Samosir, Agustina Raplina
Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Bait Suci: Kemegahan Versus Penderitaan: Sebuah Tafsir Ulang atas Pembangunan Bait Suci Salomo Menurut 1 Raja-raja 5:1-18 Agustina Raplina Samosir
Indonesian Journal of Theology Vol 6 No 1 (2018): Edisi Reguler - Juli 2018
Publisher : Asosiasi Teolog Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.122 KB) | DOI: 10.46567/ijt.v6i1.18

Abstract

Construction for Solomon's Temple entailed forced labor. This is evinced, first, by several terms connoting forced labor, such as mas, sēbel, and ‘ebed, which are used in the text to describe the Temple project. Widely attested during the reigns of David and Solomon, terms such as these denote just how royal projects were carried out. A second piece of evidence concerns the outbreak of civil unrest during Solomon's day over the issue of forced labor in Israel. As such, the Temple's very construction bears enormous human cost, just as the splendor of that Temple is directly proportionate to the suffering of both denizens and working class. Here the author analyzes the Temple-construction process of Solomon's era, showcasing one example of the “human pyramid” that demands consideration amid a proliferation of interpretative work to be done in the present time.
Gereja dan krisis kebebasan beragama di Indonesia Agustina Raplina Samosir; Reymond Pandapotan Sianturi; Ejodia Kakunsi
KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) Vol 8, No 2: Oktober 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v8i2.583

Abstract

In SETARA's account, cases of intolerance against churches in a decade (2007-2016) reached the highest number compared to other houses of worship, namely 186 cases. Unfortunately, the attitude of the church tends to be passive towards this reality. We see that the issue of intolerance to the church does not seem to be a common problem with churches, especially mainstream Protestant churches. On the other hand, especially in Christian-majority areas, the church is repressive towards religious freedom in its environment. To that end, we will first review the church's attitude towards cases of intolerance towards the church. Next, we will analyze these attitudes with Catherine Keller's postcolonial perspective to criticize and even reconstruct the church's idea of transformative religious freedom amid various cases of intolerance in Indonesia. This can be done by dissecting the four main issues we offer, namely the traditional conflict culture, neglect by the state, the rise of Islam, and the indifference of churches to various cases of intolerance in Indonesia.AbstrakDalam catatan SETARA, kasus intoleransi terhadap gereja dalam satu dekade (2007-2016) mencapai angka tertinggi dibanding rumah-rumah ibadah lainnya yakni 186 kasus. Sayangnya, sikap gereja cenderung pasif terhadap realitas ini. Kami melihat bahwa persoalan intoleransi terhadap gereja tampaknya belum menjadi persoalan bersama gereja-gereja terutama gereja Protestan mainstream. Di pihak lain, terutama di wilayah mayoritas Kristen, gereja malah bersikap represif terhadap kebebasan keberagamaan di lingkungannya. Untuk itu, pertama-tama kami akan meninjau sikap gereja terhadap kasus-kasus intoleransi terhadap gereja. Selanjutnya, kami akan menganalisis sikap tersebut dengan perspektif poskolonial Catherine Keller untuk mengkritisi bahkan merekonstruksi gagasan gereja tentang kebebasan beragama yang transformatif di tengah-tengah berbagai kasus intoleransi di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan membedah empat isu utama yang kami tawarkan yakni budaya konflik tradisional, pembiaran oleh negara, kebangkitan Islam, dan ketidakpedulian gereja-gereja terhadap berbagai kasus intoleransi di Indonesia.
Pendidikan kristiani dewasa berkeadilan gender: Sebuah konstruksi teologis berdasarkan tafsir feminis-dialektis Kejadian 3:16 Undas, Happy Seviana; Samosir, Agustina Raplina
KURIOS Vol. 11 No. 2: Agustus 2025
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v11i2.1380

Abstract

Gender-biased patriarchal ideas permeate even the church. These ideas result in unequal gender construction between men and women, which, in turn, leads to gender-based violence (GBV). The church has a major role to play in preventing and addressing GBV against women. On the one hand, the church has the potential to be exposed, but on the other hand, it has the potential to erode the patriarchal ideas that have permeated it. For this reason, we offer adult Christian education with gender justice. Adults are people who may have been exposed to patriarchal ideas, as well as stakeholders who can criticize and educate the next generation about more gender-equitable ideas. In an effort to build a gender-equitable Adult PK, we interpret Genesis 3:16 through a feminist-dialectical lens. This approach will critically and constructively interpret the position and experience of women in the text. By conducting this gender-equitable Adult PK, in turn, the church plays an active role in the prevention and handling of GBV that is rampant in Indonesia.   Abstrak Gagasan patriarki yang bias gender merambah bahkan menubuh di gereja. Gagasan ini menghasilkan konstruksi gender yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, yang pada gilirannya, menyebabkan kekerasan berbasis gender (KBG). Gereja memiliki peran besar dalam mencegah dan menangani KBG terhadap perempuan. Di satu sisi, gereja berpotensi terpapar, tetapi di sisi lain, gereja berpotensi mengikis gagasan patriarki yang telah merasukinya. Untuk itu, kami menawarkan pendidikan Kristiani dewasa berkeadilan gender. Orang dewasa adalah yang kemungkinan telah terpapar gagasan patriarki sekaligus stakeholder yang dapat mengkritisi sekaligus mendidik generasi berikut tentang gagasan yang lebih adil gender. Dalam upaya membangun PK Dewasa berkeadilan gender ini, kami menafsir Kejadian 3:16 dengan menggunakan pendekatan feminis-dialektis. Pendekatan ini akan menafsir secara kritis dan konstruktif terutama tentang posisi dan pengalaman perempuan di dalam teks. Dengan mengadakan PK Dewasa berkeadilan gender ini, pada gilirannya, gereja berperan aktif dalam pencegahan dan penanganan KBG yang marak terjadi di Indonesia.
Trauma dan rekonsiliasi: Peran gereja bagi perjuangan pemulihan penyintas tragedi kekerasan di indonesia Cahyono, Didik Christian Adi; Samosir, Agustina Raplina
KURIOS Vol. 9 No. 2: Agustus 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v9i2.800

Abstract

One way to reconcile is by acknowledging violence or crime incidents. Recognition of this tragedy, apart from opening the public's eyes to the events that occurred, is also a form of acceptance for the survivors who experienced it. Revealing the facts about incidents of violence in public spaces becomes a path for further struggle, an effort to tell the truth to create forgiveness, justice, and peace. However, practically, this recognition takes work to realize. This difficulty occurs because people tend to want to forget and cover up the violent events; secondly, there is a connection with specific political policies, making recognition challenging to realize. In situations like this, recovery and reconciliation are tough to achieve. Using Soe Tjen Marching's narrative experience, this paper will discuss the church's role in public space to provide a place for narrative and confession for the violent events that occurred and for the survivors of the tragedy. AbstrakSalah satu jalan bagi terciptanya rekonsiliasi adalah adanya pengakuan terhadap peristiwa kekerasan atau kejahatan. Pengakuan atas tragedi tersebut, selain untuk membuka mata publik atas peristiwa yang terjadi, juga sebagai bentuk penerimaan bagi para penyintas yang mengalaminya. Pembukaan fakta atas peristiwa kekerasan di ruang publik menjadi jalan bagi perjuangan selanjutnya; usaha untuk membuka kebenaran demi terciptanya pengampunan, keadilan, dan perdamaian. Akan tetapi, dalam tataran praktis, pengakuan tersebut tidak mudah diwujudkan. Kesulitan ini terjadi karena pertama, orang cenderung ingin melu-pakan dan menutupi peristiwa kekerasan yang terjadi; kedua, adanya persinggungan dengan kebijakan politis tertentu yang membuat pengakuan tidak mudah diwujudkan. Dalam situasi seperti ini, pemulihan dan rekonsiliasi tidak mudah untuk diwujudkan. Dengan memakai narasi pengalaman dari Soe Tjen Marching, makalah ini akan membahas peran gereja di ruang publik untuk memberi tempat bagi narasi dan pengakuan; atas peristiwa kekerasan yang terjadi dan bagi para penyintas atas tragedi tersebut.
Ongoing spirituality: Sebuah refleksi realitas penderitaan melalui pembacaan narasi Ayub Samosir, Agustina Raplina; Cahyono, Didik Christian Adi
KURIOS Vol. 9 No. 3: Desember 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v9i3.891

Abstract

Penderitaan dan spiritualitas kerap disandingkan dan dianggap saling mempengaruhi. Penderitaan seakan-akan menjadi bagian integral jalan spiritualitas. Penderitaan seolah sebuah keniscayaan ketika menempuh jalan spiritualitas. Di sisi lain, penderitaan digambarkan seperti anak tangga untuk mencapai level spiritualitas tertinggi. Salah satu kisah yang memperkuat pandangan bahwa penderitaan adalah ujian iman adalah kisah Ayub. Ayub dipandang sebagai orang yang sabar dan saleh meskipun menghadapi penderitaan yang luar biasa. Berdasarkan model pembacaan Bakhtin, pengakuan Allah tentang kesalehan, rasa takut akan Allah, dan keteguhan Ayub menjauhkan diri dari kejahatan bukanlah pernyataan final, melainkan sebuah penghayatan yang terus berlangsung. Model pembacaan ini membawa pembaca pada pemahaman bahwa kata atau ucapan seorang tokoh bukan merupakan bentuk final, sebaliknya, menawarkan makna baru dan senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali, merupakan teks polifonik.