Penyelesaian suatu perkara hendaknya menghadirkan terdakwa , tetapi dalam peradilan In Absentia khususnya Tindak Pidana Korupsi dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa, hal tersebut sangatlah merampas hak seorang terdakwa untuk melakukan pembelaan dalam suatu peradilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum in absentia terhadap tindak pidana korupsi serta pertimbangan hakim dalam memutus perkara In Absentia terhadap Tindak Pidana Korupsi nomor 13/Pid.Sus-TPK/2017/PN MTR. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian Normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka dan data sekunder. Kesimpulan yang diambil penulis adalah sebagai berikut yaitu pengaturan In Absentia terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan dalam memutus perkara In Absentia ada beberapa dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan, salah satu yang dijadikan dasar pertimbangan hakim adalah melihat dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa. Berdasarkan kesimpulan maka penulis memberikan saran sebagai berikut: Saran untuk pemerintah yaitu perlu adanya suatu peraturan perundang-undangan yang jelas mengatur mengenai persidangan In Absentia dan saran untuk aparat penegak hukum yaitu tidak boleh sewenang-wenang dalam memeriksa perkara In Absentia. The settlement of a case should present the defendant, but in the In Absentia trial, especially the Corruption Crime, it can be carried out without the presence of the defendant, this really robs a defendant of the right to defend himself in a court of law. This study aims to determine the legal arrangements in absentia against corruption and the judge's considerations in deciding the case of In Absentia against the Crime of Corruption number 13/Pid.Sus-TPK/2017/PN MTR. This research method uses normative research methods, namely research conducted by examining library materials and secondary data. The conclusion drawn by the author is as follows, namely the regulation of In Absentia against Corruption Crimes in Indonesia is regulated in Law Number 31 of 1999 Jo. Law Number 20 of 2001 concerning the Eradication of Criminal Acts of Corruption which is regulated in the provisions of Article 38 paragraph (1) and in deciding the In Absentia case there are several basic considerations for judges in making decisions, one of which is used as the basis for judges' considerations is to look at the following: aggravating and mitigating matters for the accused. Based on the conclusions, the authors provide the following suggestions: Suggestions for the government, namely the need for a clear statutory regulation governing the In Absentia trial and suggestions for law enforcement officers, namely that it should not be arbitrary in examining In Absentia cases.