Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Jurnal Pemuda

Pola Akses Berita Online Kaum Muda Lisa Lindawati
Jurnal Studi Pemuda Vol 4, No 1 (2015): PEMUDA KEWARGAAN DAN TIK
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/studipemudaugm.36734

Abstract

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mendorong lahirnya generasi digital atau Digital Natives. Generasi ini tumbuh dalam era informasi yang berlimpah ruah (information overload). Mereka mempunyai akses yang lebih tinggi terhadap media digital dibandingkan dengan generasi sebelumnya (Digital Immigrants). Hal ini melebarkan peluang bagi digital natives menjadi komunitas yang ‘well-informed’ dan bertransformasi menjadi ‘well-participate’. Sayangnya, information overload juga bisa menjadi bumerang. Di era informasi yang serba cepat, Jurnalisme sebagai sebuah ideologi menjadi sangat longgar. Alih-alih membentuk kaum muda yang ‘well informed’ dan ‘well participate’, kualitas informasi, dalam hal ini berita, yang buruk justru akan merentangkan jarak digital natives dengan kehidupan berdemokrasi. Kekhawatiran tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar.  Hasil penelitian ini menunjukkan Digital Natives menyikapi information overload sebagai sebuah fakta bukan masalah. Digital Natives menempatkan internet sebagai sumber berita utama. Hanya saja, internet belum mendapat kepercayaan penuh dari kaum muda. Surat Kabar dan Televisi masih menjadi media yang lebih dipercaya dibanding internet. Meskipun demikian, membaca berita sudah menjadi keseharian untuk mengikuti perkembangan. Motif ini terlihat dari kebiasaan mereka mengikuti timeline media sosial. Digital Natives juga terbiasa membandingkan berbagai sumber berita. Hanya saja, sebagian dari mereka tidak konsisten dalam mengikuti perkembangan berita. Mereka bergantung pada timeline media sosial. Hal ini berpotensi untuk menimbulkan pemahaman yang tidak utuh atas suatu peristiwa. Disamping itu, kecepatan yang selama ini didewakan oleh para jurnalis online ternyata bukan karakter terpenting yang dibutuhkan. Kejelasan berita menjadi prioritas utama. Menariknya, disamping membutuhkan berita yang jelas dan ringkas, kaum muda juga menginginkan berita online yang mendalam. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi institusi media untuk memperbaiki produknya
Kekuatan Cerita dalam Bisnis Sosial Lisa Lindawati
Jurnal Studi Pemuda Vol 7, No 2 (2018): Sociopreneur Muda
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (121.139 KB) | DOI: 10.22146/studipemudaugm.39643

Abstract

Dalam dua puluh tahun terakhir, social enterpeneur atau social enterprise banyak diperbincangkan. Konsep ini berkembang hampir di seluruh dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Sebagai sebuah diskursus maupun praktik, bisnis sosial memang bukan hal baru. Namun, penulis berpendapat bahwa di era revolusi industri 4.0 adalah momentum yang sangat tepat bagi berkembangnya social entrepreneurship. Dengan metode kualitatif deskriptif, penulis ingin menunjukkan bahwa perkembangan media digital melahirkan ekosistem yang menguntungkan para sociopreneur muda, setidaknya dengan dua cara. Pertama, media digital mendorong berkembangnya sharing economy yang selaras dengan nilai-nilai yang diyakini oleh para sociopreneur. Hal ini berkaitan erat dengan munculnya berbagai inovasi disruptif yang meruntuhkan nilai-nilai lama. Konsep sharing economy menjadi populer sehingga memangkas biaya produksi maupun distribusi. Bagi bisnis konvensional, konsep ini sekaligus memangkas keuntungan mereka. Namun, bagi bisnis sosial, efisiensi bermakna positif karena bukan keuntungan tujuannya. Dengan kata lain, media digital membuat logika bisnis sosial menjadi kelaziman yang mudah diterima. Kedua, kehadiran media digital mendorong berkembangnya storytelling marketing. Jika bisnis komersial harus menggali ceritanya, bisnis sosial selalu hadir membawa cerita. Cerita bahkan menjadi ruh dari sebuah bisnis sosial. Tanpa cerita, maka bisnis sosial tidaklah berbeda dengan bisnis komersial pada umumnya. Cerita menghadirkan inspirasi dan menegaskan misi sosial, sekaligus mengajak orang lain untuk bergerak bersama. Sehingga, sudah selayaknya seorang sociopreneur menjadi seorang storyteller.