Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PROSESI PANGGIH PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA TENGAH DALAM TINJAUAN SEMIOTIK TADEUSZ KOWZAN Nanik Setyawati; Nuning Zaidah; Siti Fatimah
Sasindo Vol 7, No 1 (2019): Sasindo
Publisher : Universitas PGRI Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26877/sasindo.v7i1.6509

Abstract

Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan tata cara dan makna Prosesi Panggih pada Upacara Perkawinan Adat Jawa Tengah. Digunakan kajian semiotik teater berdasarkan perspektif Tadeusz Kowzan untuk mengetahui tata cara dan makna Prosesi Panggih pada Upacara Perkawinan Adat Jawa Tengah. Berdasarkan penelitian, dapat dikemukakan beberapa hal, yaitu upacara perkawinan adat Jawa Tengah terdiri atas 3 jenis, yaitu 1) Prosesi Panggih, 2) Prosesi Krobongan, dan 3) Upacara Sabda. Prosesi Panggih terdiri atas 3 tahapan, yaitu 1) balangan gantal (berbalangan sirih), 2) mrepeg ponang antigan (memecah telur), dan 3) wijikan (membasuh kaki laki-laki). Balangan gantal diartikan sebagai lambang bahwa dalam mengarungi bahtera rumah tangga penuh dengan suka-duka harus dirasakan bersama. Selanjutnya, mrepeg ponang antigan mengandung makna harapan bahwa pengantin berdua harus sudah siap untuk berfikir mandiri (pecah nalar atau pecah pikir). Sementara itu, wijikan yang berisikan bunga pancawarna dan air yang diambil dari kali tempur mengandung makna bahwa kesucian jiwa pengantin berdua.Kata kunci: makna semiotis Prosesi Panggih, semiotika teater Kowzan
FENOMENOLOGI PENUBUHAN MEMBANGUN TOKOH DALAM TEATRIKAL Nuning Zaidah
GETER : Jurnal Seni Drama, Tari dan Musik Vol 2 No 1 (2019)
Publisher : Jurusan Sendratasik FBS Unesa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/geter.v2n1.p1-7

Abstract

Teater modern maupun tradisional adalah dunia imajinasi, maka kebenaran ditampilkan adalah kebenaran yang tercipta atas imajinasi yang terbangun. Pengalaman ketubuhan dalam membangun karakter tokoh dapat di selidiki melalui bagaimana manusia mengalami pengalaman terhadap ruang, waktu, benda, getaran suara, aroma, gerak, suhu, dan sensasi dalam tubuhnya. Tubuh adalah media tak tergantikan untuk mengalami dan berinteraksi dengan dunia material, dunia sosial maupun dunia mental spiritual. Pendekatan fenomenologi pada tubuh mencermati peristiwa memungkinkan munculnya pengertian bahwa sensasi terhadap gerak dan teknik ketubuhan diluar keseharian akan hadir baik pada tokoh pemeran maupun penonton. Keterpaduan pertunjukan teater beserta komponen inilah yang menjadikan alat pengalaman penubuhan. Kata kunci : fenomenologi, penubuhan, teater
PROSESI PANGGIH PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA TENGAH DALAM TINJAUAN SEMIOTIK TADEUSZ KOWZAN Nanik Setyawati; Nuning Zaidah; Siti Fatimah
Sasindo : Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol 7, No 1 (2019): Sasindo
Publisher : Universitas PGRI Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26877/sasindo.v7i1.6509

Abstract

Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan tata cara dan makna Prosesi Panggih pada Upacara Perkawinan Adat Jawa Tengah. Digunakan kajian semiotik teater berdasarkan perspektif Tadeusz Kowzan untuk mengetahui tata cara dan makna Prosesi Panggih pada Upacara Perkawinan Adat Jawa Tengah. Berdasarkan penelitian, dapat dikemukakan beberapa hal, yaitu upacara perkawinan adat Jawa Tengah terdiri atas 3 jenis, yaitu 1) Prosesi Panggih, 2) Prosesi Krobongan, dan 3) Upacara Sabda. Prosesi Panggih terdiri atas 3 tahapan, yaitu 1) balangan gantal (berbalangan sirih), 2) mrepeg ponang antigan (memecah telur), dan 3) wijikan (membasuh kaki laki-laki). Balangan gantal diartikan sebagai lambang bahwa dalam mengarungi bahtera rumah tangga penuh dengan suka-duka harus dirasakan bersama. Selanjutnya, mrepeg ponang antigan mengandung makna harapan bahwa pengantin berdua harus sudah siap untuk berfikir mandiri (pecah nalar atau pecah pikir). Sementara itu, wijikan yang berisikan bunga pancawarna dan air yang diambil dari kali tempur mengandung makna bahwa kesucian jiwa pengantin berdua.Kata kunci: makna semiotis Prosesi Panggih, semiotika teater Kowzan
Cross-Cultural Adaptation of Darmasiswa International Students in Central Java Indonesia Nuning Zaidah; Laily Nur Affini; Ajeng Setyorini; Siti Nur'Aini
Lensa: Kajian Kebahasaan, Kesusastraan, dan Budaya Vol 13, No 2 (2023)
Publisher : Fakultas Ilmu Pendidikan dan Humaniora (FIPH), Universitas Muhammadiyah Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26714/lensa.13.2.2023.189-203

Abstract

The research probed the cross-cultural adaptation of international students who participated in the Darmasiswa program in Indonesia. They have various cultural backgrounds; they lived in Java and interacted with Javanese cultures. The Darmasiswa students’ varied experiences brought particular attention to their competence to adapt to a host country. This study aims to discover how Darmasiswa students overcome the assimilation process, embrace the psychological elements of intercultural communication, and how they handle the adaptation process. It also seeks to discover the efforts to make this program successful and recognise how the participants deal with the challenges of adapting to the local culture. This study used a descriptive qualitative method and employed an in-depth interview to approach the research participants. The participants came from Myanmar, Japan, Singapore, India, Hungaria, Timor Leste, and Thailand. They joined the Darmasiswa program in 2019 to study and learn bahasa Indonesia, the arts, and the cultures. They studied at four universities in Semarang for one year in Central Java Province, Indonesia. Findings showed that the Darmasiswa students’ adaptation and interaction processes were varied. The culture shock experienced by the students were influenced by their family value from their home countries. Internal and external factors played an essential role in influencing the success of the Darmasiswa students’ adaptation. The factors include; communication system, symbolic interaction, social life, personal mindset, the host society's motivation, and the Darmasiswa students’ involvement with the host country’s cultural activities. Those factors affected the students' adaptation levels and learning achievement in the program.
Ubarampe Ritual 'Guyang Jaran' in the Jaran Kepang Turonggo Mudo Art in Temanggung: A Semiotic Study by Charles Sanders Peirce Fitrotul Arofah; Sunarya Sunarya; Nuning Zaidah
Jurnal Indonesia Sosial Sains Vol. 5 No. 12 (2024): Jurnal Indonesia Sosial Sains
Publisher : CV. Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/jiss.v5i12.1527

Abstract

Jaran Kepang dance is a Javanese art form that features horses made of woven bamboo. This dance is not only entertainment for the community, but also holds values that symbolize life in Javanese society. This research aims to reveal the meaning of ubarampe in the guyang jaran ritual performed in the art of jaran kepang. This research used a descriptive qualitative method with Charles Sanders Pierce's semiotic theory. The research involved the Jaran Kepang Turonggo Mudo group in Legoksari Village, Tlogomulyo District, Temanggung Regency. Data were collected through interviews, observations, and documentation, then analyzed using data source triangulation. The results showed that, the guyang jaran ritual means bathing horses in the sendhang which starts from installing offerings to end praying together at pepundhen as a form of respect for ancestral spirits, repelling bad luck, and preserving culture. Some types of ubarampe used are tumpeng, sega kapirata, sega bakar, endhog jawa, ingkung, cambah pethek, juaddah pasar, jenang abang putih, incense, candles, cigarettes, kembang setaman, kembang durang, kembang wangi, degan ijo, and wedang 7 werna. Overall, the ubarampe in the guyang jaran ritual has the meaning of prayer requests, gratitude, and a form of harmonious relationship between humans and nature as well as a medium for the Legoksari village community and makes it integral in cultural and spiritual practices.