Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

KARAKTERISTIK GELOMBANG LAUT DIPERAIRAN KEPULAUAN RIAU Saputro, Hari; Mulsandi, Adi
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol 3 No 2 (2016): Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Publisher : Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Informasi meteorologi kelautan dan Informasi klimatologi kelautan berupa gelombang laut sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam aktifitas pelayaran Kepulauan Riau merupakan salah satu jalur pelayaran yang cukup ramai. Berbagai kegiatan ekonomi antar pulau bahkan antar negara sebagian besar mengandalkan transportasi laut yang melintasi kepulauan Riau. Untuk menggambarkan karakteristik gelombang, BMKG menggunakan parameter gelombang signifikan dan maksimum. Oleh karena itu dalam penelitian ini karakteristik gelombang di wilayah kepulauan Riau juga digambarkan dengan menggunakan parameter yang sama yaitu gelombang signifikan dan maksimum. Parameter gelombang yang disajikan dalam penelitian ini dihasilkan dari model gelombang windwave. Untuk mengetahui karakteristik gelombang secara musiman, simulasi gelombang disajikan secara bulanan. Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa, karateristik gelombang di kepulauan Riau berkaitan dengan pola angin musiman. Pada saat masa peralihan (SON) ratarata tinggi gelombang lebih tinggi dibanding pada saat monsun Asia dan Australia (DJF dan JJA). Pada saat masa peralihan (SON), puncak rata-rata gelombang tertinggi terjadi pada bulan Oktober bisa mencapai 5 meter. Sedangkan pada monsun Asia, puncak rata-rata gelombang tertinggi terjadi pada bulan Desember yang mencapai 3.5 meter, dan pada monsun Australia, puncak rata-rata gelombang tertinggi terjadi pada bulan Juli yang mencapai 2.5 meter. Kata kunci : Kepulauan Riau, Gelombang Laut, Monsun
DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX (MCC) DI INDONESIA SELAMA PERIODE MJO MENGGUNAKAN CITRA SATELIT Muhlis, Ahmad; Mulsandi, Adi
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol 4 No 1 (2017): Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Publisher : Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu jenis MCS yang terbesar adalah Mesoscale Convective Complex (MCC). Identifikasi MCC dilakukan dengan menggunakan citra satelit infra merah sesuai dengan kriteria dari Maddox (1980) serta Miller dan Fritsch (1991). Penelitian dilakukan selama satu periode MJO meliputi fase 1 sampai 8 pada 17 Januari hingga 16 Februari 2017. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik MCC yang terjadi di wilayah Indonesia serta distribusi spasial dan temporal dari MCC selama periode MJO berlangsung. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa MCC muncul sepanjang fase MJO dengan kemunculan terbanyak pada fase kedua. Keberadaan MJO yang aktif turut mendukung terbentuknya awan bakal MCC, namun mengalami penurunan saat terjadi El-Nino. Kontribusi MCC terhadap hujan dilihat dengan membandingkan sebaran MCC dengan data GsMap. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa MCC mendukung terjadinya hujan lebat baik pada studi kasus di Lampung maupun selama periode MJO di wilayah Indonesia. Secara umum MCC terjadi pada malam hingga pagi hari dan mencapai fase punah pada siang hingga sore hari dengan pergerakan dominan kearah Barat Daya hingga Barat.
PERBAIKAN PREDIKSI CUACA NUMERIK KEJADIAN CURAH HUJAN LEBAT TERKAIT DENGAN KEJADIAN LONGSOR DI BANJARNEGARA MENGGUNAKAN ASIMILASI DATA SATELIT Mulsandi, Adi; Kristianto, Aries; Zakir, Achmad
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 19, No 2 (2018)
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1426.319 KB) | DOI: 10.29122/jstmc.v19i2.3127

Abstract

Wilayah Banjarnegara terekspos dengan kejadian tanah longsor yang terjadi hampir setiap tahun. Hujan lebat merupakan salah satu faktor penting pemicu terjadinya longsor yang paling mungkin untuk diprediksi, sehingga prediksi hujan lebat yang akurat sangat dibutuhkan dalam sistem peringatan dini longsor. Namun demikian, keterbatasan peralatan pengamatan cuaca di Banjarnegara memberikan kendala tersendiri sehingga dibutuhkan teknik lain dalam pembuatan informasi prediksi cuaca di wilayah ini. Penelitian ini dibuat untuk memberikan kontribusi landasan ilmiah dalam membuat prakiraan cuaca menggunakan model Weather Research and Forecasting (WRF) dengan mengintegrasikan data pengamatan satelit menggunakan WRF Data Assimilation (WRF-DA) untuk memperbaiki kualitas data awal model. Hasil penelitian menunjukan bahwa prosedur asimilasi data satelit cuaca dapat memperbaiki data awal kandungan uap air di atmosfer (+60%) beberapa jam sebelum kejadian hujan lebat. Sehingga hasil prediksi model cuaca numerik dengan menggunakan asimilasi data satelit (DA-SAT) menjadi lebih baik dibandingkan dengan yang tidak menggunakan asimilasi data (Non_DA). Hal ini ditunjukan dengan nilai bias model yang mengecil (-32%) jika dibandingkan dengan data pengamatan penakar hujan stasiun. Hasil perbandingan data series waktu akumulasi curah hujan antara DA-SAT dan Non-DA memperlihatkan adanya perbedaan waktu tercapainya hujan maksimum dan juga perbedaan intensitasnya dimana skema Non-DA lebih lambat (+5 jam) dengan bias (-40%) sementara DA-SAT lebih lambat 0.5 jam dengan bias (+8%). Dapat disimpulkan bahwa asimilasi data satelit dapat memperbaiki kesalahan prediksi jumlah hujan dan waktu kejadiannya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi penggunaan asimilasi data satelit dalam pembuatan informasi prediksi cuaca numerik di wilayah Banjarnegara.
STUDI KEJADIAN MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX (MCC) DI WILAYAH PAPUA BAGIAN SELATAN PADA 9-10 MEI 2018 Perdana, Ilham Fajar Putra; Rismana, Yosza Indra; Prasetya, Ferdian Adhy; Mulsandi, Adi
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol 6 No 1 (2019): Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Publisher : Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1531.24 KB) | DOI: 10.36754/jmkg.v6i1.115

Abstract

Mesoscale Convective Complex (MCC) pertama kali diperkenalkan oleh Maddox pada tahun 1980. MCC merupakan salah satu jenis Mesoscale Convective System (MCS) yang memiliki ukuran lebih dari 100.000 km2 dan waktu hidup lebih dari 6 jam yang dapat menghasilkan cuaca buruk dan curah hujan yang berkelanjutan. Pada tanggal 9 Mei 2018, sebuah MCC tumbuh di wilayah Papua bagian selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pertumbuhan MCC, kondisi atmosfer, dan distribusi curah hujan di sekitar wilayah Papua bagian selatan. Hasil citra satelit kanal infrared (IR) menunjukkan bahwa MCC yang ada tumbuh hingga mencapai luasan > 300.000 km2 dengan waktu hidup selama 14 jam. Distribusi curah hujan citra Global Satellite Mapping (GSMaP) menunjukkan adanya daerah hujan sepanjang 800 km dengan intensitas curah hujan yang beragam hingga mencapai 40 mm/jam. Analisis kondisi atmosfer juga dilakukan terhadap parameter angin, kelembapan relatif, divergensi, dan vertical velocity dari data model European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF). Berdasarkan hasil analisis secara deskriptif, konvergensi terjadi di wilayah Papua bagian selatan pada troposfer bagian bawah pada saat fase pertumbuhan MCC yang disertai dengan kondisi kelembapan udara yang tinggi di lapisan 850 hPa. Deret waktu nilai vertical velocity juga menggambarkan adanya proses pertumbuhan dan peluruhan MCC di wilayah Papua bagian selatan pada 9-10 Mei 2018.
Penerapan Analisis Korelasi Kanonik pada Kajian Enso dalam Identifikasi Hubungan Fitur Iklim Miftahuddin, Miftahuddin; Andriani, Ria; Setiawan, Ichsan; Mulsandi, Adi
Jurnal Natur Indonesia Vol 15, No 1 (2013)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (453.386 KB) | DOI: 10.31258/jnat.15.1.36-44

Abstract

There are several resulting arguments from the research done on climate variation in Indonesia stating that the observed affects are through various phenomena such as ENSO, monsoon, dipole mode event, and MJO. However, the magnitude of the effect varies for each region in Indonesia. This research aims to identify the relationship among the global climate features (GCFs) in the Nino3.4 (5°S–5°N, 120–170°W) with the local climate features (LCFs) in the Aceh regions which represented by: I(2–3°N, 95–98°E), II(3–4°N, 95–98°E), III(4–5°N, 95–98°E), and IV(5–6°N, 95–98°E) using canonical correlation analysis (CCA) in the ENSO phenomena. The analysis shows that global GCFs variations have strong correlation with LCFs variations with the correlation values, 0.893, 0.899, 0.900, and 0.901, respectively. The result show that when there is a global change in any feature of GCFs, the same change also appears in each feature of LCFs. The canonical loading shows that there are original variables which have strong correlation with the first canonical global variable (X1) with correlations 0.987, 0.969, 0.987, and 0.865,respectively, and the local wind (Y1) with correlations 0.974, 0.952, 0.979, and 0.845, respectively. All the other climate features have weak correlations with the first canonical variables. From the MANOVA, we can conclude that the climate features (wind, SST, SSTA, and SLP) affect climate changes in both study regions. Our results also reveal that LCFs are significantly affected in the Nino3.4 99.5% and in I, II, III, and IV for given correlations 99.8, 99.7, 99.6, and 99.5%, respectively.
PERBAIKAN PREDIKSI CUACA NUMERIK KEJADIAN CURAH HUJAN LEBAT TERKAIT DENGAN KEJADIAN LONGSOR DI BANJARNEGARA MENGGUNAKAN ASIMILASI DATA SATELIT Mulsandi, Adi; Kristianto, Aries; Zakir, Achmad
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 19, No 2 (2018): December 2018
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1426.319 KB) | DOI: 10.29122/jstmc.v19i2.3127

Abstract

Wilayah Banjarnegara terekspos dengan kejadian tanah longsor yang terjadi hampir setiap tahun. Hujan lebat merupakan salah satu faktor penting pemicu terjadinya longsor yang paling mungkin untuk diprediksi, sehingga prediksi hujan lebat yang akurat sangat dibutuhkan dalam sistem peringatan dini longsor. Namun demikian, keterbatasan peralatan pengamatan cuaca di Banjarnegara memberikan kendala tersendiri sehingga dibutuhkan teknik lain dalam pembuatan informasi prediksi cuaca di wilayah ini. Penelitian ini dibuat untuk memberikan kontribusi landasan ilmiah dalam membuat prakiraan cuaca menggunakan model Weather Research and Forecasting (WRF) dengan mengintegrasikan data pengamatan satelit menggunakan WRF Data Assimilation (WRF-DA) untuk memperbaiki kualitas data awal model. Hasil penelitian menunjukan bahwa prosedur asimilasi data satelit cuaca dapat memperbaiki data awal kandungan uap air di atmosfer (+60%) beberapa jam sebelum kejadian hujan lebat. Sehingga hasil prediksi model cuaca numerik dengan menggunakan asimilasi data satelit (DA-SAT) menjadi lebih baik dibandingkan dengan yang tidak menggunakan asimilasi data (Non_DA). Hal ini ditunjukan dengan nilai bias model yang mengecil (-32%) jika dibandingkan dengan data pengamatan penakar hujan stasiun. Hasil perbandingan data series waktu akumulasi curah hujan antara DA-SAT dan Non-DA memperlihatkan adanya perbedaan waktu tercapainya hujan maksimum dan juga perbedaan intensitasnya dimana skema Non-DA lebih lambat (+5 jam) dengan bias (-40%) sementara DA-SAT lebih lambat 0.5 jam dengan bias (+8%). Dapat disimpulkan bahwa asimilasi data satelit dapat memperbaiki kesalahan prediksi jumlah hujan dan waktu kejadiannya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi penggunaan asimilasi data satelit dalam pembuatan informasi prediksi cuaca numerik di wilayah Banjarnegara.
PERBAIKAN ESTIMASI CURAH HUJAN BERBASIS DATA SATELIT DENGAN MEMPERHITUNGKAN FAKTOR PERTUMBUHAN AWAN Mulsandi, Adi; Mamenun, Mamenun; Fitriano, Lutfi; Hidayat, Rahmat
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 20, No 2 (2019): December 2019
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (807.424 KB) | DOI: 10.29122/jstmc.v20i2.3810

Abstract

Intisari Permasalahan utama dalam mengestimasi curah hujan menggunakan data satelit adalah kegagalan membedakan antara awan cumuliform dengan awan stratiform dimana dapat menyebabkan nilai estimasi hujan under/overestimate. Dalam penelitian ini teknik estimasi curah hujan berbasis satelit yang digunakan adalah modifikasi Convective Stratiform Technique (CSTm). CSTm memiliki kelemahan ketika harus menghitung sistem awan konveksi dengan inti konveksi yang sangat luas karena akan memiliki nilai slope parameter kecil, sehingga menghasilkan estimasi curah hujan yang underestimate. Dengan melibatkan perhitungan faktor pertumbuhan awan di algoritma CSTm permasalahan tersebut dapat diatasi. Penelitian ini menerapkan algoritma CSTm dan faktor pertumbuhan awan (CSTm+Growth Factor) untuk mengestimasi kejadian hujan lebat yang menyebabkan banjir di Jakarta pada tanggal 24 Januari 2016 yang digunakan juga sebagai studi kasus di proyek pengembangan model NWP di BMKG. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlibatan faktor pertumbuhan awan sangat efektif memperbaiki kelemahan teknik CSTm, diperlihatkan dengan peningkatan nilai korelasi dari 0.6 menjadi 0.8 untuk wilayah Kemayoran dan -0.1 menjadi 0.83 untuk wilayah Cengkareng. Secara umum gabungan teknik CSTm dan faktor pertumbuhan awan dapat memperbaiki estimasi nilai intensitas dan fase hujan. Abstract  The main problem in estimating rainfall using satellite data is a failure to distinguish between cumuliform and stratiform clouds, which can cause under/overestimate of rains. In this research, the Modified Convective Stratiform Technique (CSTm) has been used to estimate rainfall based on satellite data. The weakness of the CSTm technique is defined when calculating the convective cloud system within a widely convective point. Cloud convective will have a low value of parameter slope and produce an underestimate of rainfall. This issue can be resolved by calculating the cloud growth factor on CSTm. CSTm algorithm and cloud growth factor (CSTm+Growth Factor) has been applied to this research to estimate heavy rainfall for floods event in Jakarta area on January 24th, 2016. The result showed that the cloud growth factor is very effective in improving the weakness of rainfall estimation using the CSTm technique. Correlation between estimation and observation rainfall has increased from 0,6 to 0,8 on Kemayoran and from -0,1 to 0,83 on Cengkareng. The coupled method of CSTm and cloud growth factor significantly improve in estimating phase and intensity of rainfall.
MODEL ESTIMASI DATA INTENSITAS RADIASI MATAHARI UNTUK WILAYAH BANTEN Munawar, Munawar; Mulsandi, Adi; Hidayat, Anistia Malinda
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 21 No. 2 (2020): December 2020
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v21i2.4171

Abstract

Data intensitas radiasi matahari (Rs, MJ/m2/day) memiliki peran yang sangat penting dalam pemodelan cuaca dan iklim guna mengkuantifikasi panas yang dipertukarkan antara permukaan dan atmosfer. Namun, keterbatasan jumlah titik pengamatan intensitas radiasi matahari menjadikan pemodelan sebagai alternatif solusi yang relatif mudah dan murah untuk pengambilan data intensitas radiasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa model dalam mengestimasi nilai intensitas radiasi matahari di wilayah penelitian menggunakan dua pendekatan model yang berbeda, yaitu model empiris oleh Keiser, Arkansas (AR) dan model deterministik. Tiga variabel utama cuaca yang digunakan sebagai input data model adalah curah hujan (mm), suhu maksimum (°C), dan suhu minimum (°C). Kedua model tersebut dipilih karena dapat diterapkan dengan hanya melibatkan variabel utama atmosfer yang tersedia dalam waktu yang panjang di lokasi penelitian. Hasil prediksi yang dilakukan dengan model kemudian dibandingkan dengan data reanalisis National Centers for Environmental Prediction (NCEP) pada titik koordinat wilayah Stasiun Klimatologi Pondok Betung. Hasilnya menunjukkan performa model empirik lebih baik dalam menggambarkan variasi temporal dan prediksi variabel intensitas matahari dibandingkan model deterministik. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai korelasi yang cukup baik, yakni mencapai 0,72 (korelasi kuat) dan nilai Root Mean Square Error (RMSE) 2,0. Atas dasar hasil pemodelan yang cukup representatif di lokasi penelitian, analisis secara spasial kemudian diterapkan untuk skala wilayah yang lebih luas, yaitu Provinsi Banten. Berdasarkan tinjauan secara spasial di wilayah kajian, model empirik memiliki performa yang bervariasi di wilayah Provinsi Banten. Hasil prediksi intensitas radiasi matahari di wilayah bagian barat memiliki performa yang lebih baik dibandingkan wilayah bagian timur.  
PERBAIKAN PREDIKSI CUACA NUMERIK KEJADIAN CURAH HUJAN LEBAT TERKAIT DENGAN KEJADIAN LONGSOR DI BANJARNEGARA MENGGUNAKAN ASIMILASI DATA SATELIT Adi Mulsandi; Aries Kristianto; Achmad Zakir
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 19 No. 2 (2018): December 2018
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v19i2.3127

Abstract

Wilayah Banjarnegara terekspos dengan kejadian tanah longsor yang terjadi hampir setiap tahun. Hujan lebat merupakan salah satu faktor penting pemicu terjadinya longsor yang paling mungkin untuk diprediksi, sehingga prediksi hujan lebat yang akurat sangat dibutuhkan dalam sistem peringatan dini longsor. Namun demikian, keterbatasan peralatan pengamatan cuaca di Banjarnegara memberikan kendala tersendiri sehingga dibutuhkan teknik lain dalam pembuatan informasi prediksi cuaca di wilayah ini. Penelitian ini dibuat untuk memberikan kontribusi landasan ilmiah dalam membuat prakiraan cuaca menggunakan model Weather Research and Forecasting (WRF) dengan mengintegrasikan data pengamatan satelit menggunakan WRF Data Assimilation (WRF-DA) untuk memperbaiki kualitas data awal model. Hasil penelitian menunjukan bahwa prosedur asimilasi data satelit cuaca dapat memperbaiki data awal kandungan uap air di atmosfer (+60%) beberapa jam sebelum kejadian hujan lebat. Sehingga hasil prediksi model cuaca numerik dengan menggunakan asimilasi data satelit (DA-SAT) menjadi lebih baik dibandingkan dengan yang tidak menggunakan asimilasi data (Non_DA). Hal ini ditunjukan dengan nilai bias model yang mengecil (-32%) jika dibandingkan dengan data pengamatan penakar hujan stasiun. Hasil perbandingan data series waktu akumulasi curah hujan antara DA-SAT dan Non-DA memperlihatkan adanya perbedaan waktu tercapainya hujan maksimum dan juga perbedaan intensitasnya dimana skema Non-DA lebih lambat (+5 jam) dengan bias (-40%) sementara DA-SAT lebih lambat 0.5 jam dengan bias (+8%). Dapat disimpulkan bahwa asimilasi data satelit dapat memperbaiki kesalahan prediksi jumlah hujan dan waktu kejadiannya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi penggunaan asimilasi data satelit dalam pembuatan informasi prediksi cuaca numerik di wilayah Banjarnegara.
PERBAIKAN ESTIMASI CURAH HUJAN BERBASIS DATA SATELIT DENGAN MEMPERHITUNGKAN FAKTOR PERTUMBUHAN AWAN Adi Mulsandi; Mamenun Mamenun; Lutfi Fitriano; Rahmat Hidayat
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 20 No. 2 (2019): December 2019
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v20i2.3810

Abstract

Intisari Permasalahan utama dalam mengestimasi curah hujan menggunakan data satelit adalah kegagalan membedakan antara awan cumuliform dengan awan stratiform dimana dapat menyebabkan nilai estimasi hujan under/overestimate. Dalam penelitian ini teknik estimasi curah hujan berbasis satelit yang digunakan adalah modifikasi Convective Stratiform Technique (CSTm). CSTm memiliki kelemahan ketika harus menghitung sistem awan konveksi dengan inti konveksi yang sangat luas karena akan memiliki nilai slope parameter kecil, sehingga menghasilkan estimasi curah hujan yang underestimate. Dengan melibatkan perhitungan faktor pertumbuhan awan di algoritma CSTm permasalahan tersebut dapat diatasi. Penelitian ini menerapkan algoritma CSTm dan faktor pertumbuhan awan (CSTm+Growth Factor) untuk mengestimasi kejadian hujan lebat yang menyebabkan banjir di Jakarta pada tanggal 24 Januari 2016 yang digunakan juga sebagai studi kasus di proyek pengembangan model NWP di BMKG. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlibatan faktor pertumbuhan awan sangat efektif memperbaiki kelemahan teknik CSTm, diperlihatkan dengan peningkatan nilai korelasi dari 0.6 menjadi 0.8 untuk wilayah Kemayoran dan -0.1 menjadi 0.83 untuk wilayah Cengkareng. Secara umum gabungan teknik CSTm dan faktor pertumbuhan awan dapat memperbaiki estimasi nilai intensitas dan fase hujan. Abstract  The main problem in estimating rainfall using satellite data is a failure to distinguish between cumuliform and stratiform clouds, which can cause under/overestimate of rains. In this research, the Modified Convective Stratiform Technique (CSTm) has been used to estimate rainfall based on satellite data. The weakness of the CSTm technique is defined when calculating the convective cloud system within a widely convective point. Cloud convective will have a low value of parameter slope and produce an underestimate of rainfall. This issue can be resolved by calculating the cloud growth factor on CSTm. CSTm algorithm and cloud growth factor (CSTm+Growth Factor) has been applied to this research to estimate heavy rainfall for floods event in Jakarta area on January 24th, 2016. The result showed that the cloud growth factor is very effective in improving the weakness of rainfall estimation using the CSTm technique. Correlation between estimation and observation rainfall has increased from 0,6 to 0,8 on Kemayoran and from -0,1 to 0,83 on Cengkareng. The coupled method of CSTm and cloud growth factor significantly improve in estimating phase and intensity of rainfall.