Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

Membaca Hierarki Ruang Perempuan pada Masyarakat Budaya Padi Kasepuhan Ciptagelar melalui Boeh Puji Astutik; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Nusantara merupakan wujud dari keberagaman budaya, salah satu budaya yang menunjukan jati diri bangsa Indonesia adalah budaya padi (padi culture) yang dipegang teguh oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Segala aktivitas yang berkaitan dengan padi dan turunannya diperjalankan dengan ritual. Dalam ritual terdapat ruang khusus perempuan yang ditandai oleh busana yang dipakai perempuan. Busana merupakan salah satu media yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Dalam penelitian ini busana sebagai prasyarat ritual. Busana putih merupakan domain budaya busana yang wajib dipakai ketika melaksanakan ritual yang melakukan kontak langsung dengan pencipta melalui karuhun. Boeh yang dipakai oleh pemimpin ritual di atas kepala menunjukan kehadiran ruang perempuan dan hierarkinya. Penciptaan struktur ruang perempuan tidak terlepas dari konsep sakuren atau fenomena sepasang yang merupakan dasar falsafah masyarakat. Implementasi sakuren pada ruang perempuan berjalan secara koeksistensi sebagai dualisme harmoni. Setiap entitas dalam relasi sakuren memiliki kualitas busana yang berbeda. Kualitas busana inilah yang menunjukan derajat sebuah ritual dan hierarki ruang perempuan. Untuk menemukan relasi sakuren dari domain budaya busana dengan hierarki ruang perempuan, penelitian ini menggunakan metode kualitatif-eksplanatif dengan paradigma empiris. Hasil penelitian menunjukan bahwa setiap derajat ritual memiliki ketentuan khusus kualitas busana yang dipakai. Kualitas busana yang menghadirkan boeh pada perempuan adalah hierarki tertinggi ruang perempuan. Terbuktinya implementasi sakuren dalam ruang perempuan yang ditinjau dari domain budaya busana yang menentukan hierarki ruang perempuan, maka penelitian ini mampu memperkuat hipotesis yang diujikan dari penelitian terdahulu.
Membaca Ruang Kosmologi dalam Sumbu Orientasi Sakuren antara Indung-Pangawasa di Kasepuhan Ciptagelar Youla Ela Kafila; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 9, No 3 (2021)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Masyarakat Adat Pancer-Pangawinan Kasepuhan Ciptagelar adalah salah satu masyarakat adat yang masih memegang teguh budaya padi (padi-culture), di mana konsep pasangan dualisme-harmoni. Sakuren hadir sebagai salah satu rujukan konsep kehidupan masyarkat adat Pancer-Pangawinan Kasepuhan Ciptagelar. Konsep sakuren menjadi kritik atas konsep dualisme-antagonistis yang selama ini diidentikkan sebagai konsep sepasang yang saling berlawanan. Pada kenyataanya sakuren hadir sebagai konsep sepasang yang berdampingan, melengkapi, dan mengada. Setiap entitas akan memperkuat entitas lainnya. Terdapat beberapa pasangan sakuren di Kasepuhan Ciptagelar, antara lain adalah sumbu orientasi indung-pangawasa dan bapa-cahaya. Di setiap pasang sumbu orientasi sakuren tersebut memuat sarat makna ruang kosmologis. Dari dua sumbu orientasi tersebut, penelitian ini membatasi pada sumbu orientasi indung-pangawasa. Dengan menggunakan entitas padi sebagai acuan utama, bagaimana relung ruang kosmologi yang terjadi di antara sumbu orientasi indung-pangawasa? Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi makna ruang kosmologi di sepanjang kisah perjalanan sumbu indung ke pangawasa. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-eksploratif yang bersandar pada pengetahuan aposteriori. Dengan pendekatan etnografi melalui paradigma induktif, makna dibahas secara diakronik. Hasil penelitian ini menujukan bahwa sakuren memiliki makna ruang kosmologi yang terikat erat pada konstanta waktu-ruang. Ruang bergantung pada waktu. Selama proses memahami akan muncul relasi antara waktu-ruang. Relasi itu mengahasilkan makna taksa.
Soundmark: Relasi Soundscape dan Karawitan pada Konsep Pembentuk Ruang Muhammad Sa'dan Fauzi; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 7, No 4 (2019)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Shadow puppet is the result of the manifestation of Javanese people's knowledge. Karawitan is the sound medium of puppet performance art. Karawitan functions as a shaper of the atmosphere of the shadow puppet show. Space is not only formed by physical factors, but can also be formed by non-physical factors. These non-physical factors usually form not only space, but the meaning and spirit of space are also created at the first time. It-is-important to capture the whole meaning of a space or architectural formations not only with the sense of sight, not just a matter of dimensions. This study aims to answer the question of the relationship formed between soundscape and karawitan pakeliran on the spatial concept. This research is a qualitative research with a meta-analysis strategy. Soundscape is an environmental sound in the form of scenery. Soundmark comes from the landmark, means a sound that is considered unique and is a marker for an area. The sound produced by karawitan can be said as a soundmark. If the karawitan pakeliran can be classified as soundmarks, then the atmosphere formed in the shadow puppet performance can be said to be a manifestation of soundscape.
Konsep Ruang pada Rumah Abu Keluarga Han berdasar pada Konsep Jìngzǔ dan Feng Shui Rizka Desi Kuntari; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Rumah Abu Keluarga Han merupakan salah satu peninggalan sejarah tertua yang berada pada Chineseche Voorstraat (sekarang Jalan Karet) di Surabaya. Rumah tersebut dibangun atas kepercayaan jìngzǔ, yaitu penghormatan kepada arwah leluhur. Serangkaian prosesi sembahyang yang terjadi pada beberapa ruang di rumah Abu Keluarga Han masih terjaga hingga saat ini. Selain untuk sembahyang, rumah tersebut juga dahulunya difungsikan sebagai tempat tinggal sementara bagi keluarga Han yang baru tiba dari Cina. Perbedaan aktivitas yang terjadi di dalam rumah tersebut membuat penelitian lebih lanjut perlu dilakukan. Bagaimana konsep ruang terbentuk? Bagaimana ruang pada rumah tersebut dapat terbentuk? Bagaimana pengaruh kepercayaan jìngzǔ pada ruang di rumah tersebut? Bagaimana pemisahan fungsi ruang antara aktivitas sembahyang dan aktivitas tinggal yang terjadi di dalam rumah tersebut? Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mencari bagaimana konsep ruang pada Rumah Abu Keluarga Han. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif-induktif dengan pendekatan nauralistik. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa konsep ruang pada Rumah Abu Keluarga Han sangat erat kaitannya dengan konsep Jìngzǔ dan Feng Shui. Konsep Jìngzǔ atau penghormatan kepada leluhur menjadi dasar terbentuknya ruang sedangkan konsep Feng Shui yang bersumber pada kosmologi, Yin-yang, Wu Hsing, serta Element Production & Destruction Cycles menjadi dasar bentuk, tata ruang, orientasi, arah hadap, dan tata letak hingga akhirnya membentuk konsep ruang.
Membaca Makna Monumen Melati Bagi Generasi Milenial di Kota Malang Fahrizal Zamrasuly Noor; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 7, No 4 (2019)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK  Monumen memiliki keterkaitan dengan sejarah suatu peristiwa dibalik terbentuknya suatu kota. Dibeberapa kota, sang perancang monumen memang bermaksud untuk menyimpan kenangan serta spirit juang dari peristiwa perjuangan yang terjadi sesuai letak terjadinya peristiwa tersebut. Hal serupa pun terjadi pada monumen Melati di kota Malang. Salah satu peristiwa di kota Malang yang diceritakan oleh monumen tersebut tentang perjuangan perebutan Malang dari kekuasaan penjajah. Secara singkat, monumen Melati menceritakan tentang sekolah kadet yang menjadi asal muasal TNI. Penceritaan dari monumen Melati semakin tertutup tanpa adanya suatu informasi yang tertulis secara rinci di sekitar kawasan monumen. Serta dengan bentuknya yang monumental, masyarakat sering menggunakan monumen hanya sekedar tetenger. Dalam era sekarang yang didominasi oleh generasi milenial,  apakah generasi tersebut memaknai monumen Melati dengan makna yang telah sesuai dengan yang dimaksud oleh perancang tanpa adanya informasi penunjang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif untuk menggali pernyataan-pernyataan responden sebagai tanda bahwa mereka telah membaca monumen dan dianalisis menggunakan teori dari Genette dan Barthes. Hasil penelitian ini dapat menunjukkan pemaknaan monumen Melati dari sudut pandang generasi milenial dan keterkaitan antar dua teori yang digunakan  Kata kunci: Monumen, Makna, Genette, Barthes
Makna Ruang Sakral GPIB Im manuel di Kota Malang Apriani Siahaan; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 5, No 4 (2017)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (749.571 KB)

Abstract

Gereja merupakan sebuah bangunan yang di dalamnya memiliki banyak ruangan dengan fungsi berbeda, seperti ruang ibadah, kantor pengelola, ruang rapat, ruang arsip, hunian bagi pendeta, dsb. Sebuah ruang ibadah pada sebuah gereja merupakan sebuah area yang memiliki tingkat kesaralan yang sangat tinggi dibandingkan dengan ruang yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu makna ruang ibadah, di mana sebuah makna berpengaruh terhadap kesakralan suatu ibadah atau liturgi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan rancangan penelitian berupa studi kasus. Penelitian juga menggunakan semiotika Roland Barthes terhadap culture background yang dimiliki responden. Pada ruang ibadah GPIB Immanuel Malang, memiliki makna megah, nyaman, khusyuk, teduh, klasik, unik pada rangka atap, membius serta liturgi, di mana hal tersebut dipengaruhi oleh latar belakang usia serta latar budaya. Pengaruh culture background responden yang memiliki pengaruh yang signifikan dibandingkan dengan pengaruh culture background lainnya yakni usia dan latar budaya. Di mana pada hasil penelitian diketahui bahwa usia yang dimaksud lebih ditekankan pada usia produktif. Dengan demikian makna ruang ibadah tercipta oleh jemaat yang memiliki usia produktif yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, sehingga bagi jemaat dengan usia yang tidak produktif tidak menutup kemungkinan memiliki makna lain akan makna ruang ibadah.Kata kunci: Makna, Ruang Ibadah, Semiotika Roland Barthes, Latar Budaya.
Membaca Hierarki Ruang Perempuan pada Masyarakat Budaya Padi Kasepuhan Ciptagelar melalui Boeh Puji Astutik; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Nusantara merupakan wujud dari keberagaman budaya, salah satu budaya yang menunjukan jati diri bangsa Indonesia adalah budaya padi (padi culture) yang dipegang teguh oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Segala aktivitas yang berkaitan dengan padi dan turunannya diperjalankan dengan ritual. Dalam ritual terdapat ruang khusus perempuan yang ditandai oleh busana yang dipakai perempuan. Busana merupakan salah satu media yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Dalam penelitian ini busana sebagai prasyarat ritual. Busana putih merupakan domain budaya busana yang wajib dipakai ketika melaksanakan ritual yang melakukan kontak langsung dengan pencipta melalui karuhun. Boeh yang dipakai oleh pemimpin ritual di atas kepala menunjukan kehadiran ruang perempuan dan hierarkinya. Penciptaan struktur ruang perempuan tidak terlepas dari konsep sakuren atau fenomena sepasang yang merupakan dasar falsafah masyarakat. Implementasi sakuren pada ruang perempuan berjalan secara koeksistensi sebagai dualisme harmoni. Setiap entitas dalam relasi sakuren memiliki kualitas busana yang berbeda. Kualitas busana inilah yang menunjukan derajat sebuah ritual dan hierarki ruang perempuan. Untuk menemukan relasi sakuren dari domain budaya busana dengan hierarki ruang perempuan, penelitian ini menggunakan metode kualitatif-eksplanatif dengan paradigma empiris. Hasil penelitian menunjukan bahwa setiap derajat ritual memiliki ketentuan khusus kualitas busana yang dipakai. Kualitas busana yang menghadirkan boeh pada perempuan adalah hierarki tertinggi ruang perempuan. Terbuktinya implementasi sakuren dalam ruang perempuan yang ditinjau dari domain budaya busana yang menentukan hierarki ruang perempuan, maka penelitian ini mampu memperkuat hipotesis yang diujikan dari penelitian terdahulu.
KAJIAN RUANG KOMUNAL PADA IMAH GEDE DALAM KOMUNITAS BUDAYA PADI DI KAMPUNG GEDE CIPTAGELAR Dinny Rahmaningrum; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Komunitas Ciptagelar merupakan komunitas adat berbasis budaya padi yang mempercayai entitas padi memiliki jiwa layaknya manusia. Komunitas adat identik dengan kegiatan bersama secara berulang dari generasi ke generasi sehingga kebutuhan ruang komunal menjadi wajib dalam setiap ritual baik di luar maupun di dalam bangunan. Imah Gede merupakan fasilitas terjadinya ruang komunal di dalam bangunan. Imah Gede terdiri dari beberapa fungsi dan ruang, antara lain goah, pangcalikan dan Tihang Awi yang merupakan kesatuan bangunan adat. Penelitian ini berfokus pada goah Imah Gede yang cenderung membentuk ruang komunal dalam satuan waktu yang berbeda-beda. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi peran goah Imah Gede dan mendeskripsikan interaksi yang terjadi dari setiap elemen pembentuk ruang. Data dihimpun berdasarkan maksimalisasi informasi dari responden dan keyperson dengan metode etnografi dan paradigma partisipatoris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, ruang komunal dalam Imah Gede terbentuk berdasarkan beberapa faktor, yaitu (a) dasar kepercayaan; (b) tipologi ruang; (c) personal space; (d) latar belakang interaksi; (e) kedudukan gender; (f) rutin dan ritual; (g) kinship. Kedua, interaksi yang mendasari terbentuknya ruang komunal berdasarkan titipan adat yang diamanahkan, sehingga terbentuk ruang komunal petugas dapur dan tamu. Interaksi ini unik karena selain interaksi secara fisik, terdapat pula interaksi-senyap pada peristiwa nyangu-nganyaran. Kata kunci: Budaya padi, Ciptagelar, goah, Imah Gede, ruang komunal. ABSTRACT Ciptagelar community is indigenous community based on paddy culture that believes paddy entity has soul like human. Indigenous communities are identical with repeated activities from generation to generation becomes mandatory both outside and inside building. Imah Gede is a facility for communal space inside building. Imah Gede consist of several function and spaces, such as goah, pangcalikan, and Tihang Awi which are the unity of traditional building. This research focuses on goah Imah Gede cave which tends to form communal spaces in different periods. The aim of the research is to identify the role of Goah Imah gede and describe interactions from element forming space. Data collected based on maximizing information from respondents and keyperson with ethnographic methods and participatory paradigms. The result indicate that; first communal space in goah Imah gede made based on saveral factors, (a) fundamental belief; (b) space typology; (c) personal space; (d) background interaction; (e) gender position; (f) routine and ritual; (g) kinship. Second, interaction that influence the making of communal space based on mandated costumary land, thus forming a communal space for kitchen staff and guests. This interaction is unique because in addition to interaction physically, there is also a quiet interaction in nyangunganyaran. Keywords: : Imah Gede, communal space, rice culture, Ciptagelar.
Toponimi “Madura” Berdasarkan Perspektif Spasial Arsitektur Nabila Kartika; Susilo Kusdiwanggo
Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Manusia dan lingkungannya merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan semenjak hadirnya manusia di permukaan bumi. Nama-nama daerah ini beragam dan memiliki latar belakang tertentu. Arsitektur sebagai salah satu produk budaya menyimpan serangkaian jejak peradaban dalam bentuk konsep dan artefak. Jejak peradaban tersebut antara lain berupa arsitektur yang dituangkan dalam bentuk linguistik (berupa teks). Toponimi suatu daerah merupakan identitas yang membedakannya dengan daerah lain, karena toponimi merupakan hasil kebudayaan masyarakat di suatu daerah yang bersumber dari hubungan timbal baliknya dengan lingkungan di sekitarnya, baik aspek fisik maupun nonfisik. Madura salah satunya. Penelitian ini bertujuan yaitu mengidentifikasi nama desa di wilayah Madura secara toponimi dan menelusuri kaitan antara nama desa dengan konsep spasial. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif-kualitatif dengan strategi segmented dan coding dari nama-nama desa di wilayah Madura dengan perangkat lunak JMP (Dibaca Jump). Pengkodean ditentukan berdasarkan proses analisis kuantitatif yang masuk dalam siginificant value dan hasil dari analisis dijelaskan secara kualitatif.
Pengaruh Petuah bobeto Terhadap Kearifan Setempat Kampung Kalaodi, Kota Tidore Kepulauan Ichsan Sukarno Teng; Agung Murti Nugroho; Susilo Kusdiwanggo
RUAS Vol 19, No 2 (2021)
Publisher : RUAS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.ruas.2021.019.02.4

Abstract

Indigenous advice are one of the sources of local wisdom somewhere.  Local wisdom becomes an important issue in sustainable environmental control. This research aims to analyze and explain the local wisdom of Kalaodi Village, Tidore Islands City which is influenced by Bobeto indigenous advice.  The research method used is descriptive with the variables of village place, customary rules, collective memory and spatial system. The research procedure includes the stages: describing the topic of information related to advice and object selection; questioning matters related to advice through informants' memories; the decomposition of the information obtained becomes the focus of the problem; data collection and recording field data through observation and interviews; data analysis and writing the results. The results showed Bobeto indigenous advice to be the main factor influencing the local wisdom of Kalaodi Village, Tidore Islands City