Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Kadar TNF- Lesi Kulit dengan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris Sulamsih Sri Budini; M. Cholis Cholis; Aunur Rofiq
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 1 (2014): BIKKK APRIL 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (253.55 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.1.2014.1-7

Abstract

Latar belakang: Peranan TNF- dalam patogenesis terjadinya lesi kulit pada psoriasis sudah banyak diteliti, termasuk pemakaian terapi biologis pada psoriasis dengan bahan yang menghambat TNF- dan sel T. Kegunaan TNF- serum sebagai biomarker aktifitas penyakit psoriasis memberi hasil yang tidak konsisten baik dalam jumlah absolutnya maupun hubungannya dengan respon hasil pengobatan. Tujuan: Mengevaluasi kadar TNF- lesi kulit dengan derajat keparahan penyakit psoriasis. Metode: Desain penelitian adalah potong lintang analitik observasional dengan jumlah sampel duapuluh lima penderita psoriasis vulgaris yang datang ke poli rawat jalan RSUD Dr Saiful Anwar Malang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan histopatologis. Derajat keparahan dievaluasi dengan skor Psoriasis Area Severity Index (PASI), yaitu <10 ringan; 10-20 sedang; dan >20 berat. Kadar TNF- lesi kulit di ukur dengan metode ELISA. Kadar TNF- lesi kulit ditentukan dengan menghitung nilai rerata pada masing-masing derajat keparahan. Data diolah dengan program SPSS versi 14, hubungan antara kadar TNF- lesi kulit dengan derajat keparahan penyakit diuji dengan menggunakan rumus uji korelasi Spearman. Hasil: Didapatkan rerata kadar TNF- lesi kulit 135,00 + 30,04 pada PASI ringan, 229,40 + 38,06 pada PASI sedang, 258,00 + 53,04 pada PASI berat. Rerata skor PASI penderita psoriasis vulgaris pada derajat ringan 8,57 + 0,57, sedang 16,46 + 3,08 dan berat 28,21 + 10,86. Simpulan: Makin tinggi kadar TNF- makin bertambah pula derajat keparahan psoriasis vulgaris. Kata kunci: psoriasis, TNF-, PASI, derajat keparahan.
The Correlation between Blood Glucose and Lipid Profile with Skin tag Wahyu Lestari; Sulamsih Sri Budini; Cut Yunita; Hendra Zufry; Sitti Hajar
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 35 No. 2 (2023): AUGUST
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/bikk.V35.2.2023.136-141

Abstract

Background: Skin tags or acrochordons are benign fibroepithelioma skin tumors with soft consistency, usually pedunculated, primarily originating from the dermis. High levels of blood sugar and a high lipid profile are risk factors for inflammation and hormonal imbalance, which can contribute to the development of skin tags. Purpose: The objective of this study is to identify the association between blood sugar and lipid profile with skin tags. Methods: This study is a cross-sectional study conducted from April to August 2019 at the Dermatovenereology and Endocrine Policlinic, Dr. Zainoel Abidin General Hospital, Banda Aceh. The sampling method of this study was consecutive sampling with 60 samples that met the inclusion and exclusion criteria. A blood glucose, lipid profile, and skin tag examination was conducted on all subjects. Result: The majority of the subjects are women (61.5%), have an average age of 41-50 years old (43.3%), are obese (41.7%), and have one to five lessions of 1-5 (53.3%). There was a significant correlation between blood glucose, 2 hours post-prandial, total cholesterol, triglyceride, high-density lipoprotein (HDL), and low-density lipoprotein (LDL) levels with skin tags with Spearman's correlation values of 0.645, 0.645, 0.794, 0.704, 0.606, and 0.606 consecutively. Conclusion: A high level of blood sugar and lipid profile, whether it is total cholesterol, triglycerides, HDL, or LDL level, can contribute to the development of skin tags.
Hubungan Dermatofitosis dan Non Dermatofitosis Dengan Diabetes Melitus Tipe 2 Mimi Maulida; Arie Hidayati; Sulamsih Sri Budini; Nur Fajrina
Journal of Medical Science Vol 6 No 1 (2025): Journal of Medical Science
Publisher : LITBANG RSUDZA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55572/jms.v6i1.144

Abstract

Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofita yang menyerang jaringan yang mengandung keratin (zat tanduk) seperti stratum korneum pada epidermis kulit, rambut dan kuku. salah satu faktor predisposisi dermatofitosis ialah Diabetes Melitus (DM). Tingginya kadar glukosa darah pada penderita diabetes menyebabkan meningkatnya glukosa kulit yang dapat mengganggu proses imun dan menyuplai energi untuk jamur berkembang, sehingga mudah muncul manifestasi kelainan pada kulit, salah satunya adalah dermatofitosis. Penelitian World Health Organization (WHO) terhadap insiden dari infeksi dermatofit menyatakan 20% orang dari seluruh dunia mengalami infeksi kutaneus dengan infeksi tinea corporis yang merupakan tipe yang paling dominan dan diikuti dengan tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis. Di Indonesia dermatofitosis menempati urutan kedua setelah pityriasis versikolor. Dermatofitosis didapatkan sebanyak 52% dengan kasus terbanyak tinea kruris dan tinea korporis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dermatofitosis dan Non Dermatofitosis dengan Diabetes Melitus tipe 2. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain penelitian Cross sectional di RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien mengalami DM tipe 2 yang mengalami keluhan yang mengarah pada infeksi jamur pada kulit. Di RSUDZA Banda Aceh. Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan KOH pada peneltian ini adalah Larutan KOH 10%, Mikroskop untuk pemeriksaan mikroskopik Scalpel untuk kerokan kulit dan Lampu Bunsen Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara diabetes melitus dengan angka kejadian dermatofitosis (p Value = 0,006). Sehingga dapat disimpulkan bahwa diabetes melitus berhubungan dengan munculnya penyakit jamur jenis dermatofitosis. Hal ini dapat terjadi karena kadar glukosa pada kulit normal adalah 55% dari gula darah pada orang normal, namun pada seseorang dengan DM tingkat rasio akan meningkat hingga mencapai 69-71% dari gula darah yang telah meninggi. Keadaan ini disebut diabetes kulit. Kondisi peningkatan gula darah yang patologis ini digunakan jamur sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya. Akibat dari seluruh hal yang timbulkan hiperglikemik kronik ini memudahkan adhesi dan invasi infeksi jamur. Kelompok usia pasien diabetes melitus yang mengalami penyakit jamur pada kulit terbanyak pada kelompok usia produktif (41-60 tahun) yaitu sebanyak 22 pasien (48,9%) diikuti kelompok usia >60 tahun sebanyak 20 pasien (44,4%) dan kelompok usia 18-40 sebanyak 3 pasien (6,7%). Diagnosis dermatofita pada pasien diabetes melitus ditemukan pada 30 pasien (66,7%). Sedangkan diagnosis non dermatofita ditemukan hanya pada 15 pasien (33,3%).