Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

Faraq dalam Pernikahan Sindiket di Johor Malaysia dan Relevansinya dengan Penanganan Nikah Sirri di Indonesia Khairani Khairani
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v3i1.339

Abstract

Marriage sindiket almost similar meaning with marriage Sirri Indonesia. Johor Malaysia wedding sindiket has caused a lot of problems in the community, especially about the validity of his marriage. Faraq or annulment of marriage is a way for the completion of a dubious marriage. so immoral that occur from dubious marriage not continues. Faraq mechanism in this sindiket marriage has been defined in Enakmen 17 of 2003 Islamic Family Law. Court that decides whether the marriage can be forwarded or difaraq sindiket. The factors that led to a marriage should sindiket difaraq partly because the elements of the pillars of marriage are not met. Faraq provisions in this sindiket marriage should be able to consider in preventing and addressing issues arising from the consequences of marriage Sirri in Indonesia. Kata kunci: faraq, pernikahan sindiket, nikah siri
Effectiveness of Satpol PP and WH Performance in Controlling Civil Servants Based on Aceh Governor Regulation Number 139 of 2016 in Aceh Besar [Efektivitas Kinerja Satpol PP dan WH dalam Penertiban PNS Menurut Pergub Aceh Nomor 139 Tahun 2016: Studi Kasus di Kabupaten Aceh Besar] Safira Maulina; Khairani Khairani; Rispalman Rispalman
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 9, No 2 (2020)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v9i2.8512

Abstract

Abstract: This paper is to answer the problem of the effectiveness of the performance of the Civil Service Police Unit and the Wilayatul Hisbah in controlling civil servants according to Aceh Governor Regulation number 139 of 2j016. Ideally, Satpol PP and WH are required to carry out their duties and authorities in controlling civil servants who are negligent during office hours and staff. Civil servants are required to comply with the regulations set out in the civil servant code of ethics and if not implemented, they will be subject to disciplinary punishment, whether it is a light, moderate or severe level of disciplinary punishment according to the violation. The formulation of the problem is first, how are the performance of Satpol PP and WH in controlling civil servants in Aceh Besar. Second, how the strategies implemented by the Satpol PP and WH in controlling civil servants in Aceh Besar have been implemented effectively. Third, how is the review of Islamic law on the implementation of controlling civil servants? This research was conducted using an empirical normative legal approach using the type of field research (Field Research) and literature (Library Research), namely reviewing written law as well as facts in the field using analytical descriptive patterns to describe or provide an overview of the object under study through data or samples collected. have been collected by concluding. From the results of the study, it was found that the Aceh governor regulation number 139 of 2016 has regulated the control of civil servants who leave without permission during office hours and the law of each violator has been regulated in the civil servant code of ethics itself. Satpol PP and WH are not fully effective in carrying out their duties because there are still many employees who are outside as well as the strategies to overcome obstacles that are carried out are also ineffective. Abstrak: Kajian ini untuk menjawab permasalahan efektivitas kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah dalam penertiban pegawai negeri sipil menurut peraturan gubernur Aceh nomor 139 tahun 2016 tentang kedudukan, susunan organisasi, tugas, fungsi dan tata kerja satuan Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Aceh . Idealnya, Satpol PP dan WH wajib melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penertiban PNS yang lalai pada saat jam dinas dan para PNS wajib menaati peraturan yang telah ditetapkan dalam kode etik PNS dan apabila tidak dilaksanakan akan dikenakan hukuman disiplin baik itu hukuman disiplin tingkat ringan, sedang ataupun berat sesuai dengan pelanggaran. Rumusan masalahnya ialah pertama, Bagaimana Kinerja Satpol PP dan WH dalam penertiban PNS di Aceh besar. Kedua, Bagaimana strategi yang dijalankan oleh Satpol PP dan WH dalam penertiban PNS di Aceh besar sudah dilaksanakan secara efektif. Ketiga, Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan penertiban PNS. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan hukum normatif empiris menggunakan jenis penelitian lapangan (Field Research) dan kepustakaan (Library Research) yakni mengkaji hukum yang tertulis juga fakta di lapangan dengan menggunakan pola deskriptif analitik untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul dengan membuat kesimpulan. Dari hasil penelitian didapati bahwa dalam peraturan gubernur Aceh nomor 139 tahun 2016 telah mengatur penertiban terhadap PNS yang keluar tanpa izin pada saat jam dinas dan hukum setiap pelanggar telah diatur dalam kode etik PNS sendiri. Satpol PP dan WH tidak sepenuhnya efektif melaksanakan tugas karena masih banyak pegawai yang berada diluar begitupun dengan strategi untuk mengatasi hambatan yang dilakukan juga tidak efektif.
EXECUTION OF PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JUDGES VERDICT FOR PDAM TIRTA DAROY BANDA ACEH TECHNICAL DIRECTOR DISMISSAL DISPUTE (Judge Case Study Decision Number 05 / B / 2015 / PT.TUN-MDN) Rispalman Rispalman; Khairani Khairani; Samsul Bahri
Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 11, No 1 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/dusturiyah.v11i1.8364

Abstract

Execution of Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) judges verdict in some nation administrative dispute resolution practice in Indonesia have not been properly implemented due to the absence of an executorial Instution as well as a strong legal basis lead to weak force power for  verdict of  the PTUN. Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara also do not explicitly and clearly regulate the issue of force of verdict PTUN and  the execution of the verdict really depends on the goodwill of the Tata Usaha Negara Entity or Officials in obeying the law. How was the execution of the PTUN judges verdict? What was the reason for the unexecuted  judges verdict? So that we can find out how the judges verdict was executed and the reasons why the judges verdict was not executed. We use sociological research method to search what happened. Executor of a decision required to overcome and minimize the PTUN judges verdict  that was not executed as well as improvements to the basis of the Law which is more concrete and forces the execution of PTUN  judges verdict so that no party were harmed. Pelaksanaan putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam praktek penyelesaian sengketa Administrasi negara di Indonesia sebahagiannya belum terlaksana sebagaimana semestinya yang disebabkan ketiadaan lembaga eksekutorial, maupun landasan hukum yang kuat mengakibatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak mempunyai daya paksa. Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara pun tidak mengatur dengan tegas dan jelas mengenai masalah daya paksa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga dalam pelaksanaan Putusan benar-benar tergantung pada iktikad baik Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam mentaati hukum. Bagaimana pelaksanaan putusan hakim PTUN.? Apa sebab tidak terlaksananya eksekusi putusan hakim tersebut? Sehingga dapat mengetahui bagaimana pelaksanaan putusan hakim  dan sebab mengapa tidak terlaksananya putusan hakim tersebut. Dalam meneliti sengekta ini penulis menggunakan metode (Sosiologis research) lebih kepada penelitian lapangan apa yang terjadi, untuk mengatasi dan meminimalisir putusan hakim PTUN yang tidak terlaksana diperlukan adanya eksekutor putusan, serta perbaikan pada landasan Undang-Undang yang bersifat lebih konkrit dan memaksa Pelaksanaan putusan hakim PTUN sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.  
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM; STUDI PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEPEMIMPINAN WALI KOTA BANDA ACEH TAHUN 2014 - 2017 Rizki Wahyuni; Khairani Khairani; Faisal Faisal
Takammul : Jurnal Studi Gender dan Islam Serta Perlindungan Anak Vol 8, No 1 (2019): TAKAMMUL
Publisher : Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (347.58 KB) | DOI: 10.22373/takamul.v8i1.4863

Abstract

Masyarakat kota Banda Aceh dalam menanggapi kepemimpinan perempuan mengalami perbedaan pendapat, sehingga terjadilah pro dan kontrak terhadap kepemimpinan perempuan. Adapun tujuan penelitian yang penulis gunakan adalah untuk mengetahui pemahaman tentang adanya kepemimpinan perempuan sebagai wali kota menurut masyarakat kota Banda Aceh, dan untuk mengetahui persepsi masyarakat kota Banda Aceh tentang kepemimpinan Wali kota Banda Aceh. Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah kualitatif dengan sifat penelitian deskriptif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman tentang adanya kepemimpinan perempuan sebagai wali Kota Banda Aceh, yaitu memiliki dua tanggapan. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa kepemimpinan perempuan itu boleh dan tidak ada masalah bagi masyarakat kota Banda Aceh, alasannya karena kebanyakan suatu lembaga yang dipimpin oleh perempuan itu berhasil dan apabila suatu daerah telah memilih perempuan sebagai pemimpin berarti masyarakat tersebut telah memberikan kepercayaan mutlak kepada pemimpin tersebut. sedangkan sebagian masyarakat beranggapan bahwa kepemimpinan yang dipimpin oleh perempuan itu tidak boleh disebabkan bertentangan dengan hukum Islam, alasannya karena dalam alqu’ran surah An-Nisa ayat 34 sudah dijelaskan tidak bolehnya perempuan memimpin, disebabkan perempuan tersebut adalah makhluk yang lemah. Adapun persepsi masyarakat kota Banda Aceh tentang kepemimpinan wali kota Banda Aceh menurut masyarakat kota Banda Aceh yaitu berhasil dalam bidang sosial dan budaya. Keberhasilan selama kepemimpinan beliau mengalami perkembangan, buktinya dapat dilihat berdasarkan dari hasil data yang diperoleh penulis dari pada Badan Pusat Statistik yang membuktikan dengan jelas bahwa pada masa kepemimpinannya terbukti berhasil.Adapun saran dari penulis adalah jadilah pemimpin yang menjalankan amanah yang diberikan oleh masyarakat, jalankan tugas sesuai dengan aturan yang ditetapkan, tegakkan kebenaran dan berani menuntaskan kebathilan.
PELANGGARAN TERHADAP IHDAD OLEH WANITA YANG DITINGGAL MATI SUAMI DITINJAU DARI FIQH MUNAKAHAT (Studi Kasus di Desa Paya Dapur Kecamatan Kluet Timur Kabupaten Aceh Selatan) Muhadir Saidi; Khairani Khairani; Rispalman Rispalman
Takammul : Jurnal Studi Gender dan Islam Serta Perlindungan Anak Vol 9, No 2 (2020): TAKAMMUL
Publisher : Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/takamul.v9i2.12608

Abstract

Penelitian ini dilatarbelakangi karena adanya wanita yang memakai wangi-wangian, bekerja dan keluar rumah pada masa ihdadnya padahal dalam Islam ditegaskan bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya harus melaksanakan ihdad dengan tidak berhias, tidak keluar rumah, tidak memakai wangi-wangian yang mengundang syahwat. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan yang terjadi di Desa Paya Dapur Kecamatan Kluet Timur Kabupaten Aceh Selatan. Oleh karenanya, peneliti tertarik untuk meneliti apa yang menjadi faktor terjadinya pelanggaran ihdad di Desa Paya Dapur Kecamatan Kluet Timur Kabupaten Aceh Selatan dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan ihdad tersebut. Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menyatakan bahwa bentuk pelanggaran ihdad seperti memakai wangi-wangian, keluar rumah untuk bekerja dan berhias. Sementara, faktor penyebab terjadinya pelanggaran ihdad oleh wanita yang ditinggal mati suami di Desa Paya Dapur Kecamatan Kluet Timur Kabupaten Aceh Selatan adalah karena faktor tanggung jawab yang dipikul oleh seorang wanita sebagai PNS, faktor ekonomi serta faktor interaksi yang selalu dilakukan kepada orang-orang seperti keharusan memakai wangi-wangian pada saat masa berkabung karena jarak untuk bekerja Sementara, tinjauan fiqh munakahat terhadap praktik ihdad yang dilakukan oleh wanita di desa tersebut adalah tidak melakukan pelanggaran. Hal ini dikarenakan bahwa seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dapat melakukan aktivitas di luar rumah walaupun masih dalam masa ihdad selama wanita tersebut mengetahui batasan-batasan dirinya yaitu tidak memakai pakaian, perhiasan yang dapat mengundang syahwat orang lain. Kebolehan tersebut dapat terealisasi karena alasan bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari—hari baik sebagai petani maupun pedagang, bekerja untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya karena wanita tersebut menjadi orang tua tunggal dan karena alasan tanggung jawab terhadap pekerjaan bagi seorang wanita karir seperti Pegawai Negeri Sipil.
PENELANTARAN EKONOMI DALAM KELUARGA (TINJAUAN FIQH DAN UU PKDRT) Khairani Khairani
Takammul : Jurnal Studi Gender dan Islam Serta Perlindungan Anak Vol 6, No 2 (2017): TAKAMMUL
Publisher : Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (700.471 KB) | DOI: 10.22373/t.v1i1.1362

Abstract

Nowadays, ignoring family often results separation inside the family, especially after the avail- ability of Law Domestic Violence (Domestic Violence Act). However, Islamic judiciance (Fiqh) looks differently toward this case so that it is necessary to study fiqh muqarran. Furthermore, this argument needs to be related to the phenomenon that occurs due to the Domestic Violence Act.
PENOLAKAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12/PUU-V/2007 Khairani Khairani
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/justisia.v2i2.2654

Abstract

Dalam bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-V/2007, secara jelas telah menolak permohonan uji materiil terkait beberapa ketentuan Pasal Undang-Undang Perkawinan yang dianggap menyalahi ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Secara keseluruhan, dipahami bahwa putusan tersebut menolak permohonan pemohon berdasarkan beberapa alasan dan pertimbangan seperti telah dikemukakan. Salah satu alasan yang menjadi pusat perhatian dan menjadi Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan ketentuan dan penerapan hukum Islam, terhadap kemaslahatan atau Maṣlāḥah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketentuan hukum Islam, bahkan menjadi suatu tujuan utama dari ditetapkannya hukum, atau dalam istilah fikih disebut sebagai maqāşid al-syar’iyyah). Terdapat banyak kaidah tentang kemaslahatan (Maṣlāḥah), salah satunya yaitu dalam menetapkan dan mengambil suatu tindakan hukum harus sedapat mungkin menarik manfaat, kebaikan, dan sebaliknya kemudharatan atau kerusakan hendaknya dihilangkan. jika syarat adil tersebut tidak dapat dilakukan, (bahkan dalam surat an-Nisā’ ayat 129 menyatakan laki-laki memang tidak mampu untuk mewujudkan keadilan meski ia cenderung untuk ingin berbuat adil), maka poligami bukan lagi solusi untuk mendapatkan kemaslahatan, melainkan justru dapat menimbulkan kemudharatan atau kerusakan atas anak isteri. Dalam bagian ini, dapat dilihat pada dua sisi hukum. Sisi pertama, dalil kebolehan berpoligami telah ditegaskan secara ekplisit yang sifatnya tekstual, dan tekstual juga syarat pembolehannya, yaitu harus adil. Pada sisi lain, mengenai dampak dari tidak dapat berlaku adil dalam poligami, tentu dalilnya dilihat pada kenyataan di lapangan yang sifatnya kontekstual. Jika dampak tersebut sangat buruk, baik bagi isteri maupun anak bahkan seluruh keluarga besar pihak suami dan isteri, maka pelaksanaannya tidak diperbolehkan, karena syarat adil yang sifatnya tekstual tadi tidak dapat diterapkan dalam konteksual (dalam realita kehidupan suami isteri), dan ini terbukti adanya. Untuk itu, dalam kaitannya dengan putusan Hakim Konstitusi tersebut menurut penulis telah tepat. Artinya, Hakim konstitusi berusaha untuk menyeimbangkan berbagai konstruksi hukum, mulai dari konstruksi aturan hukum Islam, aturan hukum positis khususnya Pasal-Pasal yang dimohonkan oleh Pemohon (baik ketentuan Pasal Undang-Undang Pekawinan maupun Undang-Undang Dasar 1945), hingga pada kenyataan hukum yang ada dalam masyarakat.
SUMBANGAN LEMBAGA ADAT ALAS TERHADAP PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH Khairani Khairani
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/justisia.v1i1.2564

Abstract

Adat istiadat dan aturan agama khusunya syariat Islam merupakan perpaduan yang apik dan saling memberi kontribusi dalam mengatur kehidupan masyarakat. Integrasi budaya dan agama sebagai penguat identitas masyarakat tidak berlangsung secara spontan. Hegemoni antara budaya dan agama berlangsung dengan dinamis, relevan dengan perubahan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pranata sosial semacam lembaga adat yang telah terstruktur sedemikian rupa memiliki peran yang signifikan dalam menjaga stabilitas hubungan keduanya agar berjalan langgeng. Sumbangan adat Alas dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat dilihat dari peran lembaga adat Alas dalam melaksanakan aturan adat dan sanksinyan yang telah memberikan kontribusinya dalam penegakan syariat Islam. Hanya saja adat Alas ini perlu dikuatkan dan dilestarikan agar tidak ditinggalkan oleh masyarakat apalagi dengan adanya perubahan-perubahan sosial karena pengaruh budaya luar dan teknologi. Key word: sumbangan, adat, pelaksanaan syariat Islam
Pembuktian dalam Cerai Ta’liq Talak (Studi Implementasi Pasal 50 Enakmen No.5 Tahun 2004 Di Mahkamah Rendah Syariah Balik Pulau, Pulau Pinang) Khairani Khairani; Nuha Binti Nasir
Media Syari'ah Vol 20, No 1 (2018)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v20i1.6499

Abstract

Cerai ta’liq merupakan satu kaedah perceraian yang telah dibincangkan oleh para ulama sejak sekian lamanya. Cerai ta’liq adalah suatu bentuk penceraian sering dilakukan di Negara Malaysia. Kaedah perceraian ini akan berlaku setelah syarat yang terkandung dalam lafaz ta’liq yang diucapkan oleh suami itu, kemudian terjadi. Tujuan ta’liq talak untuk membela nasib wanita daripada ditindas dan dizalimi oleh suami terutama dalam kasus pengabaian nafkah, mencederakan dan meninggalkan istri dalam tempoh yang agak lama. Hal ini bertepatan dengan implikasi ta’liq memberi kesan besar yaitu perceraian apabila syarat ta’liq tersebut telah berlaku. Seorang istri berhak mendapatkan perceraian ta’liq apabila terbukti suami tersebut telah melanggar perjanjian ta’liq talak sebagai yang diatur dalam Undang-undang Keluarga Islam Negeri Pulau Pinang No. 5 Tahun 2004. Istri harus mengajukan permohonan tersebut di Mahkamah Rendah Syariah untuk menyelesaikan kasus itu. Tujuan penelitian ini, untuk mengetahui prosedur pembuktian dalam cerai ta’liq talak dalam beberapa kasus yang berada di Mahkamah Rendah Syariah Balik Pulau, Pulau Pinang. Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian yuridis empiris yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari penelitian lapangan yaitu wawancara. Data sekunder diperoleh dari riset dan pustaka dianalisis dengan diskriptif analisis. Ditemukan bahwa pembuktian serta prosedur ta’liq talak dari awal penyelenggaraan pendaftaran sehingga mendapat keputusan daripada mahkamah itu hampir sama dengan perceraian secara biasa dan tidak ada perbedaannya. Saranan yang sesuai untuk dipraktikan berdasarkan pemerhatian adalah membuat suatu perjanjian mengenai pemilikkan harta benda bersama suami istri selama perkawinan dan menegaskan lagi hukum dan denda kepada suami yang menzalimi istrinya.Ta’liq talak is a method of divorce that has been discussed by scholars for many years. A divorce is a form of frequent enlightenment in the state of Malaysia. This method of divorce will take place after the condition contained in the Ta'liq spoken by the husband, then occurs. The purpose of Ta'liq Talak to defend the fate of women rather than be suppressed and wronged by the husband, especially in the case of a living abandonment, injure and leave the wife in a relatively long period. This coincides with the implications of Ta'liq giving a big impression of divorce when the terms of the Ta'liq have occurred. A wife is entitled to a Ta'liq divorce when it is proven that the husband has violated the Treaty of Ta'liq Talak as stipulated in the law of the Islamic State of Penang No. 5 the year 2004. The wife must apply to the sharia lower court to settle the case. The purpose of this research is to know the verification procedure in divorce in some cases that are located at the lower court of Syariah Balik Pulau, Penang. In the discussion of this thesis, the authors used empirical research on the primary data and secondary data. Primary Data is obtained from the research field i.e. interviews. Secondary Data obtained from research and libraries are analyzed with a detailed analysis. It was found that the ta'liq talak proof and procedure from the beginning of the registration process so that the decision of the court was almost the same as the usual divorce and there was no difference. The appropriate suggestion to be practiced based on observation is to make a Treaty on the sorting of the property with husband and wife during marriage and reaffirm the law and fines to the husband who wronged his wife.
PERLINDUNGAN PEREMPUAN DALAM INSTRUKSI WALIKOTA BANDA ACEH NOMOR 2 TAHUN 2015 MENGENAI PEMBATASAN JAM KERJA BAGI PEREMPUAN (DITINJAU MENURUT HUKUM ISLAM) Khairani Mukdin
Takammul : Jurnal Studi Gender dan Islam Serta Perlindungan Anak Vol 11, No 1 (2022): Takammul
Publisher : Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/takamul.v11i1.11207

Abstract

Perlindungan perempuan dalam instruksi walikota Banda Aceh nomor 2 tahun 2015 mengenai pembatasan jam kerja bagi perempuan sudah sesuai dengan hukum Islam. Karena dalam Islam perempuan tidak dilarang bekerja di luar rumah, tetapi tetap ada batasannya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui implementasi dari instruksi walikota Banda Aceh mengenai pembatasan jam kerja bagi perempuan, kaitan instruksi walikota Banda Aceh mengenai pembatasan jam kerja perempuan dengan perlindungan perempuan dan tinjauan hukum Islam terhadap instruksi walikota Banda Aceh mengenai pembatasan jam kerja bagi perempuan. Metode penelitian ini adalah kualitatif, sedangkan jenis penelitiannya yaitu penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan studi kasus dan penelitian kepustakaan (library research). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi intruksi walikota Banda Aceh nomor 2 tahun 2015 mengenai pembatasan jam kerja bagi perempuan masih kurang efektif dan kurangnya sosialisasi yang dilakukan membuat banyak orang beranggapan bahwa instruksi ini deskriminasi terhadap perempuan. Instruksi ini juga berkaitan dengan perlindungan perempuan, karena dengan adanya batasan jam malam tersebut, tidak ada lagi perempuan yang keluar larut malam sehingga bisa meminimalisir terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Dalam tinjauan hukum Islam, batasan jam kerja tersebut boleh saja dilakukan jika memang bisa menghindari perempuan dari ancaman kekerasan/ pelecehan seksual di tempat kerja