknologi yang diintroduksikan dan penguatan kelembagaan lokal. Payung hukum M-KRPL dan KRPL adalah : UU No.7 tahun 1966 tentang Pangan; PP No.68 tantang Ketahanan pangan; PP No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal; serta PP No. 43 tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.  Implementasi replikasi M-KRPL menjadi KRPL seyogyanya dilakukan melalui proses sosial yang matang melalui tahap penumbuhan, pengembangan, pematangan, dan kemandirian.  Replikasi M-KRPL menggunakan entry point teknologi dan sekaligus kelembagaan, serta berdasarkan prinsip pemberdayaan masyarakat.  Pengembangan M-KRPL dan KRPL memiliki prospek baik dan berlanjutan ditinjau dari aspek teknis, ekonomi dan kelembagaan. Implikasi kebijakan penting adalah : (a) rancangan program harus memperhatikan aspek teknis dan karakteristik sosial ekonomi kelompok sasaran; (b) jangka waktu program minimal 3 (tiga) tahun melalui tahap penumbuhan, pengembangan, dan kemandirian; (c) organisasi pelaksana utama M-KRPL adalah BPTP, sedangkan KRPL adalah Pemerintah Daerah; (d) teknologi yang diintroduksikan mencakup teknologi pembibitan, budidaya, serta pasca panen dan pengolahan hasil; dan (e) penguatan kelembagaan pengelola M-KRPL dan KRPL baik dari aspek manajemen, permodalan, dan partisipasi anggota.
Analisis Penggunaan Faktor Produksi pada Usahatani Padi Sawah Dataran Rendah: Kasus desa Tegal Panjang, Cariu, Bogor Supena Friyatno; nFN Sumaryanto
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 9, No 2-1 (1992): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v9n2-1.1992.96-103

Abstract

IndonesianTulisan ini mencoba melihat alokasi masukan dari masing-masing faktor produksi, analisis input-output, menganalisis kontribusi masing-masing faktor produksi, faktor share serta elastisitas dari masing-masing faktor produksi tersebut. Metoda analisis yang digunakan adalah dengan cara tabulasi dan menggunakan regresi fungsi pangkat. Dari hasil telaahan pada studi  ini ada beberapa hal yang dapat diinformasikan sehubungan dengan usahatani padi di lokasi penelitian. Informasi tersebut diantaranya; tingkat penerapan teknologi usahatani di lokasi penelitian sudah menampakkan pada tingkat kejenuhan. Hal ini terlihat dengan adanya penggunaan faktor produksi yang tidak berimbang, misalnya penggunaan urea 20,63 persen, benih 40,53 persen dan TSP 32,22 persen lebih banyak daripada yang direkomendasikan. Kendatipun secara finansial usahatani di lokasi penelitian masih berada pada usaha yang menguntungkan, yakni sebesar 264.489 rupiah per hektar permusim. Share dari faktor produksi yang digunakan ternyata tenaga kerja mempunyai share yang paling tinggi, yakni 41,65 persen, sedangkan konpensasi pengelolaan dicapai hanya 33,29 persen. Faktor-faktor produksi yang memberikan kontribusi nyata terhadap produksi adalah lahan, curahan jam kerja. Sedangkan benih dan urea tidak menunjukkan kontribusi nyata terhadap produksi. Bahkan pupuk TSP dan pestisida meunjukkan kontribusi yang cenderung negatif, penggunaan kedua faktor produksi tersebut sudah berkelebihan. Implikasi dari temuan tersebut diatas adalah perlunya ditata kembali penerapan teknologi usahatani sehingga betul-betul diaplikasikan secara optimal. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan dan koordinasi penyampaian inovasi baru kepada petani di pedesaan.
Ciri-ciri rumah tangga defisit energi di pedesaan Jawa Tengah Achmad Djauhari; Supena Friyatno
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 11, No 2 (1993): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v11n2.1993.60-67

Abstract

IndonesianKelompok rumah tangga adalah sasaran utama dalam program peningkatan dan perbaikan tingkat konsumsi pangan dan gizi. Oleh karena itu, keberhasilan program ini ditentukan oleh kemampuan mengidentifikasi rumah tangga yang menjadi sasaran tersebut. Penelitian ini mencoba mengidentifikasi ciri-ciri rumah tangga defisit energi pada berbagai tipe agro-ekosistem di pedesaan Jawa Tengah. Penentuan rumah tangga defisit energi dihitung dengan cara membandingkan kebutuhan energi suatu rumah tangga terhadap tingkat konsumsinya. Apabila tingkat konsumsi kurang dari 70 persen dari energi yang dibutuhkannya, maka rumah tangga tersebut dikelompokkan pada kelompok defisit energi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ciri-ciri rumah tangga defisit energi adalah: (a) Adanya perbedaan tingkat konsumsi energi pada berbagai tipe agro-ekosistem dengan sumber energi utama padi-padian; (b) Jumlah anggota rumahtangga umumnya lebih banyak pada semua tipe agro-ekosistem; (c) Sumber pendapatan utama adalah sektor-sektor padat karya (modal dan keterampilan rendah). (d) Tingkat pendidikan kepala rumahtangga umumnya rendah; dan (e) Penguasaan dan pemilikan lahan sempit, sehingga banyak menjadi sebagai penggarap. Dalam jangka pendek implikasi dari penelitian ini, membutuhkan penyuluhan yang lebih intensif tentang konsumsi energi dan gizi, seperti melalui peningkatan pemanfaatan lahan pekarangan dan pengadaan asset-asset produktif bagi rumah tangga defisit energi di pedesaan.
DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL TERHADAP PEMBENTUKAN GAS RUMAH KACA DAN PENURUNAN KAPASITAS SEKTOR EKONOMI DI INDONESIA: PENDEKATAN ANALISIS INPUT-OUTPUT SUPENA FRIYATNO; BUNASOR SAMIN; NIZWAR SYAFA’AT
SOCA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Vol. 6, No. 2 Juli 2006
Publisher : Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana Jalan PB.Sudirman Denpasar, Bali, Indonesia. Telp: (0361) 223544 Email: soca@unud.ac.id

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (198.753 KB)

Abstract

It has been proven that national economic growth which is originally expected toimprove people welfare, to balance the gaps of income, to alleviate poverty and to keepthe environmental stability could not accomplish the goal of economic development.The objectives of this research are: (1) to analyze the impact of national economicgrowth on greenhouse gases formation, especially on emission of carbon, sulphur andnitrogen, (2) to analyze the impact of greenhouse gases emission which is formed byeconomic activities as consequences of national economic growth on the capacity ofeconomic sectors, especially in declining capacity on output, income, value added andemployment. To prove those main objectives, the national Input-Output analysis is usedin this research. The data used in this research are input-output transaction matrix year1980, 1985, 1990, 1995 and 2000 which is published by Statistical Center Agency(BPS). Input-Output data analysis showed that with 4.24% of economic growth scenarioformed carbon, sulphur, and nitrogen each equal to 3,276.6 kilo ton, 44.2 kilo ton, and79.9 kilo ton respectively. By internalizing the price of carbon Rp 190,000 per mt, theywould decline the capacity of economic sectors, such as Rp 1.4 triliun of output, Rp187.9 biliun of income, Rp 657.2 biliun of value added and 33.728 persons ofemployment respectively. In conclusion, economic growth has caused the greenhousegaseous formation, and has implication on cost of externalities on environment.Furthermore, the policies to compensate the recovery of environmental degradation areneeded through some instruments of policies, such as command-and-control, and basedmarket-policies in Indonesia.
MEMAHAMI PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA: KASUS DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT SAHAT M. PASARIBU; SUPENA FRIYATNO
SOCA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Vol. 8, No. 1 Februari 2008
Publisher : Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana Jalan PB.Sudirman Denpasar, Bali, Indonesia. Telp: (0361) 223544 Email: soca@unud.ac.id

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (110.079 KB)

Abstract

Land and forest fire have grabbed much concern and been considered as national issue. Theevent occurs repeatedly year by year, specifically in Sumatra and Kalimantan islands.Government institutions and local community, including farmers and estate enterprises have avery close linkage in such disaster. The smoke produced by the fire has been transformed intoa widespread of thick cloud and immediately affects health conditions of the community. Thesmoke also directly interfere river, land, and air transport systems, thus influencing basicsocio-economic life of human being. This paper is aimed at understanding about how forestfire occurs and its effect on agricultural sector. With rapid rural appraisal method, this papereventually comes to main results and findings as follows: (a) elaboration of five identifiedtypologies of land and forest fire, (b) analysis of direct and indirect impacts of the fire onagricultural sector, (c) identification of who and why land and forest fire occur, and (d)recommendation of programs to persuasively eliminate land and forest fire. Many partieshave its own share and proportion to contribute to land and forest fire. Imbalanced-natureoccurs and causes specific disaster with environment degradation. People have manydifficulties to recover from such situation. The successful to get rid of land and forest fire isheavily depending on how alternative applied technologies can easily be adopted and lawenforcement can widely be implemented.