Agus Setiyanto
Universitas Bengkulu

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

MIGRASI ORANG BUGIS DI BENGKULU DALAM PERSPEKTIF SEJARAH Agus Setiyanto
Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam Vol 4, No 1 (2019): Jurnal Tsaqofah & Tarikh
Publisher : IAIN Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/ttjksi.v4i1.2223

Abstract

The background of the migration of the Bugis people is inseparable from the socio-cultural system that has been tradition in the lives of the people. One of the socio-cultural systems that has been embedded in the life view of the Bugis community is very strong, namely the so-called 'siri'. The Bugis recognize two types of siri, namely siri ripakasiri, and sirimasiri. The initial process of migration The large family of indigenous Bugis to Bengkulu in the seventeenth century, actually can not be separated from the role of the Indrapura kingdom as the gate way (entrance) of various tribes that came from the north towards the Benkoelen region (Bengkulu). Latar belakang migrasinya orang-orang Bugis sebenarnya tidak terlepas dari sistem sosial budaya yang telah mentradisi dalam kehidupan masyarakatnya. Salah satu sistem sosial budaya yang telah terpatri dalam pandangan hidup masyarakat Bugis yang sangat kuat, yaitu yang disebut 'siri'. Orang Bugis mengenal dua macam siri, yaitu siri ripakasiri, dan sirimasiri. Proses awal migrasinya Keluarga besar pribumi Bugis ke Bengkulu pada abad XVII, sebenarnya tidak lepas dari dari peranan kerajaan Indrapura sebagai gate way (pintu masuk) nya berbagai suku-bangsa yang datang dari arah utara menuju wilayah Benkoelen (Bengkulu).
SISTEM PEMERINTAHAN TRADISIONAL NEGERI SUNGAI BENGKULU SELINTAS SEJARAH Agus Setiyanto
Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam Vol 2, No 1 (2017): JUNI
Publisher : IAIN Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (282.954 KB) | DOI: 10.29300/ttjksi.v2i1.791

Abstract

Abstrak: Sistem Pemerintahan Tradisional Negeri Sungai Bengkulu Selintas Sejarah. Istilah negeri sungai sengaja dimunculkan sebagai penanda bahwa di wilayah Bengkulu ini memang cukup banyak sungai terbentang dan setiap sungai pada umumnya merupakan wilayah komunitas tradisional berdasarkan kekerabatan (territorialized kinship-based communities). Lingkup pembahasan mengenai sekilas sistem pemerintahan tradisional negeri sungai ini selain  difokuskan pada empat negeri sungai tersebut, yaitu Sungai Lemau, Sungai Itam (Hitam), Sungai Selebar, dan Anak Sungai (Muko-Muko), juga pada wilayah-wilayah (afdeeling) yang menjadi bagian dari wilayah Bengkulu, seperti afdeeling Manna, Kaur, maupun Seluma. Adapun titik telaah mengenai sistem pemerintahan tradisional negeri sungai ini hanya akan dibatasi pada struktur kekuasaan dan sistem peradilan serta denda adatnya. 
JEJAK SEJARAH BUNG KARNO DI BENGKULU Agus Setiyanto
Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam Vol 3, No 2 (2018): DESEMBER
Publisher : IAIN Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (250.359 KB) | DOI: 10.29300/ttjksi.v3i2.1559

Abstract

Penulisan ini bertujuan untuk melengkapi data sejarah tentang perjalanan perjuangan Bung Karno semasa pengasingannya di Bengkulu. Penulisan jejak sejarah Bung Karno di Bengkulu (1938 – 1942) selain bermanfaat bagi pengembangan penulisan sejarah bagi bangsa Indonesia, juga diharapkan bermanfaat sebagai bahan pendidikan sejarah bagi generasi muda Indonesia agar lebih mencintai serta bangga terhadap sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Penulisan ini menggunakan metode sejarah, yang terdiri atas empat tahapan, yaitu heuristik (tahap pengumpulan sumber), kritik entern (menentukan autensitas sumber) dan kritik intern (menentukan kredibilitas sumber), interpretasi (analisis) data, dan historiografi (penulisan). Hasil penelusuran jejak sejarah Bung Karno antara lain: Bung Karno tiba di Bengkulu tanggal 9 Mei 1938.
PEREMPUAN PESISIR DALAM KESENIAN KUDA KEPANG TRI TUNGGAL JAYA LEMPUING KOTA BENGKULU Agus Setiyanto; Suparman Suparman
Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam Vol 7, No 2 (2022): DESEMBER
Publisher : IAIN Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/ttjksi.v7i2.7867

Abstract

Kuda kepang merupakan salah satu produk kesenian tradisional masyarakat Jawa. Kuda kepang juga sering disebut kuda Lumping, jathilan, jarang kepang, eblek, jarang goyang,  dan mungkin masih ada istilah lainnya. Untuk masyarakat Sumatera khususnya Bengkulu, lebih popular dengan sebutan kuda kepang. Bentuk awalnya Kuda kepang merupakan sebuah tarian yang sederhana, tidak memerlukan keahlian dalam olah tari maupun  olah musik. Demikian juga dengan kostum dan tata riasnya.Properti yang dipakainya pun sederhana, berupa kuda-kudaan yang terbuat dari bilahan bambu (kepang) yang berbentuk seperti kuda. Oleh karena itulah kemudian lebih popular dengan nama “kuda kepang”. Musik pengiringnya juga sederhana, yaitu hanya terdiri atas, gong dua buah,  kenong dua buah, kendang, dan terompet. Para penarinya pun semula dilakukan oleh oleh kaum laki-laki saja. Kemudian dalam perkembangannya, para penarinya sudah banyak di dominasi kaum perempuan. Para perempuan pesisir ini pada mulanya hanya sebagai penggembira – penonton pasif dalam setiap pertunjukan Kuda Kepang. Tetapi seiring dengan dinamika zaman, kaum perempuan mulai bergabung dalam kesenian Kuda Kepang Tri Tunggal Jaya.  Sebagian dari mereka ada yang ikut ambil bagian sebagai tukang masak, tukang cuci pakaian (kostum), bagian perlengkapan, dan lain sebagainya.  Persisnya sejak kapan kaum perempuan bergabung dalam kesenian Kuda Kepang sulit dipastikan.