Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Pelaksanaan Pengawasan Oleh Kantor Imigrasi Kelas II Meulaboh Terhadap Pemberian Izin Tinggal Bagi Warga Negara Asing Mirzaq Maulana; Husni Jalil
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 2: Mei 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Permasalahan hukum yang muncul dalam penulisan artikel ini yaitu bahwa lima Warga Negara Asing yang terdiri dari empat warga Tiongkok dan satu warga Malaysia telah melakukan penyalahgunaan Izin Tinggal kunjungan untuk melakukan kegiatan perakitan dan pemasangan kapal tambang emas di Meulaboh. Pelaksanaan pengawasan keimigrasian yang dilakukan oleh Kantor Imigrasi Kelas II Meulaboh tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Negara Indonesia.Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan tentang bagaimana tata cara dalam melaksanakan pengawasan keimigrasian berdasarkan pada Undang–Undang Nomor 6 Tahun 2011 serta Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 yang dilaksanakan oleh Petugas Imigrasi, Pegawai Imigrasi, Pejabat Imigrasi beserta Tim Pengawasan Orang Asing dalam mengawasi keberadaan Orang Asing serta dalam mengamati lalu-lintas Warga Negara Asing di daerah Meulaboh. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Yuridis Empiris yaitu suatu jenis penelitian Hukum Sosiologis dan dapat disebut dengan penelitian langsung dalam lingkungan masyarakat, yaitu mengkaji tentang ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang telah atau sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Penelitian Yuridis Empiris adalah suatu penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat permasalahan yang nyata terjadi dalam masyarakat dan dikaitkan dengan Peraturan-Peraturan hukum yang berlaku di seluruh wilayah Negara Indonesia. Pelaksanaan pengawasan keimigrasian yang dilakukan oleh Kantor Imigrasi Kelas II Meulaboh terhadap pemberian Izin Tinggal bagi Warga Negara Asing belum berjalan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.Hal ini dikarenakan pihak Direktorat Jenderal Imigrasi Pusat masih kurang melakukan pengawasan untuk menilai tingkat efektivitas dari kinerja serta tingkat kedisiplinan dari Pegawai ataupun Petugas Imigrasi Meulaboh. Solusinya adalah diharapkan kepada pihak Direktorat Jenderal Imigrasi Pusat untuk harus meningkatkan pengawasan terhadap kinerja Pegawai khususnya di daerah Meulaboh. Disarankan kepada pihak Direktorat Jenderal Imigasi Pusat untuk membantu dalam menyediakan Pegawai serta Petugas Imigrasi tambahan dan membantu Kantor Imigrasi Kelas II Meulaboh untuk menyediakan fasilitas penunjang serta sarana dan prasarana yang berguna bagi Pejabat Imigrasi, Pegawai serta Petugas Imigrasi dalam melakukan pengawasan terhadap keberadaan serta kegiatan Orang Asing khususnya di daerah Meulaboh.
Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XIV/2016 Tentang Pengujian Pasal 67 AYAT (2) Huruf G Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Maulana Fatahillah; Husni Jalil
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 2: Mei 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pemberlakuan Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengakibatkan hak konstitusional mantan narapidana untuk diplih menjadi kepala daerah menjadi terhalangi. Pokok permasalahan studi kasus ini adalah dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 dan pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan dan memahami dasar pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XIV/2016, serta mengkaji pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Untuk memperoleh data dalam studi kasus ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data skunder. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang akan dikaji. Berdasarkan hasil analisis mengenai pengujian Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, bahwa rakyat tidak semata-mata memikul sendiri resiko pilihannya tanpa ada persyaratan bagi yang mencalonkan diri kepala daerah Seperti yang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan; “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan ketentuan itu dapat diartikan, bahwa pemilik kedaulatan dalam negara Indonesia ialah rakyat. Disarankan kepada Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara ini agar tidak hanya melihat kerugian pemohon semata tetapi juga harus melihat dampak yang akan terjadi pada masyarakat yang akan menanggung sendiri pilihannya.
Mekanisme Mutasi Pejabat Struktural Yang Dilakukan Oleh Gubernur Aceh Muhammad Zahrul Mubaraq; Husni Jalil
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui mutasi pejabat yang dilakukan oleh Gubernur sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk mengetahui konsekuensi hukum mutasi dilakukan tanpa melalui prosedur perundang-undangan yang berlaku. Data yang diperoleh dalam penulisan artikel ini dilakukan dengan cara melakukan penelitian hukum normatif (studi kepustakaan). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan serangkaian kegiatan membaca, menelaah dan menganalisis melalui data dan bahan hukum seperti peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, yurisprudensi, buku, doktrin dan jurnal hukum. Hasil dari penelitian kepustakaan menunjukkan bahwa Gubernur Aceh harus mendapatkan surat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri dikarenakan juga menjadi pasangan calon Gubernur Aceh pada Pilkada serentak 2017, dalam perspektif hukum administrasi negara, sesungguhnya tindakan gubernur memutasi pejabat di jajaran Pemerintah Aceh bisa berbentuk legal bersyarat (legalitas bersyarat). Sanksi administratif yang bisa dijatuhkan kepada pejabat yang melanggar Pasal 80 ayat (2) dan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bisa dikenakan pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi, pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatan atau pemberhentian sementara dengan tanpa memperoleh hak-hak jabatan. Disarankan Seharusnya Gubernur meminta persetujuan / izin tertulis terlebih dahulu kepada Menteri Dalam Negeri sebelum melakukan mutasi, bukan sesudah melakukan mutasi Pejabat Struktural Eselon II meminta izin tertulis, sehingga tidak ada dampak buruk atau konsekuensi baik bagi Gubernur sendiri maupun kepada pejabat yang telah dilantik, Seharusnya gubernur tetap harus tunduk pada peraturan tersebur, walaupun secara eksplisit tidak ada sanksi administrasinya pada akhir masa jabatan.
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT PEMBERITAAN MEDIA PERS (Tinjauan Yuridis Terhadap Implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers) Teuku Hanif Akbar; Husni Jalil
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 3, No 1: Februari 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers menjelaskan aturan yang berhubungan dengan media pers sehingga media pers dapat menginformasikan berita dengan benar sesuai fakta dan tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran sehingga tidak ada pihak yang dirugikan akibat pemberitaan media pers. mekanisme penyelesaian sengketa pers merujuk pada Undang-Undang pers yaitu apabila ada Pihak yang merasa dirugikan oleh perusahaan pers akibat pemberitaan media pers  di berikan hak oleh undang-undang untuk memulihkan kerugiannya melalui hak jawab dan hak koreksi sehingga pihak yang dirugikan dapat diberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa berita benar dan fakta kemudian Lembaga yang berwenang dalam penyelesaian sengketa pers menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers yaitu dewan pers karena dewan pers sebuah lembaga independen yang memiliki fungsi untuk mengembangkan dan melindungi kemerdekaan pers di indonesia.
Pemberhentian Sementara Terhadap Kepala Daerah Yang Di Tetapkan Sebagai Terdakwa Syamsul Bahri; Husni Jalil
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (514.471 KB)

Abstract

Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun pada pelaksanaannya Presiden tidak memberhentikan sementara kepala daerah DKI Jakarta yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa dengan nomor perkara 1537/PidB/2016/PNJktutr atas dugaan penodaan agama sebagaimana yang dijelaskan didalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.  Penulisan artikel ini bertujuan untuk menjelaskan tentang penyebab kepala daerah yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa tidak diberhentikan sementara, kemudian menjelaskan bagaimana penafsiran Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Pemerintahan Daerah dan bagaimana kaitannya dengan Pasal 156a KUHP, serta bagaimana mekanisme pemberhentian sementara kepala daerah yang ditetapkan sebagai terdakwa. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat normatif, maka metode pengumpulan data yang tepat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tela’ah peraturan perundang-undangan, telaah kepustakaan dan hasil diskusi dengan para ahli di bidang Hukum Tata Negara dan/atau ahli di bidang Hukum Pidana. Berdasarkan penelitian, yang menyebabkan kepala daerah yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa tidak diberhentikan sementara adalah karena menunggu kepastian tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Penafsiran Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Pemda dan Pasal 156a KUHP memiliki perbedaan ancaman pidana, untuk Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Pemda frasanya “paling singkat lima tahun” sedangkan dalam Pasal 156a KUHP frasanya “paling lama lima tahun”. Adapun mekanisme pemberhentian sementara terhadap kepala daerah yang ditetapkan sebagai terdakwa dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur, serta Menteri Dalam Negeri untuk bupati dan/atau wakil bupati serta wali kota dan/atau wakil wali kota. Disarankan kepada Presiden untuk melakukan pemberhentian sementara terhadap kepala daerah yang ditetapkan sebagai terdakwa jika perkaranya sudah terdaftar di pengadilan. Serta kepada lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dapat memberikan penjelasan terhadap ketentuan Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah agar tidak terjadi multitafsir.
Kedudukan Badan Pembinaan Hukum Nasional Dalam Menjalankan Fungsi Legislasi Marzuki Marzuki; Husni Djalil; Mujibussalim Mujibussalim
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 3: Desember 2017
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (339.883 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i3.9639

Abstract

Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan Penyusunan program legislasi nasional di lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Tujuan penulisan untuk menyelesaikan konsekuensi hukum Kedudukan Badan Pembinaan Hukum Nasional dan fungsi legislasi. Berdasarkan Objek masalah  terdapat 2 (dua) penelitian yang digunakan dalam artikel ini, penelitian hukum penelitian yuridis normatif. Sumber data adalah data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Disarankan kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 terkait keberadaan program legislasi nasional baik dari segi wewenang, kedudukan serta fungsi dan tugas lebih dibebankan kepada DPR. Langkah ini diharapkan dapat mendukung terwujudnya pembangunan hukum nasional di Indonesia.Law No. 12 of 2011 which is regulating law (regelling) in carrying out it’s duties had changed following the 1945 amendment to the authorities, positions, duties and functions in the formation of the legislation. The BPHN is the government institution in charge of coaching the integrated and comprehensive national law. It is suggested that the government and the House of Representatives as mandated by Law No. 12 of 2011 that they work on the existence of the National Legislation Program in terms of authority, position and more in the functions and duties. These stepsare expected to support the realization of national law development in Indonesia.
Kewenangan Gubernur Aceh Dalam Penggantian Pejabat Eselon II Setelah Pemilihan Kepala Daerah Sadrun Pinim; Husni Djalil; Yanis Rinaldi
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 1: April 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (294.854 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i1.10590

Abstract

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh mempunyai kewenangan dalam penggantian pejabat eselon II yang tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Gubernur Aceh dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa  jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Prosedur penggantian pejabat eselon II dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetisi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan, pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas sesuai menurut UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Tujuan penelitian untuk mengetahui kewenangan Gubernur Aceh dalam mengangkat pejabat Eselon II dan mengetahui ketentuan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota membatasi kewenangan Gubernur Aceh sebagai kepala daerah dalam otonomi khusus. Metode penelitian yang digunakan penelitian hukum normatif (yuridis normative). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tidak menghambat otonomi khusus di Aceh menurut UU No. 11 Tahun 2006. UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tetap berlaku di Aceh, dan penggantian pejabat eselon II tetap berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Disarankan kepada Pemerintah Pusat dalam membuat peraturan perundang-undangan harus sinkronisasi peraturan perundang-undang lainnya, agar tidak timbul disharmonisasi peraturan perundang-undangan. Memberikan pengecualian untuk Provinsi Aceh sebagai otonomi khusus, agar tidak timbul disharmonisasi peraturan perundang-undangan.The Act Number 11, 2006 has a power to replace echelon II officials. In the replacement of the echelon II officials, which is against the Act Number 10, 2016on the Governor, Head of District and Major Elections. The Aceh Governor is not allowed to replace the officials within 6 (six) months before the date of the candidate couple determination till the end of official position date unless there is a written license from Ministry. The procedure of echelon II official’s replacement conducted openly and competitively among civil servants with due regard to terms of competition, qualifications, rank, education, training, track record and integrity accordingly based on the Act Number 5, 2014 on States’ Official. This research aims to determine and assess the authority of the Governor of Aceh in appointing Echelon II officials and knowing the provisions of Law no. 10 of 2016 on the Election of Governors, Regents, and Mayors limits the authority of the Governor of Aceh as regional head in special autonomy. This is juridical normative research. The research shows that the Act Number 10, 2016 is not against the Act Number 11, 2006. The Act Number 10, 2016 on the Governor, Head of District and Major Election, is still existing in Aceh, and in regard with the replacement of echelon II is still referring to the Act Number 5, 2014 on States’ Official, as the civil Servants in Aceh is nationally integrated as civil servants.It is recommended that the Central Government shold enact legislation scrupolusly and refer to harmonization and synchronization of other laws, in order not to arise disharmonization of legislation. hence it provides exceptions for Aceh Province as the special autonomy province, in order to avoid legislations’s disharmony.
Pergeseran Rezim Sistem Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Ahmad Mirza Safwandy; Husni Jalil; Moh Nur Rasyid
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 21, No 3 (2019): Vol. 21, No. 3 (Desember 2019)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v21i3.12231

Abstract

Penelitian ini bertujuan menguraikan pergeseran sistem pemilihan kepala daerah dari rezim pemilihan umum ke rezim Pemerintahan Daerah. Pergeseran ini berdampak kepada peralihan kewenangan penyelesaian sengketa dari Mahkamah Konstitusi ke Mahkamah Agung sebagai konsekuensi Putusan MK Nomor 97/PUU–XI/2013. Putusan MK berimpilikasi kepada sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang berada di rezim pemilihan umum beralih ke rezim pemerintahan daerah, setelah putusan tersebut undang-undang mengamanatkan pembentukan peradilan khusus Pilkada yang berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan bertumpu pada studi dokumen berupa bahan hukum. Penelitian menyimpulkan bahwa meski tidak lagi menjadi kewenangan MK untuk mengadili perkara Pilkada, MK masih mengadili sengketa Pilkada hingga peradilan khusus Pilkada terbentuk. Peradilan khusus Pilkada selain mengadili sengketa hasil dapat mengadili sengketa proses, terkait sengketa administrasi Pilkada, sengketa Pidana Pilkada termasuk mengadili perihal election fraud dan corrupt campaign practice. Sistem penyelesaian sengketa Pilkada dilakukan melalui satu atap, sehingga tidak terjadi tumpang tindih putusan seperti yang terjadi selama ini. Shifting of Regime on Regional  Election System in Indonesia This study aims to describe the shift of the regional election system from the general election regime to the regional district regime. The shift has an impact on the tranfer of authority to resolve disputes from Constitutional Court to Supreme Court as a consequence of the Constitutional Court Decision Number 97/PUU-XI/2013. The decision implied to the regional election system (Pilkada) which was in the electoral regime moved to the regional government regime, after the ruling mandated the establishment of a special election court under the authority of the Supreme Court. This research uses a normative juridical approach by analyzing law documents. The research concluded that although adjudicating of regional election disputes was no longer under the jurisdiction of the Constitutional Court, but the Court still adjudicate election disputes until a special court was formed. In addition to adjudicating disputes over results, the Election Special Court can also adjudicate election disputes related to process, administrative, criminal disputes including hearing about election fraud and corrupt campaign practice. Pilkada dispute resolution system is done through one roof, so there is no overlapping of decisions as has happened so far.