Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Modal Britania di Indonesia Masa Kolonial Dias Pradadimara
MOZAIK HUMANIORA Vol. 16 No. 2 (2016): MOZAIK HUMANIORA VOL. 16 NO. 2
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (144.896 KB) | DOI: 10.20473/mozaik.v16i2.5842

Abstract

AbstrakPeranan Britania dalam ekonomi kolonial di Indonesia, utamanya pada abad kesembilan belas, masih jarang dikaji. Tulisan ini diawali dengan melihat peran penting yang dimainkan oleh para saudagar Britania dan rumah-rumah dagang Britania dalam periode ketika pemerintah kolonial meningkatkan cengkeramannya dalam ekonomi kolonial sejak tahun 1820-an. Kebijakan utama yang mencerminkan hal ini adalah cultuurstelsel atau kebijakan pengaturan pertanian sekaligus monopoli perdagangan melalui Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). Penelitian ini melacak bagaimana para saudagar dan rumah-rumah dagang Britania mengarungi persaingan usaha di tengah meningkatnya tekanan kepada mereka bahkan hingga masa pascakolonial. Dengan melihat perkembangan modal Britania serta peranan pedagang dan pengusaha Britania di Hindia sejak awal abad kesembilan belas hingga masa kemerdekaan, dapat ditunjukkan pentingnya modal dan pemain ekonomi yang tidak secara langsung terkait dengan negara. Berdasarkan gambaran sepintas mengenai pengusaha dan modal Britania di Hindia bisa ditunjukkan adanya peranan “swasta” dalam transformasi ekonomi kolonial. Pengusaha dan modal Britania masuk ke dalam sektor-sektor di mana negara belum siap masuk. Kata kunci: ekonomi kolonial, Jawa, modal, saudagar Britania AbstractThe British role in the colonial economy in Indonesia, especially in the nineteenth century, is seldom highlighted. This study focuses on looking at the important role played by the British merchants and merchant houses in 1820s. In the beginning of this period, the Dutch colonial state increased its tight grip on the colonial economy through a series of policies—most notably the cultuurstelsel or the cultivation system as well as the trading monopoly through the Nederlands Handels Maatschappij (NHM). Furthermore, the present study traces the ways in which the British merchants and merchant houses navigated their ways; on the contrary, they did not increase their pressure in the post-colonial era. By examining the development of British capital and the role of British merchants in the colonial period of Indonesia since the beginning of the nineteenth century until post-colonial era, it is shown that capital and merchants had significant roles. Based on the findings on British capital and merchants in colonial era, private sector played a role in colonial ecomomy transformastion. Thus, British capital and merchants penetrated to sectors that was ovelooked by government. Keywords: British merchants, capital, colonial economy, Java
Coffee Economy in Late Colonial Netherlands East Indies: Estates and Capital, 1890–1940 Dias Pradadimara
Lembaran Sejarah Vol 13, No 1 (2017)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (251.037 KB) | DOI: 10.22146/lembaran-sejarah.33509

Abstract

This paper provides an attempt to look at the coffee economy in late colonial Netherlands East Indies, by focusing on the private estates that produced coffee and on the capital-owning class who invested in these estates. Since mid-19th century there was an increasing accessibility for would-be planters to gain access to land, especially in Java and Sumatra. Attracted to the increasing, if volatile, the world price of the commodity, coffee-producing estates were established in great numbers across the archipelago, despite the threat of the coffee leaf rust plantdisease. Only the attraction to rubber planting and the economic crisis in the 1930s dampened the enthusiasm. At the same time, the individual planters and Indiesbased companies who controlled most of the coffee producing estates in the late 19th century were gradually replaced by incorporated companies both based in the Indies and in the Netherlands. The increasing flow of capital following the rubber boom in the early 20th century made the role of individual planters and Indiesbased companies declined further.
Representasi Perubahan Sosial Masyarakat Jepang Pasca Perang Dunia Ii dalam Dua Seri Film 三丁目の夕日 (Sanchome No Yuuhi) Dan Seri Film 男はつらいよ (Otoko Wa Tsuraiyo) Adhe Arliansyah; Safriadi; Dias Pradadimara; Rudy Yusuf
PESHUM : Jurnal Pendidikan, Sosial dan Humaniora Vol. 4 No. 5: Agustus 2025
Publisher : CV. Ulil Albab Corp

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/peshum.v4i5.11552

Abstract

Penelitian ini membahas tentang representasi perubahan sosial Masyarakat Jepang pasca perang dunia II dalam film 三丁目の夕(SANCHOME NO YUUHI) dan男はつらいよ (OTOKO WA TSURAIYO) yang bertujuan untuk menjelaskan Perubahan-perubahan Sosial Masyarakat Jepang Pasca Perang Dunia II dengan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan semiotika yang dikembangkan oleh C.S Pierce dengan mengkategorikan tanda sebagai indeks. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya perubahan sosial pada masyarakat Jepang setelah perang dunia II yaitu: 1) perubahan dalam beraktifitas. Perubahan beraktifitas dipengaruhi dengan munculnya tiga harta keramat (televisi, mesin cuci, dan mesin pendingin atau kulkas) 2) perubahan sistem keluarga dari sistem keluarga tradisional ie menuju sistem keluarga inti. 3) perubahan bertrasportasi seperti maraknya penggunaan kendaraan mobil dan kereta mulai ditinggalkan, 4) perubahan dalam bersikap seperti gaya bicara dan tindakan ketika makan . Adapun perbedaan Dua Seri Film 三丁目の夕 (SANCHOME NO YUUHI) dan Seri Film 男はつらいよ (OTOKO WA TSURAIYO) dalam merepresentasikan perubahan sosial yaitu dari segi sikap masarakat dan penggunaan tiga harta keramat. Meskipun keduanya memiliki latar pasca perang dunia II, keduanya memiliki nuansa kehidupan sosial yang berbeda baik dari segi visual dan karakteristik tokohnya. Hasil dari penelitian ini dapat memberikan pemahaman mendalam tentang film yang dapat menjadi media representasi sosial dan menjadi cerminan Sejarah dan kebudayaan negara Jepang.