Ike Sri Redjeki
Departemen Anestesiologi dan Terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 29 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 29 Documents
Search

Efek Pemberian Magnesium Sulfat Intravena Perioperatif terhadap Nilai Visual Analog Scale (VAS) dan Kebutuhan Analgetik Pascabedah pada Pasien yang Menjalani Pembedahan Abdominal Ginekologi dengan Anestesi Umum Budipratama, Dhany; Kaswiyan, U.; Redjeki, Ike Sri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.907 KB)

Abstract

Magnesium sulfat sebagai antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan penghambat saluran kalsium, memiliki efek antinosiseptif dan antihiperalgesia. Penelitian dilakukan secara acak, terkontrol, buta ganda bertujuan untuk menilai efek pemberian bolus magnesium sulfat intravena terhadap nilai visual analog scale (VAS) dan jumlah kebutuhan analgetik petidin pada 30 pasien wanita dengan status fisik ASA I–II, usia 18–60 tahun, yang akan menjalani operasi abdominal ginekologi elektif dengan anestesi umum di ruang operasi bedah sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Juni–September 2011. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yang akan mendapat bolus dan rumatan MgSO4 intravena (grup M) atau NaCl 0,9% (grup S). Hasil penelitian menunjukkan nilai VAS dan jumlah pemberian analgetik petidin pada grup M secara statistik lebih rendah dibandingkan dengan grup S (p<0,05). Simpulan penelitian adalah pemberian bolus magnesium sulfat intravena perioperatif mampu menunjukkan nilai VAS saat mobilisasi pascabedah yang lebih rendah serta mengurangi kebutuhan analgetik pertolongan petidin pada pasien pascabedah abdominal ginekologi dalam anestesi umum.Kata kunci: Analgetik pascabedah, magnesium sulfat, nilai VAS saat mobilisasi, operasi abdominal ginekologiThe Effect of Perioperative Magnesium Sulphate Infusion on VAS (Visual Analog Scale) Scores and Postoperative Analgesic Requirements in Patients Undergoing Gynaecological Abdominal Surgery with General AnaesthesiaMagnesium sulphate is N-methyl-D-aspartate (NMDA) receptor antagonist and calcium channel blocker with antinociceptive and antihyperalgesia effects. A randomized, double blind, controlled study was conducted to evaluate the effect of perioperative magnesium sulphate infusion on visual analog scale (VAS) scores and cumulative rescue analgesic petidin consumption in 30 ASA physical status I–II female patients, aged 18– 60 years, scheduled for gynaecological surgery under general anaesthesia in central operating theatre Dr. Hasan Sadikin Hospital-Bandung within June–September 2011. Subjects were divided into two groups that received either intravenous bolus and maintenance of MgSO4 (M group) or 0.9% normal saline (S group). The results showed that postoperative VAS score during movement and the number of analgesic pethidin were significantly lower in M group compared to S group (p<0.05). In conclusions, intravenous bolus of magnesium sulphate perioperative are able to demonstrate the lower value of VAS during mobilization and reducing the amount of analgesic rescue petidin postoperative abdominal gynaecological surgery. Key words: Abdominal gynaecological surgery, magnesium sulphate, VAS scores during movement DOI: 10.15851/jap.v1n2.122
Perbandingan Waktu Induksi, Perubahan Tekanan Darah, dan Pulih Sadar antara Total Intravenous Anesthesia Profopol Target Controlled Infusion dan Manual Controlled Infusion Simanjuntak, Vick Elmore; Oktaliansah, Ezra; Redjeki, Ike Sri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 3 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1134.641 KB)

Abstract

Target controlled infusion (TCI) memberikan kemudahan bagi dokter anestesi dalam pelaksanaan total intravenous anesthesia (TIVA). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan waktu induksi, perubahan tekanan darah, dan waktu pulih sadar antara TIVA propofol TCI dan manual controlled infusion (MCI) pada ekstirpasi fibroadenoma payudara. Penelitian dilakukan terhadap 32 wanita (18–40 tahun), status fisik ASA I, yang menjalani operasi ekstirpasi fibroadenoma payudara di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Juli–September 2012, secara uji acak terkontrol buta tunggal dalam anestesi umum. Subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu 16 orang dilakukan anestesi umum dengan TIVA propofol TCI dan 16 orang dengan TIVA propofol MCI. Waktu induksi TCI (61,44 detik) lebih singkat daripada MCI (78,5 detik) dan perubahan tekanan darah pada TCI (15,6 %) lebih kecil daripada MCI (24,1%). Tidak berbeda bermakna (p>0,05) dalam hal waktu pulih sadar pada kedua kelompok (TCI 8,95 menit dan MCI 9,90 menit). Simpulan, TIVA propofol TCI memberikan waktu induksi yang lebih singkat dan perubahan tekanan darah yang lebih kecil bila dibandingkan dengan TIVA MCI, namun tidak didapatkan perbedaan dalam hal waktu pulih sadar.Kata kunci: Manual controlled infusion target controlled infusion, waktu induksi, waktu pulih sadar Comparison of Induction Time, Changes in Blood Pressure, and Emergence between Target Controlled Infusion and Manual Controlled Infusion of Propofol Total Intravenous AnesthesiaAbstractTarget controlled infusion (TCI) offers anesthesiologists an easier way to conduct total intravenous anesthesia (TIVA). This study was done to compare the induction time, blood pressure and recovery time between propofol TIVA with TCI and the manual controlled infusion (MCI) in patients undergoing breast fibroadenoma extirpation. This study was done on 32 women (aged 18–40 years old), ASA I physical status, who underwent breast fibroadenoma extirpation in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung within July–September 2012, by single blind randomized controlled trial in general anesthesia. Subjects were allocated into 2 groups, the TCI and MCI group, each consisted of 16 women. TCI’s induction time (61.44 seconds) were much shorter compared to MCI (78.5 seconds) and the blood pressure changes, TCI (15.6%) showed smaller changes compared to MCI (24.1%). There were no significant difference (p>0.05) in the recovery time in both groups (TCI 8.95 minutes and MCI 9.90 minutes). In conclusion, propofol TIVA with TCI showed a shorter induction time and less blood pressure changes compared to MCI, but there was no significant difference in recovery time. The adverse effect of postoperative nausea and vomitting did not occur in both groups.Keywords: blood pressure changes, induction time, manual controlled infusion, recovery time DOI: 10.15851/jap.v1n3.194
Perbandingan Efektivitas Anestesi Spinal Menggunakan Bupivakain Isobarik dengan Bupivakain Hiperbarik pada Pasien yang Menjalani Operasi Abdomen Bagian Bawah Longdong, Jeffry F.; Redjeki, Ike Sri; Wargahadibrata, A. Himendra
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (390.881 KB)

Abstract

Penyebaran obat anestesi lokal pada anestesi spinal sangat ditentukan oleh barisitas obat anestesi lokal dan posisi pasien. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan anestesi spinal menggunakan bupivakain 0,5% isobarik hiperbarik terhadap lama kerja blokade sensoris dan tinggi blokade sensoris pada operasi abdomen bagian bawah. Penelitian eksperimental secara randomized control trial (RCT) pada 40 pasien dengan status fisik ASA I–II, usia 17–60 tahun yang menjalani operasi abdomen bagian bawah di ruang operasi bedah sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Januari sampai April 2011. Pasien dibagi dalam kelompok isobarik dan kelompok hiperbarik. Tinggi blokade sensoris, lama kerja blokade sensoris dicatat dan dilakukan uji statistik dengan student t-test, chi-kuadrat. Dari hasil penelitian didapatkan lama kerja blokade sensoris pada kelompok isobarik lebih panjang dibandingkan dengan kelompok hiperbarik (242,4 menit SB 28,04 vs 132,95 menit SB 11,33) dengan perbedaan yang bermakna (p<0,001). Tinggi blokade sensoris pada kelompok isobarik lebih rendah dibandingkan dengan bupivakain kelompok hiperbarik. Simpulan dari penelitian ini menunjukkan bupivakain isobarik mempunyai penyebaran lebih rendah dan lama kerja lebih panjang. Kata kunci: Abdomen bagian bawah, analgesia spinal, barisitas ,bupivakain, obat anestesi lokal, teknik anestesiEffectivity of Spinal Anaesthesia Using Isobaric Bupivacaine and Hyperbaric Bupivacaine on Patients Undergoing Lower Abdominal SurgeryDistribution of local anesthetics in spinal anesthesia is most determined by baricity and position. The study was conducted to explore the comparison of effect between spinal anesthesia technique using 0.5% isobaric bupivacaine with 0.5% hyperbaric bupivacaine on duration and level of sensory blocking action in lower abdominal surgery. This experimental study was conducted using randomized control trial (RCT)in 40 patients with physical ASA I–II status, aged 17–60 years, who underwent lower abdominal surgery in central operating theatre Dr. Hasan Sadikin Hospital-Bandung within January to April 2011. The patients were divided into two groups, the hyperbaric group and the isobaric group. The recording included sensory blocking level, sensory blocking duration, and statistical analysis using Student t-test and chi-square test. . Sensory blocking levels in isobaric group were lower than those in hyperbaric group. The conlusion of the study indicates that isobaric bupivacaine has lesser distribution and longer duration of action.Key words: Anesthesia technique, baricity, bupivacaine, local anesthetics, lower abdomen, spinal analgesia  DOI: 10.15851/jap.v1n2.117
Korelasi Antara Kadar Laktat, Base Deficit Dan Saturasi Vena Sentral Dengan Skor Multiple Organ Dysfunction Hari Ke-3 Pada Pasien Pascabedah Dengan Hemodinamik Stabil Di Ruang Perawatan Intensif Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Nugraha, Ruby Satria; Redjeki, Ike Sri; Bisri, Tatang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hingga kini belum ada indikator yang untuk menilai perfusi global yang adekuat. Pasien dengan hemodinamik stabil masih mungkin terjadi perubahan kadar laktat, base deficit, dan saturasi vena sentral, yang dapat digunakan untuk menilai adanya suatu hipoksia jaringan. Penelitian ini bertujuan mencari korelasi yang paling baik diantara ketiga parameter tersebut terhadap skor MOD hari ke-3 pada pasien pascabedah dengan hemodinamik stabil yang dirawat di Ruang Perawatan Intensif (RPI). Penelitian ini suatu penelitian observasional dengan desain potong lintang. Penelitian ini dilakukan pada 50 orang pasien risiko tinggi yang dirawat di RPI, laki-laki dan wanita, usia 18 – 65 tahun yang telah menjalani laparotomi eksplorasi dengan anestesi umum. Semua pasien dilakukan pemeriksaan kadar laktat darah, gas darah arterial dan gas darah vena sentral ketika pasien masuk, dan jam  ke-24. Selanjutnya pada hari ke-3 dilakukan skoring MOD yang mencakup fungsi neurologis, kardiovaskular, respirasi, ginjal, hematologis, dan hepar. Pada penelitian ini didapatkan koefisien korelasi rank Spearman antara laktat 1 dan skor MOD hari ke-3 adalah 0,579 dengan p<0,001,  base deficit 1 dengan skor MOD hari ke-3 adalah 0,811 dengan p<0,001,  sedangkan yang tidak bermakna adalah antara saturasi vena sentral 1 dengan skor MOD hari ke-3, dan antara saturasi vena sentral 2 dengan skor MOD hari ke-3, dengan koefisien koreasi rank Spearman masing-masing adalah 0,328 dan 0,260. Koefisien korelasi yang baik terdapat pada laktat dan base deficit dengan skor MOD hari ke-3, sedangkan saturasi vena sentral memiliki koefisien korelasi yang lemah. Laktat dan base deficit dapat digunakan untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan perfusi jaringan pada pasien risiko tinggi pascabedah dengan hemodinamik stabil.Kata kunci: laktat, base deficit, saturasi vena sentral, hipoksia jaringan, disfungsi organ.Correlation Between Lactate Level, Base Deficit, And Central Vein Saturation With Third-Day Multiple Organ Dysfunction Score On Haemodynamically Stable Postoperative Patient In Intensive Care Unit  Dr. Hasan Sadikin Bandung HospitalUntil now, there is no precise indicator to evaluate adequate global perfussion yet. On haemodynamically stable patient is possible to experience change in lactate value, base deficit, and central vein saturation, which can be used to assess tissue hypoxia. The aim of this study is to find the best parameter among those three parameters toward day-third-MOD (Multiple organ dysfunction) score on hemodinamically stable post surgery patients whose been hospitalized in ICU (Intensive care unit).This is a cross-sectional observational study. The subject of this study were 50 high-risk patients whose hospitalized in RPI, male and female between 18 – 65 years old who had been done explorative laparatomy procedures under general anesthesia. Blood lactate, arterial blood gas analysis and central vein blood gas analysis had been analysis on all subjects on admissions and on the 24th hours. On the third day, MOD score that covered neurologic, cardiovascular, respiration, renal, hematologic and liver function had been assessed. This study yielded rank Spearmen coeffisien correlation between blood lactate 1 and day-third-MOD score 0,572 (p<0,001), and base deficit 1 and day-third-MOD score was 0,811 (p<0,001). The value between central vein saturation  1 and day-third-MOD score, and central vein saturation 2 and day-third-MOD score were unsignificant, with rank Spearmen coeffisien correlation were 0,328 and 0,260. Good coeffisien correlation was found between blood lactate and base deficit with MOD score on third day, whilst central vein saturation had  weak coeffisien correlation. Blood lactate level and base deficit can be used to evaluate early tissue perfusion disturbances on hemodinamically stable high risk post surgery patients.Key words: lactate, base deficit, central vein saturation, tissue hypoxia, MOD score. DOI: 10.15851/jap.v1n1.154
Perbandingan Efek Anestesi Spinal dengan Anestesi Umum terhadap Kejadian Hipotensi dan Nilai APGAR Bayi pada Seksio Sesarea Flora, Lasmaria; Redjeki, Ike Sri; Wargahadibrata, A. Himendra
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 2 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.036 KB)

Abstract

Teknik anestesi spinal atau anestesi umum pada seksio sesarea menyebabkan penurunan tekanan darah berbeda, demikian pula nilai APGAR bayi.  Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kejadian hipotensi, nilai APGAR 1 menit dan 5 menit antara tindakan anestesi spinal dan anestesi umum. Penelitian dilakukan dengan cara randomized cross sectional pada 70 pasien di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Februari–Maret 2011. Setelah dilakukan randomisasi, pasien dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok I (anestesi spinal) dan kelompok II (anestesi umum).  Data kejadian hipotensi dianalisis dengan uji chi-kuadrat, untuk nilai APGAR menggunakan Uji Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan kejadian hipotensi 57,1% pada kelompok anestesi spinal, sedangkan kelompok anestesi umum hanya 5,7% (p<0,001). Nilai APGAR rata-rata 1 menit pada kelompok anestesi spinal 8, sedangkan pada kelompok anestesi umum 7,06.  Berdasarkan Uji Mann Whitney didapatkan p<0,001. Nilai APGAR rata-rata 5 menit pada kelompok anestesi spinal 9,71,  sedangkan pada  kelompok   anestesi   umum  9,31 (p=0,015). Simpulan penelitian ini adalah angka kejadian hipotensi lebih tinggi pada anestesi spinal daripada anestesi umum.  Nilai APGAR bayi 1 menit dan 5 menit lebih tinggi pada anestesi spinal dibandingkan dengan anestesi umum.Kata kunci: Anestesi spinal, anestesi umum, hipotensi, nilai APGAR, seksio sesarea                      Comparison of  Effects  between  Spinal Anesthesia and General Anesthesia  on Hypotension and APGAR Scoring Values  of Caesarean Section BabiesTechnique of spinal anesthesia or general anesthesia on cesarean section causes decreasing in different blood pressure and APGAR score.  The purpose of this study was to identify the difference of hypotension, APGAR score 1 minute and 5 minutes on the action of spinal anesthesia and general anesthesia. A randomized cross sectional was conducted on 70 patients at Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung during February–March 2011. Patients were divided into two groups: group I (spinal anesthesia) and group II (general anesthesia).   The data of hypotension was analyzed with chi square test, for the APGAR score with Mann Whitney test. Result of the study showed that the case of hypotension was got 57.1% for the group of spinal anesthesia whereas the group of general anesthesia only 5.7% (p<0.001).  The mean of APGAR score 1 minute for the group spinal anesthesia was 8 whereas the group of general anesthesia was 7.06.  According to Mann Whitney test  got p<0.001.  The mean of APGAR score 5 minutes for the group spinal anesthesia was 9.71, whereas the mean for the group of general anesthesia was 9.31.  According to Mann Whitney test got p=0.015. The conclusion of the this study is the case of hypotension value is higher for the spinal anesthesia compared to general anesthesia.  APGAR score 1 minute and 5 minutes are higher for spinal anesthesia compared to general anesthesia.Key words: APGAR score, caesarean section, general anesthesia, hypotension,  spinal anesthesia   DOI: 10.15851/jap.v2n2.304
Perbandingan Pemberian Metoprolol Tartrat dengan Lidokain secara Intravena terhadap Perubahan Tekanan Darah dan Laju Nadi Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi Koswara, Yovita; Pradian, Erwin; Redjeki, Ike Sri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 2 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (395.974 KB)

Abstract

Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakeal dapat menyebabkan tekanan darah dan laju nadi naik secara mendadak akibat rangsangan terhadap sistem simpatis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian metoprolol 5 mg intravena dibandingkan dengan lidokain 1,5 mg/kgBB untuk mengurangi lonjakan hemodinamik akibat laringoskopi intubasi. Penelitian ini dilakukan secara uji klinis acak terkontrol buta ganda terhadap 40 pasien dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I−II yang menjalani operasi dengan teknik anestesi umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dari bulan Juli−Agustus 2013. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang diberikan metoprolol 5 mg intravena atau lidokain 1,5 mg/kgBB 3 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Data penelitian dianalisis dengan uji-t, dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna. Analisis statistik menunjukkan bahwa pada 2 menit dan 3 menit setelah intubasi antara kedua kelompok didapatkan perbedaan bermakna pada seluruh  parameter hemodinamik dengan nilai  p<0,05. Simpulan dari penelitian ini adalah metoprolol 5 mg secara intravena memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan lidokain 1,5 mg/kgBB dalam hal mengurangi lonjakan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi intubasi.Kata kunci: Intubasi, laringoskopi, lidokain, metoprololComparison of Intravenous Metoprolol Tartrate and Lidocaine on Changes of Blood Pressure and Heart Rate During Laryngoscopy and IntubationLaryngoscopy and endotracheal intubation associated with a sudden rise in blood pressure and pulse rate due to stimulation of sympathetic activity. The aim of this study was to compare effectiveness of metoprolol 5 mg intavenously and lidocaine 1.5 mg/kgBW to attenuate hemodynamic response evoked by laryngoscopy and intubation. This was an experimental randomized double blind controlled trial study was conducted in 40 patients with American Society of Anesthesiologist (ASA) physical status I or II who will have surgery with general anesthesia techniques in Hasan Sadikin Hospital Bandung from July−August 2013. Subjects were divided into two groups wich received metoprolol 5 mg intravenously or lidocaine 1.5 mg/kgBW 3 minutes before laryngoscopy and intubation. All data were analysed using t-test, with  p value < 0.05 considered significant. Statistical analysis showed that on second and third minutes after intubation and laryngoscopy showed a significant differences on hemodynamic parameter between two groups with  p value <0.05. The conclusions of this study are intravenous 5 mg of metoprolol found to be better than lidocaine 1.5 mg/kgBW to attenuate hemodynamic response evoked by laryngoscopy and  intubation.Key words: Intubation, laryngoscopy, lidocaine, metoprolol DOI: 10.15851/jap.v2n2.309
Perbandingan Anestesi Spinal Menggunakan Ropivakain Hiperbarik 13,5 mg dengan Ropivakain Isobarik 13,5 mg terhadap Mula dan Lama Kerja Blokade Sensorik Nainggolan, Hunter D.; Fuadi, Iwan; Redjeki, Ike Sri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1120.338 KB)

Abstract

Penyebaran obat anestesi lokal pada anestesi spinal terutama ditentukan oleh barisitas dan posisi. Penelitian ini bertujuan membandingkan mula dan lama kerja blokade sensorik antara anestesi spinal menggunakan ropivakain hiperbarik 13,5 mg dan ropivakain isobarik 13,5 mg. Penelitian dilakukan dengan uji acak terkontrol buta ganda mengikutsertakan 32 pasien usia 50–70 tahun, ASA I–II yang menjalani transurethral resection of prostate (TURP) dengan anestesi spinal di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada April– Juli 2012. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan Uji Mann-Whitney dengan tingkat kepercayaan 95% dan dianggap bermakna bila p<0,05. Hasil penelitian didapatkan mula kerja blokade sensorik pada ropivakain hiperbarik 5,00 (SB 1,03) menit lebih cepat secara bermakna dibandingkan dengan ropivakain isobarik 10,25 (SB 1,23) menit dan terdapat perbedaan lama kerja blokade sensorik secara bermakna, dengan lama kerja ropivakain hiperbarik adalah 89,38 (SB 5,12) menit dibandingkan dengan ropivakain isobarik 125,94 (SB 7,57) menit. Simpulan penelitian ini adalah anestesi spinal menggunakan ropivakain hiperbarik menghasilkan mula kerja blokade sensorik yang lebih cepat dan lama kerja blokade sensorik yang lebih pendek bila dibandingkan dengan ropivakain isobarik pada pasien yang menjalani operasi TURP.Kata kunci: Anestesi spinal, barisitas, lama kerja, mula kerja, ropivakain, transurethral resection of prostateComparison of Onset and Sensory Blockade Duration of Spinal Anesthesia between 13.5 mg Hyperbaric Ropivacaine and 13.5 mg Isobaric RopivacaineThe spread of the local anesthetic drug in spinal anesthesia is primarily determined by baricity and position. The aim of this study was to compare the onset and duration of sensoric blockade in spinal anaesthesia using 13.5 mg hyperbaric ropivacaine and 13.5 mg isobaric ropivacaine. This was a double blind randomized trial involving 32 patients aged between 50–70 years with ASA I–II whom underwent TURP surgery with spinal anesthesia at Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung within April–July 2012. Data was analyzed using Mann-Whitney Test with level of confidence 95% and p<0.05 was significant. The result showed that onset of sensory blockade in hyperbaric ropivacaine 5.00 (SB 1.03) minutes was significantly faster compared to isobaric ropivacaine 10.25 (SB 1,23) minutes and there was significant difference on sensory blockade duration, where hyperbaric ropivacaine 89.38 (SB 5.12) minutes was shorter than isobaric ropivacaine 125.94 (SB 7.57) minutes. The conclusions of this study shown spinal anesthesia using hyperbaric ropivacaine produced faster onset and shorter duration of sensory block compared to isobaric ropivacaine in TURP surgery.Key words: Baricity, duration, onset, spinal anesthesia, ropivacaine, transurethral resection of prostate DOI: 10.15851/jap.v2n1.232
Perbandingan Pengaruh Premedikasi per Rektal antara Klonidin 5 μg/ kgBB dan Ketamin 10 mg/kgBB pada Anak Usia 2–5 Tahun pada Skala Pemisahan Prabedah dan Skala Kemudahan Induksi Sabirin, Mira Rellytania; Oktaliansah, Ezra; Redjeki, Ike Sri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1117.899 KB)

Abstract

Premedikasi pada anak berguna untuk menurunkan kecemasan prabedah dan memudahkan induksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas klonidin 5 µg/kgBB dibandingkan dengan ketamin 10 mg/kgBB per rektal sebagai premedikasi pada anak. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada November 2011–Februari 2012 menggunakan uji klinis terkontrol samar buta ganda pada 32 pasien pediatrik usia 2–5 tahun yang akan menjalani operasi elektif dan mendapatkan klonidin 5 µg/kgBB atau ketamin 10 mg/kgBB per rektal 45 menit sebelum induksi anestesi. Kualitas skala pemisahan dari orangtua dan skala kemudahan induksi saat pemasangan sungkup muka selama pemberian inhalasi isofluran dianalisis memakai Uji Mann-Whitney dengan tingkat kepercayaan 95%, dianggap bermakna bila p<0,05. Klonidin 5 µg/kgBB memberikan kualitas yang efektif dan baik dalam hal pemisahan dan penerimaan pemasangan sungkup saat induksi dibandingkan dengan ketamin 10 mg/kgBB dengan perbedaan bermakna (p<0,001). Data ini menunjukkan bahwa klonidin 5 µg/kg rektal merupakan pilihan obat premedikasi alternatif yang efektif dan aman untuk diberikan kepada pasien pediatrik.Kata kunci: Klonidin rektal, ketamin rektal, premedikasi, skala kemudahan induksi, skala pemisahanComparison Between Premedication using Clonidine 5 μg/kgBW and Ketamine 10 mg/kgBW per Rectal in Children Aged 2–5 Years to Preoperative Separation Scale and Acceptance of Mask for Induction ScalePremedication in children is used to reduce pre operative anxiety and to facilitate induction. This study was designed to investigate the efficacy of rectal clonidine 5 µg/kgBW in comparison with rectal ketamine 10 mg/kgBW as a premedication in children. The study was conducted at Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung during the period November 2011–February 2012 with a double-blind randomized clinical controlled trials on 32 paediatric patients aged 2–5 years undergoing elective surgery and received either clonidine 5 µg/kgBW or ketamine 10 mg/kgBW rectally 45 min before induction of anesthesia. The quality of separation scale from the parent and the acceptance of mask for induction scale application during inhalation isoflurane were analyzed using Mann Whitney Test with 95% confidence interval, p value <0.05 is considered as statistically significant. Clonidine 5 µg/kgBW provide effective and good qualities of separation and acceptance of mask for induction compared to ketamine 10 mg/kgBW. These data indicate that rectal clonidine 5 µg/kgBW is effective and safe as an alternative drug for premedication in paediatric patients.Key words: Acceptance of mask for induction scale, clonidine, premedication, rectal, separation scale DOI: 10.15851/jap.v2n1.230
Waktu Pulih Sadar pada Pasien Pediatrik yang Menjalani Anestesi Umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Dinata, Defri Aryu; Fuadi, Iwan; Redjeki, Ike Sri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1348.653 KB)

Abstract

Salah satu komplikasi utama pasca-anestesia pada pediatrik adalah keterlambatan pulih sadar. Penyebab keterlambatan pulih sadar pasca-anestesia adalah efek residual dari obat anestetik, sedatif, analgesik, durasi anestesi, dan hipotermia. Penelitian ini bertujuan mengetahui waktu pulih sadar pada pasien pediatrik yang menjalani anestesia umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan metode penelitian adalah observasional prospektif. Penelitian dilakukan pada bulan Mei–Agustus 2014 dengan sampel sebanyak 456 pasien pediatrik yang menjalani anestesia umum terdiri atas 3,9% neonatus, 24,6% infant, 17,3% batita, dan 54,2% anak. Parameter yang dicatat pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, berat badan, jenis anestesia inhalasi, dosis fentanil, durasi anestesia, dan suhu inti tubuh pasca-anestesia. Data penelitian dianalisis secara deskriptif dalam ukuran jumlah dan persentase. Hasil penelitian ini adalah angka kejadian keterlambatan pulih sadar pada pasien pediatrik sebanyak 96 kasus (neonatus 16 kasus, infant 51 kasus, batita 12 kasus, dan anak 12 kasus). Faktor yang memengaruhi waktu pulih sadar pada neonatus adalah hipotermia, pada infant adalah dosis fentanil >3 mg/kgBB, pada durasi anestesia >210 menit dan hipotermia, pada batita adalah hipotermia, dan pada anak adalah dosis fentanil >5 µg/kgBB dan hipotermia.  Simpulan, hipotermia merupakan faktor penyebab keterlambatan waktu pulih sadar pada semua kelompok usia.Kata kunci: Pasca-anestesi, pediatrik, waktu pulih sadar Recovery Time in Pediatric Patients Undergoing General Anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung    The most common causes of prolong awakening are residual effects of drugs either anesthetics, sedatives or analgesics, length of anesthesia, and hypothermia. This study aimed to determine the recovery time to consciousness in pediatric patients undergoing general anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This was an observational prospective study conducted in May until August 2014 on 456 patients consisting of 3.9% neonates, 24.6% infants, 17.3% toddlers and 54.2% children. Parameters recorded in this study were age, sex, weight, type of inhalation anesthetics, fentanyl dose, duration of anesthesia, and post-anesthesia temperature. Data were analyzed descriptively in number and percentage. The results showed that the average recovery time to consciousness in  neonatal patients was 50 minutes 40 seconds in which 88.3% of the neonatal age group suffered from post anesthesia hypothermia (core body temperature below 36⁰C). Factors that influenced recovery time in infants were fentanyl dose above 3 µg/kgBW, duration of anesthesia over 210 minutes, and hypothermia. The factors that caused delayed recovery were hypothermia in toddlers group and fentanyl doses above 5 µg/kgBW and hypothermia in children. Incidence of prolong awakening in pediatric patients undergoing general anesthesia in this study was 96 cases, consisting of 16 cases of neonates, 51 cases of infants, 12 cases of toddlers, and 17 cases of  children. In conclusion, the common factor causing delay in recovery in all age groups is hypothermia.Key words: Post-anesthesia, pediatric, recovery time DOI: 10.15851/jap.v3n2.576
Gambaran Pengetahuan Klinisi Ruang Rawat Intensif mengenai Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Bundle di Ruang Rawat Intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Sadli, M. Fajar; Tavianto, Doddy; Redjeki, Ike Sri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (636.643 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n2.1108

Abstract

Ventilator associated pneumonia (VAP) merupakan infeksi yang terjadi pada pasien yang terintubasi ≥48 jam di ruang rawat intensif. Penanganan VAP merupakan tantangan utama akibat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Ventilator associated pneumonia bundle (VAPb) telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian VAP sehingga pengetahuan dokter dan perawat mengenai VAPb menentukan keberhasilan pencegahan VAP di ruang rawat intensif. Tujuan penelitian ini mengetahui pengetahuan dokter dan perawat mengenai VAPb di ruang rawat intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Data diambil dari bulan November–Desember 2016. Penelitian deskriptif dengan desain potong lintang ini menggambarkan pengetahuan mengenai VAPb dari dokter residen Departemen Anestesi dan Terapi Intensif dan perawat di ruang rawat intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Responden terdiri atas 79 dokter dan 88 perawat. Tingkat pengetahuan VAPb diuji menggunakan 20 pertanyaan kuesioner. Responden perawat terbanyak berjenis kelamin perempuan (74%), berusia ≥30 tahun (92%), status pendidikan diploma III (65%), lama kerja >5 tahun (76%), dan bekerja di Intensive Care Unit (ICU) (32%). Responden dokter terbanyak berjenis kelamin laki-laki (71%), berusia ≥30 tahun (83%), dan telah menyelesaikan stase ICU (61%). Simpulan, nilai kuesioner perawat dan dokter rata-rata berturut-turut 73,63 dan 73,16. Kata kunci: Klinisi ruang rawat intensif, tingkat pengetahuan, ventilator associated pneumonoia bundle Description of Intensive Care Clinician Knowledge about Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Bundle in the Intensive Care Unit of  Dr. Hasan Sadikin Hospital BandungVentilator associated pneumonia (VAP) is an infection that occurs in patients who are intubated ≥48 hours in intensive care. Management VAP is a major challenge due to the high morbidity and mortality. Ventilator associated pneumonia bundle (VAPb) has been shown to reduce the incidence of VAP, so knowledge of doctors and nurses about VAPb determine the success of preventing VAP in intensive care. This study aims to know the description of intensive care clinician knowledge about ventilator associated pneumonia bundle in the intensive care of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. Data were collected from November–December 2016. Descriptive study with cross-sectional design depicts VAPb knowledge of resident physicians Department of Anesthesia and Intensive Therapy and nurses in the Intensive Care Department of Dr. Hasan Sadikin Hospital. Respondents consisted of 79 doctors and 88 nurses. The level of knowledge VAPb tested using a 20 question questionnaire. Most nurse respondents were female (74%), aged ≥30 years (92%), educational status diploma III (65%), length of employment >5 years (76%), and work in Intensive Care Unit (ICU) (32%). Most physician respondents were male sex (71%), aged ≥30 years (83%), and had completed stase ICU (61%). In conclution, the mean value of the questionnaire nurses and doctors respectively 73.63 and 73.16. Key words: Intensive care clinician, level of knowledge, ventilator associated pneumonoia bundle