Hotma P. Sibuea
FAKULTAS HUKUM - UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Kedudukan Kepala Desa Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi Syahban; Hotma P. Sibuea; Ika Dewi Sartika Saimima
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i2.806

Abstract

Kedudukan Kepala Desa sebagai subjek hukum dalam undang-undang nomor 31 tahun 199 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi tidak ditemukan. Dalam undang-undang tersebut subjek hukum diatur dalam Pasal 1, meliputi, korporasi, penyelenggara negara, pegawai negeri sipil dan orang perseorangan. Kekosongan hukum dalam undang-undang tindak pidana korupsi tentu menjadi persoalan, jika kepala desa berbenturan dengan Pasal 5, 11, 12 dan 12 B. Permasalahan dalam penelitian ini adalah tentang; Kepala Desa memiliki status hukum sebagai pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara. Status hukum Kepala Desa yang ideal dalam konteks undang-undang tindak pidana korupsi? Tujuan penelitian ini untuk Meneliti apakah kepala desa dapat dikategorikan sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara seperti dimaksud dalam  undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua, untuk mengetahui status hukum yang ideal kepala desa dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasana tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metoda penelitian yuridis normatif. Penelitian ini menunjukkan hasil sebagai berikut. Pertama, kedudukan Kepala Desa tidak dapat dikategorikan memiliki status hukum Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara seperti dimaksud  dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua, status hukum kepala desa yang ideal dalam hubungannya dengan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai penyelenggara negara. Saran yang dapat disampaikan sebagai berikut. Pertama, undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tidak menjelaskan kedudukan hukum kepala desa, apakah  sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara. Maka, untuk mempertegas kedudukan hukum kepala desa tersebut perlu dilakukan revisi atau perubahan. Kedua, dalam revisi atau perubahan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditambah atau disisipkan satu ayat yang mengatur status kedudukan hukum kepala desa, yaitu sebagai penyelenggara negara.
TINDAK PIDANA MENGHALANG-HALANGI TUGAS PENGAWAS KETENAGAKERJAAN TERHADAP PENERAPAN SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF KEADILAN Ferry Setiawan; Hotma P. Sibuea; Dwi Atmoko
Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online) Vol. 4 (2023): Jurnal Cahaya Mandalika
Publisher : Institut Penelitian Dan Pengambangan Mandalika Indonesia (IP2MI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36312/jcm.v4i1.2189

Abstract

Kebijakan dasar dalam hukum ketenagakerjaan adalah melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini pekerja/buruh, dari kesewenang-wenangan majikan/pengusaha yang dapat timbul dalam hubungan kerja dengan tujuan memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan keadilan sosial. Keberadaan pengawasan ketenagakerjaan merupakan bentuk perlindungan pihak lemah, dalam melakukan dalam penegakan khusus pidana selama ini belum optimal dalam perspektik keadilan. Sanksi pidana ringan sehingga masih saja bentuk pelanggaran- pelanggaran dari perusahaan. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah bersifat Yuridis Normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan kasus. Teknik pengumpulan data sekunder dan teknik analisa data dengan deskriptif analitis. Hasil penelitian optimalisasi tindak pidana di bidang ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan dibedakan dalam bentuk kejahatan dan pelanggaran. Subjek yang diancam pidana terdiri atas pengawas ketenagakerjaan dan pengusaha. Hal ini tidak dimungkinkan sanksi tersebut dijatuhkan saksi yang bersifat komulatif dengan redaksi “pidana penjara dan/atau denda”, tetapi bersifat alternatif dengan redaksi “pidana penjara atau denda”, juga tidak menganut sanksi minimal dan sanksi maksimal khusus. Nominal hukuman kurungan selama -lamanya 3 bulan atau denda yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) hanya sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah) yang tidak relevan untuk digunakan masa sekarang. Putusan tindak pidana ringan terhadap perusahaan dikhawatirkan tidak membuat efek jera bagi perusahaan, karena sistem pengenaan saksi pidana kurang memenuhi rasa keadilan yang bermartabat, karena memakai sistem alternatif (atau), yaitu saksi pidana ringan atau denda yang nominalnya sudah tidak relevan lagi untuk masa sekarang. Sehingga sanksi pidana ketenagakerjaan akan lebih bisa mewujudkan keadilan yang bermartabat apabila memakai sistem pidana penjara 1 tahun dan paling banyak 2 tahun dan nominal denda seperti nominal denda dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang besarnya paling sedikit Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
PRAKTEK PROFESI APOTEKER DALAM PERSPEKTIF ASAS NEGARA HUKUM Arif Kurniawan; Hotma P. Sibuea; Dwi Atmoko
Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online) Vol. 4 No. 3 (2023): Jurnal Cahaya Mandalika
Publisher : Institut Penelitian Dan Pengambangan Mandalika Indonesia (IP2MI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36312/jcm.v4i3.2190

Abstract

Profesi Apoteker adalah salah satu profesi tenaga kesehatan yang diakui oleh undang-undang untuk melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana kompetensi dan kewenangannya. Kompetensi Apoteker diperoleh melalui pendidikan profesi serta mendapatkan sertifikasi kompetensi dari asosiasi. Kewenangan Apoteker didapatkan apabila mempunyai Surat Tanda Registrasi pada Departemen Kesehatan dan mendapatkan Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) atau Surat Izin Kerja (SIK) dari Pemerintah Kabupaten/Kota setempat. Legalitas pekerjaan kefarmasian hanya diatur dalam pasal 108 Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun undang-undang ini masih bersifat umum dan sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman saat ini. Pada praktiknya Profesi Apoteker kurang mendapatkan perhatian serius dari otoritas sehingga profesi ini terkesan mendapatkan diskriminasi bahkan rentan untuk dikriminalisasi.Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui secara spesifik mengenai legalitas Praktik Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian sebagaimana diatur dalam Pasal 108 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta untuk mendapatkan legalitas bagi Profesi Apoteker dalam menjalankan seluruh aspek pekerjaan kefarmasian sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Metode penelitian adalah yuridis normatif Metode penelitian yuridis atau hukum normatif yakni penelitian yang meneliti bahan-bahan pustaka sebagai bahan yang sudah didokumentasikan. Pendekatan (pemahaman) dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), metode pendekatan konsep (conceptual approach), metode pendekatan kasus (case approach).Saat ini kelompok tenaga kesehatan yang telah mempunyai undang-undang tersendiri sebagai dasar hukum profesinya baru ada 3 (tiga) kelompok, yaitu : Tenaga Medis (dokter, dokter gigi, dokter hewan) dalam menjalankan praktiknya diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Profesi Perawat menjalankan pekerjaannya dengan landasan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan dan Profesi Bidan dalam menjalankan keahliannya berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Kebidanan. Sementara untuk Profesi Apoteker belum mempunyai peraturan khusus setingkat undang-undang yang mengatur mengenai keahlian dan kewenangannya dengan lebih terang benderang dan terperinci.