Akhmad Nizam
Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

GAMBAR KACA, BERCERITA DALAM SATU SKENA Akhmad Nizam; Agung Wicaksono
Corak : Jurnal Seni Kriya Vol 3, No 2 (2014): NOVEMBER 2014
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (525.036 KB) | DOI: 10.24821/corak.v3i2.2355

Abstract

Painted glass has many various theme, forexamples Islamic calligraphy, mosque,biography of Nabi, buroq, legend, and wayangs. In fact, painted glass has important positioningin Indonesia visual art history. The technique of painted glass making is very unique because itis done on the back of mirror surface. The result of this technique is opposite, left parts willbecome right parts, first color will become frontiest color in glass surface. The quality of paintwill be covered in glass, so it is very good in durability. Painted glass can be protected bycoating on the back of glass surface.In the year of 70’s, many of Javanese traditional house are decorated by painted glass,but it decrease gradually. Recently, the painted glass is less because glass is fragile material,damaged with age, or sold to the art shop. Many people considered the old painted glass isoutdated, however today, painted glass becomes artwork media for modern artist. It is meansthat painted glass not a pheriperal artwork. At first glance that traditional painted glassappears made by ordinary people. It seem as a naïve form, wrong composition, andcontrasting color collide. View of mountain, wet rice field, house, and human being arecomposed as one scene pile, it is wrong in perspective law. And the right question, is that true?Painted glass similary wayang beber, relief of temple wall, drawing by childern, Balitraditional painting, is composed in one scene pile. Why the traditional artist do it? In westernperspective law it is really wrong. But this is the manner of traditional painting inIndonesia.Right or wrong in ordinary drawing low is not their purpose. Their approches is ideoplastis,meaning is more important than the visualization. Keyword: tradition, scene, painted glass  Gambar kaca memiliki beragam tema, seperti tema religi (kaligrafi, masjid, kisah Nabi,singa ajaib, (buroq), legenda (Joko Tarup, Syeh Dumbo, Untung Suropati, pengantin LoroBlonyo) dan bermacam-macam tema wayang. Sebenarnya gambar kaca memiliki kedudukanyang penting dalam sejarah perkembangan seni rupa Indonesia. Pembuatan gambar kacadilakukan secara terbalik, yaitu dari belakang, inilah uniknya. Bidang gambar sebelah kananakan menjadi sebelah kiri, begitu juga sebaliknya. Warna pertama yang ditorehkan akanmenjadi warna paling depan, karena berada dibelakang kaca kualitas warna cat terlindungi,sehingga tetap cemerlang dalam waktu yang lama. Gambar kaca juga memiliki kelemahan,setelah 50-60 tahun cat akan mengelupas, hal ini dapat diatasi dengan memberi lapisanpelindung dari belakang.Era 70-an gambar kaca ini masih banyak menghiasi rumah tradisional Jawa, tetapisekarang jarang sekali dijumpai. Hal ini dapat dimengerti karena bahan kaca mudah pecah dankondisinya sudah banyak yang rusak dimakan usia, atau dijual ke art shop karena alasanekonomi, dan gambar kaca tempo dulu dianggap sudah ketinggalan zaman. Anggapan ini tidaksepenuhnya benar, era sekarang ini karya seni dengan berbagai media dapat digunakansebagai sarana berekspresi. Media kaca dapat dimanfaatkan oleh perupa modern menjadikarya seni visual, artinya sudah saatnya seni gambar kaca tidak dianggap sebagai karyapinggiran. Sekilas tampak bahwa gambar kaca tradisional dibuat oleh mereka yang tidakmengetahui seni. Bentuknya naif, olahan warnanya kontras sering bertabrakan, dan terutamakomposisinya salah. Pemandangan gunung, sawah, bangunan dan manusia disusun secarabertumpuk dalam satu skena, hal ini jika dilihat dari ilmu perspektif akan disalahkan olehmereka yang belajar disiplin ilmu seni, benarkah demikian?Gambar kaca, seperti halnya wayang beber, relief dinding candi, gambar anak, lukisantradisional Bali dibuat dengan susunan bertumpuk seperti itu. Mengapa mereka melakukan halitu? Hal ini jika dinilai dari ilmu perspektif Barat, memang salah. Tetapi demikianlah tradisimenggambar di Indonesia. Benar dan salah dalam suatu gambar, bukan yang utama, bukan itutujuannya. Yang penting adalah isi dari gambar itu dapat dibaca sepanjang waktu, menjadisebuah gambar yang hidup, gambar yang memuat banyak cerita dalam satu skena. Kata kunci: tradisi, skena, gambar kaca
SUMBER SENI INDONESIA LAMA Akhmad Nizam
Corak : Jurnal Seni Kriya Vol 1, No 2 (2012): NOVEMBER 2012
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1267.098 KB) | DOI: 10.24821/corak.v1i2.2317

Abstract

Modern Art of Indonesian is rich of mozaik. The result from combination of estheticekspression of traditional and non traditional. Some element can be arrange in modern art is theevolution from prehistoric art that buried from the prest. The relation from traditional art andmodern art become symbiosis. Exactly modern art has been appropriate with some genre in art,infact in comtamprorary art. There any attraction with Etnic art as reminder about the presistant asancient tradition.In papper/article has been explorated about the ekspression of tradition art wich already givea beg influence, create, and also develop any responsibility about the evolution of art in Indonesianformany years. The traditional culture have much the glories of bronze age in southeast Asia. At thebegining a sign and symbol have been stated on a cave as art, a megalith statue, and any kind oftradition motive/theme for worship of anchestral spirits. Their cultural hesitge are delicate carvingsengraved on brame ritual tools, magic carvings on war shields and elaborate ceremonial symbol fromthe bronze artifact.Keyword : Last Art, Artifact.
VIABILITAS RAGAM HIAS SULUR GELUNG TERATAI Akhmad Nizam; Wisma Nugraha Ch R.; SP. Gustami
Corak : Jurnal Seni Kriya Vol 8, No 2 (2019): NOVEMBER 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1038.247 KB) | DOI: 10.24821/corak.v8i2.2796

Abstract

The walls of Hindu and Buddhist temples in Java are often found in the carved ornament of lotus plants that is grown from tubers or urns. In early period of Islam in Java, the existence of this decorative variety remained. Based on the books of the Hindu Purana, there is an explanation of the concept of the the universe creations embodied in the form of lotus scrolls. Meanwhile, from the old manuscripts belonging to the Wali, although limited in the scope of Sufism of the Tarekat Syaththariyah there is an explanation of the lotus with the name of the Tunjung flower. This article discusses the concept of creating works of art based on the theory of adaptation by Linda Hutcheon in his book: A Theory of Adaptation. The discussion is more emphasized on the visual aesthetic aspects contained in Lara Jonggrang Prambanan temple in Kalasan Yogyakarta, Surowono Temple in Kediri East Java and Sunan Drajat tomb in Lamongan, East Java. The ornamental variety, whose concept of creation was adapted from Purana books of Hindu, was in early Islam believed to follow the theoretical procedures, as well as in later times, but the philosophical meaning may be less well known. Keywords: ornament, sulur gelung, padmamūla, tunjung Dinding candi-candi Hindu dan Buddha di Jawa, sering ditemukan pahatan ragam hias sulur tumbuhan teratai yang tumbuh dari bonggol atau guci bergelung-gelung. Pada masa Islam awal, eksistensi ragam hias ini tetap bertahan. Berdasarkan kitab-kitab Purana Hindu, terdapat penjelasan mengenai konsep pembentangan alam semesta yang diwujudkan dalam bentuk gulungan teratai. Sementara itu, dari naskah lama milik para Wali, meskipun terbatas dalam lingkup tasawuf Tarekat Syaththariyah terdapat penjelasan mengenai teratai dengan nama bunga tunjung. Artikel ini membahas tentang konsep penciptaan karya seni berdasarkan teori adaptasi oleh Linda Hutcheon dalam bukunya: A Theory of Adaptation. Pembahasan lebih ditekankan pada aspek-aspek estetis visual yang terdapat di candi Lara Jonggrang Prambanan di Kalasan Yogyakarta, Candi Surowono di Kediri Jawa Timur dan makam Sunan Drajat di Lamongan Jawa Timur. Ragam hias tersebut, yang konsep penciptaannya diadaptasi dari kitab-kitab purana Hindu, maka pada masa Islam awal diyakini mengikuti prosedur teori tersebut, begitu juga pada masa berikutnya, tetapi makna filosofisnya mungkin kurang begitu dikenal. Kata kunci: ragam hias, sulur gelung, padmamūla, tunjung
VIABILITAS RAGAM HIAS SULUR-GELUNG Agung Wicaksono; Akhmad Nizam
Corak : Jurnal Seni Kriya Vol 5, No 2 (2016): NOVEMBER 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (607.739 KB) | DOI: 10.24821/corak.v5i2.2385

Abstract

Motive of ukel, lung or plant tendrils (forming like question mark) spiraling inside andoutside is named sulur gelung ornament. These ornaments are often found in Hinduism andBudhist temples even in the mosque with particular style. Sulur gelung ornament has to befondness for people when we look at the craft as visual art. Many artefacs of heritage oftenvisualized form of lung or ukel. In javanese fashion ukel as trendil of hair fastened by ukel konde.Ukel konde is used for make up on the face also for forming of puppet’s hair and isen-isen, evenfor forming of punokawan’s hair (Semar, Gareng, Petruk, and Bagong). Form like ukel is alsofound in the architecture of mosque especially on the mihrab or altar, we can also be found inthe architecture of javanese traditional house. The temples of Hinduism and Budhist in Javahave ornament of sulur gelung, for example Candi Gondosuli, Candi Gedongsongo, CandiKalasan, candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Lumbung, and many of temples in East Java.Is this ornament comes from India through the Hinduism or Hinduism-Budhist diffusionto Java? Or possibly this is an original local archetype of java or is this the result of aculturationof Hinduism-Budhist, Java, and Islam ? This reaserch will review the sulur gelung ornamentprovenience which is commonly using as fix pattern and the spirit or viability of javanese style.The sulur gelung ornament has evoluted since Hinduism-Budhist until Islamic diffusion asreception religion in the culture. Key wors : aculturation, ornament, sulur-gelung
Eksistensi Ragam Hias Sulur Gelung Teratai Akhmad Nizam; Wisma Nugraha Ch R; SP Gustami
Journal of Urban Society's Arts Vol 5, No 1 (2018): April 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jousa.v5i1.2416

Abstract

Dinding candi-candi Hindu dan Buddha di Jawa, sering ditemukan pahatan ragam hias sulur tumbuhan teratai yang tumbuh dari bonggol atau guci bergelung-gelung. Pada masa Islam awal, eksistensi ragam hias ini tetap bertahan. Berdasarkan kitab-kitab Purana Hindu, terdapat penjelasan mengenai konsep pembentangan alam semesta yang diwujudkan dalam bentuk gulungan teratai. Sementara itu, dari naskah lama milik para Wali, meskipun terbatas dalam lingkup tasawuf Tarekat Syaththariyah terdapat penjelasan mengenai teratai dengan nama bunga tunjung. Artikel ini membahas tentang konsep penciptaan karya seni berdasarkan teori adaptasi oleh Linda Hutcheon dalam bukunya: A Theory of Adaptation. Pembahasan lebih ditekankan pada aspek-aspek estetis visual yang terdapat di candi Lara Jonggrang Prambanan di Kalasan Yogyakarta, Candi Surowono di Kediri Jawa Timur dan makam Sunan Drajat di Lamongan Jawa Timur. Ragam hias tersebut, yang konsep penciptaannya diadaptasi dari kitab-kitab purana Hindu, maka pada masa Islam awal diyakini mengikuti prosedur teori tersebut, begitu juga pada masa berikutnya, tetapi makna filosofisnya mungkin kurang begitu dikenal. Kata kunci: ragam hias, sulur gelung, padmamūla, tunjung, etnik The Existance of Ornament of Lotus Tendrils. The walls of Hindu and Buddhist temples in Java are often found in the carved ornament of lotus plants that is grown from tubers or urns. In early period of Islam in Java, the existence of this decorative variety remained. Based on the books of the Hindu Purana, there is an explanation of the concept of the the universe creations embodied in the form of lotus scrolls. Meanwhile, from the old manuscripts belonging to the Wali, although limited in the scope of Sufism of the Tarekat Syaththariyah there is an explanation of the lotus with the name of the Tunjung flower. This article discusses the concept of creating works of art based on the theory of adaptation by Linda Hutcheon in his book: A Theory of Adaptation. The discussion is more emphasized on the visual aesthetic aspects contained in Lara Jonggrang Prambanan temple in Kalasan Yogyakarta, Surowono Temple in Kediri East Java and Sunan Drajat tomb in Lamongan, East Java. The ornamental variety, whose concept of creation was adapted from Purana books of Hindu, was in early Islam believed to follow the theoretical procedures, as well as in later times, but the philosophical meaning may be less well known. Keywords: ornament, sulur gelung, padmamūla, tunjung, ethnic 
Ragam Hias Beberapa Masjid di Jawa: Kajian Sejarah Kebudayaan dan Semiotika Edi Sunaryo; Nur Sahid; Akhmad Nizam
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 31 No 2 (2016): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v31i2.27

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengkaji perkembangan transformasi bentuk ragam hias sejak Zaman Hindu-Budha hingga Zaman Islam di Jawa. Obyek penelitian ini berupa ragam hias yang ada di masjid Demak, Mantingan Iepara, Menara Kudus, dan Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Kajian ini menggunakan pendekatan sejarah kebudayaan dan semiotika. Pendekatan sejarah kebudayaan dipergunakan untuk mengkaji perkembangan ragam hias di keempat masjid. Sedangkan teori semiotika dipergunakan untukmenganalisis makna ragam hias. Ragam hias pengaruh Hindu - Budha menemukan bentuk ekspresinya di Jawa dan Bali, sedangkan seni Islam berkembang di daerah kekuasaan raja Islam di Sumatera, Jawa dan Madura. Seni Islam dibentuk dengan mengadopsi tradisi seni Indonesia Hindu yang disesuaikan dengan kebudayaan Islam pada Waktu itu. Kesenian Islam mendorong semakin subumya teknik penggayaan atau stilasi, dengan menghindari penggambaran obyek secara realistik. Kekayaan ragam hias, bentuk dan maknanya menjadi garda depan untuk mencari ciri khas bentuk kesenian Indonesia. Stilasi jika dimaknai sebagai pengalihan atau pengganti, maka cara ini sudah dilakukan sejak masa Hindu dengan paradigma ‘apa saja yang mempunyai persamaan sifat dianggap sama pula dalam hakekatnya‘.
Konsep Penciptaan Ornamen Teratai pada Masa Islam Peralihan Nizam, Akhmad
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 23 No. 2 (2022)
Publisher : Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52829/pw.410

Abstract

Ornamen teratai di candi-candi Hindu dan Buddha di Jawa digambarkan tumbuh dari bonggol, jambangan, atau dari berbagai jenis binatang air. Konsep penciptaan ornamen tersebut berdasarkan ajaran Hindu, bahwa benih penciptaan alam semesta berasal dari air. Keyakinan itu divisualisasikan dalam bentuk ornamen teratai yang tumbuh dari objek-objek yang berasosiasi dengan air. Ornamen teratai juga diperagakan di masjid dan makam wali, namun teratai digambarkan tumbuh dari objek-objek yang tidak berasosiasi dengan air. Tujuan penelitian ini adalah menemukan konsep penciptaan ornamen teratai pada masa Islam Peralihan menggunakan teori adaptasi dari Linda Hutcheon, “A Theory of Adaptation”. Berdasarkan kitabkitab sastra pesisiran terdapat ajaran dalam ujaran tunjung tanpa telaga (tunjung atau teratai yang dapat hidup tanpa telaga) yang melambangkan Ruh Idhafi sejati, yaitu Dzat Allah Ada-Nya. Penggambaran teratai yang tidak tumbuh dari objek-objek yang berasosiasi dengan air merupakan visualisasi dari gagasan tunjung tanpa telaga, yaitu teratai yang tidak lagi tergantung hidupnya pada air lumpur telaga.