Intan Permata Sari
IAIN Bengkulu

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

HARMONI DALAM KEBHINEKAAN (Kearifan Lokal Masyarakat Pulau Enggano Provinsi Bengkulu Dalam Mengatasi Konflik) Intan Permata Sari
Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya Vol 19, No 2 (2017): (December)
Publisher : Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1586.546 KB) | DOI: 10.25077/jaisb.v19.n2.p139-147.2017

Abstract

Ethnic and religious conflicts are still a hot conversation in early 2017. Discourses on non-Muslim Muslims as well as indigenous non-indigenous peoples are the main topics in various news in Indonesia. Peace that has been maintained, post-conflict that occurred in Sampit and Ambon, suddenly disturbed. People in Indonesia are again divided into religious groups (Muslim or non-Muslim) or ethnic groups (indigenous or non-indigenous). However, Indonesia has the hope to make peace in the differences and make it harmony in society. We can learn from Enggano society. The people of Enggano are the people who live in one of the outer islands in Indonesia. The island is located in the west of Sumatra Island. The Enggano people are able to live in diversity even though their lives are far from prosperous, poor access and facilities, and far from the government's attention. Almost no conflict occurred on this island. This is because Enggano local wisdom is so strong that it can bridge the differences.
KONFLIK KEPENTINGAN DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA: KASUS PULAU KAPOTA, WAKATOBI, SULAWESI TENGGARA Intan Permata Sari
Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam Vol 2, No 1 (2017): JUNI
Publisher : IAIN Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.043 KB) | DOI: 10.29300/ttjksi.v2i1.785

Abstract

Abstrak: Konflik Kepentingan dalam Pengembangan Pariwisata: Kasus Pulau Kapota, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Sektor pariwisata merupakan magnet baru yang pesonanya tidak dapat ditolak. Ini dikarenakan kebutuhan manusia sudah mulai bertambah, tidak hanya kebutuhan primer seperti sandang, pangan, dan papan saja tetapi muncul kebutuhan baru yaitu rekreasi. Munculnya kebutuhan baru berupa rekreasi membuat para pelaku pariwisata berlomba-lomba untuk mengembangkan daerahnya menjadi salah satu destinasi pariwisata. Salah satu daerah yang sedang melakukan pengembangan pariwisata adalah Pulau Kapota. Pulau ini terletak di Kecamatan Kapota, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Pengelolaan pariwisata di Kapota pada awalnya dilakukan oleh Taman Nasional Wakatobi karena Pulau Kapota merupakan salah satu ‘wilayah konservasi’ yang berada di bawah Taman Nasional Wakatobi. Akan tetapi terdapat tumpang tindih kebijakan karena sektor pariwisata merupakan ranah Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi. Konflik antara Taman nasional Wakatobi dengan Dinas Pariwisata ternyata melibatkan tokoh masyarakat setempat, yang ternyata adalah orang yang sama. Tokoh masyarakat ini berdiri di dua kepentingan dengan dua lembaga masyarakat yang berbeda.
SENSE OF BELONGING DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS MIGRAN Intan Permata Sari
Manhaj: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol 6, No 1 (2017): Manhaj: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (342.547 KB) | DOI: 10.1161/mhj.v5i1.733

Abstract

Isu mengenai identitas menjadi menarik untuk dikaji. Masyarakat Indonesia semakin heterogen, yang disebabkan keluar-masuknya pendatang baik secara sukarela maupun terstruktur. Migrasi besar-besaran pernah dilakukan pada pemerintahan Orde Baru yang secara terstruktur memindahkan orang-orang (individu) bahkan orang-orang satu desa (bedah desa) ke wilayah-wilayah yang masih sepi penduduk. Hal ini menyebabkan terjadi percampuran budaya antara pendatang dan penduduk lokal. Meskipun begitu, banyak para migran yang masih membawa identitas kultural mereka ke tanah rantau. Mereka tidak serta merta menjadi pribadi yang baru, melepaskan semua simbol-simbol kultural mereka. Referensi kultural mereka tetaplah budaya-budaya yang mereka kenal sejak lahir. Ada yang namanya sense of belonging, yang diartikan sebagaiperasaan memiliki para migran terhadap identitas kultural mereka. Para migran bisa pergi ke mana saja, melakukan asimilasi dan akuturasi kebudayaan tetapi mereka tidak melupakan dan tetap melestarikan nilai-nilai kultural yang selama ini menjadi identitas mereka. Kata kunci : Migran, migrasi, identitas, kultural, sense of belonging
Rekonstruksi dan Manipulasi Simbol Kecantikan Intan Permata Sari
Jurnal Hawa : Studi Pengarus Utamaan Gender dan Anak Vol 1, No 1 (2019): Juni
Publisher : UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (703.591 KB) | DOI: 10.29300/hawapsga.v1i1.2221

Abstract

Setiap wanita pastinya bermimpi memiliki kecantikan yang dapat diagung-agungkan oleh kaum adam. Hanya saja saat ini makna kecantikan alami seolah terhapus oleh iklan-iklan kapitalis. Cantik itu putih, rambut lurus, bermata lebar, berhidung mancung, dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan para wanita berlomba-lomba mengubah apa yang sudah dianugerahkan oleh Tuhan. Konstruksi makna dan simbol kecantikan tidak begitu saja diterima oleh masyarakat. Harus ada proses-proses yang dilewatinya. Berger mengatakan bahwa ada tiga proses, yaitu : 1) proses eksternalisasi yang menjadi bagian dari proses penciptaan realitas dalam berbagai bentuk. 2) Proses objektivasi yang merupakan proses integrasi nilai ke dalam fakta sosial objektif yang dapat diterima oleh publik. 3)  Proses  konstruksi  terkait  dengan  proses  internalisasi  yang  merupakan  tahapan untuk menjadikan pengetahuan, nilai dan tindakan menjadi milik individu yang melahirkan komitmen sikap dan perilaku individual (Berger dan Luckmann, 1979). Konstruksi besar ini secara tidak langsung disepakati oleh industri-industri kecantikan seluruh dunia.