Atip Latipulhayat
(scopus ID: 15056302300), Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Published : 13 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

New Face of International Law From Western to Global Construct Atip Latipulhayat
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The modern international law, not only imitates, but the substance is truly the European values and traditions. The European nations produce the norm of international law with a clear objective is to divide the world into "selves" (European nations) and "others" (non-European nations). This is exacerbated by European colonialism and imperialism, which allow their values and traditions to become hegemonic norms that ultimately produce the paradigm of "otherness" in international law. Non-European nations are "others", which are considered only as users of the European values. The “otherness” paradigm in international law is resulted from the universal claim of the European values. It is a hegemonic technique. The paper argues that International law should move from the “otherness” to the “togetherness” paradigm. This requires a new approach in the making of international norms, from claim to consent, and now it has led to the global values approach. The paradigm of togetherness requires an inter-civilizational approach, and universality is the keyword. Universal norms should not be put on an abstract level; they need transformation into the particular idioms. Universality is not a matter of claim; it is a respect and acceptance of cultures and values of other nations. International law requires a paradigm shift, from Western to Global Construct.Wajah Baru Hukum Internasional Dari Konstruksi Barat ke Konstruksi GlobalAbstrakHukum internasional modern, tidak hanya meniru, tetapi substansinya sepenuhnya adalah nilai-nilai dan tradisi Eropa. Negara-negara Eropa memproduksi norma hukum internasional dengan tujuan yang jelas, yakni untuk membagi dunia menjadi "selves" (bangsa Eropa) dan "others" (bangsa non-Eropa). Hal ini diperburuk oleh kolonialisme dan imperialisme Eropa, yang memungkinkan nilai-nilai dan tradisi mereka menjadi norma-norma hegemonik yang pada akhirnya menghasilkan paradigma "otherness" (keberlainan) dalam hukum internasional. Negara-negara non-Eropa adalah "others" (liyan) yang dianggap hanya sebagai pengguna nilai-nilai Eropa. Paradigma "otherness” dalam hukum internasional lahir dari klaim universal nilai-nilai bangsa Eropa. Ini adalah teknik hegemonik. Tulisan ini berpendapat bahwa hukum internasional harus berubah dari paradigma "otherness” (keberlainan) ke "togetherness” (kebersamaan). Paradigma ini mensyaratkan pendekatan baru dalam pembuatan norma-norma internasional, dari klaim ke persetujuan (negara), dan saat ini telah mengarah pada pendekatan nilai-nilai global. Paradigma kebersamaan membutuhkan pendekatan antar-peradaban, dan universalitas adalah kata kuncinya. Norma-norma universal tidak boleh diletakkan pada level abstrak; mereka membutuhkan transformasi kedalam idiom-idiom yang lebih detail dan spesifik. Universalitas bukanlah masalah klaim; tetapi merupakan penghormatan dan penerimaan budaya dan nilai-nilai negara lain. Hukum internasional membutuhkan perubahan paradigma, dari konstruksi Barat ke konstruksi global.Kata kunci: hukum internasional, konstruksi barat, konstruksi global.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n1.a3
Editorial: Post-Truth, Power, and Law Atip Latipulhayat
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 5, No 1 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Editorial: Post-Truth, Power, and Law
Khazanah: John Austin Atip Latipulhayat
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (537.497 KB)

Abstract

Tidak ada yang menyangkal bahwa John Austin adalah penganjur dan pembela mazhab positivisme hukum. Lebih tepatnya, Austin dianggap sebagai pionir mazhab positivisme analitik, yaitu versi positivisme kontemporer yang mengklaim bahwa hukum yang sebenarnya adalah yang mewujud dalam praktik, bukan mengkonstruksi suatu konsep hukum pada tataran normatif dan iedalisme politik semata. Dengan paham positivisme hukum ini Austin menjauhkan hukum dari basis dan penilaian subjektif yang dinilainya abstrak seperti moral dan etika, bahkan agama. Hukum harus bersumber dari sesuatu yang nyata dan ia menemukannya pada apa yang ia sebut sebagai ‘sovereign’ (daulat atau kuasa) yang bisa berwujud kuasa monarkhi seperti Raja atau kuasa demokratis semisal parlemen. Sesuatu disebut hukum, bukan karena penilaian subjektif bahwa sesuatu itu bersifat baik atau buruk, melainkan karena berasal atau diproduksi oleh ‘sovereign”. Atas semua klaimnya itu Austin mengatakan sebagai berikut: the existence of law is one thing; its merit or demerit is another.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n2.a12
Khazanah: Hart Atip Latipulhayat
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2498.246 KB)

Abstract

Positivisme klasik yang mendalilkan bahwa hukum adalah perintah (command) yang kemudian dikenal dengan ‘command theory’ dikembangkan antara lain oleh Bentham dan John Austin pada abad 18 dan 19 Masehi. Dalil-dalil positivisme klasik tidak sepenuhnya memuaskan. Para pakar hukum termasuk lingkar dalam positivisme hukum memberikan kritik yang cukup substantif, khususnya kepada Austin. Salah satu yang serius mengkritik positivisme Austin adalah Hart yang menganggap bahwa formula tunggal Austin dalam memaknai hukum sebagai ‘perintah penguasa’ (command of sovereign) kurang memadai untuk menjelaskan hakikat hukum. Menurut Hart, hukum adalah ‘rule’ (aturan), tapi bukan aturan seperti yang dimaknai oleh penganut positivisme klasik seperti Austin bahwa aturan itu adalah produk dari penguasa. Sesuatu disebut aturan, menurut Hart bukan karena ia diproduksi oleh penguasa, melainkan karena ia diterima dan beroperasi di masyarakat. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3.n3.a12
Editorial: Due Process of Law Atip Latipulhayat
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (454.082 KB)

Abstract

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) menuai banyak kontroversi, salah satu diantaranya adalah yang menyangkut peniadaan proses pengadilan dalam pembubaran suatu organisasi kemasyarakatan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Proses peradilan menjadi elemen penting dalam negara hukum, karena adanya proses tersebut merupakan bukti penghormatan negara terhadap hukum dan hak asasi manusia (HAM).  DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v4n1.a0
Editorial: Demokrasi Deliberatif: Dari Wacana ke Kerangka Hukum Atip Latipulhayat
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (442.533 KB)

Abstract

Wacana demokrasi deliberatif – walaupun agak terlambat - mulai masuk dalam khazanah keilimuan Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru (Fahrul Muzaqqi, 2013: 123), sekira tahun 2000-an. Dalam hal ini, demokrasi deliberatif mengacu pada gagasan bentuk pemerintahan di mana para warga negara yang bebas dan sederajat, memberikan pembenaran proses pengambilan keputusan di mana mereka memberikan alasan-alasan lain secara timbal balik dapat diterima dan dapat diakses dengan tujuan mencapai kesimpulan - kesimpulan yang mengikat saat ini kepada setiap warga negara namun terbuka untuk digugat di kemudian hari (Gutman dan Thompson dalam Bilal Dewansyah, 2015: 24). Meskipun demikian, gagasan tersebut baru mulai mem-publik pada tahun 2000 dengan muncul beberapa literatur, seperti artikel dan buku yang ditulis F. Budi Hardiman (2004 dan 2009) dalam perspektif Habermasian.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n2.a0
Editorial: Mendudukan Kembali Judicial Activism dan Judicial Restraint dalam Kerangka Demokrasi Atip Latipulhayat
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 3 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (195.639 KB)

Abstract

Judicial activism dan judicial restraint menjadi topik hangat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016 yang menolak permohonan perluasan makna dari Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Baik judicial activism maupun judicial restraint sejatinya merupakan dua terma yang lahir dari tradisi hukum Amerika Serikat. Kedua tema tersebut secara umum melukiskan perbedaan pandangan para hakim dan ilmuwan hukum mengenai persepsi mereka terhadap hukum dan fungsi hakim di dalam bangunan ketatanegaraan yang demokratis.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v4n3.a0 
Encyclopedia: Non-Liquet Atip Latipulhayat
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 5, No 3 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Non-Liquet means, literally, "it is not clear" in Latin. This refers to the situation when courts are not able to render a decision on a case, because of the existence of a gap in the law, or because of the inadequacy of the legal basis for deciding the case. However, the failure of the court to make a decision does not necessarily mean it constitutes a non-liquet. This may occurred due to the absence of jurisdiction of the court over the case, or the parties do not have legal standing. In short, it can be said that non-liquet happened because the court failed to make a decision due to the absence of applicable rule of law. At the practical level, it raises the question on whether non-liquet occurred because of inability of judges or arbitrators to make a decision on a specific case or inadequacy of the underlying legal systems itself. In the first sense, it refers to what scholars say as ‘decision-making non-liquet’, and ‘systemic non-liquet’ for the second sense. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v5n3.a0 
Khazanah: Grotius Atip Latipulhayat
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 1 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (554.068 KB)

Abstract

Hugo de Groot atau yang lebih dikenal dengan Grotius adalah tokoh pemikir Belanda kaliber internasional dengan segudang karya monumental yang bukan saja menjadi rujukan masyarakat internasional, tapi juga memberikan pengaruh mendalam dan relatif abadi dalam sejarah dunia. Grotius adalah tokoh dengan multi wajah dan wijhah (orientasi) keilmuan. Dia adalah ahli sejarah, ahli hukum, filosof, diplomat, dan juga praktisi hukum. Dari sekian banyak pengakuan dan julukan yang diterima Grotius adalah kepakarannya dalam hukum internasional sehingga dunia mengakuinya sebagai Bapak Hukum Internasional Modern khususnya lewat magnum opus nya, De Jure Belli ac Pacis. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v4n1.a12
Khazanah: Cornelis van Vollenhoven Atip Latipulhayat
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

“What is needed, is this: practical implementation, along eastern lines, of eastern thoughts and the eastern approach of adat-law to the modern…needs of… the contemporary [Netherlands] Indies… Adat-law alone, which satisfies eastern needs and speaks to eastern hearts, can be said to parallel the short-sighted recklessness of western law, if only its discovery, effects, insemination can be furthered in the eastern mind—and who can better do this than the Indonesians?” Cornelis van Vollenhoven, 1928