Gamal Abdul Nasir
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

DESAIN HUKUM INDUSTRI INDONESIA: Membangun Sumber Daya Industri Bernilai Transendensi Pancasila Ahmad, Ahmad; Nasir, Gamal Abdul
Jurnal Jurisprudence Vol 9, No 1 (2019): Vol. 9, No. 1, Juni 2019
Publisher : Muhammadiyah University Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23917/jurisprudence.v9i1.8095

Abstract

Tujuan: Artikel ini bertujuan untuk merumuskan konsep pembangunan sumber daya industri bernilai transendensi Pancasila Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian hukum doctrinal dengan pendekatan perundang-undangan. Temuan: membangun industri (sumber daya) membutuhkan adanya sumber daya manusia, memanfaatkan sumber daya alam, mengembangkan dan memanfaatkan teknologi, mengembangkan dan memanfaatkan kreatifitas dan inovasi juga tersedianya biaya serta penyediaan sumber pembiayaan dengan memperhatikan nilai Ketuhanan, Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan sehingga dapat membawa kemaslahatan bagi manusia dan lingkungan berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan. Kegunaan: Industrialisasi ekonomi harus sejalan dengan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan dan keadilan bagi masyarakat Indonesia agar tidak terjadi kesenjangan/ketimpangan dalam memenuhi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui industrialisasi maka peran negara harus kuat dan berpihak kepada kepentingan umum. Kebaruan/Orisinalitas: Pembangunan sumber daya industri merupakan usaha bersama untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama maka peran negara harus hadir untuk memastikan seluruh rangkaian kegiatan dapat mencapai tujuan bersama dan seluruh rangkaian proses industrialisasi harus sejalan dengan nilai Pancasila
KEKOSONGAN HUKUM & PERCEPATAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT Gamal Abdul Nasir
Jurnal Hukum Replik Vol 5, No 2 (2017): JURNAL HUKUM REPLIK
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (61.62 KB) | DOI: 10.31000/jhr.v5i2.925

Abstract

Dalam pembentukan suatu undang-undang memiliki dua aspek yaitu pembentuk undang-undang menetapkan peraturan yang bersifat umum, sedangkan pertimbangan tentang hal-hal yang bersifat konkrit dari undang-undang tersebut diserahkan kepada Hakim untuk menafsirkannya, disamping itu pembentuk undang-undang sering ketinggalan dalam mengikuti perkembangan di dalam lingkungan masyarakat, sehingga Hakim sering menambahkan kekurangan yang ada dalam undang-undang tersebut. Apabila Hakim tersebut melakukan hal demikian, artinya Hakim telah mengisi kekosongan hukum. Teori pengisian kekosongan hukum tersebut baru dapat diterima pada abad 19 seiring dengan pendapatnya Scholten bahwa hukum itu merupakan sistim yang terbuka, dan pendapat ini muncul seiring pesatnya perkembangan masyarakat sehingga potensi terjadinya kekosongan hukum makin terbuka. Dalam konstruksi tentang hukum menurut Scholten terdapat tiga bentuk yaitu analogi penafsiran dari suatu peraturan perundang-undangan, penghalusan hukum dan argumentum a contrario. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat menciptakan keadilan, kepastian dan manfaat bagi kehidupannya. Tetapi dalam praktik penyelenggaraan negara sering terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan dan juga manfaatnya bagi masyarakat, hal ini dipengaruhi dari berbagai faktor, seperti faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakatnya serta faktor kebudayaan. Supaya hukum itu efektif, maka kekosongan sebaiknya tidak terjadi dan hukum harus mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh karena itu kolaborasi antara ilmu hukum dengan ilmu-ilmu di luar ilmu hukum dapat mempercepat penemuan hukum untuk menyelesaikan permasalahan dalam pertumbuhan masyarakat yang semakin dinamis.  Kata Kunci : Kekosongan Hukum
Jaminan Hukum atas Pengakuan dan Eksistensi Hak Ulayat pada Masyarakat Hukum Adat Gamal Abdul Nasir; Khudzaifah Dimyati; Absori Absori
Lex Publica Vol. 6 No. 1 (2019)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (267.492 KB) | DOI: 10.58829/lp.6.1.2019.32-40

Abstract

Hak-hak masyarakat hukum adat harus diakui sebagaimana terlihat dalam Pasal 56 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa hak-hak masyarakat hukum adat akan diatur dalam undang-undang yang belum dilaksanakan. Karena tidak ada undang-undang yang mengatur tentang hak milik, pelaksanaan hak ulayat mengalami masalah, pengabaian hak bisa terjadi terhadap masyarakat adat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kemauan politik dan itikad baik dari pemerintah untuk mengakui hak-hak masyarakat adat. Meninggalkan hak ulayat dengan asumsi tergantung perkembangan zaman. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif atau penelitian kepustakaan (library research) yang menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data tentang pengetahuan dasar dan teori-teori yang dibahas secara tertulis dengan melakukan kajian hukum normatif yang digunakan untuk memberikan gambaran tentang realitas atau fenomena pengakuan Hak Ulayat oleh Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria yang kemudian dianalisis guna menjelaskan keberadaan hak ulayat hingga saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam peraturan perundang-undangan keberadaan hak ulayat masih lemah. Selain itu, dalam rangka pembangunan sistem hukum tanah nasional, selain mengatur kedudukan hak ulayat, perlu diatur pula pengertian hak ulayat, subyeknya, bendanya, ciri-cirinya, batas-batasnya, hak dan kewajibannya yang melekat pada ulayat tersebut. Abstract The rights of indigenous peoples must be recognized in Article 56 of the Basic Agrarian Law (BAL), that the rights of indigenous peoples will be regulated in laws that have not been implemented. Because no law regulates property rights, implementing customary rights has problems for indigenous peoples. This condition shows that the government has no political will and good faith to recognize indigenous peoples' rights. Leaving Ulayat rights with the assumption that it depends on the times. This study uses a normative or library research method, which uses a normative juridical approach. This use is to obtain data about and theories discussed in writing by conducting a normative legal study which is used to provide an overview of the reality or phenomenon of knowledge of the recognition of Ulayat Rights by the State as regulated in Article 3 of the Basic Agrarian Law which is then analyzed to explain the existing customary rights to date. The results of the study indicate that in the legislation, customary rights are still weak. In addition, in the context of developing a national land law system, apart from regulating Ulayat rights, it is necessary to regulate the definition of Ulayat rights, their subjects, objects, characteristics, boundaries, rights, and obligations attached to these Ulayat. Keywords: Customary Rights, Indigenous Law Communities, Legal Guarantees, Indonesia