Hijrah Adhyanti Mirzana
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

TELAAH KETENTUAN PIDANA KEKARANTINAAN KESEHATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018 BAGI KESEHATAN NOTARIS DAN MASYARAKAT ERA PANDEMI COVID-19 M. Aris Munandar; Audyna Mayasari Muin; Hijrah Adhyanti Mirzana
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 5, No 1 (2021): Februari
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (361.716 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v5i1.9316

Abstract

 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hukum pidana yang menghambat penerapan status darurat kesehatan masyarakat pada saat diselenggarakan kekarantinaan kesehatan dan menganalisis sistem pemidanaan yang ideal untuk diterapkan bagi pelaku tindak pidana kekarantinaan kesehatan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teoretis kebijakan hukum pidana dalam darurat kesehatan masyarakat sulit untuk diterapkan. Substansi Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan memuat 2 (dua) jenis delik, yaitu delik formil dan delik materiel. Namun, terdapat penggunaan kata yang masih abstrak di antaranya: perbuatan “menghalang-halangi” serta menempatkan “kedaruratan kesehatan” sebagai “sebab” dalam peraturan tersebut merupakan sebuah kerancuan. Seharusnya rumusan kausalitas pidana dalam sebuah produk hukum pidana dirumuskan sesuai dengan konsepsi awalnya. Oleh karena itu, rumusan delik yang abstrak atau luas akan menghasilkan ketidakpastian hukum, berpotensi tidak dapat diterapkan, dan bertentangan dengan penafsiran yang menyatakan bahwa hukum pidana harus ditafsirkan secara sempit. Merujuk pada keadaan tersebut, maka sistem pemidanaan yang ideal diterapkan ketika terjadi pelanggaran penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, yaitu sistem pemidanaan yang bersifat restoratif dan integratif.Kata kunci: Pandemi Covid-19, Kekarantinaan Kesehatan, Kebijakan Hukum Pidana AbstractThis study aims to determine the legal policy policies that apply Law Number 6 of 2018 concerning Health Quarantine and analyze the ideal punishment system to be applied to health quarantine crimes. The research method used, namely normative research through an invited approach (statute approach). The results show that legal policies in public health emergencies are difficult to implement. The substance of Article 93 of the Health Quarantine Law contains 2 types of offenses, namely formal offenses and material offenses. However, there is a use of the word which is still abstract beside: the act of "obstructing" and placing "health emergency" as "cause" in the regulation is a confusion. The formulation of criminal causality in a criminal law product should be formulated in accordance with its initial conception. Therefore, the abstract or broad formulation of offenses will provide legal uncertainty, which cannot be applied, and contradicts the interpretation which states that criminal law must be interpreted narrowly. Referring to this situation, the ideal punishment system is applied when implementing health quarantine, namely a restorative and integrative system of punishment.Keywords: Covid-19 Pandemic, Health Quarantine Act, Penal Policy
KEBIJAKAN KRIMINALISASI PERS DALAM UNDANG-UNDANG PERS DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Hijrah Adhyanti Mirzana
LAW REFORM Vol 2, No 1 (2006)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6145.099 KB) | DOI: 10.14710/lr.v2i1.12232

Abstract

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). Namun demikian dalam pelaksanaannya, hak ini tentu harus mendapat pembatasan dari rambu-rambu hukum (dalam hal ini hukum pidana) agar hak tersebut tidak mengganggu kepentingan integritas teritorial dan keamanan publik, tidak meningkatkan kekacauan dan kejahatan, pengungkapan informasi yang dirahasiakan, melanggar otoritas dan kebebasan kekuasaan kehakiman, melanggar hak-hak reputasi manusia lainnya serta melindungi kesehatan dan moral publik. Kriminalisasi pers dalam UU Pers maupun dalam KUHP sudah bukan merupakan masalah, karena perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut juga diatur dan dapat dikriminalisasikan oleh ketentuan-ketentuan Internasional dan UU Pers atau KUHP negara lain. Oleh karena itu, untuk pembaharuan hukum pidana dimasa mendatang, perlu dilakukan pengkajian mengenai kebijakan formulasi delik. Kebijakan formulasi delik ditempuh dengan secara tegas menyebutkan pembatasan yang bersifat represif bagi kebebasan pers, yaitu berupa aturan-aturan dan penciptaan delik-delik pers serta harus menetapkan kualifikasi delik dari tindakan-tindakan yang dikriminalisasikannya, sehingga apabila terjadi pelanggaran UU Pers, ketentuan pidana tersebut dapat dioperasionalkan. Kebijakan formulasi delik juga dapat ditempuh dengan melakukan rumusan ulang (rephrase) terhadap delik pers dalam KHUP, sebagaimana KUHP Belanda yang melakukan harmonisasi rumusan delik dengan ketentuan-ketentuan Internasional. Kata Kunci : Kebijakan Kriminalisasi Pers, Undang-Undang Pers, Kitab Undang-Undang Hukum pidana
REVIEW OF CRIMINAL PROVISIONS OF FAKE NEWS (HOAX) BASED ON LEGISLATION IN INDONESIA Haeranah; Muhadar; Hijrah Adhyanti Mirzana; Nur Azisa; Andi Muhammad Lutfi Nurdin
Awang Long Law Review Vol. 5 No. 1 (2022): Awang Long Law Review
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.33 KB) | DOI: 10.56301/awl.v5i1.538

Abstract

The crime of fake news (hoax) is qualified as a material crime, namely a crime that must result in losses in the form of losses to consumers. Consumers are defined as users of manufactured goods (clothing, food, etc.), recipients of advertising messages, and service users (customers and so on). So that Article 28 paragraph (1) jo. Article 45A paragraph (1) of the ITE Law does not cover the general public. The definition of a consumer must be based on Law Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection. In addition, Article 28 paragraph (1) of the ITE Law is not a criminal offense against the act of spreading false news (hoax) in general, but the act of spreading false news in the context of electronic transactions such as online trading transactions. So, it can be concluded that the hoaxes regulated in Article 28 paragraph (1) jo. Article 45A paragraph (1) of the ITE Law is a material offense and its validity is limited to electronic transactions between consumers and producers, such as the sale of certain goods and/or services. So that the article cannot be applied to the general public.