Yuli Budiningsih
Department Of Forensic Medicine, Faculty Of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

PERAN DOKTER DALAM MENANGANI PELECEHAN SEKSUAL PADA ANAK DI INDONESIA Ocviyanti, Dwiana; Budiningsih, Yuli; Khusen, Denny; Dorothea, Maya
Majalah Kedokteran Indonesia Vol 69 No 2 (2019): Journal of the Indonesian Medical Association Majalah Kedokteran Indonesia Volum
Publisher : PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA (PB IDI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendahuluan: Kejahatan seksual banyak terjadi di Indonesia. Pada tahun 2010-2014, data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak menunjukkan 42-62% dari seluruh kekerasan yang terjadi pada anak merupakan kejahatan seksual. Pelecehan seksual pada anak sering terjadi di tempat-tempat yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi anak seperti di rumah atau di sekolah. Pelecehan seksual yang terjadi pada seorang anak dapat berupa verbal, non-verbal, maupun fisik, dan dapat berdampak pada anak secara fisik dan psikis. Peran dokter dalam kasus pelecehan seksual pada anak antara lain untuk pemeriksaan demi kepentingan peradilan serta tata laksana secara medis untuk mencegah dampak buruk jangka panjang yang dapat ditimbulkan dari korban pelecehan seksual.
Pemulihan Hak dan Wewenang Profesi Pascasanksi Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Yuli Budiningsih; Pukovisa Prawiroharjo; Agus Purwadianto
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 3 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (169.742 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i3.24

Abstract

Proses kemahkamahan dan pemberian sanksi etik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bentuk kontrol sosial-profesi kepada setiap individu dokter, agar dapat menampilkan kemuliaan etika dan perilaku profesional secara konsisten dalam kesehariannya. Pemulihan hak dan wewenang profesi pascasanksi merupakan langkah penting bagi Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) untuk mencapai tujuan tersebut, serta mengembalikan produktivitas dokter yang diberikan sanksi agar sama bahkan lebih baik dibandingkan sebelum sanksi. Diusulkan lima langkah dapat dilakukan MKEK dan perlu dielaborasi dalam narasi di Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja MKEK untuk memastikan proses pemulihan ini berjalan baik, yaitu (1) menyatakan dengan jelas tanggal dimulai dan berakhirnya sanksi dalam putusan MKEK, (2) memberikan informasi kepada sejawat yang diberikan sanksi MKEK perihal kebijakan pemulihan hak dan wewenang profesi ini pada sidang pembacaan putusan MKEK, (3) menerbitkan pemberitahuan pendahuluan kepada instansi tempat dokter teradu bekerja sebelum masa berakhirnya sanksi, (4) segera menerbitkan surat pemulihan hak dan wewenang pascasanksi di tanggal berakhirnya sanksi, dan (5) menyatakan bahwa riwayat sanksi MKEK tidak boleh menjadi alasan untuk membatasi, menghalangi, atau mematikan karir profesi kedokteran, pengabdian di organisasi profesi dan masyarakat, serta jabatan politik dan pemerintahan.
Tata Laksana Sidang MKEK Membuat Fatwa Etik Kedokteran Yuli Budiningsih; Pukovisa Prawiroharjo; Anna Rozaliyani; Wawang Sukarya; Julitasari Sundoro
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 3 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (138.749 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i3.25

Abstract

Dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Ikatan Dokter Indonesia (AD/ART IDI) 2015, wewenang untuk membuat fatwa etik kedokteran dimandatkan tunggal kepada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat. Dengan demikian, kepengurusan MKEK Pusat 2015-2018 merupakan kepengurusan pertama yang menerima mandat ini. Dalam perjalanannya ternyata sistem yang ada belum efektif, karena tata cara persidangan pembuatan fatwa belum diatur dalam Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja (Ortala) MKEK. Dalam upaya perbaikan Ortala diusulkan agar kewenangan pembuatan fatwa etik kedokteran  dilakukan satu pintu melalui MKEK Pusat dan dimandatkan ke divisi khusus, yang akan membuat fatwa setelah melakukan proses kajian etik ilmiah terlebih dahulu. Sidang fatwa etik kedokteran akan mengundang para penulis kaji etik ilmiah, organisasi profesi yang berkepentingan, dan minimal tiga orang tokoh masyarakat yang terkait. Fatwa yang dibuat bersifat mengikat serta dapat menjadi materi dan bahan pertimbangan dalam sidang pembinaan dan kemahkamahan MKEK. Walaupun demikian, fatwa ini tidak bersifat sakral dan sangat terbuka dengan perubahan.
Sistem Akumulasi Sanksi: Usulan Perubahan Kategorisasi dan Akumulasi Penetapan Sanksi untuk Pelanggaran Etik Kedokteran Pukovisa Prawiroharjo; Agus Purwadianto; Yuli Budiningsih
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 3 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (240.571 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i3.21

Abstract

Suatu pelanggaran etik yang dinilai berat senantiasa tersusun atas akumulasi dan eskalasi dari perilaku pelanggaran etik dengan bobot di bawahnya (sedang dan ringan). Oleh karena itu, penetapan sanksi etik lebih menjunjung keadilan jika juga diberlakukan akumulatif dan eskalatif. Hal ini memastikan bahwa setiap pelanggaran etik akan mendapatkan sanksi yang berfokus pada pembinaan perilaku, karena tujuan utama dari pemberian sanksi sejatinya ialah perubahan karakter dan perilaku untuk menjadi lebih baik, demikian pula tujuan utama Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) yang adalah pembinaan perilaku dan karakter dokter menjadi lebih mulia. Oleh karena itu, kami mengusulkan pembagian sanksi etik menjadi tiga kategori: kategori 1 (pembinaan perilaku), kategori 2 (penginsafan tanpa pemecatan), dan kategori 3 (penginsafan dengan pemecatan sementara), yang cocok untuk masing-masing pelanggaran etik ringan, sedang, dan berat, serta sistem pemberlakuannya yang akumulatif.
Bagaimanakah Peran MKEK dalam Menyikapi Macetnya Eksekusi Keputusan Sidang MKEK yang Melibatkan Otoritas Lain? Pukovisa Prawiroharjo; Prijo Sidipratomo; Yuli Budiningsih
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 3 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (244.428 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i3.23

Abstract

Dalam tugasnya untuk menegakkan nilai-nilai luhur profesi kedokteran, selama 68 tahun ini seluruh keputusan yang dihasilkan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) dapat dilaksanakan dengan baik. Akibatnya, tidak ada redaksi yang antisipatif atau memprediksi akan ada batu sandungan dalam eksekusi putusan MKEK sampai pada perubahan terakhir Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja (Ortala) MKEK di tahun 2008. Namun akhirnya kini muncul satu kasus yang eksekusinya macet dan tanpa kejelasan. Oleh karena itu, dalam upaya pembaharuan Ortala saat ini harus dituangkan dengan tegas apa yang dapat dilakukan MKEK bila eksekusi putusannya macet. Saat ini ada dua hal yang dapat dilakukan, yaitu peran Ketua MKEK aktif mengingatkan dan meminta rapat Majelis Pimpinan Pusat (MPP) IDI, serta melakukan klarifikasi dan penelaahan proaktif jika terdapat informasi adanya penyumbatan eksekusi putusan MKEK. Artikel ini merekomendasikan perubahan Ortala MKEK untuk mengatasi kebuntuan eksekusi putusan etik lebih lanjut, melalui pembagian porsi kewenangan eksekusi kepada MKEK dan adanya opsi pengambilalihan kewenangan eksekusi oleh MKEK pada proses eksekusi yang mengalami kebuntuan.
Effect of pH and neutrophil count on the motility and persistence of spermatozoa in the vagina of candidiasis rat models Iswara, Raja AW.; Hestiantoro, Andon; Budiningsih, Yuli; Werdhani, Retno A.; Birowo, Ponco; Wuyung, Puspita E.; Afandi, Dedi
Narra J Vol. 4 No. 2 (2024): August 2024
Publisher : Narra Sains Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52225/narra.v4i2.823

Abstract

Sexual violence is a global issue affecting individuals regardless of their relationship to the perpetrator or the setting. Microscopic examination of spermatozoa from vaginal swabs is crucial in investigating cases of sexual intercourse to determine the time of the crime. Factors such as vaginal pH and neutrophil count influence the motility and persistence of spermatozoa in the vagina, particularly in conditions like candidiasis, highlighting the need for further research in this area. This study aimed to determine the effect of pH and neutrophil count on the motility and persistence of spermatozoa in the vagina with candidiasis. An experimental study was conducted using white rats (Rattus norvegicus) of the Wistar strain, with four male rats providing spermatozoa samples and 32 female rats receiving treatment. The female rats were divided into two groups: the normal group and the candidiasis model group. In both groups, the female rats were given vaginal insemination of spermatozoa. Variables measured included pH, neutrophil count, motility, and persistence of spermatozoa in the vagina. Data were analyzed using the Mann-Whitney test, followed by the Spearman correlation test. The findings revealed that spermatozoa motility lasted up to three minutes in normal rats, whereas in the candidiasis model, it was reduced to two minutes. Additionally, spermatozoa persistence in the vagina lasted up to six days in the normal group compared to up to three days in the candidiasis model. There were significant differences in pH, neutrophil count, motility, and persistence of spermatozoa in the vagina between the normal group and the candidiasis model (all had p<0.001). There was a correlation between pH and neutrophil count with the motility and persistence of spermatozoa in the rat’s vagina (p<0.001). In conclusion, vaginal pH and neutrophil count influence the motility and persistence of spermatozoa in the vagina of candidiasis rat models.
Impact of semen insemination on the vaginal microbiome profile of candidiasis rat model: A preliminary forensic study on sexual violence evidence Iswara, Raja AFW.; Hestiantoro, Andon; Budiningsih, Yuli; Werdhani, Retno A.; Birowo, Ponco; Wuyung, Puspita E.; Fadilah, Fadilah; Afandi, Dedi
Narra J Vol. 5 No. 1 (2025): April 2025
Publisher : Narra Sains Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52225/narra.v5i1.1256

Abstract

Sexual violence, including sexual intercourse, can occur in women experiencing vaginal discharge, particularly in cases of vaginal candidiasis. In candidiasis, the vaginal microbiome undergoes changes that could serve as a diagnostic indicator or as evidence of sexual activity.  The aim of this study was to assess the effects of semen insemination on the vaginal microbiome profile of candidiasis rats and to determine its forensic investigations in cases of sexual violence.  An experimental study was carried out using Wistar strain rats (Rattus norvegicus), consisting of four male rats (for spermatozoa donors) and twenty-four female rats. The female rats were divided into four groups: normal condition (control), normal condition post-semen insemination, candidiasis rats, and candidiasis rat post-semen insemination. Vaginal microbiome profiles were examined for each group, using alpha diversity (Chao 1, Shannon, Simpson, and Faith PD indices) and beta diversity (Bray Curtis, Jaccard, Unweighted Unifrac and Weighted Unifrac indices). Data were analyzed using the Kruskal-Wallis test for alpha diversity and the PERMANOVA test for beta diversity. The vaginal microbiome profiles of normal and candidiasis rats showed no significant differences (p>0.05). In candidiasis rats, the microbiome predominantly consisted of the Eukaryota kingdom, particularly Candida albicans. Semen insemination did not significantly affect the vaginal microbiome profile of candidiasis rats in the short term (p>0.05). However, the study highlights that the presence of Eschericia-Shigella, Roseomonas, and Archaea in the vaginal microbiome post-semen insemination potentially serves as an indicator of infection or sexual activity in forensic contexts.
Peran Dokter dalam Menangani Pelecehan Seksual pada Anak di Indonesia Ocviyanti, Dwiana; Budiningsih, Yuli; Khusen, Denny; Dorothea, Maya
Majalah Kedokteran Indonesia Vol 69 No 2 (2019): Journal of The Indonesian Medical Association - Majalah Kedokteran Indonesia, Vo
Publisher : PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA (PB IDI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47830/jinma-vol.69.2-2019-77

Abstract

Introduction: Sexual abuses often occur in Indonesia. In 2010-2014, data fromNational Commission for Child Protection showed that 42-62% of all violencein children were sexual abuses. Child sexual abuse usually happens in placesthat should be the safest place for children like home or schools. Child sexualabuse can occur verbally, non-verbally, or physically. Child sexual abuse mayaffect victim physically and mentally. The role of physicians in child sexualabuse cases are to provide medical care and statement for justice and to pre-vent negative impact of sexual abuse in the future
Digital image characteristics for enhanced interpretation in child sexual violence case examinations Budiningsih, Yuli; Purwadianto, Agus; Yudhistira, Aria; Budiarso, Agusalam
Medical Journal of Indonesia Vol. 33 No. 1 (2024): March
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.13181/mji.oa.247169

Abstract

BACKGROUND Photography is an integrated part of standard forensic examination procedures, acting as a guide and the evidence itself. Despite its potential, no research has yet explored the use of 35mm format cameras (digital single-lens reflex [DSLR]) in sexual violence cases. This study aimed to assess the impact of DSLR camera image characteristics on the interpretation of child sexual abuse cases. METHODS This cross-sectional study used 55 digital photos selected through a convenience sampling. The samples were interpreted by two independent forensic experts who were not affiliated with this research and were compared with the results of the doctor’s examination from the medical records. RESULTS The metadata extraction results (EXIF data) indicated that all characteristic values had an abnormal distribution. The digital photos’ characteristics were associated with the use of a 50mm focal length (p = 0.011). A range of lens opening values (aperture = f7.1–f8.0), shutter speed (1/100–1/125 sec), and sensor sensitivity (ISO = 800–1600) were not associated with the experts’ interpretation conformity. Additionally, the conformity index for the overall interpretation by the two forensic experts differed in each area. CONCLUSIONS Focal length of 50mm was significantly related to interpretation conformity. The exposure triangle settings, including aperture (f7.1–f8.0), shutter speed (1/100–1/125 sec), and ISO (800–1600), can serve as fundamental guidelines for digital camera settings in examining child sexual violence cases.