Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Sawen: Proteksi Teritori Lembur pada Permukiman Adat Kampung Gede Ciptagelar diana wahyu pratiwi; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Kampung Gede Ciptegelar merupakan pusat pemerintahan kasepuhan komunitas Pancer-Pangawinan terkini yang selanjutnya disebut sebagai Kasepuhan Ciptagelar. Komunitas Pancer-Pangawinan sendiri telah hadir lebih dari 350 tahun lalu dan berdiaspora di wilayah Pegunungan Kendeng Banten dan Jawa Barat dalam teritori (a) leuweng; terdiri dari tutupan, titipan, dan garapan dan (b) perkampungan; terdiri dari kampung gede, lembur dan tari kolot yang berada dalam wewengkon adat. Secara berkala mereka memeriksa, memelihara, dan mempertahankan teritori tersebut. Dalam satu permukiman terdapat dua elemen lingkungan yang saling melengkapi, yaitu lingkungan agrikultur (garapan) dan lembur. Di sisi lain, Kasepuhan Ciptagelar merupakan masyarakat yang masih mempertahankan budaya padi hingga sekarang. Mereka menghormati dan menjadikan padi sebagai entitas suci yang harus dijaga yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat Komunitas Ciptagelar. Budaya padi juga mempengaruhi cara mereka menata permukimannya. Bagaimana warga memproteksi: memeriksa, memelihara, dan mempertahankan wilayah permukimannya dalam konteks budaya padi? Terdapat satu ritual prah-prahan yang diselenggarakan masyarakat secara berkala dalam menjaga permukimannya. Banyak elemen-elemen vegetatif yang digunakan dan dijadikan sebagai media sawen (protektor). Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu eksploratif dan deskriptif. Pertama, mengidentifikasi teritori permukiman dari aspek lingkungan lembur pada Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar berdasarkan penempatan sawen lembur. Kedua, memahami cara masyarakat memproteksi lingkungan lembur berdasarkan ritual prah-prahan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif- deduktif dalam paradigma rasionalistik. Penelitian ini menggunakan strategi observasi lapangan. Responden ditentukan berdasarkan proses maksimalisasi informasi atas siapa yang memiliki pengetahuan terhadap subyek penelitian sehingga merupakan seseorang yang unik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) berdasakan penempatan sawen lembur, wilayah atau teritori spasial lingkungan lembur yang perlu diproteksi adalah akses/jalan menuju permukiman; (2) berdasarkan ritual prah-prahan, aktivitas memproteksi merupakan kegiatan menurunkan berkah Yang Maha Kuasa untuk keselamatan permukiman atau lembur. Kata kunci: budaya padi, prah-prahan, proteksi, sawen lembur, teritori.
Peran Kunjungan Ziarah terhadap Place Attachment di Makam Bung Karno Jundi Muhamad sidiq abdillah; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ziarah di Makam Bung Karno termasuk dalam kegiatan wisata religi di Kota Blitar yang melibatkan pengunjung dari wisatawan nusantara maupun mancanegara. Pengunjung Makam Bung Karno berdatangan dengan motivasinya yang beragam. Antusiasme pengunjung yang datang menunjukan bahwa adanya relasi pengunjung-tempat. relasi tersebut terjadi hingga membentuk place attachment. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana peran kegiatan ziarah terhadap place attachment di Makam Bung Karno. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan penalaran induktif melalui observasi, wawancara dan fotografi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, peran kunjungan ziarah terhadap place attachment di Makam Bung Karno adalah sebagai pembentuk. Place attachment yang dibentuk adalah melalui (1). Aspek perilaku, dan (2). Aspek waktu. Aspek perilaku berupa kebutuhan dan keinginan ziarah yang dilakukan bersama-sama, sedangkan aspek waktu berupa komitmen keberlanjutan kunjungan diwaktu yang akan datang. Sebagai sebuah tempat, fasilitas ziarah yang dilakukan pengunjung di Makam Bung Karno mampu mendorong terbentuknya ikatan tempat.Kata kunci: keberlanjutan, Keterikatan tempat, Wisata, Ziarah,
Pengaruh Huma-Sawah dan Leuit terhadap Tumbuh-Kembang Permukiman Adat Kasepuhan Ciptagelar Rahayu Putri Pratiwi; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kasepuhan Ciptagelar merupakan permukiman adat di mana masyarakat memiliki sistem kepercayaan terhadap padi dan telah melahirkan budaya padi. Budaya padi yang masih melekat dalam jati diri masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yaitu budaya padi huma dan padi sawah. Hal ini menunjukkan bahwa huma-sawah memiliki keterikatan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Budaya padi huma datang lebih awal ke dalam lingkungan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sehingga menjadikan kehadiran padi huma lebih di utamakan namun tidak melepas kehadiran padi sawah seperti pada upacara ngadiekeun. Upacara ngadieukeun merupakan puncak ritual rangkai budaya padi di mana memiliki prasyarat dan syarat harus hadirnya dua pasang entitas budaya padi yaitu padi huma dan padi sawah. Hadirnya sepasang padi huma dan padi sawah secara bersama-sama dalam upacara ngadiukeun berada di dalam leuit sehingga leuit menjadi wadah aktivitas budaya. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa leuit terus mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan leuit diakibat oleh surplus hasil produksi padi sawah. Kehadiran leuit jika dilihat dari sudut pandang leuit sebagai wadah aktivitas budaya dalam upacara ngadiukeun menunjukkan bahwa leuit memiliki keterikatan yang kuat dengan padi huma di mana kehadiran padi huma sebagai prasyarat dalam ngadiukeun namun dalam pertumbuhan leuit tidak bergantung dengan kehadiran padi huma. Hal ini terbalik dengan hubungan leuit terhadap padi sawah di mana padi sawah hanya sebagai syarat ngadiukeun didalam leuit tetapi pertumbuhan leuit sangat bergantung dengan padi sawah. Pertumbuhan leuit dalam lingkungan permukiman ini dapat menyebabkan adanya suatu perkembangan sehingga memperlihatkan tumbuhkembang permukiman. Dengan demikian, penelitihan ini berujuan untuk : (1) mengetahui gambaran secara umum tentang kondisi hubungan huma-sawah dan leuit terhadap proses tumbuh-kembang permukiman Adat kasepuhan Ciptagelar; (2) menyediakan sebuah detail gambaran yang akurat berkaitan dengan pengaruh huma-sawah dan leuit terhadap proses tumbuh-kembang permukiman Adat Kasepuhan Ciptagelar. Metode yang digunakan yaitu kualtatif-deduktif dengan paradigma rasionalistik. Hasil penelitihan ini menunjukkan bahwa proses tumbuhkembang permukiman di lihat dari pertumbuhan leuit yaitu bergerak ke arah indung di mana jika dilihat dari hubungan dan pengaruhnya memunculkan konsep diam – gerak – diam yang dihasilkan dari represntasi hubungan dan pengaruh huma-sawah dan leuit. Konsep tersebut memiliki arti memiliki arti yaitu yang diam adalah bergerak yang sebenarnya adalah diam.Kata kunci: budaya padi, tumbuh-kembang permukiman, permukiman adat, Kasepuhan Ciptagelar.
Tapak Jalak: Media Penyatu Ruang dalam Human Space pada Inisiasi Generasi Muda Kasepuhan Ciptagelar Syifa Najmi Mahira; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 10, No 1 (2022)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ruang adalah bagian penting dalam arsitektur. Ruang bersifat heterogen, ada ruang fisik dan ruang imajiner. Setiap kebudayaan mempunyai definisi khas mengenai ruang, begitu pula Kasepuhan Ciptagelar. Human Space merupakan salah satu ruang imajiner dalam Kasepuhan Ciptagelar. Pada ritual kelahiran, Human Space dapat ditemukan pada tapak jalak dalam ritual nurunkeun. Akan tetapi, makna dari tapak jalak tersebut belum diketahui. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-induktif aposteriori dengan paradigma partisipatoris serta menggunakan etnografi sebagai pendekatan penelitiannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna tapak jalak ritual kelahiran pada proses inisiasi generasi muda Kasepuhan Ciptagelar secara Human Space. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) dalam Human Space, tapak jalak menjadi media yang menyatukan ruang fisik dan imajiner di mana manusia menyatu dengan lingkungannya dan (2) inisiasi manusia sebagai pancer menjadi proses awal bagi anak yang dimulai ketika kaki anak diinjakkan pada titik tengah dari tapak jalak, saat itulah terjadi proses vertikal di mana anak dibawa dari ruang fisik menuju ruang imajiner untuk memperkenalkan dirinya pada alam semesta.
Sakuren dan Paparakoan : Konsep Ruang Perempuan pada Masyarakat Budaya Padi Kasepuhan Ciptagelar Teva Delani Rahman; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kasepuhan Ciptagelar merupakan salah satu permukiman adat Sunda di Indonesia yang sampai sekarang masih mempertahankan nilai kepercayaan dan religi dari budaya padi (rice culture). Sebagai masyarakat berbudaya padi yang kuat, segala bentuk aktivitas utama masyarakat Ciptagelar berpusat pada padi dan disertai dengan ritual. Aktivitas ritual terhadap padi diperjalankan dari lingkungan agrikultur (huma-sawah) hingga ke area domestik. Dalam aktivitas rutin dan ritual sepanjang satu siklus budaya padi pada ruang domestik di Kasepuhan Ciptagelar, eksistensi perempuan sangat dominan. Dengan demikian terbangun preposisi bahwa semua ruang yang terkait dengannya akan terbangun menjadi ruang perempuan saat aktivitas tersebut berlangsung. Aspek apa saja yang mendasari dan bagaimana proses terbentuknya ruang perempuan pada masyarakat budaya padi Kasepuhan Ciptagelar? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-induktif dengan pendekatan eksploratif-deskriptif dan menggunakan paradigma partisipatoris. Hasil yang ditemukan adalah bahwa Sakuren dan Paparakoan menjadi konsep yang membentuk ruang perempuan pada masyarakat budaya padi Kasepuhan Ciptagelar. Ruang perempuan terbentuk ketika perempuan mengambil padi di leuit, menumbuk di saung lisung, menyimpan dan mengambil beras di pangdaringan, dan menanak nasi di goah.Kata kunci: jender, konsep ruang, rice culture, ruang perempuan
Sakuren: Konsep Spasial Sebagai Prasyarat Keselamatan Masyarakat Keselamatan Masyarakat Budaya Padi di Kasepuhan Ciptagelar Susilo Kusdiwanggo; Jakob Sumardjo
PANGGUNG Vol 26, No 3 (2016): Visualisasi Nilai, Konsep, Narasi, Reputasi Seni Rupa dan Seni Pertunjukan
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (527.672 KB) | DOI: 10.26742/panggung.v26i3.194

Abstract

ABSTRACTIn the rice culture of KasepuhanCiptagelar society, life will emerge after sakuren brought together (pangawinan). Life is not static, but dynamic and cyclical. Sakuren should be sought through the ngalasuwung, that is a process of ritual activity. Ngalasuwung performed through pattern of space motion katuhu or kenca. Goal of ngalasuwung is to achieve a suwung. The process of ngalasuwung does not cease after the reality of sakuren found. Reality of sakuren remains to be mated (pangawinan) in suwung space. Aim of pangawinan is obtain pancer. Through an ethnographic approach, sakuren cultural theme as a result of a domain analysis, studied simultaneously with taxonomic analysis and elaborated with thick description. Comprehensive studies show that sakuren is an existential meaning which should be pursued and a prerequisite for obtaining safety and sustainability.Keywords: KasepuhanCiptagelar, pangawinan, pancer, sakurenABSTRAKDalam budaya padi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, kehidupan akan muncul setelah sakuren dipertemukan. Kehidupan tidak bersifat statis, melainkan dinamis dan siklis. Sakuren adalah konsep sepasang. Sakuren harus dicari melalui proses ngalasuwung, yaitu sebuah proses aktivitas ritual. Ngalasuwung dilakukan dengan dengan pola gerak ruang katuhu atau kenca. Tujuan ngalasuwung adalah mencapai ruang suwung. Proses ngalasuwung tidak berhenti setelah realitas sakuren ditemukan. Realitas sakuren masih harus dikawinkan dalam ruang suwung. Tujuan pangawinan adalah memperoleh pancer (keselamatan). Melalui pendekatan etnografi, tema kultural sakuren sebagai hasil dari analisis domain, dikaji secara simultan dengan analisis taksonomi dan dielaborasi dengan thick description. Kajian komprehensif menunjukkan bahwa sakuren merupakan makna eksistensial yang harus diupayakan dan menjadi prasyarat untuk memperoleh keselamatan dan keberlanjutan hidup masyarakat budaya padi Ciptagelar.Kata Kunci :Kasepuhan Ciptagelar, pangawinan, pancer, sakuren 
Relasi, Ruang, Waktu dan Tipologi Bedawang nala Made Aries Hartadijaya; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol. 10 No. 4 (2022): Jurnal Mahasiswa Arsitektur
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Relasi, Ruang, Waktu dan Tipologi Bedawang nala Made Aries Hartadijaya1 dan Susilo Kusdiwanggo2 1 Mahasiswa Program Sarjana Arsitektur, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya 2 Dosen Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Alamat Email penulis: arieshartadi@student.ub.ac.id; kusdiwanggo@ub.ac.id ABSTRAK Arsitektur memiliki relasi fisik dan metafisik berbentuk artefak, konsep dan olahan fungsi berupa ruang. Bedawang nala merupakan entitas yang hadir dalam setiap kehidupan masyarakat Hindu ditemukan pada padmasana dan bade, sarana upacara ngaben. Realitas konsep padma digunakan untuk persembahyangan, digunakan juga aktivitas ritual kematian. Secara harafiah, bedawang nala adalah makhluk mitologi dalam kosmologi alam semesta, wahana sebuah Mandhara Giri. Realitas dalam kehidupan nyata dikaitkan dengan tragedi bencana alam vulkanik, gempa dan tsunami. Bedawang nala bukan sekedar ornamen, berada di dalam bangunan suci, juga hadir bersama entitas profan. Puncak gunung Mandhara Giri merupakan swah-loka diwujudkan sebagai realitas rong atau stana dan bedawang nala merupakan representasi bhur-loka. Puncak Mandhara Giri dipercaya oleh masyarakat Bali sebagai ruang terhadap entitas metafisik. Bedawang nala berorientasi kepada manifestasi Tuhan yang digunakan di dalam upacara kematian. Masyarakat Bali mengenal konsep rwabhinneda, selain tri-hitakarana dan tri-loka. Melihat konsep rwabhinneda sebagai bentuk paradoks pada entitas bedawang nala. Bagaimana relasi bedawang nala sebagai kosmologi ruang dengan eksistensi rwabhinneda pada realitas sekala-niskala. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kebenaran bedawang nala dalam lingkup arsitektur. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan paradigma induktif dan strategi etnografi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, bedawang nala merupakan reaktualisasi kosmogoni, mempersyaratkan kehadiran rwa-rwabhinneda, dan membentuk syarat mutlak pada realitas fisik. Kata Kunci : bedawang nala, rwabhinneda, sekala-niskala, paradoks, kosmogoni. ABSTRACT Architecture has physical and metaphysical relations in the form of artifacts, concepts and processed functions in the form of space. Bedawang nala is an entity that is present in every life of the Hindu community and is found in padmasana and bade, the means of the cremation ceremony. The reality of the padma is used for prayers, also used for death ritual activities. Literally, Bedawang Nala is a mythological creature in the cosmology of the universe, a vehicle for a Mandhara Giri. Reality in real life is associated with the tragedy of volcanic natural disasters, earthquakes and tsunamis. Bedawang nala is not just an ornament, it is in a sacred building, it is also present with profane entities. The peak of Mount Mandhara Giri is swah-loka embodied as the reality of rong or stana and Bedawang Nala is a representation of bhur-loka. The peak of Mandhara Giri is believed by the Balinese as a space for metaphysical entities. Bedawang nala is oriented towards the manifestation of God which is used in death ceremonies. Balinese people know the concept of rwabhinneda, apart from tri-hitakarana and tri-loka. Seeing the concept of rwabhinneda as a form of paradox in the bedawang nala entity. How is the relation, Bedawang Nala as cosmology of space with the existence of rwabhinneda in scale-niskala ? This study aims to identify the truth of Bedawang Nala in the scope of architecture. This research was conducted qualitatively with an inductive paradigm and an ethnographic strategy. The results of this study indicate that bedawang nala is a cosmogonic re-actualization, requiring the presence of rwa-rwabhinneda, and forming absolute requirements for physical reality. Keywords : bedawang nala, rwabhinneda, sekala-niskala, paradox, cosmogony.
Boeh: Elemen Busana Penentu Hierarki Ruang Perempuan pada Masyarakat Budaya Padi Kasepuhan Ciptagelar Puji Astutik; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol. 9 No. 3 (2020): JLBI
Publisher : Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32315/jlbi.v9i3.105

Abstract

Ketika berinteraksi dengan padi dan turunannya, masyarakat budaya padi (padi culture) Kasepuhan Ciptagelar selalu mengelola secara ritual dalam satu siklus yang terus berulang. Terdapat relasi signifikan antara waktu, pelaku dan aktivitas memperjalankan padi. Urutan konstelasi ini menghadirkan teritori dan ruang yang baik secara fisik maupun metafisik bagi laki-laki dan perempuan. Ruang perempuan hadir pada saat ritual padi dilaksanakan. Kehadirannya dikenali secara langsung dari busananya. Boeh, elemen busana dari relasi sakuren domain budaya busana menandakan pemakainya sebagai pemimpin ritual sekaligus entitas ke-3 dari relasi sakuren. Setiap realitas menunjukan hierarki ruang perempuan yang berjenjang. Dengan menggunakan metode kualitatif-eksplanatif melalui paradigma empiris, dengan hipotesis penelitian. Penelitian antropologi-arsitektur ini bertujuan untuk menguji teori domain budaya busana yang dipakai pada saat ritual sebagai penentu hierarki ruang perempuan. Hasil penelitian membuktikan dan memperkuat hipotesis, bahwa domain budaya busana yang menghadirkan boeh pada perempuan saat ritual menunjukan hierarki tertinggi dari ruang perempuan.
Strategi Adaptasi Model Rumah Panggung Permukiman Tepi Sungai Musi Palembang Bambang Wicaksono; Widya Fransiska Febriati Anwar; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol. 9 No. 3 (2020): JLBI
Publisher : Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32315/jlbi.v9i3.109

Abstract

Bentuk eksistensi rumah di tepi sungai Musi berupa rumah-rumah panggung. Perkembangan rumah panggung tepi Sungai Musi di pengaruhi peranan eksistensi sungai Musi. Pilihan membangun rumah panggung merupakan bentuk adaptasi masyarakat yang tinggal dan menetap pada permukimannya. Berbagai strategi adaptasi oleh masyarakat tidak terlepas dari kondisi tanah dan kondisi geografi sungai Musi yang selalu tergenang air. Ketinggian tiang rumah tersebut merupakan salah satu strategi adaptasi terhadap pasang-surut air sungai Musi pada musim hujan. Kondisi sungai Musi mengalami perubahan oleh geografi sungai cenderung membuat masyarakat berupaya mengatur kondisi tersebut (Adjustment) agar dapat memenuhi kebutuhan penghidupannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya dari kecenderungan masyararakat permukiman tepi sungai Musi dalam beradaptasi dengan lingkungan yang di atur oleh alam dan upaya merubah lingkungan sebagai cara mempertahankan lingkungan permukiman. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapangan, wawancara mendalam, dan studi literatur. Analisis dilakukan secara kualitatif pada variabel bangunan, masyarakat, dan produk dari identifikasi permukiman tepi sungai. Hasilnya menunjukkan bahwa rumah di tepi sungai mengalami perubahan fisik pada bangunan, baik dari segi fungsi maupun bahan bangunan.
Perubahan Orientasi Permukiman Tepi Sungai sebagai Pengaruh Eksistensi Sungai Musi Palembang Bambang Wicaksono; Ari Siswanto; Susilo Kusdiwanggo; Widya Fransiska Febriati Anwar
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol. 8 No. 3 (2019): JLBI
Publisher : Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32315/jlbi.v9i3.126

Abstract

Eksistensi Sungai Musi pada awalnya menjadi orientasi bangunan rumah yang menghadap ke sungai. Ruang air mulai di persempit dengan kehadiran bangunan baru yang menempati area diatas lahan yang tertutup air. Perubahan budaya sungai ke darat berpengaruh kepada kehadiran bangunan baik yang lama maupun yang baru. Hal ini menyebabkan hilangnya potensi lokal dan identitas arsitektur lokal dan berakibat hilangnya eksistensi sungai tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh eksistensi sungai Musi dalam perubahan orientasi permukiam tepi sungai dari ruang air ke ruang darat. Untuk mencapai tujuan tersebut, studi mengidentifikasi jejak arsitektur permukiman, mengekplorasi aktivitas dan gagasan masyarakat tepian sungai. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapangan, wawancara mendalam, dan studi pustaka. Analisis dilakukan secara kualitattif terhadap variabel, orientasi, posisi, bentuk, dan tata letak hunian tepi sungai. Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tepian sungai yang dibangun pada area aliran anak sungai masih memiliki orientasi ke sungai. Sedangkan rumah yang dibangun pada area yang dekat dengan jalan bergeser lebih orientasi ke darat. Studi menyimpulkan bahwa Perubahan orientasi permukiman tepian sungai disebabkan oleh perubahan eksistensi Sungai Musi Palembang.