Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TINDAK PIDANA KORUPSI KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIV/2016 Suhendar - Suhendar
Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol 7, No 1 (2017): SURYA KENCANA SATU
Publisher : Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (483.356 KB) | DOI: 10.32493/jdmhkdmhk.v7i1.594

Abstract

ABSTRAKUnsur kerugian keuangan Negara dalam hukum pidana: tindak pidana korupsi, sebagaimana pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengalami pada mulanya merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Demikian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 menguatkan konsepsi demikian. Namun, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 mengubah secara radikal makna konstitusional unsur kerugian keuangan Negara tersebut menjadi delik materil: menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian hilangnya unsur (bestandeel) “dapat” pada kata “merugikan keuangan atau perekonomian Negara” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi akan berdampak signifikan terhadap penuntutannya, sehubungan unsur sebagai nama kumpulan bagi apa yang disebut bestandeel (bestanddelen van het delict) adalah bagian-bagian yang terdapat dalam rumusan delik yang harus dibuktikan, harus dicantumkan di dalam surat tuduhan dan bilamana satu atau lebih bagian ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim harus membebaskan tertuduh atau dengan kata lain hakim harus memutuskan suatu vrijspraakKata Kunci : Unsur Kerugian Keuangan Negara, Putusan Mahakamah Konstitusi dan Hukum Pidana.
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TELAAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DAN HUKUM PIDANA Suhendar Suhendar; kartono kartono
Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol 11, No 2 (2020): SURYA KENCANA SATU
Publisher : Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32493/jdmhkdmhk.v11i2.8048

Abstract

Pidana Korupsi serta keuangan Negara dalam disiplin ilmu berbeda. Korupsi bagaikan tindak pidana berpijak pada doktrin hukum pidana, sedangkan keuangan Negara dalam pengelolaan serta tanggungjawabnya, berpijak doktrin hukum administrasi Negara, keduanya terintegrasi dalam tindak pidana korupsi kerugian keuangan Negara, dalam UU 31/ 1999 jo. 20/ 2001. Riset ini bertabiat deskriptif dengan tipe riset hukum normatif. Riset menampilkan LHP BPK mempunyai kekuatan legalitas serta legitimasi: bevoegdheid serta rechtsmacht, sehingga bisa digunakan untuk menciptakan terbentuknya tindak pidana korupsi kerugian keuangan Negara dalam penyidikan serta sebagai dasar memastikan transisi tanggungjawab hukum administrasi Negara kepada tanggungjawab hukum pidana: berbentuk transisi tanggungjawab jabatan kepada tanggungjawab individu pejabat, karena dalam konteks hukum materiil korupsi: berkedudukan bagaikan fasilitas pengecekan perbuatan/ aksi pejabat dalam ukuran hukum administrasi negara, serta dalam konteks hukum formil korupsi berkedudukan bagaikan perlengkapan fakta pesan dalam Pasal 187 huruf a serta b KUHAP.
Legal Certainty in the Application of the Crime of Narcotics Abuse Judging from the Disparity of Judges' Decisions Suhendar Suhendar; Annissa Rezki; Nur Rohim Yunus
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 9, No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i1.24487

Abstract

Efforts to eradicate drug crimes present a law that has criminal sanctions, namely Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics (abbreviated as the Narcotics Law) that criminal sanctions in the Narcotics Law are one of them with a death penalty. The Narcotics Law regulates the policy of criminal sanctions for drug abusers which are divided into two categories, namely the perpetrators as “Users” and/or “Dealers”. It is possible for perpetrators as dealers to be subject to the most severe criminal sanctions in the form of capital punishment as regulated in Article 114 paragraph (2). The method of legal discovery (rechtsvinding) that is often used by judges is the method of interpretation or interpretation. The results of the study state that the interpretation of the provisions that have been stated expressly must not deviate from the intent of the legislators. The judge has the authority to interpret the law if the content of the article used is unclear or incomplete. Analytical interpretation in the field of criminal law is prohibited insofar as it makes a formulation of the offense to be expanded. Analogous interpretation is permitted if it is used to fill the voids contained in the law because it has not been regulated in the provisions of the law.Keywords: Disparity; Judge; Drugs AbstrakUpaya untuk memberantas kejahatan narkoba menghadirkan sebuah Undang-Undang yang memiliki sanksi pidana yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (disingkat UU Narkotika) bahwa Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Narkotika salah satunya adalah sanksi pidana mati. Undang-Undang Narkotika mengatur mengenai kebijakan sanksi pidana bagi pelaku penyalahguna narkoba yang dibagi kedalam dua kategori yaitu pelaku sebagai “Pengguna” dan/atau “Pengedar”. Terhadap pelaku sebagai pengedar dimungkinkan dikenakan sanksi pidana yang paling berat berupa pidana mati seperti yang diatur dalam Pasal 114 ayat (2). Metode penemuan hukum (rechtsvinding) yang sering digunakan hakim yaitu metode interpretasi atau penafsiran. Hasil penelitian menyatakan bahwa Penafsiran terhadap ketentuan yang telah dinyatakan dengan tegas tidaklah boleh menyimpang dari maksud pembentuk Undang-Undang. Hakim mempunyai kewenangan untuk melakukan penafsiran hukum apabila isi pasal yang digunakan tidak jelas atau kurang lengkap. Penafsiran secara analogis di dalam lapangan hukum pidana terlarang sejauh ia membuat suatu rumusan delik itu menjadi diperluas.  Penafsiran secara analogi diizinkan apabila digunakan untuk mengisi kekosongan-kekosongan yang terdapat di dalam Undang-Undang karena belum diatur dalam ketentuan Undang-Undang tersebut.Kata Kunci: Disparitas; Hakim; Narkoba
BIJAK MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL, AGAR TIDAK TERJERAT SANKSI HUKUM PIDANA UU ITE Reni Suryani; Suhendar Suhendar
Abdi Laksana : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 3, No 1 (2022): Edisi Januari
Publisher : LPPM Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32493/al-jpkm.v3i1.17068

Abstract

Kemajuan dan perkembangan teknologi, utamanya media sosial seperti pisau bermata dua, disatu sisi sangat bermanfaat namun di sisi lain juga berbahaya dan menimbulkan kerugian jika salah menggunakannya. Apabila media sosial tidak digunakan dengan bijak dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna dan orang lain, karena siapa saja dapat masuk dan terlibat menjadi konsumen, sekaligus produsen informasi. Teknologi informasi berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan memfasilitasi manusia, juga dapat melakukan cara yang sama dari tindakan efektif terhadap hukum. ”Undang-Undang berubah nomor 11 tahun 2008 tentang informasi elektronik dan transaksi melalui UU No. 19 tahun 2016 sebagai payung hukum Penggunaan teknologi informasi perlu diketahui oleh masyarakat, di media sosial pengguna tertentu”. Pengabdian kepada Komunitas (PKM) dilakukan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk penyalahgunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari dan sanksi diberikan kepada penulis penyalahgunaan media sosial dalam hukum Republik Indonesia 11 tahun 2008 tentang transaksi informasi dan elektronik , sebagai perumusan masalah. Berkenaan dengan implementasi implementasinya sebagai upaya pemecahan masalah telah dilakukan oleh: Langkah persiapan meliputi penyelidikan asli, menentukan lokasi implementasi dan target target. Kegiatan, serta persiapan bahan dan materi pelatihan. Tahap implementasi, menggunakan metode konseling pada dengan bijaksana menggunakan media sosial, agar tidak dirawat dengan hukuman hukum untuk hukum, diskusi dan respons dan jawabannya. Materi utama yang disajikan adalah keterlibatan amandemen informasi dan transaksi elektronik yang bertindak atas kejahatan penugasan media sosial dan faktor-faktor penggunaan media sosial. Peningkatan hasil kegiatan media sosial masyarakat tidak memiliki keunggulannya secara optimal karena masih ada orang yang ditangkap dalam urusan hukum atau kerugian dalam penggunaan media sosial, ada ketidaktahuan / keandalan pengaturan yang memberikan batasan penggunaannya media sosial, terutama untuk mengekspresikan diri dan aspirasi mereka. Dengan kata lain, masalah hukum yang muncul karena kurangnya pemahaman tentang aturan-aturan ini, implikasinya diatur hukuman dalam undang-undang pidana yang berlaku di Indonesia, khususnya hukum ITE. Dengan semakin tinggi masalah hukum yang disebabkan oleh pelanggaran hukum undang-undang menunjukkan bahwa itu masih belum optimal atau efektivitas dewan dan sosialisasi berbagai peraturan media sosial dan umumnya dunia virtual dan tanda-tanda yang harus dipatuhi oleh pengguna. Agar orang mendapatkan manfaat optimal menggunakan media sosial, masyarakat harus meningkatkan kesadaran hukum. Akibatnya, rekomendasi masyarakat kepada publik (PKM) adalah dengan menggunakan media sosial yang diperlukan untuk bahasa yang baik, di sebelah kanan, dengan kesopanan, kesopanan dan untuk menghindari tindakan kriminal. Selain itu, harus dipahami dan lebih bijaksana dan bijaksana untuk memberikan nasihat atau ekspresi di media sosial dan harus tetap sesuai dengan koridor etika dan hukum yang berlaku sehingga mereka tidak mudah terjerat dalam hukum ITE.
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM OPTIK HUKUM PIDANA Suhendar Suhendar
Pamulang Law Review Vol 1, No 1 (2018): Agustus 2018
Publisher : Prodi Hukum S1 - Fakultas Hukum - Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (307.4 KB) | DOI: 10.32493/palrev.v1i1.2849

Abstract

Abstract This research emphasizes Corruption is a criminal act that is of a specific nature both in the context of actions and the party handling the investigation of the crime. This study aims to provide information on the first, How to investigate corruption in the criminal law optics; Second, how to investigate state financial losses in optical criminal law his research was conducted with normative research with primary and secondary data analyzed qualitatively. The results of the study indicate that legal investigations in eradicating criminal acts of corruption and state financial losses remain the authority of police investigators, as well as prosecutors and prosecutors, with technical investigation and prosecution procedures as stipulated in the formal criminal law of the Criminal Procedure Code and Law 31/1999 jo. Law 20/2001. While law enforcement in eradicating corruption that is the authority of the Corruption Eradication Commission is an exception to the authority of police investigators.
PENEGAKAN HUKUM DALAM PENYELEWENGAN DANA DESA KECAMATAN KARAWACI KABUPATEN TANGERANG SELATAN Budi Kristian; Susanto Susanto; Samuel Soewita; Suhendar Suhendar; Zakaria Romadhani; Arifudin Arifudin; Putri Novita Sari; Dyra Mayang Sukhma; Gumelar Dewi Larasati
Abdi Laksana : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 3, No 3 (2022): Edisi Oktober
Publisher : LPPM Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32493/al-jpkm.v3i3.24844

Abstract

Banyaknya bantuan pemerintah yang dialokasikan untuk pembangunan desa merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah daerah kepada desa namun dalam hal ini Potensi penyelewengan keuangan Desa, jelas sangat besar. Sebagaimana kajian dalam penulisan ini yaitu tentang tindak pidana penyelewengan dana desa di Kecamatan Karawaci. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan pengawasan dari Aparat pemerintah kabupaten terhadap alur proses mengalirnya dana, di samping itu yang tidak kalah pentinggnya adalah Sumber Daya manusia dari Aparat Pemerintahan Desa itu sendiri yang pada umumnya lemah. Jumlah Alokasi Dana Desa (ADD) yang diterima oleh Kepala Desa sangatlah kecil dan tidak sebanding dengan tanggungjawab kepala Desa yang diharapkan dapat mengorganisir pembangunan desa. Apalagi budaya pemotongan ADD oleh oknum birokrasi sehingga yang diterima oleh pemerintah desa menjadi kecil. antar waktu kepala desa tersebut dilakukan karena adanya jabatan kepala desa yang. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Pengabdian Kepada Masyarakat ini untuk mengkaji secara lebih mendalam mengenai adanya mekanisme hukum tentang penyelewengan dana desa.Kata Kunci: Penegak Hukum, Penyelewengan, Dana Desa.
SOSIALISASI PERTANGGUNG JAWABAN DANA DESA KECAMATAN LIPPO KARAWACI KABUPATEN TANGERANG SELATAN Suhendar Suhendar; Kartono Kartono; Susanto Susanto; Fridayani Fridayani; Dimas Semantri; Muhammad Jagad Khonjogo; Akbar Faisal Karim; Rudi Wahyudi
Abdi Laksana : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 3, No 3 (2022): Edisi Oktober
Publisher : LPPM Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32493/al-jpkm.v3i3.24845

Abstract

Desa memiliki wewenang untuk mengatur sendiri kawasanya sesuai kemampuan dan potensi yang dimiliki masyarakatnya agar tercapai kesejahteraan dan pemerataan kemampuan ekonomi. Pelaksanaan pembangunan desa harus sesuai dengan apa yang telah direncanakan dalam proses perencanaan dan masyarakat berhak untuk mengetahui dan melakukan pengawasan terhadap kegiatan pembangunan desa. Pengelolaan ADD harus dilaksanakan secara terbuka melalui musyawarah desa dan hasilnya dituangkan dalam Peraturan Desa (Perdes). Ketentuan tersebut menunjukkan komitmen dari pengambil keputusan bahwa pengelolaan ADD harus mematuhi kaidah good governance yang harus dilaksanakan oleh para pelaku dan masyarakat desa. Pengelolaan alokasi dana desa yang telah diberikan oleh pemerintah agar sesuai dengan tujuannya seyogyanya perlu adanya penerapan fungsi-fungsi manajemen pada setiap proses pengelolaan. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Pengabdian Kepada Masyarakat ini untuk tidak hanya memberikan penyuluhan dan pendampingan hukum mengenai teknik pelaksanaan pertanggungjawaban APBDesa.Kata Kunci: Dana Desa, pertanggungjawaban APBDesa.
Legal Politics of Death Penalty Application in Indonesia Suhendar Suhendar; Nur Rohim Yunus; Annissa Rezki
JOURNAL of LEGAL RESEARCH Vol 4, No 6 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jlr.v4i6.30949

Abstract

In Indonesia, the criminal law system is the one that decides the appropriate punishment for crimes and other legal transgressions. The use of the death sentence is still permitted under Indonesia's Criminal Code (KUHP), as well as some extra-criminal provisions. A translation of the Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie, which has been in effect in the Dutch East Indies (now known as Indonesia) since 1918 under the administration of the Dutch colonial government, can be found within the articles of the Criminal Code that govern the use of the death penalty. However, the Netherlands did away with the death sentence in 1870. Instead, a literature-based approach is used employing a qualitative research method currently being used. The study's findings indicate that significant crimes and the use of the death penalty throughout the history of criminal Law are two aspects of the problem that are strongly related. The legal system reserves the death penalty for those who have committed the most severe crimes. Therefore, many believe that the death penalty is the most severe punishment. 
Criminal Acts of Hate Speech Through Social Media During the Covid-19 Pandemic Suhendar Suhendar; Nur Rohim Yunus; Annissa Rezki
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 10, No 1 (2023)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v10i1.31076

Abstract

The rise of social media has facilitated communication between people, but it has also made it simpler to spread false information, which can lead to hate speech. At the height of the COVID-19 pandemic, all public gatherings were canceled, and people stayed home. Due to the ease with which information may be shared and disseminated and the difficulty in determining the authenticity of user claims, online hate speech is commonplace. The author incorporates legal research methods from qualitative and normative perspectives into this paper. As the results show, social media use has skyrocketed during the COVID-19 pandemic due to government restrictions on activities that can be carried out outside the home. Thus, many people like spending time on social media, and some even deliberately post remarks that amount to hate speech.Keywords: Crime; Hate Speech; Social media Abstrak Maraknya media sosial telah memfasilitasi komunikasi antar manusia, tetapi juga mempermudah penyebaran informasi palsu, yang dapat mengarah pada ujaran kebencian. Pada puncak pandemi COVID-19, semua pertemuan publik dibatalkan, dan orang-orang tetap tinggal di rumah. Karena mudahnya informasi dibagikan dan disebarluaskan serta sulitnya menentukan keaslian klaim yang dibuat oleh pengguna, ujaran kebencian online menjadi hal yang lumrah. Penulis memasukkan metode penelitian hukum baik dari perspektif kualitatif maupun normatif ke dalam makalah ini. Hasilnya, penggunaan media sosial meroket di masa pandemi COVID-19 sebagai akibat dari pembatasan pemerintah terhadap aktivitas yang boleh dilakukan di luar rumah. Sehingga, banyak orang yang suka menghabiskan waktu di media sosial, bahkan ada yang sengaja memposting ucapan yang berbau ujaran kebencian.Kata Kunci: Tindak Pidana; Ujaran Kebencian; Media Sosial
The Impact of the Constitutional Court's Decision on the Revocation of Authority of the Prosecutor submits a Judicial Review Nur Rohim Yunus; Suhendar Suhendar; Annissa Rezki
JOURNAL of LEGAL RESEARCH Vol 5, No 1 (2023): ARTICLES IN PRESS
Publisher : Faculty of Sharia and Law State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jlr.v5i1.31993

Abstract

The right to justice, and human rights more generally, requires the filing of a judicial review (PK) in Indonesia. A judicial review (PK) can be requested by an individual who believes that his rights have been infringed or that the court's judgment is incorrect. The cassation decision can be challenged in court by either the convicted person or the prosecution if they believe it violates basic principles of fairness and legal certainty. However, the Constitutional Court can in its decision revoke the prosecutor's authority to submit a judicial review (PK) because it is considered contrary to human rights, especially in terms of recognition, guarantees, protection and fair legal certainty and equal treatment before the law. This study used a qualitative research method with a statutory and literature approach. The results of the study stated that it was very important for the prosecutor to have the right to submit a judicial review (PK) on the cassation decision of the Supreme Court which was deemed not to have fulfilled legal certainty and justice for the victim and the state. If this is omitted, it will cripple law enforcement. The reason for submission, guarantee, protection and legal certainty for the convict cannot be fully recognized, because there are still rights to guarantee, protection and legal certainty for the victim and the people of Indonesia which must also be maintained and respected.