Epilepsi masih menjadi masalah kesehatan global. Epilepsi tidak dianggap sebagai suatu penyakit oleh beberapa masyarakat namun diduga sesuatu dari luar badan penderita yang biasanya dianggap sebagai kutukan roh jahat atau akibat kekuatan gaib, sehingga memberi dampak negatif pada kualitas hidup penderita bahkan dijauhi dari lingkungan sosial. Anggapan ini masih terdapat di kalangan masyarakat yang belum terjangkau oleh ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi stigma masyarakat terhadap penderita epilepsi di Kota Palu. Metode penelitian yang digunakan yaitu Deskriptif Analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan Mei s/d September 2019. Penelitian dilakukan pada 270 responden di 12 kelurahan di Kota Palu dengan teknik pengambilan sampel stratified random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan kuisioner. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 42.6% responden memiliki tingkat pengetahuan kurang dan sebanyak 57.4% responden memiliki tingkat pengetahuan cukup. Sebanyak 148 responden (54.8%) memiliki stigma ≥ 21.00 dan 122 responden (45.2%) memiliki stigma < 21.00. Sebanyak 159 responden (58.9%) mengaku pernah melihat bangkitan epilepsi dan sebanyak 111 responden (41.1%) tidak pernah melihat. Sebanyak 93 responden (34.4%) mengaku memiliki kerabat/rekan Orang Dengan Epilepsi (ODE) dan sebanyak 177 responden (65.6%) tidak memiliki. Faktor yang berhubungan dengan terjadinya stigma masyarakat yaitu tingkat pengetahuan (p=0.03)(OR=1.74(95% CI=1.06-2.84)). Kesimpulan penelitian yaitu faktor yang berhubungan dengan terjadinya stigma masyarakat terhadap penderita epilepsi yaitu tingkat pengetahuan, sedangkan faktor yang tidak memiliki hubungan dengan terjadinya stigma masyarakat terhadap penderita epilepsi yaitu jenis kelamin, usia, agama, suku, status ekonomi, tingkat pendidikan, pengalaman melihat epilepsi dan memiliki kerabat/rekan ODE (p>0.05).