Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Politik Identitas Pada Putaran Kedua Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2017 Fransiskus X Gian Tue Mali
ARISTO Vol 9, No 2 (2021): July
Publisher : Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24269/ars.v9i2.2377

Abstract

Praktik politik dalam sebuah negara demokrasi adalah upaya perwujudan kepentingan atau kebutuhan politik dari setiap elemen dan individu. Kepentingan atau kebutuhan politik ini pada akhirnya terintegrasi dalam kelompok-kelompok sosial. Upaya perwujudan kepentingan politik selalu dimanifestasikan dalam kelompok identitas mayoritas yang ada di dalam masyarakat melalui upaya penyamaan kepentingan agar mendapatkan dukungan dari berbagai identitas mayoritas tersebut guna memperbesar peluang yang ada. Politik menjadi ajangidentity struggle yang tidak bisa dipungkiri dalam negara demokrasi manapun. Salah satu cara untuk mengkaji upaya perwujudan kepentingan politik berbasis identitas adalah dalam penyelenggaraan pemilu, termasuk pemilihan umum kepala daerah di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui teknik pengumpulan data studi kajian pustaka dan interview untuk mendeskripsikan politik identitas pada putaran kedua pemilihan umum kepala daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2017. Hasilnya bahwa pada pemilihan umum kepala daerah putaran kedua di Provinsi DKI Jakarta tahun 2017 terbentuk polarisasi identitas yang disebut sebagai identitas Legitimasi berupa identitas agama, etnis dan ekonomi. Identitas Resisten berupa Identitas perilaku pemilih rasional dan emosional, masyarakat Pancasila dan Anti Pancasila dan kesamaan nasib akan masalah sosial. Selanjutnya Identitas Proyek berupa julukan sarkasme terhadap pendukung kandidat tertentu yang berubah menjadi identitas pendukung, dan penggantian kata tertentu.
Negara vs Masyarakat: Konflik Tanah di Kabupaten Nagekeo, NTT Fransiskus X Gian Tue Mali
POLITIK Vol 11, No 2 (2015): Politik
Publisher : POLITIK

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (461.533 KB)

Abstract

AbstractTulisan ini menjelaskan konflik lahan yang terjadi di Kabupaten Nagekeo antara negara VS masyarakat. Kita tahu bahwa negara diwakili oleh pemerintah, jika di daerah kadang-kadang disebut sebagai pemerintah daerah dalam proses pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum sering menghadapi masalah kompensasi dalam bentuk masalah pembebasan lahan dan kepemilikan lahan. Isu-isu seperti ini menyebabkan pemerintah dan orang sering berhadapan dalam konflik yang terkadang menyebabkan kekerasan dan anarki. Meskipun resolusi yang diadopsi kadang-kadang telah selesai tetapi konflik tidak akan berhenti di situ dalam beberapa konflik lahan di Indonesia. Akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa konflik tanah antara negara VS masyarakat Nagekeo adalah kepemilikan lahan kesalahan pengaturan dan penyimpangan dari Undang-Undang dan Peraturan presiden Tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, selain itu ada kepentingan pribadi dan kelompok yang memicu konflik di Nagekeo.kata kunci: Negara VS Masyarakat, Konflik Tanah, Kabupaten NagekeoAbstractThis paper describes the land conflicts that occurred in the district of Nagekeo between the state VS society. We know that the state represented by the government, if in the area sometimes referred to as local governments in the process of infrastructure development for the public interest often face the issue of compensation in the form of land acquisition and land tenure issues. Issues such as this led to the government and people often face to face in a conflict that sometimes led to violence and anarchy. Although the resolution adopted sometimes has completed but the conflict will not stop there in some land conflicts in Indonesia. Finally, the authors conclude that the land conflict between the State VS Nagekeo Society is land ownership arrangement error and deviation of the Act and Regulations presidential About Land Acquisition for Public Interest, besides there are personal and group interests that triggered the conflict in Nagekeo.keywords: VS State Society, Conflict Land, District Nagekeo
KONFLIK TANAH DI DAERAH OTONOM BARU (DOB) STUDI KONFLIK TANAH PEMBANGUNAN KANTOR DPRD DI KABUPATEN NAGEKEO, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Fransiskus X. Gian Tue Mali
Sociae Polites Vol. 18 No. 01 (2017): Januari-Juni
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/sp.v18i01.754

Abstract

AbstractPost implementation of regional autonomy and the impact on regional expansion, then DOB will start the construction of infrastructure facilities and infrastructure for the public interest. But often in the process of conflict either in the form of the issue of compensation, land acquisition, nor the problem of land ownership. Issues such as this led to the government and people often face to face in a conflict that sometimes led to delays in economic development is the primary objective of regional expansion. Because local governments and regional elites tend to be born as a major power in the region. Along with that, the community and social groups in it was reborn as a force that is trying to fight for their rights are neglected. The study concluded that the land conflict in Nagekeo as DOB pahamnya occurs because local governments on regional autonomy meaning that governments in the region tend to be born as the arrogant powers are hiding behind reasons of public interest that is ridden by personal and group interests. Thus ignoring the rights of some communities in the area. Local authorities thus essentially a major factor in the failure of regional expansion in Nagekeo.Keywords: Land Conflict, DOB, Nagekeo AbstrakPasca penerapan otonomi daerah dan berdampak pada pemekaran daerah, maka Daerah Otonom Baru (DOB) akan mulai melakukan pembangunan sarana prasarana maupun infrastruktur bagi kepentingan publik. Namun sering dalam proses tersebut terjadi konflik baik berupa persoalan ganti rugi, pembebasan lahan, maupun masalah kepemilikan lahan. Persoalan seperti ini menyebabkan pemerintah dan masyarakat sering berhadap-hadapan dalam konflik yang terkadang berujung pada terhambatnya pembangunan ekonomi yang merupakan tujuan utama dari pemekaran daerah. Karena pemda dan para elit daerah cenderung lahir sebagai kekuatan utama di daerah. Seiring dengan itupula masyarakat dan kelompok sosial di dalamnya pun lahir kembali sebagai kekuatan yang berusaha memperjuangkan hak-haknya yang terabaikan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa konflik tanah di Nagekeo sebagai DOB terjadi karena tidak pahamnya pemerintah daerah terhadap makna otonomi daerah sehingga pemerintah di daerah cenderung lahir sebagai kekuatan arogan yang berlindung dibalik alasan kepentingan umum yang ditunggangi oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Sehingga mengabaikan hak sebagian masyarakat daerah. Sehingga pada hakikatnya pemerintah daerahlah faktor utama dalam kegagalan pemekaran daerah di Nagekeo.Kata kunci : Konflik Tanah, DOB, Nagekeo
PELUANG ASEAN COMMUNITY MENYELESAIKAN MASALAH ROHINGYA Fransiskus X. Gian Tue Mali
Kajian Asia Pasifik Vol 1 No 1 (2017): Januari - Juni 2017
Publisher : International Relations Study Program of Universitas Kristen Indonesia (UKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (711.059 KB) | DOI: 10.33541/japs.v1i1.497

Abstract

This article seeks to discuss and analyze the fate of Rohingyas who are stateless because of being denied as citizens of Myanmar. Even Bangladesh as a neighboring country which for nearly four decades received a quarter million Rohingyas, eventually refused Rohingyas migration. Likewise, some countries in Southeast Asia such as Thailand and Malaysia also refused their migration. Security, economic, social and political issues are the reasons why these countries reject the presence of this group. ASEAN as a regional group of Southeast Asian countries should then make the issue of Rohingya a priority issue. With the declaration of the ASEAN Community, this migration of Rohingyas will ultimately become a problem, either now or in the future. Therefore this article seeks to address and answer the opportunities of ASEAN Community in facing the issue of Rohingyas migration, also its role in helping to solve the problem up to the upstream conflict in Myanmar. The analysis of this article is done by literature study method. Data obtained from books, reports and other sources related to the problem is then analyzed through analytical descriptive approach. The conclusion of this article is that ASEAN (ASEAN Community) should take action to interfere in Myanmar's internal affairs so that the issue of human rights violation can be solved completely. Suggestion is given to ASEAN to be done immediately and to make regulation in order to influence Myanmar to pay more attention to the fate of the Rohingyas. Keywords: ASEAN, ASEAN Community, Rohingya Abstrak Artikel ini berusaha membahas dan menganalisis nasib kaum Rohingya yang mengalami status stateless karena ditolak diakui sebagai warga negara Myanmar. Bahkan Bangladesh sebagai negara tetangga yang selama hampir empat dekade menerima seperempat juta penduduk Rohingya, pada akhirnya menolak migrasi warga Rohingya. Begitupun sebagian negara di Asia Tenggara seperti Thailand dan Malaysia yang juga menolak migrasi warga Rohingya. Isu keamanan, ekonomi, sosial, dan politik menjadi alasan negara-negara tersebut menolak kehadiran kelompok ini. ASEAN sebagai lembaga kumpulan negara regional Asia Tenggara kemudian sudah sepatutnya menjadikan isu Rohingya sebagai masalah prioritas. Dengan dideklarasikannya Komunitas ASEAN, tentu migrasi warga Rohingya ini pada akhirnya akan menjadi masalah, entah saat ini atau di masa yang akan datang. Oleh karena itu artikel ini berusaha membahas dan menjawab peluang Komunitas ASEAN dalam menghadapi persoalan migrasi warga Rohingya, bahkan perannya dalam membantu penyelesaian masalah hingga ke hulu konflik di Myanmar. Analisis artikel ini dilakukan dengan metode studi pustaka. Data-data yang didapat dari buku-buku dan laporan-laporan serta sumber lain yang berkaitan dengan permasalahan tersebut kemudian dianalisis dengan pendekatan deskriptif analitik. Kesimpulan dari artikel ini bahwa sudah seharusnya ASEAN (Komunitas ASEAN) melakukan tindakan yang bisa dikatakan mengintervensi persoalan internal Myanmar agar persoalan pelanggaran HAM ini dapat diatasi sepenuhnya. Saran diberikan kepada ASEAN agar secepatnya dilakukan tindakan dan menyusun regulasi untuk dapat memengaruhi Myanmar agar lebih memperhatikan nasib kaum Rohingya. Kata kunci: ASEAN, Komunitas ASEAN, Rohingya
DILEMA INPUT DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA PADA MASA KRISIS (STUDI FENOMENA MURAL PADA MASA PANDEMI COVID 19) Fransiskus X Gian Tue Mali; Belarminus Lambertus Ajo Bupu; Martinus Yulianus Mite
Perspektif Komunikasi: Jurnal Ilmu Komunikasi Politik dan Komunikasi Bisnis Vol 6, No 2 (2022): Perspektif Komunikasi
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24853/pk.6.2.159-174

Abstract

Di negara demokrasi modern, mural merupakan salah satu bentuk partisipasi politik masyarakat untuk terlibat secara aktif di dalam sistem politik. Dalam sistem politik, mural sebagai input (artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan dan komunikasi politik) ke dalam sistem politik untuk dipertimbangkan dan dikonversi menjadi output. Pandemi Covid-19 merupakan krisis multidimensi, untuk mengatasinya maka kunci utamanya adalah partisipasi politik dalam memberikan saran, kritikan dan dukungan kepada pemerintah. Namun tidak semua saluran partisipasi politik masyarakat bisa di akses secara bebas dan setara oleh masyarakat. Dalam artikel ini bertujuan untuk menginvestigasi peran masyarakat dalam sistem politik, mural sebagai media partisipasi politik dan bentuk-bentuk mural sebagai partisipasi politik pada masa pandemi Covid-19. Partisipasi politik merupakan bentuk dari pelaksanaan kedalautan rakyat dalam menentukan nasibnya baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Mural sebagai media partisipasi politik karena berisi kritikan, saran dan dukungan kepada pemerintah dalam penanggulangan Covid-19. Mural sebagai kritikan sosial muncul akibat permasalahan pemerintah yang belum secara maksimal mengatasi dampak dari Covid-19, serta perilaku koruptif pejabat publik yang memanfaatkan krisis untuk memperkaya diri. Mural sebagai dukungan kepada program dan kebijakan pemerintah merupakan salah satu bentuk masyarakat untuk ikut mendukung pemerintah dalam memerangi penyebaran Covid-19. Namun dalam realitasnya, pemerintah hanya mengakomodir mural yang bersifat dukungan tetapi mural yang mengkritik pemerintah direspon secara represif dengan menghapus dan mencari pelaku mural untuk diadili, karena dianggap telah melecehkan simbol negara.
Perbandingan Pemikiran Nasionalisme Adolf Hitler, Sukarno dan Gamal Abdul Nasir Fransiskus X. Gian Tue Mali; Martinus Yulianus Mite; Indah Novitasari
Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK) Vol. 5 No. 1 (2023): Jurnal Pendidikan dan Konseling
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jpdk.v5i1.11827

Abstract

Nasionalisme secara historis yang dianut oleh berbagai bangsa dan negara memiliki karakteristik dan watak yang berbeda-beda. Fokus dan tujuan pada artikel ini adalah untuk membandingkan pemikiran nasionalisme dalam perspektif Aldof Hitler, Soekarno dan Gamal Abdul Nasir. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Data diperoleh dari studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran nasionalisme Aldof Hitler, Soekarno dan Gamal Abdul Nasir di konstruksi berdasarkan indikator keadaan sosial, ekonomi, politik dan budaya ditengah bangsa dan negaranya masing-masing. Diantara ketiganya memiliki perbedaan dan persamaan dalam merumuskan konsep nasionalisme. Gagasan nasionalisme Hitler berlandaskan superioritas ras Arya dan Lebensraum (ekspansi), yang menjalankan politik imperialisme. Soekarno merumuskan gagasan nasionalisme berlandaskan pada nilai-nilai keberagaman, pembebasan, perikemanusiaan, persaudaraan antar bangsa dan negara serta anti-kolonialisme dan anti- imperialisme. Sedangkan konsep nasionalisme Arab yang digaungkan oleh Nasir berdasarkan persamaan bahasa, latar belakang sejarah, budaya dan agama (Islam). Konsep nasionalisme ketiganya memiliki persamaan yang universal yakni persatuan, yang menjadi kunci pokok dalam mengembalikan harkat dan martabat bangsanya masing-masing ditengah situasi krisis dan dominasi asing.
Perbandingan Pemikiran Nasionalisme Adolf Hitler, Sukarno dan Gamal Abdul Nasir Fransiskus X. Gian Tue Mali; Martinus Yulianus Mite
Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol 21 No 2 (2022)
Publisher : Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35967/njip.v21i2.345

Abstract

Nationalism has historically been embraced by various nations and countries with different characteristics and characteristics. The focus and purpose of this article is to compare the thinking of nationalism in the perspective of Adolf Hitler and Sukarno. In this study using a qualitative approach. The data is obtained from literature study. The results showed that the nationalist thoughts of Adolf Hitler, Sukarno and Gamal Abdul Nasir were constructed based on indicators social, economic, political and cultural conditions in the midst of their respective nations and countries. Hitler's ideas of nationalism were based on the superiority of the Aryan race and Lebensraum (expansion), which carries out the politics of imperialism. Sukarno formulated the idea of nationalism based on the values of diversity, liberation, humanity, brotherhood between nations and countries as well as anti-colonialism and anti-imperialism. Meanwhile, the concept of Arab nationalism echoed by Nasir is based on the similarity of language, historical background, culture and religion (Islam). Among the three have differences and similarities in formulating the concept of nationalism. The three concepts of nationalism have a universal equation, namely unity, which is the main key in restoring the dignity of each nation amidst a situation of crisis and foreign domination.
PERAN BOTOH DALAM MEMPENGARUHI PERILAKU PEMILIH PADA PEMILIHAN KEPALA DESA DI DESA WATES KABUPATEN KEDIRI TAHUN 2019 Novitasari, Indah; Mali, Fransiskus X. Gian Tue
GOVERNANCE: Jurnal Ilmiah Kajian Politik Lokal dan Pembangunan Vol. 11 No. 1 (2024): 2024 September
Publisher : Lembaga Kajian Ilmu Sosial dan Politik (LKISPOL)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56015/gjikplp.v11i1.293

Abstract

The election of village heads is an implementation of democratization at the local level within the framework of village autonomy. The legal basis for the implementation of this village head election is the Village Law Number 6 of 2014. However, the phenomenon of gamblers, or botoh in Javanese, has also made the general election arena a gambling arena. Several studies have shown that botohs become vote buyers, donors, success teams, or just simply gambling. So that in these various roles, botoh is able to influence voter choices so that the candidate he chooses wins the general election, and botoh wins gambling. This study aims to find and describe the role of botoh in the election of the village head of Wates, Kediri Regency in 2019. The research method used was interviews and observations conducted before the election of the village head, and on the election day of the village head of Wates. The research approach used is a qualitative approach, with an exploratory descriptive type of research. The results showed that botoh in the 2019 Wates village head election consolidated and influenced voters during the campaign period until election day. Consolidation is carried out by collecting data, convincing, strengthening beliefs, paying for a number of materials, and providing accommodation during election day. So that botoh becomes a threat to the procedural democratic process in Indonesia, it needs to be eliminated by sharing procedural, legal, and political approaches.
PANCASILA DAN TANTANGAN DEMOKRASI INDONESIA Samosir, Osbin; Gian Tue Mali, FX
Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik Vol. 2 No. 3 (2022): (JIHHP) Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik (Mei 2022)
Publisher : Dinasti Review Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (579.758 KB) | DOI: 10.38035/jihhp.v2i3.1051

Abstract

Pencarian sosok demokrasi Indonesia tak kunjung selesai. Pasalnya, sejarah demokrasi sebagaimana dipahami di Eropa dan Amerika belum lama mengakar kuat di tanah Indonesia. Selain itu, demokrasi Indonesia telah melakukan lompatan besar dalam 55 tahun sejak kemerdekaan sejak dimulainya reformasi pada tahun 1998, dibandingkan dengan pemerintahan otoriter Suharto (Orde Baru) dari tahun 1966 hingga 21 Mei 1998 dan pada masa pemerintahan Soekarno dari kemerdekaan pada tahun 1945 hingga 1966. Setahun setelah jatuhnya Suharto. 21 Mei 1998, Indonesia mengadakan pemilihan umum demokratis pertama pada 7 Juni 1999. Pemilihan tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Pada tahun 2004, Indonesia mengadakan pemilihan presiden langsung yang pertama. Setahun kemudian, Indonesia menyelenggarakan pemilihan kepala daerah pertama, di mana pemilih memilih langsung gubernur, bupati, dan walikota. Pemilihan federal dengan demikian berlanjut dan mencari formatnya hingga pemilihan federal 2024. Pertanyaannya adalah apakah praktik demokrasi saat ini sejalan dengan semua nilai demokrasi sebagaimana dimaksud oleh ideologi Pancasila sebagai dasar fundamental bangsa Indonesia dalam segala hal tindakan politik? Dalam pengalaman demokrasi Indonesia, sosok demokrasi Indonesia dari tahun 1945 hingga 2021 cukup rapuh karena tradisi demokrasi tidak tumbuh subur di tanah Indonesia, demokrasi telah mengakar, tumbuh subur di Eropa dan telah diterima di Indonesia sejak November 1945 karena demokrasi menghargai martabat manusia dan jenis pemerintahan yang tepat di negara-negara modern.
Penguatan Integrasi Bangsa sebagai Upaya Konsolidasi Demokrasi Pasca Pemilu Mali, Fransiskus X. Gian Tue
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : Syntax Corporation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36418/syntax-literate.v9i8.17479

Abstract

Indonesia, sebagai negara yang majemuk dengan keanekaragaman suku, budaya, dan agama, menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan dan kesatuan di tengah dinamika demokrasi. Konsolidasi demokrasi menjadi penting untuk memperkuat kualitas demokrasi, mengatasi politik identitas, hegemoni, dan ancaman terhadap ideologi Pancasila. Penelitian ini menyoroti pentingnya menanamkan nilai-nilai persatuan bangsa sebagai fondasi konsolidasi demokrasi. Pancasila, sebagai landasan normatif, memainkan peran sentral dalam upaya ini. Beberapa strategi yang disarankan meliputi: memperkuat pendidikan nasional, mendorong elit politik untuk menjadi pemersatu, meningkatkan partisipasi politik yang inklusif, mengembangkan budaya politik yang sehat, membangun komunikasi efektif antara pemerintah dan masyarakat, serta memperkuat kebijakan ekonomi yang inklusif. Dengan implementasi strategi ini, diharapkan demokrasi Indonesia dapat berkembang lebih kokoh dan inklusif, menjaga persatuan bangsa dalam menghadapi tantangan global dan internal.