Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Sikap Etis Dokter terhadap Pasien yang “Mendiagnosis” Diri Sendiri Menggunakan Informasi Internet pada Era Cyber Medicine Frans Santosa; Agus Purwadianto; Prijo Sidipratomo; Peter Pratama; Pukovisa Prawiroharjo
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (210.459 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i2.16

Abstract

Saat ini, internet telah banyak menyajikan informasi tentang kedokteran dan kesehatan. Di satu sisi informasi yang tersaji berupa penemuan-penemuan baru dan keberhasilan ilmu kedokteran di bidang eksperimen, operatif, invasif, maupun konservatif, yang sangat berguna bagi dokter dalam menjalankan profesinya untuk menolong pasien dan membantu edukasi awam kepada pasien. Namun di sisi lain, informasi ini tidak dapat dipilih dan dipilah dengan baik oleh awam sehingga salah satunya melahirkan banyaknya pasien yang berusaha "mendiagnosis" dirinya sendiri, bahkan menterapi dirinya sendiri. Jenis pasien demikian semakin banyak, dan di tengah usaha coba-coba mereka mendiagnosis dan menterapi diri sendiri, mereka pergi ke dokter untuk meminta obat sebagaimana yang ia baca di internet untuk diresepkan atau bahkan lebih jauh lagi, dapat menyanggah diagnosis dan pendapat profesional dokter yang menangani. Diperlukan sikap etis dokter untuk dapat menghargai pasien sekaligus meluruskan dengan terang dan tegas terhadap informasi keliru yang dipercaya pasien.
Mengubah Norma dan Tradisi Etik Kedokteran Luhur Indonesia ke Norma Hukum, Apakah Layak Dilakukan? Prijo Sidipratomo; Pukovisa Prawiroharjo; Broto Wasisto
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3, No 1 (2019)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (128.305 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v3i1.31

Abstract

Profesi kedokteran Indonesia telah membangun tradisi etik kedokteran luhur dan dijalankan dengan baik dari segi pembuatan aturan yang cukup detil, hingga menjadi lembaga penjaga dan pengadilnya di organisasi profesi kedokteran yaitu Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Di sisi lain, Indonesia adalah negara hukum. Dalam diskusinya, ada pendapat yang menginginkan seluruh norma dan tradisi yang telah berjalan di masyarakat agar sedapat mungkin dibakukan dalam aturan hukum, tak terkecuali tradisi etik kedokteran di dalamnya. Namun di sisi lain, ketika tradisi etik ini berubah menjadi norma hukum, maka akan berubah implikasi dari pelanggarannya dari sanksi etik yang mayoritas bersifat pembinaan perilaku menjadi sanksi hukum. Di sisi lain, standarisasi hukum oleh negara semestinya disertai dengan upaya negara memberi dan menjamin hak dari upaya pemenuhan kewajiban tersebut. Pertimbangan ini perlu menjadi sikap dan pemikiran dari upaya mengubah khususnya dari suatu tradisi etik kedokteran menjadi norma hukum.
Dapatkah Keputusan Kemahkamahan Etik Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Bersifat Terbuka? Pukovisa Prawiroharjo; Frans Santosa; Reggy Lefrandt; Prijo Sidipratomo; Agus Purwadianto
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.98 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i2.15

Abstract

Keputusan sidang kemahkamahan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) pada umumnya bersifat tertutup. Namun ada beberapa kondisi di mana keputusan sidang dapat dipertimbangkan untuk bersifat terbuka oleh MKEK, mulai secara terbatas hingga terbuka penuh kepada khalayak umum, dengan isi putusan lengkap maupun tidak lengkap. Pertimbangan keterbukaan ini meliputi faktor dokter teradu, institusi yang memiliki kewenangan, faktor pengadu, lingkungan kerja dokter teradu, kepentingan pendidikan, kepentingan laporan pertanggungjawaban, pertimbangan masyarakat umum dan pers, dan sebagai konsekuensi dari perubahan Pedoman Organisasi dan Tatalaksana MKEK di kemudian hari. Pertimbangan sifat keterbukaan keputusan ini harus dilakukan secara bijaksana dan sesuai dengan pedoman yang berlaku.
Bagaimanakah Peran MKEK dalam Menyikapi Macetnya Eksekusi Keputusan Sidang MKEK yang Melibatkan Otoritas Lain? Pukovisa Prawiroharjo; Prijo Sidipratomo; Yuli Budiningsih
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 3 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (244.428 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i3.23

Abstract

Dalam tugasnya untuk menegakkan nilai-nilai luhur profesi kedokteran, selama 68 tahun ini seluruh keputusan yang dihasilkan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) dapat dilaksanakan dengan baik. Akibatnya, tidak ada redaksi yang antisipatif atau memprediksi akan ada batu sandungan dalam eksekusi putusan MKEK sampai pada perubahan terakhir Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja (Ortala) MKEK di tahun 2008. Namun akhirnya kini muncul satu kasus yang eksekusinya macet dan tanpa kejelasan. Oleh karena itu, dalam upaya pembaharuan Ortala saat ini harus dituangkan dengan tegas apa yang dapat dilakukan MKEK bila eksekusi putusannya macet. Saat ini ada dua hal yang dapat dilakukan, yaitu peran Ketua MKEK aktif mengingatkan dan meminta rapat Majelis Pimpinan Pusat (MPP) IDI, serta melakukan klarifikasi dan penelaahan proaktif jika terdapat informasi adanya penyumbatan eksekusi putusan MKEK. Artikel ini merekomendasikan perubahan Ortala MKEK untuk mengatasi kebuntuan eksekusi putusan etik lebih lanjut, melalui pembagian porsi kewenangan eksekusi kepada MKEK dan adanya opsi pengambilalihan kewenangan eksekusi oleh MKEK pada proses eksekusi yang mengalami kebuntuan.
PERBANDINGAN LOKASI LESI FOTO TORAKS PASIEN TUBERKULOSIS PARU DENGAN DAN TANPA INFEKSI HIV Harastha Qinthara Mathilda; Prijo Sidipratomo; Nurfitri Bustamam
Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 4 No 5 (2021): Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (353.894 KB)

Abstract

Rontgen toraks berperan penting untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis (TB). Penelitianini bertujuan untuk membandingkan lokasi lesi paru pasien TB dengan dan tanpa infeksiHuman Immunodeficiency Virus (HIV). Penelitian menggunakan desain potong lintang padasubjek dengan kriteria: TB paru kasus baru dengan atau tanpa infeksi HIV, bukan multidrugresistant TB, berusia di atas 18 tahun, belum pernah minum obat antituberkulosis, tidak adariwayat penyakit imunodefisiensi lain, dan tidak minum obat imunosupresi. Data seluruhpasien sesuai kriteria (71 orang) diambil dari rekam medis RS Pengayoman Cipinang. Hasilpenelitian menunjukkan lokasi lesi pada pasien TB paru tanpa infeksi HIV sebagian besarberada di lapang atas dengan gambaran radiologis yang kerap didapatkan berupa infiltrasi,kavitasi, konsolidasi, dan atelektasis. Sebaliknya, lokasi lesi pasien TB paru dengan infeksiHIV sebagian besar berada di lapang bawah dengan gambaran radiologis yang kerapdidapatkan berupa infiltrasi dan limfadenopati. Uji Chi-square menunjukkan terdapatperbedaan lokasi lesi pada pasien TB paru dengan infeksi HIV dan pasien TB paru tanpainfeksi HIV (p = 0,000). Uji Chi-square exact didapatkan hubungan antara kadar CD4+ danlokasi lesi foto toraks pada pasien TB dengan infeksi HIV (p = 0,044). Letak lesi lebih seringditemukan pada lapang atas paru pasien dengan sistem imun yang baik karena tekananoksigen yang lebih tinggi. Sebaliknya, pada pasien dengan sistem imun yang buruk, misalnyapasien HIV, letak lesi lebih sering ditemukan pada lapang tengah dan bawah paru karenaudara inspirasi banyak terdistribusi ke bagian tersebut sehingga memudahkan terjadinya lesisebagai akibat dari inflamasi. DOI : https://doi.org/10.35990/mk.v4n5.p471-482