Erlina Erlina
Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Pengaturan terhadap Perubahan Status Jenis Kelamin di Indonesia Muhammad Rifqi Anshari; Erlina Erlina; Lena Hanifah
Banua Law Review Vol. 4 No. 1 (2022): April
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/balrev.v4i1.34

Abstract

Seiring berkembangnya zaman dengan kemajuan teknologi di dunia Kedokteran khusunya dalam bidang Operasi Jenis Kelamin biasanya keinginan untuk melakukan perubahan jenis kelamin yang dilakukan disebabkan karena ketidaknyamanan yang dialami oleh orang tersebut dengan jenis kelamin yang dibawanya sejak lahir. dalam hukum positif Indonesia tidak adanya aturan khusus yang mengatur tentang perubahan jenis kelamin. Pasal 56 Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan secara tidak langsung memberikan kesempatan untuk seorang Transeksual mengajukan perubahan status kelaminnya melalui putusan pengadilan. Dalam Putusan Pengadilan Negeri No 9/Pdt.P/2021/PN Wat menurut keterangan saksi ahli bahwa tujuan dari Transgender pada dasarnya ada 2 yaitu penyesuaian terhadap fisik dan penyusuaian data secara hukum. Jadi yang kita pahami disini apakah “pencatatan” dan “perubahan jenis kelamin” merupakan dua hal yang dapat dipisah, ataukah keduanya merupakan suatu rangkaian dari peristiwa kejiwaan selanjutnya diikuti dengan tindakan medis lainnya yang kemudian berakhir dengan peristiwa hukum yaitu adanya pencatatan tersebut? Apabila pencatatan perubahan jenis kelamin tidak dapat dipisah, dan merupakan satu kesatuan rangkaian peristiwa hukum, bukankah seharusnya majelis hakim menolak seluruhnya permohonan tersebut dikarenakan pemohon belum melakukan tindakan medis berupa operasi penggantian alat kelamin? Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk menganalisa apa yang mendasari hakim dalam menetapkan status seorang Transeksual di Indonesia dan bagaimana pengaturan yang ideal terhadap perubahan jenis kelamin sesorang di Indonesia. Hasil Penelitian ini menjelaaskan pada putusan Nomor No 9/Pdt.P/2021/PN Wat majlis hakim mengabulkan permohonan dengan berlandaskan hukum. Tapi apabila di analisis lebih mendalam seharusnya majelis hakim menolak permohonan tersebut karena dalam keterangan pemohon tidak menerangkan bahwa sudah melakukan operasi perubahan alat kelamin. Yang kedua karena di indonesia status hukum nya legal terkait praktik operasi kelamin maka perlu dibuat aturan khusus tentang perubahan jenis kelamin yang jelas agar mengisi kekosongan hukum dan tidak terjadi disparitas dalam penetapan oleh majelis hakim terkait perubahan jenis kelamin
PELAKSANAAN PRINSIP PARTISIPASI PADA PELAYANAN KESEHATAN PADA RSUD DI KALIMANTAN SELATAN Erlina Erlina
Riau Law Journal Vol 2, No 1 (2018): Riau Law Journal
Publisher : Faculty of Law, Universitas Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (481.295 KB) | DOI: 10.30652/rlj.v2i1.4653

Abstract

Research on the principle of participation in health services is conducted on 14 regional hospitals in South Kalimantan using socio legal research methods. The data used are primary data obtained through questionnaires, interviews and observation and secondary. Implementation of the principle of participation by the technique of scoring the questionnaire is done by simple statistical data analysis. Implementation of the principle of participation of 14 (fourteen) regional hospitals in South Kalimantan is on average not accomplished with a percentage below 66.67. Implementation of the principle of good governance in the provision of health services through local hospitals has major constraints that are generally caused by the ethics of public services, public perceptions and common understanding, culture and characteristics of local communities, as well as the mastery of information technology in creating a good two-way relationship between public and public servants served.Keywords : Good Governance, Participation, Health Public Service
Problematika Penatausahaan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Indonesia Amallia Mawaddah; Mirza Satria Buana; Erlina Erlina
Banua Law Review Vol. 4 No. 2 (2022): October
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/balrev.v4i2.42

Abstract

Implikasinya masyarakat hukum adat memiliki wewenang untuk mengatur peruntukan, fungsi dan pemanfaatan wilayah hak ulayat dan hutan adat yang ada di dalam wilayahnya. Oleh karena itu, kewenangan Kementerian Kehutanan untuk mengatur, menentukan fungsi dan mengawasi peredaran hasil hutan dari hutan adat baru dapat dilaksanakan bila ada penetapan hutan adat. Tujuan Penelitian adalah untuk menganalisis mengenai politik hukum pengakuan dan penetapan tanah ulayat masyarakat hukum adat dan untuk menganalisis problematika dari penatahusahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat, selanjutnya kegunaan penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat, baik manfaat maupun teoritis manfaat praktis, yang dimana manfaat teoritis Agar dapat berguna untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai hukum pertanahan dan manfaat peraktis Agar Pembentuk Undang-Undang dapat membuat Undang-Undang yang spesifik terkait hak-hak atas tanah adat masyarakat hukum adat di Indonesia. Hasil dari penelitian ini bahwa politik hukum terkait pengakuan dan penetapan tanah ulayat masyarakat hukum adat oleh negara telah menarik ulur yang memberikan ketidakpastian hukum terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat dan Problematika dari penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat dalam Penetapan tanah ulayat masyarakat hukum adat berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dapat membatasi hak masyarakat hukum adat untuk melakukan penetapan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat, apabila ingin melakukan penetapan hak ulayat, karena wilayah adat atau tanah adat yang dimasudkan oleh masyarakat hukum adat tidak boleh didalam kawasan yang diperoleh atau dibebaskan oleh pemerintah atau badan hukum sementara banyak tanah ulayat masyarakat hukum adat yang berada didalam kawasan ijin usaha perusahaan yang belum dibebaskan. Seharusnya tanah ulayat yang belum dibebaskan para pelaku usaha atau pemilik perijinan dapat dikeluarkan dalam ijin usaha perusahaan agar masyarakat hukum adat dapat pengakuan terhadap tanah ulayat masyarakat hukum adat dan pada saat ini pengajuan tanah ulayat masyarakat hukum adat masih belum sepunuhnya dapat dilakukan, jadi penetapam terhadap tanah ulayat masyarakat hukum adat tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya.