Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Kecenderungan Konten Berita Jurnalisme Warga dalam Portal Desa Jejaring ‘Gerakan Desa Membangun’ pada 2011-2013 Lindawati Lisa
IPTEK-KOM : Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi Vol 16, No 2 (2014): JURNAL IPTEKKOM : Jurnal Ilmu Pengetahuan & Teknologi Informasi
Publisher : BPSDMP KOMNFO Yogyakarta, Kementerian Komunikasi dan Informatika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33164/iptekkom.16.2.2014.131-150

Abstract

Keberadaan media baru mengaburkan dikotomi antara media dan audiens. Produksi informasi tidak lagi dimonopoli oleh media arus utama. Hal ini membawa dampak signifikan terhadap jurnalisme. Media baru menyuburkan apa yang disebut dengan Jurnalisme Warga. Produksi informasi tidak lagi dikuasai oleh kelompok masyarakat ‘terdidik’ dan ‘modern’. Kondisi ini memungkinkan komunitas akar rumput memperoleh kesempatan bicara. Salah satunya adalah desa dalam jejaring Gerakan Desa Membangun. Dengan memanfaatkan PortalDesa, desa yang selama ini cenderung diabaikan media berubah menjadi produsen informasi yang produktif. Motifnya adalah menghadirkan representasi desa yang berbeda dengan mediaarus utama. Dalam konteks ini, kecenderungan konten berita menjadi kajian menarik. Dengan menggunakan metode analisis isi kualitatif, hasil penelitian ini menunjukkan ada optimisme yang ingin dihadirkan melalui media baru. Portal Desa menghadirkan sudut pandang ‘ordinarypeople’. Masyarakat desa mendapat tempat yang dominan. Hal ini menunjukkan kuatnya desa sebagai komunitas yang ingin eksis, bahwa mereka ada, mereka bersuara, dan mereka berdaya.Kata Kunci: jurnalisme warga, media alternatif, pemberdayaan, pembangunan desa
Pola Akses Berita Online Kaum Muda Lisa Lindawati
Jurnal Studi Pemuda Vol 4, No 1 (2015): PEMUDA KEWARGAAN DAN TIK
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/studipemudaugm.36734

Abstract

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mendorong lahirnya generasi digital atau Digital Natives. Generasi ini tumbuh dalam era informasi yang berlimpah ruah (information overload). Mereka mempunyai akses yang lebih tinggi terhadap media digital dibandingkan dengan generasi sebelumnya (Digital Immigrants). Hal ini melebarkan peluang bagi digital natives menjadi komunitas yang ‘well-informed’ dan bertransformasi menjadi ‘well-participate’. Sayangnya, information overload juga bisa menjadi bumerang. Di era informasi yang serba cepat, Jurnalisme sebagai sebuah ideologi menjadi sangat longgar. Alih-alih membentuk kaum muda yang ‘well informed’ dan ‘well participate’, kualitas informasi, dalam hal ini berita, yang buruk justru akan merentangkan jarak digital natives dengan kehidupan berdemokrasi. Kekhawatiran tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar.  Hasil penelitian ini menunjukkan Digital Natives menyikapi information overload sebagai sebuah fakta bukan masalah. Digital Natives menempatkan internet sebagai sumber berita utama. Hanya saja, internet belum mendapat kepercayaan penuh dari kaum muda. Surat Kabar dan Televisi masih menjadi media yang lebih dipercaya dibanding internet. Meskipun demikian, membaca berita sudah menjadi keseharian untuk mengikuti perkembangan. Motif ini terlihat dari kebiasaan mereka mengikuti timeline media sosial. Digital Natives juga terbiasa membandingkan berbagai sumber berita. Hanya saja, sebagian dari mereka tidak konsisten dalam mengikuti perkembangan berita. Mereka bergantung pada timeline media sosial. Hal ini berpotensi untuk menimbulkan pemahaman yang tidak utuh atas suatu peristiwa. Disamping itu, kecepatan yang selama ini didewakan oleh para jurnalis online ternyata bukan karakter terpenting yang dibutuhkan. Kejelasan berita menjadi prioritas utama. Menariknya, disamping membutuhkan berita yang jelas dan ringkas, kaum muda juga menginginkan berita online yang mendalam. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi institusi media untuk memperbaiki produknya
Kekuatan Cerita dalam Bisnis Sosial Lisa Lindawati
Jurnal Studi Pemuda Vol 7, No 2 (2018): Sociopreneur Muda
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (121.139 KB) | DOI: 10.22146/studipemudaugm.39643

Abstract

Dalam dua puluh tahun terakhir, social enterpeneur atau social enterprise banyak diperbincangkan. Konsep ini berkembang hampir di seluruh dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Sebagai sebuah diskursus maupun praktik, bisnis sosial memang bukan hal baru. Namun, penulis berpendapat bahwa di era revolusi industri 4.0 adalah momentum yang sangat tepat bagi berkembangnya social entrepreneurship. Dengan metode kualitatif deskriptif, penulis ingin menunjukkan bahwa perkembangan media digital melahirkan ekosistem yang menguntungkan para sociopreneur muda, setidaknya dengan dua cara. Pertama, media digital mendorong berkembangnya sharing economy yang selaras dengan nilai-nilai yang diyakini oleh para sociopreneur. Hal ini berkaitan erat dengan munculnya berbagai inovasi disruptif yang meruntuhkan nilai-nilai lama. Konsep sharing economy menjadi populer sehingga memangkas biaya produksi maupun distribusi. Bagi bisnis konvensional, konsep ini sekaligus memangkas keuntungan mereka. Namun, bagi bisnis sosial, efisiensi bermakna positif karena bukan keuntungan tujuannya. Dengan kata lain, media digital membuat logika bisnis sosial menjadi kelaziman yang mudah diterima. Kedua, kehadiran media digital mendorong berkembangnya storytelling marketing. Jika bisnis komersial harus menggali ceritanya, bisnis sosial selalu hadir membawa cerita. Cerita bahkan menjadi ruh dari sebuah bisnis sosial. Tanpa cerita, maka bisnis sosial tidaklah berbeda dengan bisnis komersial pada umumnya. Cerita menghadirkan inspirasi dan menegaskan misi sosial, sekaligus mengajak orang lain untuk bergerak bersama. Sehingga, sudah selayaknya seorang sociopreneur menjadi seorang storyteller.
Penggunaan Media Sosial sebagai Sumber Berita oleh Jurnalis Media Daring di Indonesia Tri Utami Rosemarwati; Lisa Lindawati
Jurnal Studi Komunikasi dan Media Vol 23, No 2 (2019): Jurnal Studi Komunikasi dan Media
Publisher : BPSDMP Kominfo Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31445/jskm.2019.1744

Abstract

Social media content has been widely adopted as a news source and it had become a contemporary phenomenon of journalism all over the globe. Yet, while some academic studies had been undergone in several countries, it remains scarce in Indonesia. Therefore, this study aims to examine Indonesian online journalists’ pattern of using social media as a news source. This pattern is related to how journalists sort and select content in social media along with how they verifiy and build trust over social media content. An offline and online survey were conducted to 77 journalists from 19 Indonesian online media outlets. Findings showed that social media is highly adopted as a news source though majority still used it as secondary source. Interestingly, albeit journalist high adoption of social media as a news source, most of them still hardly trust information they used from social media completely.
Pola Akses Berita Online Kaum Muda Lisa Lindawati
Jurnal Studi Pemuda Vol 4, No 1 (2015): PEMUDA KEWARGAAN DAN TIK
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (891.938 KB) | DOI: 10.22146/studipemudaugm.36734

Abstract

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mendorong lahirnya generasi digital atau Digital Natives. Generasi ini tumbuh dalam era informasi yang berlimpah ruah (information overload). Mereka mempunyai akses yang lebih tinggi terhadap media digital dibandingkan dengan generasi sebelumnya (Digital Immigrants). Hal ini melebarkan peluang bagi digital natives menjadi komunitas yang ‘well-informed’ dan bertransformasi menjadi ‘well-participate’. Sayangnya, information overload juga bisa menjadi bumerang. Di era informasi yang serba cepat, Jurnalisme sebagai sebuah ideologi menjadi sangat longgar. Alih-alih membentuk kaum muda yang ‘well informed’ dan ‘well participate’, kualitas informasi, dalam hal ini berita, yang buruk justru akan merentangkan jarak digital natives dengan kehidupan berdemokrasi. Kekhawatiran tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar.  Hasil penelitian ini menunjukkan Digital Natives menyikapi information overload sebagai sebuah fakta bukan masalah. Digital Natives menempatkan internet sebagai sumber berita utama. Hanya saja, internet belum mendapat kepercayaan penuh dari kaum muda. Surat Kabar dan Televisi masih menjadi media yang lebih dipercaya dibanding internet. Meskipun demikian, membaca berita sudah menjadi keseharian untuk mengikuti perkembangan. Motif ini terlihat dari kebiasaan mereka mengikuti timeline media sosial. Digital Natives juga terbiasa membandingkan berbagai sumber berita. Hanya saja, sebagian dari mereka tidak konsisten dalam mengikuti perkembangan berita. Mereka bergantung pada timeline media sosial. Hal ini berpotensi untuk menimbulkan pemahaman yang tidak utuh atas suatu peristiwa. Disamping itu, kecepatan yang selama ini didewakan oleh para jurnalis online ternyata bukan karakter terpenting yang dibutuhkan. Kejelasan berita menjadi prioritas utama. Menariknya, disamping membutuhkan berita yang jelas dan ringkas, kaum muda juga menginginkan berita online yang mendalam. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi institusi media untuk memperbaiki produknya
Kekuatan Cerita dalam Bisnis Sosial Lisa Lindawati
Jurnal Studi Pemuda Vol 7, No 2 (2018): Sociopreneur Muda
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (121.139 KB) | DOI: 10.22146/studipemudaugm.39643

Abstract

Dalam dua puluh tahun terakhir, social enterpeneur atau social enterprise banyak diperbincangkan. Konsep ini berkembang hampir di seluruh dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Sebagai sebuah diskursus maupun praktik, bisnis sosial memang bukan hal baru. Namun, penulis berpendapat bahwa di era revolusi industri 4.0 adalah momentum yang sangat tepat bagi berkembangnya social entrepreneurship. Dengan metode kualitatif deskriptif, penulis ingin menunjukkan bahwa perkembangan media digital melahirkan ekosistem yang menguntungkan para sociopreneur muda, setidaknya dengan dua cara. Pertama, media digital mendorong berkembangnya sharing economy yang selaras dengan nilai-nilai yang diyakini oleh para sociopreneur. Hal ini berkaitan erat dengan munculnya berbagai inovasi disruptif yang meruntuhkan nilai-nilai lama. Konsep sharing economy menjadi populer sehingga memangkas biaya produksi maupun distribusi. Bagi bisnis konvensional, konsep ini sekaligus memangkas keuntungan mereka. Namun, bagi bisnis sosial, efisiensi bermakna positif karena bukan keuntungan tujuannya. Dengan kata lain, media digital membuat logika bisnis sosial menjadi kelaziman yang mudah diterima. Kedua, kehadiran media digital mendorong berkembangnya storytelling marketing. Jika bisnis komersial harus menggali ceritanya, bisnis sosial selalu hadir membawa cerita. Cerita bahkan menjadi ruh dari sebuah bisnis sosial. Tanpa cerita, maka bisnis sosial tidaklah berbeda dengan bisnis komersial pada umumnya. Cerita menghadirkan inspirasi dan menegaskan misi sosial, sekaligus mengajak orang lain untuk bergerak bersama. Sehingga, sudah selayaknya seorang sociopreneur menjadi seorang storyteller.
The Potential of Community-Based Nomadic Tourism Development: Insight from Three Case Study in Yogyakarta Lisa Lindawati; Acniah Damayanti; Dinda Hermiranti Putri
Jurnal Pemberdayaan Masyarakat: Media Pemikiran dan Dakwah Pembangunan Vol 5, No 1 (2021)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/jpm.2021.051-06

Abstract

Since February 2015, the government has provided tourism as a leading sector in development. It is, however, that this premise needs to be reviewed. As one of the popular destinations in Indonesia, after Bali, Yogyakarta is still dealing with acute poverty problems with an 11,7% poverty rate and disparity index of 0,423 (Gini ratio) by March 2019. This situation showed that tourism has not contributed to its vital role in empowering the community. The primary problem is concerning the lack of participation based-community in developing and managing tourism. Regarding that problem, community-based tourism is present as an alternative tourism model because it is concerned with optimizing local potentiality and local community empowerment. Meanwhile, some aspects, including access, amenities, and attractions, are essential in tourism development. In line with issues, the acceleration of digital technology has encouraged nomad workers and experience-based tourism attraction—both elements then actualized in nomadic tourism. According to the case study method, this research has investigated the potentiality of the nomadic tourism model in the Special Region of Yogyakarta: Bukit Kosakora (Kosakara Hill) in Gunung Kidul, Taman Bambu Air (Water Bamboo Park) in Sermo Reservoir, Kulonprogo, and Bukit Lintang Sewu (Thousand Stars Hill) in the Mangunan, Bantul, Yogyakarta. The three places are potentially pioneers of nomadic tourism in Yogyakarta. The research results highlight that all of these places have amenities, attraction, and access as opportunities to be nomadic tourism. However, they have implemented the basic principles of community-based tourism, but the realization is not yet fully optimal because of the matter in the institutional context.
The Role of Information and Communication Technology for Economic Sustainability through Social Entrepreneurship Practices in Indonesia: A Preliminary Study Lisa Lindawati
JSP (Jurnal Ilmu Sosial dan ilmu Poltik) Vol 26, No 2 (2022): November
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jsp.71796

Abstract

ICT provides an environment that encourages the development of social entrepreneurship. Regarding its definition, social entrepreneurship is the “third way” of the two sectors running dichotomously: business entities that tend to be profitable and social institutions that are not profit-oriented. The social business carries out business activities with a social mission. Social movements were at different poles from profit-seeking efforts in the past, and digital technology enabled them to achieve them simultaneously. One of the supporting factors is its ability to reduce production, distribution, and even promotion costs. On the other hand, ICT allows social entrepreneurs to amplify their stories. There are no fundamental differences between commercial and social business activities. Both of them produce goods or services. The distinguishing elements are how they do business, the actors involved, and the eventual pursuit. If the commercial company tends to profit, social enterprise talks about social impact. Profit is a medium or tool to have a social impact on business. In the last five years, social entrepreneurship trends have maturated in Indonesia. This trend attracts researchers to take a deeper look at the sustainability aspects brought by social entrepreneurs. As preliminary research, this study explores how social entrepreneurship supports economic sustainability.
Analisis Isi Surat Kabar Lokal Online di Kabupaten Banyumas Lindawati, Lisa
JURNAL KOMUNIKASI INDONESIA Vol. 3, No. 2
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Desa merupakan entitas penting di Indonesia. Pasalnya, sebagian besar wilayah Indonesia adalah desa. Sejauh ini isu desa belum menjadi perhatian sebagian besar media, termasuk media lokal yang notabene dekat dengan entitas desa. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis isi. Objek penelitian adalah dua surat kabar lokal online yang berbasis di wilayah Kabupaten Banyumas, yaitu Radar Banyumas dan Satelit Post dalam rentang waktu 1 tahun (Maret 2013 -Maret 2014). Dari hasil penelitian, tercermin bahwa media sibuk dengan isu besar yang cenderung “Jakarta Sentris”. Jikalau diberitakan, desa ditempatkan sebagai komunitas yang inferior dan termarginalkan. Isu tentang Desa seringkali dikaitkan dengan kriminalitas, peristiwa bencana, dan juga kemiskinan. Padahal, ada banyak sisi lain dari desa yang dapat ditonjolkan dan memberikan dampak positif bagi pembangunan Desa. Perlu sinergitas antara desa dengan media dalam membangun wacana positif tentang Desa. Peluangnya, meskipun dalam produk yang dihasilkan oleh media belum mencerminkan sinergitas tersebut, ada komitmen yang diutarakan redaksi untuk lebih memperhatikan desa dalam pemberitaannya. Village is an important entity in Indonesia. The reason is Indonesia mostly comprises rural areas. So far most media outlets, including local media that are in fact in close proximity to villages, lack interest in the issue of village.This research used the content analysis method. The study was conducted on two local online newspapers based in Banyumas regency, namely RadarBanyumas and Satellite Post within a span of 1 year (March 2013-March 2014). The research found the media tend to be Jakarta-centered as they were busy with big issues that were happening in the capital city. When covered, villages are treated as inferior and marginalized communities. The issue of village is often associated with crime, disasters and poverty, whereas there are lots of other sides of the village that the media can promote to spur rural development. Synergy between villages and the media to build a constructive discourse about village is imperative. Although the products of the media have not yet reflected the synergy, there is commitment from the editors to paying more attention to village affairs.
Rok Mini Di Persimpangan Jalan Antara Kebebasan Dan Eksploitas Lisa Lindawati
Jurnal Komunikasi Vol. 6 No. 2 (2014): Jurnal Komunikasi
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jk.v6i2.29

Abstract

Abstract: The media has the power to destroy the so-called 'taboo' and reconstruct it back into a different shape. Whether through films, soap operas, music, advertising, novels and even the news, women become the center of the story. Construction for the sake of construction, do not ever run away from what should be and how it should be women. This is why the study of women never lead. As well as the mini skirt that identically to women. Since its emergence in the early 1960s, miniskirt trends are always accompanied by controversy. Media to be one of the elements that can strengthen the two positions. Is encouraging women dream of liberation or exploitation became the main actors. Female fans of the miniskirt at a crossroads. Abstrak:Media mempunyai kekuatan untuk menghancurkan apa yang disebut ‘tabu’ dan mengkonstruksikannya kembali menjadi bentuk berbeda. Entah melalui film, sinetron, musik, iklan, novel dan bahkan berita, perempuan menjadi pusat ceritanya. Konstruksi demi konstruksi, diselingi dengan dekonstruksi demi dekonstruksi, tidak pernah jauh berlari dari apa yang harus dan bagaimana seharusnya perempuan. Inilah mengapa kajian perempuan seperti air yang tidak sampai juga ke hulunya. Begitu juga dengan rok mini yang identik dengan perempuan. Sejak kemunculannya di awal tahun 1960an, tren rok mini selalu diiringi dengan kontroversi. Media menjadi salah satu elemen yang dapat menguatkan dua posisi. Apakah mendorong semangat pembebasan idaman kaum perempuan atau justru menjadi pelaku utama eksploitasi. Perempuan penggemar rok mini ada di persimpangan jalan.