Cahyani Gita Ambarsari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KASUS KATETER DIALISIS PERITONEAL YANG TERPUNTIR PADA SEORANG ANAK Cahyani Gita Ambarsari; Farhan Haidar Fazlur Rahman; Evita Karianni Bermanshah; Agustina Kadaristiana
Majalah Kedokteran Indonesia Vol 70 No 2 (2020): Journal of the Indonesian Medical Association Majalah Kedokteran Indonesia Volum
Publisher : PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA (PB IDI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.1234/jinma.v70i2.175

Abstract

Tujuan: Komplikasi mekanik akibat dialisis peritoneal (DP) dapat terjadi karena komplikasi operasi insersi kateter Tenckhoff maupun komplikasi non-operatif, yaitu saat perawatan kateter dialisis jangka panjang. Laporan kasus ini bermaksud untuk menekankan komplikasi non-operasi pada DP dengan menyajikan laporan kasus terpuntirnya kateter eksternal.Metode: Dilaporkan seorang anak perempuan berumur 11 tahun dengan gagal ginjal yang menjalani dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan (DPMB) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan mengalami peritonitis berulang. Hasil: Kateter eksternal terpuntir tanpa masalah pada aliran masuk, aliran keluar, maupun ultrafiltrasi. Skor exit-site 4 dan terdapat gaping. Rontgen dan ultrasonografi abdomen menunjukkan kateter dan kedua cuff berada dalam posisi yang benar. Pasien sering menarik-narik dan memutar-mutar selang kateter dialysis peritoneal (DP). Selain itu, ibu pasien sering melibatkan pengasuh yang tidak terlatih untuk merawat kateter DP dan tidak memfiksasi kateter. Selama perawatan inap, pelatihan diberikan kembali kepada semua pengasuh yang terlibat dalam perawatan kateter harian. Peritonitis teratasi dengan gentamisin intraperitoneal selama 14 hari. Kami menyimpulkan bahwa kateter terpuntir dan peritonitis berulang diakibatkan oleh perpaduan trauma mekanik, perawatan kateter dan exit-site nya yang buruk, serta pelatihan perawatan kateter DP yang suboptimal. Kesimpulan: Kepatuhan perawatan kronik kateter PD oleh pengasuh yang terlatih dengan melibatkan pasien, serta memfiksasi kateter eksternal penting untuk mencegah komplikasi non-operasi pada DP.
Peran Kortikosteroid dalam Pencegahan Stridor Pasca-ekstubasi pada Anak Rismala Dewi; Cahyani Gita Ambarsari
Sari Pediatri Vol 13, No 1 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (83.17 KB) | DOI: 10.14238/sp13.1.2011.14-20

Abstract

Stridor pasca-ekstubasi merupakan tanda obstruksi jalan napas atas akibat inflamasi yang terjadi padatindakan intubasi. Inflamasi ini menimbulkan risiko untuk perlunya reintubasi dalam 24-48 jam pascaekstubasi,sehingga memperpanjang lama rawat pasien di unit perawatan intensif, meningkatkan risikoterjadinya berbagai penyulit akibat penggunaan ventilator mekanis, dan meningkatkan mortalitas. Padacontoh kasus ini, pasien mengalami intubasi berulang sebanyak tiga kali dengan lama tiap-tiap penggunaanintubasi adalah 5 hari, dan ada riwayat kesulitan intubasi pada tindakan intubasi pertama. Pasca-ekstubasiyang pertama, pasien mengalami sesak dan stridor sehingga reintubasi diperlukan. Riwayat kortikosteroidprofilaksis sebelum ekstubasi tidak diketahui. Dengan mempertimbangkan adanya riwayat intubasi sulitserta durasi intubasi >48 jam, pasien ini berisiko mengalami kegagalan ekstubasi, sehingga pemberiankortikosteroid profilaksis sebelum ekstubasi diharapkan akan bermanfaat. Pada pasien anak, belum ada buktiberbasis medik yang memadai untuk menyimpulkan bahwa pemberian kortikosteroid profilaksis sebelumekstubasi elektif akan mencegah stridor pasca-ekstubasi. Telaah dari studi yang heterogen dengan metodologiyang kurang memadai seperti dalam ulasan ini cenderung hanya melaporkan efek terapi, tetapi belumdapat digunakan sebagai suatu pedoman. Beberapa studi menunjukkan peran kortikosteroid menghasilkankeluaran yang baik. Deksametason IV yang diberikan beberapa jam sebelum dan sesudah ekstubasi padaanak, termasuk pada pasien dengan riwayat kegagalan intubasi, akan mengurangi risiko terjadinya stridorpasca-ekstubasi.
Pengalaman Transplantasi Ginjal pada Anak di Jakarta Sudung O. Pardede; Eka Laksmi Hidayati; Cahyani Gita Ambarsari; Henny Adriani Puspitasari; Partini P. Trihono; Taralan Tambunan
Sari Pediatri Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (98.256 KB) | DOI: 10.14238/sp21.1.2019.44-9

Abstract

Latar belakang.Transplantasi ginjal merupakan terapi yang efektif untuk penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 atau gagal ginjal terminal. Transplantasi ginjal di dunia pertama kali dilakukan pada tahun 1950an. Di Indonesia, transplantasi ginjal pada orang dewasa telah dilakukan pada tahun 1977 dan semakin berkembang dan telah dilakukan di beberapa kota di Indonesia. Transplantasi ginjal pada anak pertama kali dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusomo pada bulan Maret 2013, terhadap seorang anak lelaki berusia 13 tahun dengan gagal ginjal terminal yang disebabkan sindrom nefrotik, dengan ginjal yang diperoleh dari non-related living donor. Ini merupakan transplantasi ginjal yang pertama kali dilakukan pada anak di Indonesia.Tujuan. Melaporkan data tentang kegiatan transplantasi ginjal yang dilakukan di Jakarta.Metode. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif yang mengambil data dari catatan medis. Hingga tahun 2018 telah dilakukan 11 kali transplantasi ginjal pada 10 orang anak terdiri atas 9 laki-laki dan 1 perempuan, dengan 1 kasus re-transplan. Rentang usia adalah 8-18 tahun, dengan penyakit dasar terdiri atas sindrom nefrotik (3 anak), dan ginjal hipoplasia (7 anak). Donor untuk kesebelas transplan anak tersebut terdiri atas 4 non-related living donor dan 7 orang related living donor, yaitu 5 orang donor ayah dan 2 orang donor ibu. Hasil. Di antara 10 pasien transplan, 3 orang menggunakan biaya pribadi atau asuransi swasta dan 8 orang dengan biaya dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hingga bulan Agustus 2018, di antara kesepuluh anak tersebut, 7 orang hidup dan di antaranya 2 orang mengalami rejeksi pada tahun ke-3 (1 orang konversi kembali ke hemodialisis dan 1 orang telah menjalani re-transplan). Tiga pasien meninggal akibat infeksi berat.Kesimpulan. Transplantasi ginjal di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusomo dimulai pada tahun 2013, dengan donor hidup yang sebagian besar berasal dari orangtua, dengan pembiayaan sebagian besar menggunakan BPJS.
Kasus Kateter Dialisis Peritoneal yang Terpuntir pada Seorang Anak Ambarsari, Cahyani Gita; Rahman, Farhan Haidar Fazlur; Bermanshah, Evita Karianni; Kadaristiana, Agustina
Majalah Kedokteran Indonesia Vol 70 No 2 (2020): Journal of The Indonesian Medical Association - Majalah Kedokteran Indonesia, Vo
Publisher : PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA (PB IDI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47830/jinma-vol.70.2-2020-175

Abstract

Objective: Mechanical complications of peritoneal dialysis (PD) may occur because of surgical complications when inserting a Tenckhoff catheter or non-surgical complications during chronic care of a PD catheter. We aim to highlight the latter by presenting a case report of twisted external catheter. Method: We report an 11-year-old Indonesian girl with end-stage renal disease on continuous ambulatory PD at Cipto Mangunkusumo Hospital who was hospitalized due to repeat peritonitis.Result: Upon examination, the external catheter seemed twisted without inflow, outflow, or ultrafiltration problems. Her exit score was 4 with gaping. Both abdominal X-ray and ultrasound showed that the catheter and its cuffs were properly placed. The patient frequently pulled and manipulated her PD catheter. Additionally, the catheter-site care procedure was frequently done by untrained caregivers and catheter fixation was also not performed. A retraining program for all involved caregivers was carried out. Peritonitis resolved after 14-day-treatment using intraperitoneal gentamicin. We determined that the twisted catheter and repeat peritonitis were due to a combination of mechanical trauma, poor chronic catheter-site care, and suboptimal PD catheter training. Conclusion: Maintaining compliance for chronic PD catheter exit-site care by well-trained caregivers and by patients themselves, as well as the external catheter fixation are important.