Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search
Journal : Jurnal Sains

PERBAIKAN PREDIKSI CUACA NUMERIK KEJADIAN CURAH HUJAN LEBAT TERKAIT DENGAN KEJADIAN LONGSOR DI BANJARNEGARA MENGGUNAKAN ASIMILASI DATA SATELIT Mulsandi, Adi; Kristianto, Aries; Zakir, Achmad
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 19, No 2 (2018)
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1426.319 KB) | DOI: 10.29122/jstmc.v19i2.3127

Abstract

Wilayah Banjarnegara terekspos dengan kejadian tanah longsor yang terjadi hampir setiap tahun. Hujan lebat merupakan salah satu faktor penting pemicu terjadinya longsor yang paling mungkin untuk diprediksi, sehingga prediksi hujan lebat yang akurat sangat dibutuhkan dalam sistem peringatan dini longsor. Namun demikian, keterbatasan peralatan pengamatan cuaca di Banjarnegara memberikan kendala tersendiri sehingga dibutuhkan teknik lain dalam pembuatan informasi prediksi cuaca di wilayah ini. Penelitian ini dibuat untuk memberikan kontribusi landasan ilmiah dalam membuat prakiraan cuaca menggunakan model Weather Research and Forecasting (WRF) dengan mengintegrasikan data pengamatan satelit menggunakan WRF Data Assimilation (WRF-DA) untuk memperbaiki kualitas data awal model. Hasil penelitian menunjukan bahwa prosedur asimilasi data satelit cuaca dapat memperbaiki data awal kandungan uap air di atmosfer (+60%) beberapa jam sebelum kejadian hujan lebat. Sehingga hasil prediksi model cuaca numerik dengan menggunakan asimilasi data satelit (DA-SAT) menjadi lebih baik dibandingkan dengan yang tidak menggunakan asimilasi data (Non_DA). Hal ini ditunjukan dengan nilai bias model yang mengecil (-32%) jika dibandingkan dengan data pengamatan penakar hujan stasiun. Hasil perbandingan data series waktu akumulasi curah hujan antara DA-SAT dan Non-DA memperlihatkan adanya perbedaan waktu tercapainya hujan maksimum dan juga perbedaan intensitasnya dimana skema Non-DA lebih lambat (+5 jam) dengan bias (-40%) sementara DA-SAT lebih lambat 0.5 jam dengan bias (+8%). Dapat disimpulkan bahwa asimilasi data satelit dapat memperbaiki kesalahan prediksi jumlah hujan dan waktu kejadiannya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi penggunaan asimilasi data satelit dalam pembuatan informasi prediksi cuaca numerik di wilayah Banjarnegara.
PERBAIKAN PREDIKSI CUACA NUMERIK KEJADIAN CURAH HUJAN LEBAT TERKAIT DENGAN KEJADIAN LONGSOR DI BANJARNEGARA MENGGUNAKAN ASIMILASI DATA SATELIT Mulsandi, Adi; Kristianto, Aries; Zakir, Achmad
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 19, No 2 (2018): December 2018
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1426.319 KB) | DOI: 10.29122/jstmc.v19i2.3127

Abstract

Wilayah Banjarnegara terekspos dengan kejadian tanah longsor yang terjadi hampir setiap tahun. Hujan lebat merupakan salah satu faktor penting pemicu terjadinya longsor yang paling mungkin untuk diprediksi, sehingga prediksi hujan lebat yang akurat sangat dibutuhkan dalam sistem peringatan dini longsor. Namun demikian, keterbatasan peralatan pengamatan cuaca di Banjarnegara memberikan kendala tersendiri sehingga dibutuhkan teknik lain dalam pembuatan informasi prediksi cuaca di wilayah ini. Penelitian ini dibuat untuk memberikan kontribusi landasan ilmiah dalam membuat prakiraan cuaca menggunakan model Weather Research and Forecasting (WRF) dengan mengintegrasikan data pengamatan satelit menggunakan WRF Data Assimilation (WRF-DA) untuk memperbaiki kualitas data awal model. Hasil penelitian menunjukan bahwa prosedur asimilasi data satelit cuaca dapat memperbaiki data awal kandungan uap air di atmosfer (+60%) beberapa jam sebelum kejadian hujan lebat. Sehingga hasil prediksi model cuaca numerik dengan menggunakan asimilasi data satelit (DA-SAT) menjadi lebih baik dibandingkan dengan yang tidak menggunakan asimilasi data (Non_DA). Hal ini ditunjukan dengan nilai bias model yang mengecil (-32%) jika dibandingkan dengan data pengamatan penakar hujan stasiun. Hasil perbandingan data series waktu akumulasi curah hujan antara DA-SAT dan Non-DA memperlihatkan adanya perbedaan waktu tercapainya hujan maksimum dan juga perbedaan intensitasnya dimana skema Non-DA lebih lambat (+5 jam) dengan bias (-40%) sementara DA-SAT lebih lambat 0.5 jam dengan bias (+8%). Dapat disimpulkan bahwa asimilasi data satelit dapat memperbaiki kesalahan prediksi jumlah hujan dan waktu kejadiannya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi penggunaan asimilasi data satelit dalam pembuatan informasi prediksi cuaca numerik di wilayah Banjarnegara.
PERBAIKAN ESTIMASI CURAH HUJAN BERBASIS DATA SATELIT DENGAN MEMPERHITUNGKAN FAKTOR PERTUMBUHAN AWAN Mulsandi, Adi; Mamenun, Mamenun; Fitriano, Lutfi; Hidayat, Rahmat
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 20, No 2 (2019): December 2019
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (807.424 KB) | DOI: 10.29122/jstmc.v20i2.3810

Abstract

Intisari Permasalahan utama dalam mengestimasi curah hujan menggunakan data satelit adalah kegagalan membedakan antara awan cumuliform dengan awan stratiform dimana dapat menyebabkan nilai estimasi hujan under/overestimate. Dalam penelitian ini teknik estimasi curah hujan berbasis satelit yang digunakan adalah modifikasi Convective Stratiform Technique (CSTm). CSTm memiliki kelemahan ketika harus menghitung sistem awan konveksi dengan inti konveksi yang sangat luas karena akan memiliki nilai slope parameter kecil, sehingga menghasilkan estimasi curah hujan yang underestimate. Dengan melibatkan perhitungan faktor pertumbuhan awan di algoritma CSTm permasalahan tersebut dapat diatasi. Penelitian ini menerapkan algoritma CSTm dan faktor pertumbuhan awan (CSTm+Growth Factor) untuk mengestimasi kejadian hujan lebat yang menyebabkan banjir di Jakarta pada tanggal 24 Januari 2016 yang digunakan juga sebagai studi kasus di proyek pengembangan model NWP di BMKG. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlibatan faktor pertumbuhan awan sangat efektif memperbaiki kelemahan teknik CSTm, diperlihatkan dengan peningkatan nilai korelasi dari 0.6 menjadi 0.8 untuk wilayah Kemayoran dan -0.1 menjadi 0.83 untuk wilayah Cengkareng. Secara umum gabungan teknik CSTm dan faktor pertumbuhan awan dapat memperbaiki estimasi nilai intensitas dan fase hujan. Abstract  The main problem in estimating rainfall using satellite data is a failure to distinguish between cumuliform and stratiform clouds, which can cause under/overestimate of rains. In this research, the Modified Convective Stratiform Technique (CSTm) has been used to estimate rainfall based on satellite data. The weakness of the CSTm technique is defined when calculating the convective cloud system within a widely convective point. Cloud convective will have a low value of parameter slope and produce an underestimate of rainfall. This issue can be resolved by calculating the cloud growth factor on CSTm. CSTm algorithm and cloud growth factor (CSTm+Growth Factor) has been applied to this research to estimate heavy rainfall for floods event in Jakarta area on January 24th, 2016. The result showed that the cloud growth factor is very effective in improving the weakness of rainfall estimation using the CSTm technique. Correlation between estimation and observation rainfall has increased from 0,6 to 0,8 on Kemayoran and from -0,1 to 0,83 on Cengkareng. The coupled method of CSTm and cloud growth factor significantly improve in estimating phase and intensity of rainfall.
MODEL ESTIMASI DATA INTENSITAS RADIASI MATAHARI UNTUK WILAYAH BANTEN Munawar, Munawar; Mulsandi, Adi; Hidayat, Anistia Malinda
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 21 No. 2 (2020): December 2020
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v21i2.4171

Abstract

Data intensitas radiasi matahari (Rs, MJ/m2/day) memiliki peran yang sangat penting dalam pemodelan cuaca dan iklim guna mengkuantifikasi panas yang dipertukarkan antara permukaan dan atmosfer. Namun, keterbatasan jumlah titik pengamatan intensitas radiasi matahari menjadikan pemodelan sebagai alternatif solusi yang relatif mudah dan murah untuk pengambilan data intensitas radiasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa model dalam mengestimasi nilai intensitas radiasi matahari di wilayah penelitian menggunakan dua pendekatan model yang berbeda, yaitu model empiris oleh Keiser, Arkansas (AR) dan model deterministik. Tiga variabel utama cuaca yang digunakan sebagai input data model adalah curah hujan (mm), suhu maksimum (°C), dan suhu minimum (°C). Kedua model tersebut dipilih karena dapat diterapkan dengan hanya melibatkan variabel utama atmosfer yang tersedia dalam waktu yang panjang di lokasi penelitian. Hasil prediksi yang dilakukan dengan model kemudian dibandingkan dengan data reanalisis National Centers for Environmental Prediction (NCEP) pada titik koordinat wilayah Stasiun Klimatologi Pondok Betung. Hasilnya menunjukkan performa model empirik lebih baik dalam menggambarkan variasi temporal dan prediksi variabel intensitas matahari dibandingkan model deterministik. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai korelasi yang cukup baik, yakni mencapai 0,72 (korelasi kuat) dan nilai Root Mean Square Error (RMSE) 2,0. Atas dasar hasil pemodelan yang cukup representatif di lokasi penelitian, analisis secara spasial kemudian diterapkan untuk skala wilayah yang lebih luas, yaitu Provinsi Banten. Berdasarkan tinjauan secara spasial di wilayah kajian, model empirik memiliki performa yang bervariasi di wilayah Provinsi Banten. Hasil prediksi intensitas radiasi matahari di wilayah bagian barat memiliki performa yang lebih baik dibandingkan wilayah bagian timur.  
PERBAIKAN PREDIKSI CUACA NUMERIK KEJADIAN CURAH HUJAN LEBAT TERKAIT DENGAN KEJADIAN LONGSOR DI BANJARNEGARA MENGGUNAKAN ASIMILASI DATA SATELIT Adi Mulsandi; Aries Kristianto; Achmad Zakir
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 19 No. 2 (2018): December 2018
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v19i2.3127

Abstract

Wilayah Banjarnegara terekspos dengan kejadian tanah longsor yang terjadi hampir setiap tahun. Hujan lebat merupakan salah satu faktor penting pemicu terjadinya longsor yang paling mungkin untuk diprediksi, sehingga prediksi hujan lebat yang akurat sangat dibutuhkan dalam sistem peringatan dini longsor. Namun demikian, keterbatasan peralatan pengamatan cuaca di Banjarnegara memberikan kendala tersendiri sehingga dibutuhkan teknik lain dalam pembuatan informasi prediksi cuaca di wilayah ini. Penelitian ini dibuat untuk memberikan kontribusi landasan ilmiah dalam membuat prakiraan cuaca menggunakan model Weather Research and Forecasting (WRF) dengan mengintegrasikan data pengamatan satelit menggunakan WRF Data Assimilation (WRF-DA) untuk memperbaiki kualitas data awal model. Hasil penelitian menunjukan bahwa prosedur asimilasi data satelit cuaca dapat memperbaiki data awal kandungan uap air di atmosfer (+60%) beberapa jam sebelum kejadian hujan lebat. Sehingga hasil prediksi model cuaca numerik dengan menggunakan asimilasi data satelit (DA-SAT) menjadi lebih baik dibandingkan dengan yang tidak menggunakan asimilasi data (Non_DA). Hal ini ditunjukan dengan nilai bias model yang mengecil (-32%) jika dibandingkan dengan data pengamatan penakar hujan stasiun. Hasil perbandingan data series waktu akumulasi curah hujan antara DA-SAT dan Non-DA memperlihatkan adanya perbedaan waktu tercapainya hujan maksimum dan juga perbedaan intensitasnya dimana skema Non-DA lebih lambat (+5 jam) dengan bias (-40%) sementara DA-SAT lebih lambat 0.5 jam dengan bias (+8%). Dapat disimpulkan bahwa asimilasi data satelit dapat memperbaiki kesalahan prediksi jumlah hujan dan waktu kejadiannya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi penggunaan asimilasi data satelit dalam pembuatan informasi prediksi cuaca numerik di wilayah Banjarnegara.
PERBAIKAN ESTIMASI CURAH HUJAN BERBASIS DATA SATELIT DENGAN MEMPERHITUNGKAN FAKTOR PERTUMBUHAN AWAN Adi Mulsandi; Mamenun Mamenun; Lutfi Fitriano; Rahmat Hidayat
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 20 No. 2 (2019): December 2019
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v20i2.3810

Abstract

Intisari Permasalahan utama dalam mengestimasi curah hujan menggunakan data satelit adalah kegagalan membedakan antara awan cumuliform dengan awan stratiform dimana dapat menyebabkan nilai estimasi hujan under/overestimate. Dalam penelitian ini teknik estimasi curah hujan berbasis satelit yang digunakan adalah modifikasi Convective Stratiform Technique (CSTm). CSTm memiliki kelemahan ketika harus menghitung sistem awan konveksi dengan inti konveksi yang sangat luas karena akan memiliki nilai slope parameter kecil, sehingga menghasilkan estimasi curah hujan yang underestimate. Dengan melibatkan perhitungan faktor pertumbuhan awan di algoritma CSTm permasalahan tersebut dapat diatasi. Penelitian ini menerapkan algoritma CSTm dan faktor pertumbuhan awan (CSTm+Growth Factor) untuk mengestimasi kejadian hujan lebat yang menyebabkan banjir di Jakarta pada tanggal 24 Januari 2016 yang digunakan juga sebagai studi kasus di proyek pengembangan model NWP di BMKG. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlibatan faktor pertumbuhan awan sangat efektif memperbaiki kelemahan teknik CSTm, diperlihatkan dengan peningkatan nilai korelasi dari 0.6 menjadi 0.8 untuk wilayah Kemayoran dan -0.1 menjadi 0.83 untuk wilayah Cengkareng. Secara umum gabungan teknik CSTm dan faktor pertumbuhan awan dapat memperbaiki estimasi nilai intensitas dan fase hujan. Abstract  The main problem in estimating rainfall using satellite data is a failure to distinguish between cumuliform and stratiform clouds, which can cause under/overestimate of rains. In this research, the Modified Convective Stratiform Technique (CSTm) has been used to estimate rainfall based on satellite data. The weakness of the CSTm technique is defined when calculating the convective cloud system within a widely convective point. Cloud convective will have a low value of parameter slope and produce an underestimate of rainfall. This issue can be resolved by calculating the cloud growth factor on CSTm. CSTm algorithm and cloud growth factor (CSTm+Growth Factor) has been applied to this research to estimate heavy rainfall for floods event in Jakarta area on January 24th, 2016. The result showed that the cloud growth factor is very effective in improving the weakness of rainfall estimation using the CSTm technique. Correlation between estimation and observation rainfall has increased from 0,6 to 0,8 on Kemayoran and from -0,1 to 0,83 on Cengkareng. The coupled method of CSTm and cloud growth factor significantly improve in estimating phase and intensity of rainfall.
MODEL ESTIMASI DATA INTENSITAS RADIASI MATAHARI UNTUK WILAYAH BANTEN Munawar Munawar; Adi Mulsandi; Anistia Malinda Hidayat
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 21 No. 2 (2020): December 2020
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v21i2.4171

Abstract

Data intensitas radiasi matahari (Rs, MJ/m2/day) memiliki peran yang sangat penting dalam pemodelan cuaca dan iklim guna mengkuantifikasi panas yang dipertukarkan antara permukaan dan atmosfer. Namun, keterbatasan jumlah titik pengamatan intensitas radiasi matahari menjadikan pemodelan sebagai alternatif solusi yang relatif mudah dan murah untuk pengambilan data intensitas radiasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa model dalam mengestimasi nilai intensitas radiasi matahari di wilayah penelitian menggunakan dua pendekatan model yang berbeda, yaitu model empiris oleh Keiser, Arkansas (AR) dan model deterministik. Tiga variabel utama cuaca yang digunakan sebagai input data model adalah curah hujan (mm), suhu maksimum (°C), dan suhu minimum (°C). Kedua model tersebut dipilih karena dapat diterapkan dengan hanya melibatkan variabel utama atmosfer yang tersedia dalam waktu yang panjang di lokasi penelitian. Hasil prediksi yang dilakukan dengan model kemudian dibandingkan dengan data reanalisis National Centers for Environmental Prediction (NCEP) pada titik koordinat wilayah Stasiun Klimatologi Pondok Betung. Hasilnya menunjukkan performa model empirik lebih baik dalam menggambarkan variasi temporal dan prediksi variabel intensitas matahari dibandingkan model deterministik. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai korelasi yang cukup baik, yakni mencapai 0,72 (korelasi kuat) dan nilai Root Mean Square Error (RMSE) 2,0. Atas dasar hasil pemodelan yang cukup representatif di lokasi penelitian, analisis secara spasial kemudian diterapkan untuk skala wilayah yang lebih luas, yaitu Provinsi Banten. Berdasarkan tinjauan secara spasial di wilayah kajian, model empirik memiliki performa yang bervariasi di wilayah Provinsi Banten. Hasil prediksi intensitas radiasi matahari di wilayah bagian barat memiliki performa yang lebih baik dibandingkan wilayah bagian timur.