Laksono Trisnantoro
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Peran Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kaimana dalam Pembinaan dan Pengawasan Kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan Jamkesmas dan Jampersal Tahun 2011 Arief Syamsul Bahar; Laksono Trisnantoro; Dwi Handono Sulistyo
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 4 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (252.991 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i4.35684

Abstract

basis, including the Health Operational Assistance (BOK), Jamkesmas and Jampersal accordance with the Minimum Service Standards (MSS) with the Health Sector focus on achieving the Millennium Development Goals (MDGs) by 2015. Roles, duties and functions of Management Team and Team Provincial/Regency/City in 2009 still have not felt able to run optimally. Researchers wanted to see What is the Role of West Papua Provincial Health Office and District Health Kaimana In Creation and Control Operational Policy Health (BOK), Jamkesmas and Jampersal Year 2011. Method: The research uses a descriptive approach to qualitative methods, with case study research design. Results: Provincial Health Office is not involved in the disbursement of BOK, Jamkesmas and Jampersal. Reporting coverage and constraints at the district level is also not reported to the provincial level so that the provinces to provide guidance and supervision difficulties. Meanwhile, at the district level, delays in disbursement of funds led to delay in implementation of activities financed from the BOK, and Jampersal Jamkesmas. Implementation of activities within a narrow time frame led to the guidance and supervision functions do not function properly. Health districts office conduct meetings just to socialize. Management and planning of the activities carried out entirely by the health center based on existing technical guidelines. The Treasurer also never had any training related to funding mechanisms. Conclusion: West Papua Provincial Health Office and District Health Office in Kaimana not optimal to provide guidance and oversight of policy implementation BOK, Jamkesmas and Jampersal. Alocation mechanism of BOK must be change from Tugas Pembantuan to Dana Alokasi Khusus (DAK) on district level. Latar Belakang: Untuk mempercepat pencapaian sasaransasaran pembangunan kesehatan di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah melakukan terobosan melalui berbagai upaya yang dilaksanakan secara berkesinambungan, diantaranya adalah Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), Jamkesmas dan Jampersal sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan dengan fokus pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015. Peran, tugas dan fungsi Tim Pengelola dan Tim Provinsi/Kabupaten/Kota tahun 2009 dirasakan masih belum dapat berjalan secara optimal. Peneliti ingin melihat Bagaimana Peran Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kaimana Dalam Pembinaan dan Pengawasan Kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), Jamkesmas dan Jampersal Tahun 2011. Metode: Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif metode kualitatif, dengan rancangan penelitian studi kasus. Hasil: Dinas kesehatan Provinsi tidak dilibatkan dalam pencairan dana BOK, Jamkesmas dan Jampersal. Pelaporan cakupan dan kendala di tingkat kabupaten juga tidak dilaporkan ke tingkat provinsi sehingga provinsi kesulitan melakukan pembinaan dan pengawasan. Sementara itu, di tingkat kabupaten, keterlambatan pencairan dana menyebabkan terlambatnya pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari BOK, Jamkesmas dan Jampersal. Pelaksanaan kegiatan dalam rentang waktu yang sempit menyebabkan fungsi pembinaan dan pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dinas kesehatan kabupaten hanya melakukan sosialisasi dan pertemuan. Pengelolaan dan perencanaan kegiatan dilakukan sepenuhnya oleh puskesmas berdasarkan Juknis yang ada. Bendahara juga tidak pernah mendapat pelatihan terkait dengan mekanisme pertanggungjawaban dana. Kesimpulan: Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kaimana belum optimal dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap implementasi Kebijakan BOK, Jamkesmas dan Jampersal. Mekanisme penyaluran alokasi dana BOK dari Tugas Pembantuan perlu dialihkan melalui alokasi DAK ke tingkat kabupaten.
Persepsi Pimpinan Unit Pelaksana Teknis Pusat dan Dinas Kesehatan Provinsi terhadap Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Budi Sartono; Laksono Trisnantoro; Dwi Handono Sulistyo
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 4 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.779 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i4.35687

Abstract

Background: Since regional autonomy there is a separation and the incorporation of several government agencies in the area. Government agencies are not coordinating plans with the provincial health department. In order for the planning and implementation of effective and efficient interconnection among agencies is required in an area. Government regulation No. 7 of 2008 requires each agency coordinating the vertical area of ??the planning phase to reporting. Objectives: Knowledgeable perception of the relationship of decentralization with central technical unit leader and provincial health authorities on the implementation of government regulation No. 7 of 2008 in the special province of Yogyakarta. Methods: This type of study is a qualitative descriptive exploratory design to design. The subjects of this study is the leader in the central technical unit and the provincial chief medical officer DIYogyakarta. Data collection interviews with in-depth interviews using a guide and recorded into the cassette. Result: Authority element was found that vertical agencies in the area is still always follow all policies of central and did not dare carry out / make their own policy. Elements information that the provincial health department does not know the contents of the proposed activities and funding UPT central. Element of the capacity was found that each agency has been supported by sufficient human resources to carry out their duties, Accountability elements was found that provincial health authorities and UPT centers perform in a way different. Conclusion: Coordination as has not been implemented properly. This was due to him not the leadership of the provincial health department and the center of the government regulation No. 7 of 2008, This can be seen from the authority of the provincial health department had to implement the coordination has not been implemented and a sense of seniortitas to wait for the coordination and operational guidelines. The absence of information about the activities of the division in each of the UPT central to the provincial health department. Support staff with a good capacity of the provincial health department has been owned and UPT center. UPT accountability mechanism is different centers. Latar Belakang: Sejak otonomi daerah terjadi pemisahan dan penggabungan beberapa instansi vertikal di daerah. Instansi vertikal tidak melaksanakan koordinasi perencanaan dengan dinas kesehatan propinsi. Supaya perencanaan dan pelaksanaan kegiatan efektif dan efisien diperlukan adanya interkoneksi antar instansi disuatu daerah. PP nomor 7 tahun 2008 mewajibkan setiap instansi vertikal didaerah melaksanakan koordinasi dari tahap perencanaan sampai pelaporan. Tujuan: Diketahuinya hubungan desentralisasi dengan persepsi pimpinan unit pelaksana teknis pusat dan dinas kesehatan provinsi terhadap implementasi PP nomor 7 tahun 2008 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan design rancangan deskriptif eksploratif. Subyek penelitian ini adalah pimpinan UPT Pusat di Provinsi D.I.Yogyakarta dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY. Pengumpulan data dengan wawancara menggunakan panduan wawacara mendalam dan direkam kedalam kaset. Hasil: unsur otoritas didapatkan bahwa instansi vertikal yang ada di daerah masih selalu mengikuti seluruh kebijakan dari pusat serta tidak berani melaksanakan/membuat kebijakan sendiri. Unsur informasi didapatkan bahwa dinas kesehatan propinsi tidak mengetahui isi kegiatan dan dana yang diusulkan UPT pusat, Unsur kapasitas didapatkan bahwa masing-masing instansi sudah didukung dengan kemampuan SDM yang cukup untuk melaksanakan tugasnya, Unsur akuntabilitas didapatkan bahwa dinas kesehatan propinsi dan UPT pusat melaksanakan dengan cara yang berbeda. Kesimpulan: Koordinasi sebagaimana belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal tersebut disebabkan karena tidak tahunya pimpinan dinas kesehatan propinsi dan UPT pusat terhadap PP nomor 7 tahun 2008, hal ini dapat dilihat dari Kewenangan yang dimiliki dinas kesehatan provinsi untuk melaksanakan koordinasi belum dilaksanakan dan adanya rasa senioritas untuk melakukan koordinasi serta menunggu adanya Juklak. Belum adanya pembagian Informasi mengenai kegiatan dimasing-masing UPT pusat kepada dinas kesehatan propinsi. Dukungan staf dengan kapasitas yang baik sudah dimiliki dinas kesehatan propinsi dan UPT pusat. Mekanisme akuntabilitas UPT Pusat berbeda beda.
Kebijakan Insentif Dokter Umum dan Dokter Gigi berdasarkan Beban Kerja di Kabupaten Alor Tahun 2011: Time dan Motion Study Soleman Kermo Imanuel Jermias Kolimon; Laksono Trisnantoro; Dwi Handono Sulistyo
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 4 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (331.236 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i4.35808

Abstract

Background: The scarcity problem of general physicians and dentist in Alor District treated by the government by providing Rp. 6.500.000,- monthly payment for the general physicians and the dentists. The payments policy is given conservative (incrementally) and politically aimed at motivating the medical staffs to become civil servants. Objective: To analyze the providing of payment to the general physicians and dentists based on their workload in Alor District 2011 Methods: This research is qualitative research using single spike case study design to find out the policy of providing payment to general physicians and dentists based on their workload in Alor District 2011. The samples of this research are comprised of 11 people observed for their workload and 4 non medical staffs interviewed regarding their perception of the payment policy. Result: The result of workload observation using time and motion study showed that the time for indirect services was higher than the direct service one. The physicians seemed to less attentive to the preventive care services rather they spent more time to non productive activities. Other medical staffs felt that the payment policy was unfair. The general physicians and dentists should get around Rp. 2.660.000,- to Rp. 4.334.000,- per month considering their current workload. Conclusion: The general physicians and dentists in Alor District haven’t been working optimally. The curative activities are the most frequent duty performed. Most of the physicians’ working time spent for indirect services or integrative tasks accomplishment. During working hours, the proportion of non productive activities is higher than the productive ones. The payment policy to the general physicians and dentists in Alor District has been unfair compared to the other health professions. The payment received by the general physicians and dentists currently is higher than their workload. Latar Belakang: Kelangkaan tenaga dokter umum dan dokter gigi di Kabupaten Alor disiasati Pemerintah Kabupaten Alor dengan membuat solusi operasional inovatif dengan memberikan insentif bagi dokter umum dan dokter gigi sebesar Rp. 6.500.000,- per bulan. Kebijakan pemberian insentif tersebut dilakukan secara konservatif (incrementalis) dan bersifat politis yang bertujuan untuk memotivasi tenaga medis agar tertarik menjadi PNS. Tujuan: Untuk menganalisa kebijakan insentif dokter umum dan dokter gigi berdasarkan beban kerja di Kabupaten Alor tahun 2011. Metode: Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan metode studi kasus deskriptif dengan desain kasus tunggal terpancang/terjalin, untuk mengetahui kebijakan insentif dokter umum dan dokter gigi berdasarkan beban kerja di Kabupaten Alor tahun 2011. Sampel dalam penelitian ini dibagi menjadi kelompok medis berjumlah 11 orang yang diobservasi beban kerja dan kelompok non medis berjumlah 4 orang yang diwawancarai terkait persepsi tentang kebijakan insentif. Hasil: Hasil pengukuran beban kerja dengan metode time and motion study menunjukan bahwa waktu untuk kegiatan pelayanan tidak langsung lebih besar dari pelayanan langsung, dokter kurang memperhatikan upaya pelayanan kesehatan preventif dan promotif, sebagian besar waktu kerja dokter digunakan untuk kegiatan non produktif. Tenaga kesehatan lain mengeluhkan ketidakadilan dalam kebijakan insentif. Insentif yang layak diterima saat ini oleh dokter umum dan dokter gigi di RSUD Kalabahi dan di Puskesmas Kabupaten Alor berdasarkan beban kerja adalah berkisar antara Rp. 2.660.000,- sampai dengan Rp. 4.334.000,- per bulan. Kesimpulan: Dokter umum dan dokter gigi di Kabupaten Alor belum memanfaatkan waktu kerja secara optimal, upaya kuratif merupakan jenis aktivitas yang paling banyak dilakukan. Sebagian besar waktu kerja dokter digunakan untuk kegiatan pelayanan tidak langsung atau penyelesaian tugas integratif. Selama jam kerja, proporsi waktu kegiatan non produktif lebih besar dari pada kegiatan produktif. Kebijakan pemberian insentif bagi dokter umum dan dokter gigi di Kabupaten Alor belum memenuhi rasa keadilan profesi kesehatan lain. Insentif yang diterima oleh dokter umum dan dokter gigi saat ini lebih besar dari beban kerja. 
Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan di Dinas Kesehatan (Studi Kasus di Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dan Dinas Kesehatan Kabupaten Lebong Tahun 2011) Handry Mulyawan; Laksono Trisnantoro; Siti Noor Zaenab
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (246.234 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i3.36016

Abstract

Background: The low of budget in the health sector in par- ticular promotive causes and preventive health development through many obstacles in the arious fields. BOK program is one of the breakthroughs made by the Ministry of Health to assist in financing health sector. Entering the second year of the mechanisms that change the original BOK disbursed through the mechanism of Bantuan Sosial, in the year 2011 was replaced by Tugas Pembantuan fund. This change of course was followed by delegation of authority and responsi- bility of the Minister of Health to head the district / municipal health department in this regard. So the role of health of health district to be the main benchmark in the success of this programss. Objectives: To evaluate the role of health authorities in the implementation of the BOK in Bantul District Health Office and Lebong District Health office. Methods: The study used a qualitative design, with a de- scriptive case study approach. Results: Bantul district health office and Lebong district Health Office have done management functions including: Planning, Organizing, and Controling well, but due to funding limitations and delays the decline in terms of Actuating BOK it can not be perfect, it is characterized by the BOK funds sosilisasi still “riding” on the socialization of the activities funded in the bud- get. BOK funds from the Ministry of Health as a breakthrough viewed positively in improving staff motivation in the field, but the scope of the program have not seen an increase in the siginfikan. There are diverse opinions about the mechanism for channeling funds BOK, but in general the District Health Office in Bantul want that future BOK disbursed by DAK mecha- nism while at the District Health Office Lebong more likely to Tugas Pembantuan mechanism. Conclusion: Optimal health authorities have a role in financial management and program management views of the manage- ment function which includes Planning, Organizing, and Controling but due to funding limitations and delays the decline Actuating management functions can not be running optimally. BOK program is seen as a policy that needs to be maintained, noting the need for some improvements, especially the mecha- nism for channeling funds quickly and easily accounted for, although it has not been an increase in the scope of the pro- gram. Latar Belakang: Rendahnya anggaran di sektor kesehatan khususnya promotif dan preventif menyebabkan pembangunan di bidang kesehatan mengalami banyak kendala di berbagai bidang. Program BOK merupakan salah satu terobosan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan untuk membantu penda- naan di bidang kesehatan. Memasuki tahun kedua mekanisme BOK mengalami perubahan, yang semula dikucurkan melalui mekanisme Bantuan Sosial, di tahun 2011 diganti melalui Tugas Pembantuan. Perubahan ini tentu saja diikuti dengan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari Menteri Kesehatan kepa- da kepala daerah kabupaten/kota dalam hal ini dinas kesehatan. Sehingga peran dinas kesehatan menjadi tolok ukur utama dalam keberhasilan program BOK ini. Tujuan: Mengevaluasi peran dinas kesehatan dalam pelaksa- naan kebijakan BOK di Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dan Dinas Kesehatan Kabupaten Lebong. Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif, dengan pendekatan studi kasus deskriptif. Hasil: Dinas Kesehatan Bantul dan Dinas Kesehatan Lebong telah melakukan fungsi manajemen yang meliputi; Planning, Organizing, dan Controling secara baik, namun karena keter- batasan dan keterlambatan turunnya dana BOK maka dalam hal Actuating belum bisa berjalan sempurna, hal ini ditandai dengan sosilisasi dana BOK yang masih “menumpang” pada sosialisasi kegiatan-kegiatan yang di danai APBD. Dana BOK sebagai terobosan dari Kementrian Kesehatan dipandang positif dalam meningkatkan motivasi petugas dilapangan, namun secara cakupan program belum terlihat adanya peningkatan yang siginfikan. Ada beragam pendapat mengenai mekanisme penyaluran dana BOK, namun secara umum Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul menginginkan bahwa kedepan BOK dikucurkan dengan mekanisme DAK sedangkan di Dinas Kesehatan Kabupaten Lebong lebih cenderung untuk tetap mempertahankan pada mekanisme Tugas Pembantuan. Kesimpulan: Dinas kesehatan telah berperan optimal dalam manajemen keuangan dan manajemen program dilihat dari fung- si manajemen yang meliputi Planning, Organizing, dan Con- troling namun karena keterbatasan dan keterlambatan turunnya dana fungsi manajemen Actuating belum bisa berjalan secara optimal. Program BOK dipandang sebagai suatu kebijakan yang perlu dipertahankan, dengan catatan diperlukannya beberapa perbaikan terutama mekanisme penyalura dana yang cepat dan mudah dipertanggungjawabkan, meskipun belum terjadi peningkatan cakupan program.
Evaluasi Implementasi Kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan di Tiga Puskesmas Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2011 Mariane Evelyn Pani; Laksono Trisnantoro; Siti Noor Zaenab
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.649 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i3.36018

Abstract

Background: Health Operational Assistance policy is given by the government based on the consideration that operational cost from local government is relatively small and widely used for curative and rehabilitative activities as well as less emphasis on promotive and preventive efforts. BOK fund distribution to Primary Health Care often had administrative obstacles and delays in liquefaction. The purpose of the study: to evaluate the implementation of BOK policy in three Primary Health Cares of Ende district.Methods: The study used a qualitative design with a descriptive case study approach. Results: The BOK funds used in Primary Health Care was utilized based on BOK guidelines that is promotive and preventive in which the utilization is based on the needs in the field with accountability guidelines according to BOK guidelines. The fund was often received late and yet the activity of Primary Health Care was still implemented by using loan or debt system. The role of the head of Primary Health Care in socialization and monitoring as well as the role of staff in the implementation of BOK policy was not yet optimal in Primary Health Care. The coverage program funded by BOK did not showed significant improvement due to limited human resources and lack of oversight in the implementation of BOK policy. Conclusion: The implementation of BOK policy in Primary Health Care was adapted with BOK guidelines for administration purposes, and for the completeness of SPJ without paying attention on the impact toward community. The delayed funds in Primary Health Care due to the fund was given late to the district level and delay in submitting POA so that the activity of Primary Health Care was implemented with credit system. The role of the head of Primary Health Care was not yet optimum in the socialization and monitoring of BOK policy implementation in Primary Health Care. BOK policy has no impact on the program improvement due to the lack of human resources and oversight in the implementation of BOK. Latar belakang: Kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) diberikan oleh pemerintah berdasarkan pertimbangan bahwa biaya operasional dari pemerintah daerah relatif kecil dan banyak digunakan untuk kegiatan kuratif dan rehabilitatif serta kurang menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif. Distribusi dana BOK ke puskesmas sering mengalami kendala administratif dan keterlambatan dalam waktu pencairan. Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi implementasi kebijakan BOK di tiga puskesmas Kabupaten Ende Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif, dengan pendekatan studi kasus deskriptif. Hasil: Dana BOK di puskesmas dimanfaatkan sesuai juknis BOK yakni untuk upaya kesehatan promotif dan preventif secara administratif, dimana pemanfaatannya disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan dengan pertanggungjawabannya disesuaikan dengan juknis BOK. Dana terlambat diterima namun kegiatan di puskesmas tetap terlaksana dengan menggunakan sistem pinjam ataupun hutang. Peran kepala puskesmas dalam sosialisasi dan monitoring serta peran staf dalam pelaksanaan kebijakan BOK belum optimal di puskesmas. Cakupan program yang dibiayai BOK tidak menunjukan peningkatan secara signifikan. yang disebabkan terbatasnya SDM dan kurangnya pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan BOK. Kesimpulan: Implementasi kebijakan BOK di puskesmas disesuaikan dengan juknis BOK untuk tertib administrasi, untuk kelengkapan SPJ tanpa memperhatikan dampak bagi masyara- kat. Keterlambatan dana di puskesmas disebabkan dana yang diberikan terlambat sampai ke tingkat kabupaten dan keterlam- batan dalam memasukan POA sehingga kegiatan di puskesmas dijalankan dengan sistem pinjam. Peran kepala puskesmas belum optimal dalam sosialisasi dan monitoring pelaksanaan Kebijakan BOK di puskesmas. Kebijakan BOK tidak berdampak pada pe- ningkatan program secara signifikan yang disebabkan kurangya SDM dan pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan BOK.
Analisis Kesiapan Penerapan Kebijakan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo (Studi Kasus di Puskesmas Wates dan Puskesmas Girimulyo II Kabupaten Kulon Progo) Albertus Sunuwata Triprasetya; Laksono Trisnantoro; Ni Luh Putu Eka
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 3 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (390.772 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36376

Abstract

Background: Some community health centers in Kulon Progo Regency had managed to meet their own operational needs without depending upon the subsidiary from the local govern- ment. However, bureaucratic problems often led to difficulties in realizing the funds. Long and exhausting bureaucratic pro- cedures and lack of flexibility in the fund use had delayed the public health services at the health centers. Implementation of the Local Public Service Agency (BLUD) at the Health Centers was a proposed solution for the problem. The Health Services that served as BLUD could use the budget/local income to support operation of the health facilities (i.e. flexibility in the fund use) without prior deposit to the local government ac- count. The purpose is to slim down the bureaucratic chains, thus allowing the Health Centers to improve their performance. This way, they could be more productive, effective, efficient, and ready to exercise the Social Security Agency (BPJS) in 2014. Of course, implementation of the policy requires active roles of the stakeholders and supporting conditions at the Health Centers. The study was conducted based on the facts, that all of the Health Centers in Kulon Progo Regency would implement the Local Public Service Agency (BLUD), as speci- fied by the Ministry of Domestic Affairs’ Regulation (Permendagri) No. 61/2007 on the Technical Guides for Finan- cial Management of BLUD. Objectives: To analyze to what extent the Health Centers were ready for the implementation of the Local Public Service Agency (BLUD) in Kulon Progo Regency. Methods: The research was a qualitative approach, using descriptive analytical method and case study design to as- sess the facts on readiness of the Health Centers to apply the BLUD policy. The analysis involved technical and administra- tive requirements of the Health Centers, analysis on the stake- holder roles, and analysis on the real situations at Wates and Girimulyo II Health Centers in Kulon Progo Regency. The re- search used purposive sampling technique, while the data were collected by means of in-depth interviews, observation, and library study. Results: Wates and Girimulyo II Health Centers in Kulon Progo were not fully prepared with technical requirements for the implementation of Health Center BLUD Policy: The increasing rate of earning during the last three years is not complemented by the result of evaluationservice performance thatwas not optimal.Health Centers in Kulon Progo were ready with admin- istrative requirements for the implementation of Health Center BLUD Policy.Stakeholders in Kulon Progo Regency also sup- ported the policy implementation, as evident from the analysis that the stakeholders played important roles and interests but were not ready with supporting regulation for Health Center BLUD Policy. However, the study found that the real conditions at the Health Centers were not ready to support BLUD, as evident from lack of commitment from the Health Centers, inad- equate financial management system, and inadequate human resources for financial management at the Health Centers. Conclusion: Overall, The Health Center in Kulon Progo has not been fully ready to implement BLUD, it must be supported by regulation and adequate resources. Latar Belakang: Beberapa Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo sudah bisa mencukupi kebutuhan operasionalnya tanpa tergantung subsidi dari Pemda, namun untuk pencairan dananya sering kali tidak tepat waktu karena masih terkendala alur birokrasi. Alur birokrasi yang terlalu panjang dan tidak adanya fleksibilitas dalam penggunaan dana menghambat kelancaran pelayanan pada puskesmas. Penerapan kebijakan BLUD Pus- kesmas merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Puskesmas BLUD, dana/pendapatan puskesmas bisa digunakan langsung untuk operasional (fleksibilitas penggunaan dana) tanpa disetor ke pemda, sehingga bisa memotong rantai birokrasi pemda dan dengan demikian puskesmas dapat meningkatkan kinerja pelayanannya secara produktif, efektif, dan efisien dan siap menyongsong diberlakukannya program BPJS Tahun 2014. Dibutuhkan peran stakeholder dan suasana di puskesmas yang mendukung kesiapan penerapan kebijakan ini. Penelitian ini dilakukan berdasarkan kenyataan, seluruh Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo akan menerapkan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sesuai dengan Peraturan Men- teri Dalam Negeri (Permendagri) No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Tujuan: Menganalisis dan mengetahui sejauh mana kesiapan penerapan kebijakanBLUD Puskesmasdi Kabupaten Kulon Progo. Metode:Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif dengan rancangan studi kasus untuk menggambarkan keadaaan serta menggali secara luas kesiapan penerapan kebijakan BLUD Puskesmas, dengan menganalisis kesiapan persyaratan teknis dan administratif Puskesmas, analisis peran stakeholder, meng- analisis suasana yang ada di Puskesmas Wates dan Girimulyo II dalam kesiapan penerapan kebijakan BLUD Puskesmas diKabupaten Kulon Progo. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara purposive sampling. Metode pengumpulan data diperoleh dengan wawancara mendalam (indepth inter- view), observasi dan pemanfaatan dokumen. Hasil:Puskesmas Wates dan Girimulyo II di Kabupaten Kulon Progo belum siap sepenuhnya dengan persyaratan teknis, hal ini ditunjukkan dengan tingkat pendapatan puskesmas yang meningkat dalam tiga tahun terakhir tetapi hasil evaluasi kinerja pelayanan puskesmas belum optimal. Puskesmas telah siap dengan persyaratan administratif ditunjukkan dengan keleng- kapan dokumen BLUD Puskesmas. Stakeholder di Kabupaten Kulon Progo mendukung dalam penerapan kebijakan BLUD Puskesmas, ditunjukkan dari hasil analisis yang menunjukkan tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder yang cukup tinggi tetapi belum sepenuhnya siap dengan regulasi BLUD Puskesmas. Suasana yang terlihat pada Puskesmas kurang mendukung, dilihat dari komitmen puskesmas yang masih ku- rang, sistem pengelolaan keuangan puskesmas yang belum mendukung dan bendahara puskesmas yang belum terlatih pengelolaan keuangan BLUD. Kesimpulan: Secara keseluruhan kesiapan penerapan kebijakan BLUD Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo belum sepenuhnya dilaksanakan, perlu segera ditindaklanjuti dengan regulasi yang mendukung dan kecukupan sumber daya.
Evaluasi Besaran Alokasi DAK Bidang Kesehatan Subbidang Pelayanan Kefarmasian Tahun 2011 – 2012 Risca Ardhyaningtyas; Laksono Trisnantoro; Retna Siwi Padmawati
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 3 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (238.723 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36379

Abstract

Background: In this era of decentralization , access and provision of drugs for people in the local area is the responsi- bility of local governments. Because the limitations of the local budget, the central government is obliged to guarantee the availability of drugs in the area. Financing sources of drugs from central and local government have not reached the stan- dard of WHO i.e. 2 dollars per capita. To cover demand of financing drug, a Specific Allocation Fund (DAK) proposed state budget that funds given to certain areas to fund special activities that are regional affairs and in accordance with na- tional priorities. General criteria to consider certain areas (re- gional fiscal capacity), specific criteria (regional characteris- tics) and technical criteria (policy formulation from Ministry of Health). Since drug financing is allocated in DAK in 2010, there is a need to evaluate the drug financing at the local level. The purpose: to evaluate the amount of DAK for Pharma- ceutical services in 2011 and 2012. Methods: The study used secondary data from 2010 and 2011 consist of 6 (six) factors: fiscal capacity, character of the area, population number, proportion of poverty , local bud- get for drugs and prediction for the remaining stock of the drug. The analysis statistics uses chi-square and multiple regression. Qualitative interviews is conducted with manag- ers of pharmacy in 2 districts with high financial capability. Results: Result from multiple regression test of the 6 factors used in the allocation of SAF 2011 and 2012 shows only 3 factors that really affects the allocation which are the number of population, the poor and the prediction of the remaining stock of the drug . However, the highest factor is the popula- tion. Result for qualitative with 2 respondents shows that since they got DAK they reduced local budget for drugs, because the drug financing is sufficient from DAK. Conclusion: local sense of ownership towards the health budget in the area is low resulting in reliance on the central health budget. The effeciency of the central budget causes reduction of health budget both in central and local level. Latar belakang: Dalam era desentralisasi ini, akses dan penyediaan obat bagi masyarakat di daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Namun keterbatasan anggaran daerah maka pemerintah pusat berkewajiban menjamin ketersediaan obat di daerah. Sumber pembiayaan obat di daerah melalui APBN dan APBD belum mencapai standar WHO, 2 dol- lar per kapita. Untuk menutupi kekurangan pembiayaan obat, diusulkan DAK yaitu dana APBN yang diberikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Daerah tertentu mempertimbangkan kriteria umum (kemampuan fiskal daerah), kriteria khusus (karakteristik daerah) dan kriteria teknis (rumusan kebijakan Kementerian Kesehatan). Sejak kebijakan obat melalui DAK pada tahun 2010, perlu dilakukan evaluasi besaran DAK Bidang Kesehatan untuk Kefarmasian tahun 2011 dan 2012. Tujuan: tujuan penelitian ini adalah melakukan evaluasi besaran DAK Bidang Kesehatan untuk Kefarmasian 2011 dan 2012. Metode: Penelitian menggunakan data sekunder 2010 dan 2011 yang terdiri 6 faktor yaitu; kemampuan fiskal, karakter wilayah, jumlah penduduk, penduduk miskin, anggaran obat dalam APBD dan prediksi sisa stok obat untuk pengalokasian DAK 2011 dan 2012. Uji analisis menggunakan chi square dan multipel regresi. Kualitatif dengan wawancara pengelola farmasi di 2 kabupaten dengan kemampuan keuangan tinggi. Hasil: Dari uji multiple regresi terhadap 6 faktor yang digunakan dalam pengalokasian DAK 2011 dan 2012 hanya 3 yang mempengaruhi alokasi yaitu jumlah penduduk, penduduk miskin dan prediksi sisa stok obat. Namun yang paling tinggi adalah jumah penduduk. Untuk kualitatif pada 2 responden, sejak mendapat DAK terjadi pengurangan anggaran obat di APBD, karena pembiayaan obat cukup dengan DAK. Kesimpulan: daerah belum memahami ownership anggaran kesehatan di daerah sehingga masih mengandalkan anggaran dari pusat, dimana ketidakstabilan anggaran pusat dengan ef isiensi menyebabkan pemotongan merata anggaran kesehatan di pusat dan daerah.