Dhany Budipratama
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 16 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Efek Pemberian Magnesium Sulfat Intravena Perioperatif terhadap Nilai Visual Analog Scale (VAS) dan Kebutuhan Analgetik Pascabedah pada Pasien yang Menjalani Pembedahan Abdominal Ginekologi dengan Anestesi Umum Budipratama, Dhany; Kaswiyan, U.; Redjeki, Ike Sri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.907 KB)

Abstract

Magnesium sulfat sebagai antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan penghambat saluran kalsium, memiliki efek antinosiseptif dan antihiperalgesia. Penelitian dilakukan secara acak, terkontrol, buta ganda bertujuan untuk menilai efek pemberian bolus magnesium sulfat intravena terhadap nilai visual analog scale (VAS) dan jumlah kebutuhan analgetik petidin pada 30 pasien wanita dengan status fisik ASA I–II, usia 18–60 tahun, yang akan menjalani operasi abdominal ginekologi elektif dengan anestesi umum di ruang operasi bedah sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Juni–September 2011. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yang akan mendapat bolus dan rumatan MgSO4 intravena (grup M) atau NaCl 0,9% (grup S). Hasil penelitian menunjukkan nilai VAS dan jumlah pemberian analgetik petidin pada grup M secara statistik lebih rendah dibandingkan dengan grup S (p<0,05). Simpulan penelitian adalah pemberian bolus magnesium sulfat intravena perioperatif mampu menunjukkan nilai VAS saat mobilisasi pascabedah yang lebih rendah serta mengurangi kebutuhan analgetik pertolongan petidin pada pasien pascabedah abdominal ginekologi dalam anestesi umum.Kata kunci: Analgetik pascabedah, magnesium sulfat, nilai VAS saat mobilisasi, operasi abdominal ginekologiThe Effect of Perioperative Magnesium Sulphate Infusion on VAS (Visual Analog Scale) Scores and Postoperative Analgesic Requirements in Patients Undergoing Gynaecological Abdominal Surgery with General AnaesthesiaMagnesium sulphate is N-methyl-D-aspartate (NMDA) receptor antagonist and calcium channel blocker with antinociceptive and antihyperalgesia effects. A randomized, double blind, controlled study was conducted to evaluate the effect of perioperative magnesium sulphate infusion on visual analog scale (VAS) scores and cumulative rescue analgesic petidin consumption in 30 ASA physical status I–II female patients, aged 18– 60 years, scheduled for gynaecological surgery under general anaesthesia in central operating theatre Dr. Hasan Sadikin Hospital-Bandung within June–September 2011. Subjects were divided into two groups that received either intravenous bolus and maintenance of MgSO4 (M group) or 0.9% normal saline (S group). The results showed that postoperative VAS score during movement and the number of analgesic pethidin were significantly lower in M group compared to S group (p<0.05). In conclusions, intravenous bolus of magnesium sulphate perioperative are able to demonstrate the lower value of VAS during mobilization and reducing the amount of analgesic rescue petidin postoperative abdominal gynaecological surgery. Key words: Abdominal gynaecological surgery, magnesium sulphate, VAS scores during movement DOI: 10.15851/jap.v1n2.122
Resuscitative Strategies in Traumatic Hemorrhagic Shock Supandji, Mia; Budipratama, Dhany; Pradian, Erwin
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 33 No 3 (2015): Oktober
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Trauma and brain injury are common in young patients with a high incidence of mortality. The classic triadof death in a trauma involves hypothermia, acidosis and coagulopathy. This physiologic derangement plays animportant role in exsanguination and death of trauma patients, if it is not promptly diagnosed and aggressivelytreated. However, the optimal strategy is still debatable. Damage Control Resuscitation along with damage controlsurgery has been proven to increase patients survival. DCR is a management of patients with trauma startedfrom the emergency room up to the operating room and the intensive care unit (ICU). Five pillars of DCR are 1.Body rewarming, 2. Correction of acidosis, 3. Permissive hypotension, 4. Restrictive luids administration and 5.Hemostatic resuscitation. Early and aggressive transfusion of blood and blood products, with comparison of PRC,FFP and platelets of 1:1:1, if no whole blood available, can improve the outcome and survival of the patients.
NutritionTherapy in ICU Patiens Kestriani, Nurita Dian; Budipratama, Dhany; Pradian, Erwin
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 33 No 3 (2015): Oktober
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Under ordinary circumstances, feeding is not considered as medical therapy. When normal diet fail to meet daily requirements or when assessment documents deficiencies, then nutritional planning becomes a part of medical therapeutics. The goals of nutritional support for critically ill patients include preserving tissue mass, decreasing usage of endogenous nutrient stores and catabolism, and maintaining or improving organ function (i.e., immune, renal, and hepatic systems; muscle). Specific goals include improving wound healing, decreasing infection, maintaining the gut barrier (decreasing translocation), and decreasing morbidity and mortality all of which may contribute to decreasing the ICU or hospital stay and hospitalization costs.
PATOGENESIS DAN TATALAKSANA PASIEN SEPSIS DENGAN DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION Napitupulu, Olivia Des Vinca Albahana; Budipratama, Dhany
E-Journal Widya Kesehatan dan Lingkungan Vol. 1 No. 3 (2020)
Publisher : E-Journal Widya Kesehatan dan Lingkungan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi respons tubuh terhadap infeksi yang menjadi salah satu penyebab kematian yang tinggi di unit perawatan intensif. Pada sepsis reaksi inflamasi sistemik yang terjadi akan mengaktivasi sistem koagulasi dan meningkatkan konsumsi faktor pembekuan, sehingga akan menimbulkan komplikasi yang serius yaitu gangguan koagulopati, yang disebut Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Tujuan dari penelitian ini adalah merangkum perkembangan patogenesis baru dan dampaknya terhadap tatalaksana DIC pada pasien sepsis saat ini dan di masa depan. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Seperti yang diketahui, pada 35% kasus sepsis berat akan disertai dengan DIC, dan pada kasus syok sepsis, DIC menyebabkan tingginya mortalitas yang dikaitkan dengan meningkatnya keparahan penyakit, dan keseriusan kegagalan organ dengan hasil akhir yang buruk. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengkaji informasi yang tersedia dalam literatur tentang pendekatan dan tatalaksana DIC pada sepsis. Dapat disimpulkan bahwa DIC merupakan suatu sindroma klinikopatologi yang merupakan komplikasi dari beragam penyakit yang ditandai dengan adanya aktivasi koagulasi darah sistemik, produksi fibrin intravaskular, sehingga dapat menyebabkan thrombosis pembuluh darah yang berukuran kecil dan sedang, bahkan dapat menyebabkan kegagalan fungsi organ bersamaan dengan konsumsi trombosit dan faktor koagulasi yang mengakibatkan gambaran klinis perdarahan.
Intervention in Undergoing Surgery with Undiagnosed Wolff-Parkinson-White Syndrome: Case Report Gezy Weita Giwangkancana; Astri Astuti; Dhany Budipratama; Aviryandi Wibawamukti; Fityan Aulia Rahman; Rani Septriana
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 8, No 3 (2020)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v8n3.2193

Abstract

Wolff-Parkinson-White (WPW) syndrome is a commonly undiagnosed cardiac rhythm anomaly in a previously healthy patient who may precipitate malignant arrhythmia under surgical stress. We report successful management of a reconstruction surgery patient who developed cardiac arrest under general anesthesia due to undiagnosed WPW syndrome and a malignant arrhythmia during subsequent emergency surgery. A male patient with no previous history of the co-existing disease, age 23 years old underwent 14 hours of leg reconstruction with a posterior back flap. At the end of the surgery, the patient developed malignant arrhythmia that worsens to pulseless ventricular tachycardia. High-quality resuscitation was conducted and resulted in the return of spontaneous circulation. The patient had to undergo emergency surgery the next day, and another episode of intraoperative malignant arrhythmia was treated with propafenone and diltiazem. The patient underwent ablation postoperatively and, on the 14th day, was discharged without any residual complications. In conclusion, WPW may appear asymptomatic in a healthy young patient. Good anesthesia management and monitoring, knowledge of selective antiarrhythmic drugs and high-quality resuscitation skills can provide an optimal outcome in an unpredicted intraoperative crisis.Laporan Kasus: Manajemen Pasien Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW) yang Menjalani Tindakan PembedahanSindrom Wolff-Parkinson-White (WPW) adalah kelainan irama jantung yang sering tidak terdiagnosis pada pasien usia muda dan sering tanpa gejala. Stres akibat pembedahan dapat memicu aritmia maligna pada kelainan ini. Kami melaporkan keberhasilan manajemen pada pasien bedah plastik rekonstruksi dalam anestesi umum yang mengalami henti jantung karena sindrom WPW yang tidak terdiagnosis sebelumnya dan terjadi aritmia maligna serupa pada operasi darurat berikutnya. Seorang laki-laki berusia 23 tahun tanpa riwayat penyakit penyerta sebelumnya, menjalani rekonstruksi kaki dengan flap posterior selama 14 jam. Pada akhir pembedahan, pasien mengalami aritimia maligna dan berkembang menjadi ventricular takikardia tanpa nadi. Tindakan resusitasi jantung paru berkualitas tinggi dilakukan dan sirkulasi spontan kembali muncul. Pasien harus menjalani operasi darurat keesokan harinya dan mengalami episode aritmia maligna ulangan intraoperatif yang telah berhasil diidentifikasi pada pemeriksaan pascaoperasi pertama sebagai sindrom Wolff-Parkinson-White. Aritmia maligna tersebut diatasi dengan pemberian propafenon dan diltiazem. Pasien menjalani tindakan ablasi pascaoperasi dan pulang pada hari keempat belas perawatan tanpa gejala sisa. Simpulan, sindrom WPW mungkin tampak asimtomatik pada pasien muda yang sehat. Manajemen anestesi yang baik, pengetahuan mengenai profil berbagai obat antiaritmia serta pelaksanaan tindakan resusitasi berkualitas tinggi dapat memberikan hasil keluaran yang optimal bila terjadi krisis intraoperatif yang tidak diperkirakan sebelumnya.
perbandingan angka keberhasilan dan lama intubasi antara metode laringoskopi direk dan videolaringoskopi pada pasien obesitas Riri Lestari; Ezra Oktaliasah; Dhany Budipratama
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 9, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v9n2.2426

Abstract

Obesitas merupakan salah satu prediktor independen jalan napas sulit. Laringoskopi direk menggunakan laringoskop Macintosh merupakan teknik standar yang paling sering digunakan untuk intubasi endotrakeal. Penggunaan videolaringoskop (VL) telah meningkatkan angka keberhasilan intubasi pada pasien dengan jalan napas sulit dan memberikan waktu intubasi yang lebih singkat dibanding dengan laringoskopi direk. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbandingan angka keberhasilan dan lama intubasi antara metode laringoskopi direk dan videolaringoskopi pada pasien obesitas. Penelitian ini menggunakan metode prospektif analitik komparatif eksperimental, randomized single blind study dengan jumlah sampel sebanyak 22 pasien di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode November 2020–Januari 2021. Analisis statistik menggunakan Uji Eksak Fisher dan t dua kelompok independen. Dilakukan penilaian keberhasilan dan lama waktu intubasi endotrakeal setiap kelompok yang diuji. Pada kelompok VL, intubasi endotrakeal berhasil dilakukan pada 11 subjek dengan tidak ada subjek gagal, sementara pada kelompok direk didapatkan 6 subjek berhasil dan 5 subjek gagal. Lama intubasi pada kelompok VL rerata 27,69±7,73  detik dan kelompok direk 26,73±4,53 detik. Penelitian ini memberikan hasil angka keberhasilan intubasi endotrakeal dengan metode videolaringoskopi lebih tinggi secara signifikan (p<0,05) dengan waktu intubasi lebih lama yang tidak signifikan secara statistik (p>0,05). Simpulan, penggunaan metode videolaringoskopi pada saat intubasi pada pasien obesitas meningkatkan keberhasilan intubasi, namun tidak mempersingkat lama waktu intubasi. Comparison of Success Rate and Intubation Time between Direct Laryngoscopy and Videolaryngoscopy Methods on Obese Patients Obesity is one of independent predictors of difficult airway. Direct laryngoscopy with Macintosh blade is the frequent standard technique for endotracheal intubation. The use of videolaryngoscope has increased the success rate of intubation in patients with difficult airway and provided a shorter intubation time compared to direct laryngoscopy. The purpose of the study was to compare the result and time discrepancy when intubating obese patients with direct laryngoscopy and videolaryngoscopy methods. This study used prospective analytical comparative experimental, randomized single blind methods, on 22 patients at the central operating theatre Dr. Hasan Sadikin Hospital, Bandung during November 2020–January 2021. The study assessed the successful result and duration in doing endotracheal intubation from each study groups. In videolaryngoscopy group, 11 subjects were intubated successfully with no subject failed, while in group with direct laryngoscopy, 6 subjects were intubated successfully and 5 subjects failed. The mean time duration rate used to intubate in videolaryngoscopy group was 27.69±7.73 seconds, meanwhile in group with direct laryngoscopy was 26.73±4.53 seconds. The study shows higher successful rate of endotracheal intubation significantly (p<0.05) and longer time duration of intubation that is not significant statistically (p>0.05) in videolaryngoscopy group. In conclusion, intubation using videolaryngoscope increase the success of intubation but not  lessen the duration of  intubation time in  obese patients.
Perbandingan Angka Keberhasilan Intubasi dan Waktu Intubasi antara Menggunakan Bougie dan Purwarupa Camera–Bougie pada Maneken Simulasi Kesulitan Intubasi Gavrila Diva Amelis; Dhany Budipratama; Ezra Oktaliansah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (182.479 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1585

Abstract

Penatalaksanaan jalan napas merupakan hal fundamental bagi ahli anestesi. Kegagalan penatalaksanaan jalan napas mengakibatkan kematian. Berbagai modalitas tersedia untuk penatalaksanaan jalan napas  sulit, mulai dari alat sederhana seperti stylet dan bougie hingga alat canggih seperti video laryngsocope dan fiberoptic. Fiberoptik masih menjadi standar baku kesulitan intubasi, namun penggunaannya masih terbatas karena harganya mahal dan penggunaannya sulit. Purwarupa camera–bougie  merupakan modalitas baru yang diharapkan dapat mengatasi keterbatasan tersebut dan menjembatani antara bougie yang sederhana dan fiberoptik yang sangat canggih. Tujuan penelitian adalah membandingkan angka keberhasilan intubasi dan waktu intubasi antara bougie dan purwarupa camera–bougie pada maneken simulasi kesulitan intubasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian analitik eksperimental ini dilakukan pada 41 peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung semester 5 sampai dengan 11 yang melakukan intubasi dengan bougie dan purwarupa camera–bougie secara bergantian dengan metode randomisasi permutasi blok pada maneken simulasi kesulitan intubasi. Penelitian dilakukan dari tanggal 16–24 Oktober 2018. Keberhasilan dan waktu intubasi dicatat dan dianalisis secara statistik dengan Uji Mc. Nemar dan Wilcoxon. Keberhasilan intubasi dengan bougie sebesar 39% dan purwarupa camera-bougie 100% (p<0,001). Waktu intubasi dengan  bougie dan purwarupa camera-bougie sebesar 18,81 (12,19) detik dan  7,0 (1,47) detik (p<0,001). Simpulan, purwarupa camera–bougie meningkatkan keberhasilan intubasi dan memperpendek waktu intubasi pada maneken simulasi kesulitan intubasi.Comparison of Success Rate and Duration of Intubation between Bougie and Bougie–Camera Prototype in Simulated Difficult Airway ManikinAirway management is fundamental for anesthesiologist. Fiberoptic is still the gold standard for difficult intubation but its expensive price and complicated handling limit its use. Bougie–camera prototype is one of the new modalities that is expected to overcome these limitations and bridge the gap between simple bougie and very sophisticated fiberoptic. The aim of this study was to compare the success rate and duration of intubation between bougie and bougie–camera prototype in simulated difficult airway manikin at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This experimental analytic study was conducted on 41 fifth semester anesthesiology residents of the Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran/Dr. Hasan Sadikin General Hospital who performed intubation with bougie and bougie–camera prototype alternately on  simulated difficult airway mannequin using permutation block randomization method. This study was held during the period of 16–24th of October 2018. The success rate and duration of intubation were recorded and analyzed statistically by Mc. Nemar and Wilcoxon tests. The rate of successful intubation with bougie was 39% and 100% with bougie–camera prototype (p<0.001). Duration of intubation with bougie and bougie–camera prototype  was 18.81 (12.19) seconds and 7.0 (1.47) seconds (p<0.001). The conclusion of this study is bougie–camera prototype increases the success rate of intubation and shortens the duration of intubation on simulated difficult airway on mannequin.
Efek Pemberian Magnesium Sulfat Intravena Perioperatif terhadap Nilai Visual Analog Scale (VAS) dan Kebutuhan Analgetik Pascabedah pada Pasien yang Menjalani Pembedahan Abdominal Ginekologi dengan Anestesi Umum Dhany Budipratama; U. Kaswiyan; Ike Sri Redjeki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.907 KB)

Abstract

Magnesium sulfat sebagai antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan penghambat saluran kalsium, memiliki efek antinosiseptif dan antihiperalgesia. Penelitian dilakukan secara acak, terkontrol, buta ganda bertujuan untuk menilai efek pemberian bolus magnesium sulfat intravena terhadap nilai visual analog scale (VAS) dan jumlah kebutuhan analgetik petidin pada 30 pasien wanita dengan status fisik ASA I–II, usia 18–60 tahun, yang akan menjalani operasi abdominal ginekologi elektif dengan anestesi umum di ruang operasi bedah sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Juni–September 2011. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yang akan mendapat bolus dan rumatan MgSO4 intravena (grup M) atau NaCl 0,9% (grup S). Hasil penelitian menunjukkan nilai VAS dan jumlah pemberian analgetik petidin pada grup M secara statistik lebih rendah dibandingkan dengan grup S (p<0,05). Simpulan penelitian adalah pemberian bolus magnesium sulfat intravena perioperatif mampu menunjukkan nilai VAS saat mobilisasi pascabedah yang lebih rendah serta mengurangi kebutuhan analgetik pertolongan petidin pada pasien pascabedah abdominal ginekologi dalam anestesi umum.Kata kunci: Analgetik pascabedah, magnesium sulfat, nilai VAS saat mobilisasi, operasi abdominal ginekologiThe Effect of Perioperative Magnesium Sulphate Infusion on VAS (Visual Analog Scale) Scores and Postoperative Analgesic Requirements in Patients Undergoing Gynaecological Abdominal Surgery with General AnaesthesiaMagnesium sulphate is N-methyl-D-aspartate (NMDA) receptor antagonist and calcium channel blocker with antinociceptive and antihyperalgesia effects. A randomized, double blind, controlled study was conducted to evaluate the effect of perioperative magnesium sulphate infusion on visual analog scale (VAS) scores and cumulative rescue analgesic petidin consumption in 30 ASA physical status I–II female patients, aged 18– 60 years, scheduled for gynaecological surgery under general anaesthesia in central operating theatre Dr. Hasan Sadikin Hospital-Bandung within June–September 2011. Subjects were divided into two groups that received either intravenous bolus and maintenance of MgSO4 (M group) or 0.9% normal saline (S group). The results showed that postoperative VAS score during movement and the number of analgesic pethidin were significantly lower in M group compared to S group (p<0.05). In conclusions, intravenous bolus of magnesium sulphate perioperative are able to demonstrate the lower value of VAS during mobilization and reducing the amount of analgesic rescue petidin postoperative abdominal gynaecological surgery. Key words: Abdominal gynaecological surgery, magnesium sulphate, VAS scores during movement DOI: 10.15851/jap.v1n2.122
PLASMAFARESIS PADA PASIEN STATUS EPILEPTIKUS AKIBAT ENSEFALITIS ANTI- NMDAR DI UNIT PERAWATAN INTENSIF Olivia Des Vinca; Nurita Dian Kestriani; Dhany Budipratama
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 8, No 1 (2020)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (428.474 KB) | DOI: 10.15851/jap.v8n1.1978

Abstract

Sejak tahun 2007 penyebab lain ensefalitis diketahui adalah autoimmun selain virus sebagai penyebab terbanyak (69%) dengan angka kematian di dunia 8–18,45%. Ensefalitis anti-NMDAR adalah ensefalitis autoimun akibat reaksi antibodi terhadap antigen membran ekstraseluler, subunit NR1, yaitu reseptor glutamat NMDA di sinapsis susunan saraf pusat. Kasus ensefalitis NMDAR sangat jarang dijumpai, berdasarkan penelitian yang teridentifikasi hanya 1% pasien usia 18–35 tahun yang dirawat di Unit Perawatan Intensif (UPI), namun dengan penatalaksanaan yang tepat dapat meningkatkan prognosis pasien. Pasien laki-laki, usia 36 tahun dikonsulkan ke UPI RSHS setelah 10 hari rawatan di Neuro High Care (NHC) pada bulan Agustus 2019 dengan penurunan kesadaran disertai riwayat kejang berulang dengan diagnosis ensefalitis anti-NMDAR. Kombinasi obat anti-viral, anti-epilepsi, dan metilprednisolon yang diberikan sebelumnya di ruangan tidak memberikan perbaikan klinis bermakna. Selama perawatan di UPI pasien diberikan terapi plasmafaresis dan menunjukkan perbaikan secara signifikan. Bangkitan kejang berulang dapat berupa kejang parsial, kejang generalisata dan status epileptikus. Manifestasi kejang diduga terjadi karena terbentuknya antibodi yang menyerang reseptor glutamat NMDA dengan target utama NR1. The American Society for Apheresis merekomendasikan plasmaferesis sebagai pilihan terapi utama. Simpulan, terapi plasmafaresis dalam tata laksana kasus ensefalitis anti- NMDAR merupakan pilihan tepat karena terbukti efektif dan efisien dalam perbaikan klinis pasien melalui mekanisme penurunan titer antibodi terhadap reseptor NMDA. Plasmapheresis in Patients of Epilepticus Status Patients Due to Anti-NMDAR Encephalitis in Intensive Care UnitsSince 2007 another known cause of encephalitis is autoimmune other than viruses as the most common cause (69%) with a mortality rate in the world of 8-18.45%. Anti-NMDAR encephalitis (n-Methyl-D-Aspartate receptor) is an autoimmune encephalitis due to an antibody reaction to the extracellular membrane antigen, NR1 subunit, the NMDA glutamate receptor at the synapses of the central nervous system. Cases of NMDAR encephalitis are very rare, based on studies that identified only 1% of patients aged 18-35 years who were treated in the Intensive Care Unit (ICU), but with proper management could improve the patient's prognosis.Male patient, 36 years old, was admitted to ICU RSHS after 10 days of treatment at Neuro High Care (NHC) in August 2019 with decreased consciousness accompanied by a history of recurrent seizures with a diagnosis of anti-NMDAR encephalitis. The combination of anti-viral, anti-epileptic, and methylprednisolone drugs given previously at NHC did not provide clinically meaningful improvement. During treatment at ICU, patients were given plasmafaresis therapy and showed significant improvement. Recurrent seizures can be partial seizures, generalized seizures and status epilepticus. Seizure manifestations are thought to occur due to the formation of antibodies that attack NMDA glutamate receptors with the main target NR1. The American Society for Apheresis recommends plasmapheresis as the main therapeutic choice. In conclusion, plasmafaresis therapy in the management of anti-NMDAR encephalitis cases is the right choice because it is proven effective and efficient in the clinical improvement of patients through the mechanism of decreasing antibody titers to NMDA receptors.
Terapi Nutrisi pada Pasien ICU Ibnu Ibnu; Dhany Budipratama; Tinni Maskoen
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 2 No. 3 (2014): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (334.081 KB) | DOI: 10.36408/mhjcm.v2i3.185

Abstract

Malnutrisi sering dikaitkan dengan peningkatan tingkat morbiditas dan mortalitas akibat perburukan sistem kekebalan tubuh, ketergantungan pada ventilator, tingginya angka infeksi, dan lamanya proses kesembuhan, sehingga menyebabkan lama perawatan memanjang dan meningkatkan biaya perawatan pasien. Klinisi harus mengetahui informasi yang benar tentang bagaimana cara mengatur nutrisi pada penderita sakit kritis karena dapat mempengaruhi outcome pasien ICU. Tujuan terapi nutrisi pada penderita sakit kritis adalah untuk menunjang proses metabolisme, bukan untuk memenuhi kebutuhannya saat itu. Karena penderita sakit berat tidak pada kondisi metabolik yang dapat untuk memetabolisme jumlah kalori total untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran energi