Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

BIMBINGAN TEKNIS PEMBUATAN PERATURAN DESA DI DESA PEDESLOHOR, KECAMATAN ADIWERNA, KABUPATEN TEGAL, JAWA TENGAH Susanto Susanto; Yoyon M. Darusman; Ali Maddinsyah; Belly Isnaeni; Oksidelfa Yanto
Abdi Laksana : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 2, No 1 (2021): Edisi Januari
Publisher : LPPM Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32493/al-jpkm.v2i1.8790

Abstract

Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa merupakan kerangka hukum dan kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Pembangunan Desa. Penetapan Peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki Desa mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sehingga sebagai sebuah produk hukum, Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan umum. Salah satu daru alasan di buatnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah pengakuan bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hal ini disebabkan karena dengan diakuinya desa sebagai sebuah daerah otonom menjadikan desa memiliki peran utama dalam mengelola, memberdayakan dan memajukan sumber daya yang tersedia, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Sehingga pada akhirnya mampu menggerakkan roda pembangunan yang harus diiringi kesadaran akan pemahaman spirit otonomi bagi seluruh penggerak warga desa dan kapasitas perangkat juga masyarakat dalam memahami tata kelola pemerintahan. Kelembagaan Desa/Desa Adat, yaitu lembaga Pemerintahan Desa/Desa Adat yang terdiri atas Pemerintah Desa/Desa Adat dan Badan Permusyawaratan Desa/Desa Adat, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan lembaga adat. Kepala Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain merupakan kepala Pemerintahan Desa/Desa Adat yang memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kepala Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai peran penting dalam kedudukannya sebagai kepanjangan tangan negara yang dekat dengan masyarakat dan sebagai pemimpin masyarakat. Tri Dharma Perguruan Tinggi merupakan visi dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia yang terdiri dari pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Sebagai upaya untuk mewujudkan visi tersebut, Program studi Magister Hukum Universitas Pamulang dengan melibatkan Dosen dan para Mahasiswa telah mengadakan Pengabdian Masyarakat dalam bentuk memberikan Bimbingan teknis kepada kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa Pedeslohor, Kecamatan Adiwerna dalam penyusunan Peraturan desa yang akan dilakukan di desa Pedeslohor, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal.Kata Kunci: Bimbingan Teknis, Peraturan Desa
Trias Politica dan Implikasinya dalam Struktur Kelembagaan Negara dalam UUD 1945 Pasca Amandemen Belly Isnaeni
Jurnal Magister Ilmu Hukum Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Magister Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36722/jmih.v6i2.839

Abstract

                                                 AbstrakSalah satu hasil gerakan reformasi yang paling fundamental adalah perubahan Undang- Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Beberapa perubahan penting itu terjadi dalam hal struktur lembaga negara dan digunakannya konsep pemisahan kekuasaan yang secara teoritik dikonsepsikan oleh Montesquie. Penelitian ini dibuat dalam rangka mengkaji secara lebih mendalam implementasi teori pemisahan kekuasaan dalam UUD 1945 serta implikasinya terhadap struktur kelembagaan negara di Indonesia. Karena itu ada dua permasalahan yang diteliti. Pertama, apakah konstitusi Indonesia benar-benar mengimplementasikan konsep pemisahan kekuasaan mutlak (trias politica)? dan kedua, apakah Indonesia memiliki lembaga tertinggi Negara? Metode penelitianyang digunakan yakni penelitian yuridis normatif dengan menggunakanpendekatan konseptual, selain itu, dikaji dengan studi kasus yang berkaitandengan materi yang dikaji.Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sistem yang digunakan oleh KonstitusiIndonesia adalah sistem distribusi kekuasaan atau pemisahan kekuasaan formildan bukan pemisahan kekuasaan secara mutlak sebagaimana yang dimaksud oleh Montesqieu. Tetapi model kekuasaan yang digunakan adalah memang seperti apa yang dikonsepsikan oleh Montesqieu yaitu kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif.Mahkamah konstitusi jika dilihat dari kewenangan dan praktek yang selama initerjadi condong menjadi lebaga tertinggi negara karena pengimbangan kuasa atas dirinya terjadi sangat minimal (hampir tidak ada). Kontrol kekuasaan MK hanya terjadi ketika perekrutan hakim. Selain dari pada itu Mahkamah Konstitusisangatlah superior. Beberapa indikatornya dapat dilihat dari adanya putusanultrapetita; beralihnya negative legislator menjadi positif legislator; sifatputusannya yang langsung fynal and binding; dalam sidang pemakzulan presiden Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara pidana presiden.Kata kunci: konstitusi, mahkamah konstitusi, pemisahan kekuasaan
Tanggung Jawab PPAT Terhadap Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah yang Menjadi Objek Sengketa Ditinjau dari PP Nomor 24 Tahun 2016 Iwan Chandra; Agus Salim; Belly Isnaeni
J-CEKI : Jurnal Cendekia Ilmiah Vol. 3 No. 5: Agustus 2024
Publisher : CV. ULIL ALBAB CORP

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/jceki.v3i5.4770

Abstract

This study explains the legal consequences of registering the transfer of land rights with a PPAT deed that becomes the object of a dispute and the responsibilities of PPAT in the context of Government Regulation Number 24 of 2016 concerning the Position Regulation of the Land Deed Official. The research is conducted using a normative juridical approach with legislative, conceptual, and case approaches. A qualitative method is used to analyze data descriptively with authority theory, liability theory, and legal certainty theory. Problems arise when the registration of the transfer of land rights is recorded in the land book because the rights become the object of a dispute, resulting in the return of documents by the land office. There is no regulation regarding the responsibility of PPAT for the return of these documents. The legal consequence of registering the transfer of rights that become the object of a dispute is the rejection of the registration by the local land office, preventing registration or changes to land data during the blocking period. PPAT is personally responsible for the execution of their duties and positions in making deeds, as stipulated in Article 55 of the Head of BPN Regulation No. 1 of 2006, which states that "PPAT is personally responsible for the execution of their duties and positions in making each deed." Additionally, PPAT also has administrative and civil responsibilities.
Pemenuhan Hak Kepemilikan Penerima Fidusia Terhadap Pemberi Fidusia yang Melakukan Wanprestasi Berdasarkan Akta Jaminan Fidusia Andi Widjaja; Agus Salim; Belly Isnaeni
J-CEKI : Jurnal Cendekia Ilmiah Vol. 3 No. 5: Agustus 2024
Publisher : CV. ULIL ALBAB CORP

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/jceki.v3i5.4831

Abstract

This research discusses the legal consequences of the fiduciary grantor's default in the Fiduciary Guarantee Deed and the fulfillment of the fiduciary recipient's rights. The study employs a normative juridical approach with legislative, conceptual, and case methods, as well as a descriptive qualitative approach. The research analyzes data based on the theory of legal certainty, the theory of dispute resolution, and the theory of agreements. The high interest in credit among the public has led to the creation of fiduciary agreements, which achieve legal certainty when the Fiduciary Guarantee Deed is signed before a Notary and registered with the Ministry of Law and Human Rights. However, questions arise regarding the rights of the fiduciary recipient if the Fiduciary Guarantee Deed is not registered. The deed stipulates that if the Debtor or Fiduciary Grantor defaults or is negligent and does not rectify the negligence or fulfill obligations after being given a written notice, such negligence is sufficient evidence of default. The Fiduciary Grantor's right to the Collateral Object ends. The fulfillment of the fiduciary recipient's rights over a defaulting fiduciary grantor can be achieved through agreed stages or by referring to the principal agreement.