Rina Herlina Haryanti
Universitas Sebelas Maret

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Pemerintahan Kolaboratif Sebagai Solusi Kasus Deforestasi di Pulau Kalimantan: Kajian Literatur Cahyoko Edi Tando; Sudarmo Sudarmo; Rina Herlina Haryanti
Jurnal Borneo Administrator Vol 15 No 3 (2019): Desember 2019
Publisher : Puslatbang KDOD Lembaga Administrasi Negara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (757.181 KB) | DOI: 10.24258/jba.v15i3.516

Abstract

Indonesia is a country with the largest biodiversityin the world. It has a rich forest both in land and the surface of the land, however the forest-related problemalso occurs in Indonesia. One of the largest islands in the world, namely Kalimantan Island has the largest forest distribution in Indonesia. In fact, it cannot be separated from deforestation issue for plantation, mining, and new residential areas reasons. If there is no monitoring, derforestation will produce increasingly severe forests damage, global climate change, and conservation of native animals in the forest. Collaborative governance is chosen as a means toovercomeg the problem of deforestation, and cooperate to other actors related to the community and jointly reducing this deforestation. Collaborative governance is considered capable to solve problem, especially from actors from the plantantion and mining business sector Further, the expected correlation is to be able to work together without being harmed. Keywords: Deforestation, Kalimantan Island, and Collaborative Governance Abstrak Indonesia merupakan negara dengan kenanekaragaman hayati terbesar di dunia, memiliki hutan yang kaya kandungan di dalam tanah maupun yang di permukaan tanah, namun permasalahan akan hutan pun tidak menutup bahwa juga terjadi di Indonesia, salah satu pulau terbesar di dunia yakni Pulau Kalimantan memiliki persebaran hutan terbesar di Indonenesia, tidak lepas dari deforestasi baik untuk alasan perkebunan, pertambangan, dan kawasan hunian baru. Deforestasi jika di biarkan terus menerus akan mengakibatkan kerusakan hutan yang semakin parah, perubahan iklim dunia, dan mengancam hewan asli yang ada di dalam hutan tersebut. Pemerintahan kolaboratif di pilih sebagai sarana untuk mengatasi permasalahan deforestasi ini bekerjasama dengan aktor lain yakni swasta dan masyarakat untuk bersama-sama mengurangi deforestasi ini. Pemerintahan kolaboratif dianggap mampu dalam menyelesaikan permasalahan terutama dari para aktor dari sektor usaha perkebunan maupun pertambangan, korelasi yang di harapkan adalah bisa saling bekerjasama tanpa ada yang dirugikan. Kata Kunci: Deforestasi, Pulau Kalimantan, dan Pemerintahan Kolaboratif
Glass Ceiling pada Pekerja Perempuan: Studi Literatur Ade Nuri Septiana; Rina Herlina Haryanti
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 12 No 1 (2023)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jish.v12i1.58384

Abstract

Partisipasi perempuan dalam posisi manajemen puncak yang masih rendah menyebabkan munculnya fenomena glass ceiling di lingkungan kerja. Perempuan masih mengalami hambatan transparan yang menyebabkan mereka kesulitan untuk menapaki jenjang karier strategis di perusahaan atau organisasi. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor penyebab dari glass ceiling, strategi yang perlu dilakukan dan kondisi pasca glass ceiling. Penelitian ini merupakan studi literatur tentang fenomena glass ceiling yang dialami oleh perempuan. Dengan menggunakan teknik traditional review (tidak sistematis) pada 10 jurnal internasional yang membahas topik terkait glass ceiling dari tahun 2019 sampai 2022. Hasil dari penelitian didapatkan bahwa terdapat berbagai macam faktor-faktor penyebab munculnya glass ceiling yang terjadi baik di sektor swasta dan publik. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor dari dalam diri perempuan, faktor dari perusahaan atau organisasi di mana perempuan bekerja, dan faktor preferensi. Oleh karena itu, dalam menghadapi glass ceiling perlu adanya strategi yang harus dilakukan untuk menghilangkan fenomena ini. Akan tetapi, meskipun perempuan sudah mampu menghilangkan glass ceiling. Mereka masih tetap mendapatkan tantangan lainnya seperti prasangka dan stereotip negatif, perlakuan diskriminasi, perasaan kesepian, dan peran ganda.
Menakar Kebijakan Ripley Dan Franklin Dalam Aksesibilitas Tempat Ibadah Bagi Penyandang Disabilitas Di Kota Surakarta : Studi Kasus Pada Lima Gereja Katolik Di Kota Surakarta Rina Herlina Haryanti; Dimas Sigit Prabowo
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 2 No. 2 (2022): November
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (286.423 KB) | DOI: 10.15642/sosyus.v2i2.206

Abstract

Kebebasan menjalankan ibadah dijamin Oleh Negara dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29, semua agama, tanpa terkecuali termasuk Agama Katolik. dan Gereja Katolik adalah tempat bagi seluruh umat katolik termasuk jemaatnya yang disabilitas untuk melaksanakan ibadahnya. Karenanya menjadi keharusan gereja untuk memenuhi kebutuhan jemaatnya. Dalam perspekstif administrasi negara konsep ini disebut sebagai aksesibilitas. Namun demikian fakta di Kota Surakarta menunjukkan belum banyak Gereja Katolik yang mengakomodasi kebutuhan jemaatnya yang disabilitas. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa aksesibilitas di lima gereja katolik di Kota Surakarta dengan menggunakan pendekatan kepatuhan kebijakan dari Rifley dan Franklin (1986) yang dielaborasi dengan dimensi aksesbilitas Thomas dan Penchansky (1981) dan diterjemahkan secara operasional melalui indikator-indikator sebagaimana tertuang dalam Peraturan Meneteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2017 Tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung. Metode penelitian menggunakan deskriptif kualitatif, data dikumpulkan melalui wawancara dan dokumentasi, triangulasi digunakan untuk memvalidasi hasil penelitian, dan data dianalisis dengan menggunakan interatif model analysis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lima gereja katolik di Kota Surakarta belum aksesibel untuk jemaat penyandang disabilitas.