Asep Jatnika
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Revitalisasi Tari Tradisi di Situasi Pandemi Lilis Sumiati; Asep Jatnika
PANGGUNG Vol 31, No 4 (2021): Implementasi Revitalisasi Identitas Seni Tradisi
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (721.614 KB) | DOI: 10.26742/panggung.v31i4.1786

Abstract

Tari Wayang merupakan salah satu tari tradisi yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat. Salah satunya berkembang di Sumedang yang diciptakan oleh Raden Ono Lesmana Kartadikusumah sejak tahun 1930-an. Setelah menapaki sekitar 90 tahun, tari Yudawiyata mengalami kepunahan. Oleh karena itu, menggiring pembentukan motivasi untuk melakukan revitalisasi. Dasar pemikiran ini dilandasi bahwa tari tersebut menjadi satu-satunya bentuk karya tari perang wayang berpasangan gaya Sumedang. Tarian ini diwujudkan pada tahun 1957, yang menggambarkan tentang dua orang satria sedang berlatih perang sebelum memasuki medan laga. Upaya revitalisasi ini ditempuh dengan dua tahap yakni rekonstruksi dan implementasi. Tahap rekonstruksi menggunakan pendekatan interpretasi yang memuat (to ekspress), (to explain), dan (to translate) sedangkan kreativitas diarahkan pada ranah gubahan. Metode yang dianggap relevan dalam ranah revitalisasi yakni Participation Action Research (PAR). Metode tersebut memiliki kesinambungan, karena memuat siklus partisipasi, riset, dan aksi. Partisipasi merupakan bentuk sikap kepedulian untuk menghidupkan kembali tari Yudawiyata yang sudah punah, melalui rekonstruksi. Bentuk kepedulian tersebut dilatarbelakangi dengan adanya riset yang dilakukan sebelumnya. Kemudian aksi merupakan bentuk aktivitas dalam melakukan rekonstruksi dan implementasi tari Yudawiyata. Tahap implementasi dilakukan melalui pelatihan secara hybrid antara luring dan daring di Padepokan Sekar Pusaka Kata kunci: tari yudawiyata, rekonstruksi, kreativitas, implementasi
Revitalisasi Tari Tradisi di Situasi Pandemi Lilis Sumiati; Asep Jatnika
PANGGUNG Vol 31 No 4 (2021): Implementasi Revitalisasi Identitas Seni Tradisi
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v31i4.1786

Abstract

Tari Wayang merupakan salah satu tari tradisi yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat. Salah satunya berkembang di Sumedang yang diciptakan oleh Raden Ono Lesmana Kartadikusumah sejak tahun 1930-an. Setelah menapaki sekitar 90 tahun, tari Yudawiyata mengalami kepunahan. Oleh karena itu, menggiring pembentukan motivasi untuk melakukan revitalisasi. Dasar pemikiran ini dilandasi bahwa tari tersebut menjadi satu-satunya bentuk karya tari perang wayang berpasangan gaya Sumedang. Tarian ini diwujudkan pada tahun 1957, yang menggambarkan tentang dua orang satria sedang berlatih perang sebelum memasuki medan laga. Upaya revitalisasi ini ditempuh dengan dua tahap yakni rekonstruksi dan implementasi. Tahap rekonstruksi menggunakan pendekatan interpretasi yang memuat (to ekspress), (to explain), dan (to translate) sedangkan kreativitas diarahkan pada ranah gubahan. Metode yang dianggap relevan dalam ranah revitalisasi yakni Participation Action Research (PAR). Metode tersebut memiliki kesinambungan, karena memuat siklus partisipasi, riset, dan aksi. Partisipasi merupakan bentuk sikap kepedulian untuk menghidupkan kembali tari Yudawiyata yang sudah punah, melalui rekonstruksi. Bentuk kepedulian tersebut dilatarbelakangi dengan adanya riset yang dilakukan sebelumnya. Kemudian aksi merupakan bentuk aktivitas dalam melakukan rekonstruksi dan implementasi tari Yudawiyata. Tahap implementasi dilakukan melalui pelatihan secara hybrid antara luring dan daring di Padepokan Sekar Pusaka Kata kunci: tari yudawiyata, rekonstruksi, kreativitas, implementasi
ESTETIKA IBING TAYUB BALANDONGAN DI SITURAJA-SUMEDANG Asep Jatnika; Dindin Rasidin; Sopian Hadi; Indrawan Cahya; Citra Martsela
Jurnal Seni Makalangan Vol. 11 No. 2 (2024): "Fenomenologi Tari Berbasis Tradisi dan Kontemporer"
Publisher : Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ibing berasal dari kata Ngibing, mengandung pengertian tari atau menari, sedangkan kalangenan merupakan kebiasaan (habit) yang dilakukan masyarakat sifatnya untuk kesenangan atau hiburan. Tayub Balandongan sebagai ibing kalangenan merupakan kebiasaan ngibing dengan ronggeng yang dilakukan dalam peristiwa Tayuban. Kata balandongan merupakan arena pertunjukan tayuban yang letaknya di luar gedung (out door) atau dapat juga diartikan bahwa Balandongan ini merupakan sebuah panggung yang terbuat dari bambu. Kaparigelan menari dalam tayuban merupakan hal yang wajib dikuasai oleh para penayub karena mempunyai prestise tersendiri, sebagai cerminan kewibawaan serta kharismatik seorang pengibing. Untuk membedah permasalahan Tayub Balandongan di Situraja-Sumedang maka penulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan teori estetika instrumental. Keberadaan Tayub Balandongan ini menjadi cerminan bahwa Ibing Tayub Balandongan merupakan bentuk kesenian rakyat yang istimewa dikarenakan dari dua jenis tari kalangenan/pergaulan (rakyat dan menak) dapat menyatu dalam satu sajian yaitu Tayub Balandongan. Dari sisi lain berdampak pula pada pandangan masyarakat yang di masa lalu terdapat tingkatan derajat yang diklasifikasikan berdasarkan sistem status lapisan sosial masyarakat. Namun pada saat ini pandangan tingkatan sosial itu menjadi hilang dan menjadikan Tayub Balandongan sebuah sarana hiburan dan media silaturahmi masyarakat dari berbagai kalangan. Kata Kunci: Ibing Tayub Balandongan, Kalangenan, Tari Rakyat, Tari Menak. ABSTRACT THE AESTHETICS OF IBING TAYUB BALANDONGAN IN SITURAJA-SUMEDANG, DECEMBER 2024. Ibing comes from the word Ngibing, which means dance or dancing, while kalangenan is a habit which is done by the society for fun or entertainment. Tayub Balandongan as ibing kalangenan is the habit of ngibing with ronggeng which is carried out during the Tayuban event. The word Balandongan is a tayuban performance arena which is located outside the building (out door) or it can also be interpreted that Balandongan is a stage made of bamboo. The skill of dancing in tayuban is something that must be mastered by the dancers because it has its own prestige, as a reflection of the authority and charisma of a singer. To reveal the problems of Tayub Balandongan in Situraja-Sumedang, this writing uses a qualitative research method with an instrumental aesthetic theory approach. The existence of Tayub Balandongan is a reflection that Ibing Tayub Balandongan is a special form of folk art since the two types of Kalangenan/social dance (folk and noble) could be combined in one performance, namely Tayub Balandongan. Besides, it also has an impact on society's views, where in the past there were degrees which were classified based on the social status system of society. However, at this time this view of social levels has disappeared and made Tayub Balandongan a means of entertainment and a medium for gathering people from various circles. Keywords: Ibing Tayub Balandongan, Kalangenan, Folk Dance, Menak Dance