M. Rikhardus Joka
Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Aspek Yuridis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Dalam Mewujudkan Hukum Ketenagakerjaan Berbasis Keadilan M. Rikhardus Joka; Maria GS Sutopo
BINAMULIA HUKUM Vol 7 No 2 (2018): Binamulia Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v7i2.32

Abstract

Keadilan bagi pekerja dan pengusaha merupakan tujuan pembangunan di bidang ketenagakerjaan di Indonesia. Keadilan tersebut sangat bergantung pada kualitas hukum ketenagakerjaan yang mengatur hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha. Jika hukum ketenagakerjaan dan peraturan lainnya memiliki kualitas yang buruk, maka akan menimbulkan perselisihan yang akhirnya bermuara pada pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan fakta bahwa ketidakadilan yang terjadi dalam pemutusan hubungan kerja disebabkan oleh faktor sistem hukum yang bermasalah, budaya hukum masyarakat, dan adanya saling pertentangan antara Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama, dan Perjanjian Kerja dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum ketenagakerjaan sebagaimana yang direpresentasikan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dirasakan belum sempurna sehingga belum dapat memberikan solusi atas ketidakadilan dalam proses pemutusan hubungan kerja. Oleh karena itu, ketentuan dalam hukum ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu terus diperbaiki terutama ketentuan dalam Pasal-Pasal yang menimbulkan ketidakadilan bagi pekerja dan pengusaha terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja. Keywords: PHK, hukum ketenagakerjaan, keadilan.
Implikasi Pandemi Covid-19 Terhadap Pemenuhan Hak Hukum Pekerja yang Diputuskan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha M. Rikhardus Joka
BINAMULIA HUKUM Vol 9 No 1 (2020): Binamulia Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v9i1.97

Abstract

Covid-19 (corona virus disease 19) adalah sebuah jenis virus yang menyerang sistem pernapasan manusia dan menular hanya pada manusia. Saat ini jenis virus ini telah mewabah ke seluruh dunia dan tidak terkecuali Indonesia, dampaknya sangat luar biasa karena telah mengorbankan nyawa ratusan manusia di Indonesia dan juga puluhan ribu manusia di dunia. Selain berdampak pada aspek kesehatan, virus ini pun berdampak pada aspek ekonomi yakni telah menurunkan produktivitas perusahan secara drastis bahkan menghentikan kegiatan usaha pada beberapa sektor usaha seperti sektor perhotelan, transportasi, ritel, restoran dan lainnya. Karena dampaknya terhadap kegiatan usaha yang luar biasa sehingga mengakibatkan jutaan pekerja/buruh kehilangan penghasilan akibat dirumahkan dan diputuskan hubungan kerja oleh pengusaha. Karena pekerja/buruh telah dirumahkan dan/atau diputuskan hubungan kerja oleh pengusaha maka diperlukan perlindungan hukum atas hak-haknya agar pekerja yang bersangkutan tetap memperoleh penghasilan selama masa pandemi covid-19. Menurut Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 05/M/BW/1998 tahun 1998 tentang upah pekerja yang dirumahkan bukan ke arah pemutusan hubungan kerja maka bagi pekerja tersebut akan mendapatkan upah penuh untuk setiap bulannya dan apabila pengusaha tidak mempunyai kemampuan membayar secara penuh maka perlu dirundingkan dengan pekerja mengenai besarnya upah, cara pembayarannya dan lamanya waktu dirumahkan. Sedangkan bagi pekerja yang diputuskan hubungan kerja maka berdasarkan Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja/buruh tersebut dapat diputuskan hubungan kerja oleh pengusaha dengan alasan karena keadaan memaksa (force majeure) dengan ketentuan bahwa pekerja/buruh tersebut berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4). Selain itu pekerja yang bersangkutan juga dapat diputuskan hubungan kerja oleh Pengusaha dengan alasan efisiensi sesuai dengan ketentuan Pasal 164 ayat (3) dengan ketentuan bahwa pekerja/buruh tersebut akan mendapatkan hak pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 165 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 165 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 165 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kata Kunci: covid-19, PHK, hak atas pesangon.
Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Kontrak Honorer Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Diki Setiawan; Slamet Supriatna; Rikhardus Joka
Krisna Law Vol 3 No 2 (2021): Krisna Law, Juni 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (274.235 KB) | DOI: 10.37893/krisnalaw.v3i2.381

Abstract

Penelitian ini berbicara mengenai perlindungan hukum terhadap tenaga kerja kontrak honorer pada Dinas Pemadam Kebakaran Pemerintah Kota Bekasi. Tenaga kerja kontrak honorer adalah salah satu jenis pekerja yang rentan akan penyelewengan hukum sebab Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil telah melarang mengangkat tenaga kerja honorer. Tulisan ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konsep dan pendekatan kasus. Tulisan ini mengangkat 2 (dua) rumusan masalah yakni, pertama, apakah pengangkatan Tenaga Kerja Kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran Pemerintah Kota Bekasi sudah sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, Bagaimana akibat hukum terhadap perjanjian kerja kontrak nomor 800/SPKK.1137/Disdamkar.Set yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa keberadaan tenaga honorer ataupun pegawai tidak tetap dalam lingkungan pemerintah tidak diakui lagi sejak tahun 2005. Berakhirnya eksistensi tenaga kerja honorer dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang hanya mengenal 2 jenis tenaga kerja yaitu PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) sehingga pengangkatan tenaga kerja kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran Pemerintah kota Bekasi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Perjanjian Kerja Kontrak Nomor 800/SPKK.1137/Disdamkar.Set tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja sebab frasa penggunaan “Tenaga Kontrak Kerja” tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Dilihat dari unsur-unsur perjanjian kerja, hak pekerja untuk mendapatkan jaminan kecelakaan kerja, kepastian upah dan mekanisme pemutusan hubungan kerja dinilai bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sehingga, perjanjian kerja kontrak nomor 800/SPKK.1137/Disdamkar.Set batal demi hukum.
Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) Dalam Bidang Hubungan Industrial yang Mengakibatkan Pembatalan Atas Surat Pengunduran Diri Pekerja B. Purnomo; Hartono Widodo; M. Rikhardus Joka
Krisna Law Vol 3 No 2 (2021): Krisna Law, Juni 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (205.669 KB) | DOI: 10.37893/krisnalaw.v3i2.443

Abstract

Penyalahgunaan keadaan dalam bahasa Belanda disebut dengan “misbruik van omstandigheden” yang artinya adalah suatu keadaan untuk menyalahgunakan keadaan darurat orang lain, ketergantungan, ketidakberdayaan, kesembronoannya, keadaan akal yang tidak sehat atau ketiadaan pengalamannya dalam mengerjakan perbuatan hukum yang merugikan dirinya. Suatu perjanjian yang dalam proses pembentukannya terdapat unsur cacat kehendak menurut doktrin dan yurisprudensi tetap mengikat para pihak, namun demikian mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan (vernietigbaar) atas tuntutan dari pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini adalah pihak yang telah memberikan kehendaknya yang cacat tersebut. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dapat terjadi dalam pengunduran diri pekerja apabila dalam proses pengunduran diri tersebut tidak dilakukan dengan kehendak bebas dan murni dari pekerja, namun ada arahan dan campur tangan dari pihak pengusaha. Walaupun doktrin penyalahgunaan keadaan belum diatur dalam hukum positif Indonesia namun dalam praktik sering dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh hakim dalam memutus suatu perkara. Penelitian ini membahas tentang apakah surat pengunduran diri dalam Putusan Nomor 1016 K/Pdt.Sus-PHI/2019 dapat diduga sebagai perbuatan penyalahgunaan keadaan dan membahas tentang bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim berkaitan dengan perbuatan penyalahgunaan keadaan. Setelah diadakan penelitian secara yuridis normatif, penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam proses pengunduran diri tersebut benar telah terdapat penyalahgunaan keadaan dan doktrin tersebut juga dijadikan dasar pertimbangan hakim.
Ganti Rugi Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Jalan Tol Kisaran Tebing Tinggi Tama Karnia Novianti; Sardjana Orba Manullang; M. Rikhardus Joka
Krisna Law Vol 3 No 3 (2021): Krisna Law, Oktober 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (191.695 KB) | DOI: 10.37893/krisnalaw.v3i3.494

Abstract

Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Kisaran Tebing Tinggi meninggalkan permasalahan yang cukup serius yaitu pelaksanaan bentuk ganti rugi dan penyelesaian terhadap masalah bentuk rugi dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum Jalan Tol Kisaran Tebing Tinggi. Metode penelitian dalam penulisan jurnal ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Secara ringkas kesimpulan dari hasil pembahasan adalah pemberian ganti kerugian dilakukan dengan cara penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Penilaian besarnya nilai ganti kerugian oleh penilai dilakukan bidang per bidang tanah. Dalam musyawarah pemberian ganti rugi hendaknya mencapai kata sepakat sehingga ganti rugi langsung diterima oleh yang berhak tidak perlu dititipkan ke Pengadilan Negeri. Kata Kunci: Eksistensi; Ganti Rugi; Pengadaan Tanah; Kepentingan Umum.
Aspek Yuridis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Dalam Mewujudkan Hukum Ketenagakerjaan Berbasis Keadilan M. Rikhardus Joka; Maria GS Sutopo
Binamulia Hukum Vol. 7 No. 2 (2018): Binamulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v7i2.325

Abstract

Keadilan bagi pekerja dan pengusaha merupakan tujuan pembangunan di bidang ketenagakerjaan di Indonesia. Keadilan tersebut sangat bergantung pada kualitas hukum ketenagakerjaan yang mengatur hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha. Jika hukum ketenagakerjaan dan peraturan lainnya memiliki kualitas yang buruk, maka akan menimbulkan perselisihan yang akhirnya bermuara pada pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan fakta bahwa ketidakadilan yang terjadi dalam pemutusan hubungan kerja disebabkan oleh faktor sistem hukum yang bermasalah, budaya hukum masyarakat, dan adanya saling pertentangan antara Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama, dan Perjanjian Kerja dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum ketenagakerjaan sebagaimana yang direpresentasikan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dirasakan belum sempurna sehingga belum dapat memberikan solusi atas ketidakadilan dalam proses pemutusan hubungan kerja. Oleh karena itu, ketentuan dalam hukum ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu terus diperbaiki terutama ketentuan dalam Pasal-Pasal yang menimbulkan ketidakadilan bagi pekerja dan pengusaha terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja.
Implikasi Pandemi Covid-19 Terhadap Pemenuhan Hak Hukum Pekerja yang Diputuskan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha M. Rikhardus Joka
Binamulia Hukum Vol. 9 No. 1 (2020): Binamulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v9i1.355

Abstract

Covid-19 (corona virus disease 19) adalah sebuah jenis virus yang menyerang sistem pernapasan manusia dan menular hanya pada manusia. Saat ini jenis virus ini telah mewabah ke seluruh dunia dan tidak terkecuali Indonesia, dampaknya sangat luar biasa karena telah mengorbankan nyawa ratusan manusia di Indonesia dan juga puluhan ribu manusia di dunia. Selain berdampak pada aspek kesehatan, virus ini pun berdampak pada aspek ekonomi yakni telah menurunkan produktivitas perusahaan secara drastis bahkan menghentikan kegiatan usaha pada beberapa sektor usaha seperti sektor perhotelan, transportasi, ritel, restoran dan lainnya. Karena dampaknya terhadap kegiatan usaha yang luar biasa sehingga mengakibatkan jutaan pekerja/buruh kehilangan penghasilan akibat dirumahkan dan diputuskan hubungan kerja oleh pengusaha. Karena pekerja/buruh telah dirumahkan dan/atau diputuskan hubungan kerja oleh pengusaha maka diperlukan perlindungan hukum atas hak-haknya agar pekerja yang bersangkutan tetap memperoleh penghasilan selama masa pandemi covid-19. Menurut Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 05/M/BW/1998 tahun 1998 tentang upah pekerja yang dirumahkan bukan ke arah pemutusan hubungan kerja maka bagi pekerja tersebut akan mendapatkan upah penuh untuk setiap bulannya dan apabila pengusaha tidak mempunyai kemampuan membayar secara penuh maka perlu dirundingkan dengan pekerja mengenai besarnya upah, cara pembayarannya dan lamanya waktu dirumahkan. Sedangkan bagi pekerja yang diputuskan hubungan kerja maka berdasarkan Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja/buruh tersebut dapat diputuskan hubungan kerja oleh pengusaha dengan alasan karena keadaan memaksa (force majeure) dengan ketentuan bahwa pekerja/buruh tersebut berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4). Selain itu pekerja yang bersangkutan juga dapat diputuskan hubungan kerja oleh Pengusaha dengan alasan efisiensi sesuai dengan ketentuan Pasal 164 ayat (3) dengan ketentuan bahwa pekerja/buruh tersebut akan mendapatkan hak pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 165 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 165 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 165 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Tindak Pidana Perpajakan Dalam Pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Joka, M. Rikhardus
Justice Voice Vol. 1 No. 2 (2022): Justice Voice
Publisher : Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (205.247 KB) | DOI: 10.37893/jv.v1i2.191

Abstract

Tindak pidana perpajakan merupakan perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang Perpajakan di Indonesia. Ketentuan tersebut telah diatur dalam Pasal 38, 39, 39A, 41, 41A, 41B,41C, 43A, 44 dan 44B UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah mengubah UU No. 6 Tahun 1983 dan perubahan terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Bentuk-bentuk tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana pajak seperti perbuatan pelanggaran hukum dengan bersikap pasif tidak ingin melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak dengan maksud untuk tidak membayar pajak (tax offences), penggelapan pajak (tax evasion) dan perbuatan pelanggaran hukum pajak dengan memanfaatkan kelemahan undang-undang pajak (tax avoidance). Faktor penyebab timbulnya tindak pidana perpajakan adalah pembayaran pajak dianggap beban, ketidakpercayaan wajib pajak terhadap pengelolaan pajak, tingginya tarif pajak, kurang sosialisasi atas peraturan pajak, lemahnya pengawasan dan terlalu rendah sanksi hukum peraturan perpajakan. Kasus tindak pidana perpajakan di Indonesia setiap tahun kecenderungan meningkat, terbukti dari laporan tahunan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) menyatakan bahwa 5 (lima) tahun terakhir sejak tahun 2016 hingga 2021 meningkat 47,3%. Data kenaikan tindak pidana perpajakan tersebut menunjukkan bahwa upaya penegakan hukum dalam tindak pidana perpajakan belum maksimal. Keadaan inilah menyebabkan negara setiap tahun tidak mencapai target dalam penerimaan pajak. Sedangkan upaya yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam mencegah tindak pidana perpajakan juga hanya dengan cara preemptif yaitu menanamkan nilai-nilai atau norma-norma agama yang baik terhadap diri wajib pajak dengan tujuan agar nilai-nilai tersebut dapat terinternalisasi dalam pekerjaan sehari-hari. Upaya lanjutan dengan upaya preventif yaitu dengan melakukan penyuluhan terhadap masyarakat wajib pajak untuk mengetahui dan memahami kewajiban dalam membayar pajak dan sanksi hukum apabila melanggar tindak pidana perpajakan.