Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

Between Adherence to Madhhab and Adaptation to Context: Fatwās on Female Leadership in Nahdlatul Ulama-Affiliated Islamic Higher Education Institutions Hannan, Nur; Huda, M. Syamsul; Firdaus, Mohamad Anang; Afabih, Abdillah; Musthofa, Yayan
Journal of Islamic Law Vol. 5 No. 2 (2024): Journal of Islamic Law
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24260/jil.v5i2.2725

Abstract

The issue of women in leadership has been a longstanding topic of debate among classical Islamic jurists, eliciting diverse responses from mainstream Islamic organizations in Indonesia. This article presents a comparative analysis of fatwās (Islamic legal opinions) issued by the Forum of Bahtsul Masail (FBM) at two Nahdlatul Ulama (NU)-affiliated Islamic higher education institutions: Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, which prohibits female leadership, and Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, which permits it. Through a combination of literature-based and empirical approaches, the article highlights a significant contrast in the istinbāṭ al-aḥkām (derivation of legal rulings) employed by these two FBMs. FBM Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng adopts the qawlī (literal) method, adhering to the majority views of classical Islamic jurists. In contrast, FBM Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo employs a manhājī (methodological) approach, incorporating minority opinions and reinterpreting texts within the context of modern societal changes. These contrasting fatwās reflect a broader tension between taqlīd (adherence to precedent) and adaptation to evolving social contexts. Furthermore, this article argues that the educational backgrounds of the FBM actors, as well as the curricula taught in their respective pesantren (Islamic boarding schools), contribute to the differences in fatwās. These differences reflect the internal dynamics within the fatwā production process in NU. [Isu kepemimpinan perempuan telah lama menjadi topik perdebatan di kalangan ahli hukum Islam klasik yang telah memicu beragam respons di kalangan organisasi masyarakat Islam arus utama di Indonesia. Artikel ini menganalisis secara komparatif fatwa dari Forum Bahtsul Masail (FBM) di dua ma’had aly yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU): Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, yang melarang perempuan menjadi pemimpin, dan Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, yang memperbolehkannya. Artikel ini, dengan mengombinasikan pendekatan kepustakaan dan empiris, menemukan bahwa kedua FBM menggunakan metode penggalian hukum (istinbāṭ al-aḥkām) yang berbeda. FBM Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng menerapkan metode qawlī, merujuk pada pendapat mayoritas ulama fikih, sementara FBM Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo menggunakan metode manhājī, mengadopsi pendapat ulama minoritas dan melakukan interpretasi (ulang) terhadap teks. Perbedaan fatwa tersebut dipengaruhi oleh pendekatan yang berbeda antara taklid dalam bermazhab dan adaptasi terhadap perubahan sosial. Lebih jauh, artikel ini berargumentasi bahwa latar belakang pendidikan para aktor FBM, serta kurikulum yang diajarkan di masing-masing pesantren, berkontribusi pada perbedaan fatwa yang dihasilkan. Perbedaan-perbedaan ini mencerminkan dinamika internal dalam proses produksi fatwa di kalangan NU.]
Sufi Healing Commodification throughout East Java Urban Environments Huda, M. Syamsul
el Harakah: Jurnal Budaya Islam Vol 22, No 2 (2020): EL HARAKAH
Publisher : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/eh.v22i2.10021

Abstract

This article examines the shifting of the functions and motives of Sufi healing from the pesantren tradition, in which the main actor is the healer kiai who prioritizes community service and healing as part of the da’wah, changing to capital motives in conducting healing traditions in Islam. The research process used participatory observation method in clinical settings to examine Sufi healing practices and interview therapists and patients who use Sufi healing services, as well as comparative-historical methods in studying the ontology and epistemology of healing. The findings of this study include: first, Sufi healing contains elements of bayani, irfani, and finally bil kasbi. Yet, in practice it takes the irfani as the most common method, especially through the method of prayer, zikr, and prayer. Second, the integration built by Islamic therapists is done by combining medical method in the area of marketing share and psycho-sufism to build patient confidence. Third, this role is more than Sufi healing prioritizing the practice of religious capitalization, namely identifying medical treatment clinics in the form of Sufi healing for economic purposes. Artikel ini mengkaji pergeseran fungsi dan motif penyembuhan sufi dari tradisi pesantren yang aktor utamanya kiai tabib yang mengutamakan pengabdian kepada kesehatan dan penyembuhan masyarakat sebagai bagian dari dakwah, berubah ke motif kapital tradisi penyembuhan dalam Islam. Dalam proses penelitian menggunakan metode observasi partisipatif ke tempat klinik yang membuka praktek penyembuhan sufi dan mewawancarai terapis dan pasien yang menggunakan jasa penyembuhan sufi, serta menggunakan metode historis komparatif dalam menelaah ontologi dan epistemologi penyembuhan. Adapun temuan penelitian ini antara lain pertama, penyembuhan sufi memuat unsur bayani, irfani, dan terakhir bil kasbi. Namun dalam prakteknya cara irfani menjadi metode yang paling umum dilakukan, khususnya melalui metode do’a, zikir, dan salat. Kedua, integrasi yang dibangun para terapis islami adalah dengan cara memadukan antara cara medis pada wilayah pemasaran dan psiko sufistik untuk membangun keyakinan para pasien. Ketiga, peran ini lebih dari sufi healing yang mengutamakan praktik kapitalisasi agama, yakni mengidentifikasi klinik jasa pengobatan dalam bentuk penyembuhan sufi demi tujuan ekonomis.