Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

ASAS STRICT LIABILITY DAN ASAS VICARIOUS LIABILITY TERHADAP KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP ELLY SYAFITRI HARAHAP; Alvi Syahrin; Mahmud Mulyadi
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.801 KB)

Abstract

ABSTRAK Elly Syafitri Harahap* Alvi Syahrin** Mahmud Mulyadi***   Korporasi sebagai subjek hukum, menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi dan mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Alasan keengganan menjatuhkan pidana kepada korporasi, salah satunya adalah kurangnya mens rea (kesalahan). Mens rea, pada dasarnya dimiliki oleh “manusia”. Hal ini menjadi hambatan untuk menghukum korporasi dengan sanksi yang setimpal mengingat dalam hukum pidana Indonesia terdapat asas yang mewarnai KUHP yaitu geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana sistem pertanggungjawaban terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana dan bagaimana penerapan asas strict liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan spesifikasi deskriptif analisis yang menitikberatkan kepada data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Seluruh data yang diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya dianilisis secara kualitatif. Bahwa sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi antara lain adalah berdasarkan asas strict liability dan asas vicarious liability. Menurut asas strict liability dalam mempertanggungjawabkan korporasi tidak perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan pada korporasi dan asas vicarious liability menyatakan korporasi dapat dituntut bertanggung jawab atas perbuatan orang lain dalam lingkungan aktivitas usahanya. Asas strict liability terkandung dalam Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ditandai dengan kalimat bahwa tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha (korporasi). Asas vicarious liability terhadap korporasi terdapat dalam Pasal 116 ayat (2) yang menyatakan bahwa tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana.
Penjatuhan Pidana Tambahan Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Lingkungan Hidup: (Studi Putusan Nomor 349/Pid.B/LH/2019/PN.Plw) Harahap, Elly Syafitri; Syahrin, Alvi; Mulyadi, Mahmud; Marlina, Marlina
Locus Journal of Academic Literature Review Vol 3 No 1 (2024): January
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56128/ljoalr.v3i1.280

Abstract

Pengaturan tentang penjatuhan pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana terhadap korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal 119 huruf c UU No. 32/2009 tentang PPLH. Tetapi, belum ada aturan lebih lanjut yang mengatur tentang bentuk dan mekanisme penerapannya. Penjatuhan pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana terhadap korporasi dalam tindak pidana lingkungan sangatlah penting. Adanya sanksi pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana, maka lingkungan yang tercemar dan/atau rusak sebagai akibat kegiatan usaha yang dilakukan oleh korporasi dapat kembali dipulihkan. Penjatuhan pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana yang dikonversi dengan sejumlah uang dalam putusan Nomor 349/Pid.B/ LH/2019/ PN.Plw, belum memberikan perlindungan terhadap lingkungan, dikarenakan pembayaran kerugian lingkungan hidup merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang disetor ke kas negara, akibatnya dana tersebut tidak dapat digunakan sebagai dana pemulihan atau perbaikan lingkungan.