Indri Rooslamiati
Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PENETAPAN KADAR ARTEMISININ DALAM EKSTRAK HEKSAN TANAMAN Artemisia annua L. MENGGUNAKAN METODE DENSITOMETRI Isnawati, Ani; Rooslamiati, Indri
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 23, No 1 Mar (2013)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/3061

Abstract

Abstrak Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena angka kesakitan penyakit ini masih cukup tinggi. Kinin dan klorokuin masih merupakan obat malaria yang banyak digunakan masyarakat di dunia, namun telah mengalami resisten. Artemisinin dan derivatnya merupakan obat yang digunakan terhadap plasmodium yang resisten terhadap klorokuin. Artemisinin diperoleh dari ekstrak tanaman Artemisia Annua L. Tanaman ini berasal dari daratan China namun dapat dibudidayakan di BPTO Tawangmangu. Penetapan kadar artemisinin menggunakan metode densitometri yang telah divalidasi. Ekstraksi heksan Artemisia annua L dilakukan fraksinasi dengan menggunakan acetonitril. Fraksi acetonitril  di uji dengan menggunakan KLT dengan fasa diam silica gel 60 GF254 dan eluen hexan: etil asetat (4:1) guna mengidentifikasi artemisinin. Pemisahan lebih lanjut dilakukan dengan kromatografi kolom dengan fase diam silika gel dan fase geraknya yaitu n-heksan: etil asetat (4:1). Eluat yang diperoleh diujikan pada plat KLT silica gel 60 GF254 menggunakan eluen yang sama dengan sebelumnya. Eluat yang mempunyai Rf sama digabung menjadi satu fraksi dan ditetapkan kadar artemisinin menggunakan densitometri beserta validasi metodenya. Hasil validasi metode menunjukkan bahwa linearitas dengan koefisien korelasi 0,998, batas deteksi 0,028mg/mL dan batas kuantitasi 0,094mg/mL dan nilai simpangan baku relatif artemisinin memenuhi persyaratan untuk presisi yaitu lebih kecil dari 2%. Hasil perolehan kembali untuk artemisinin adalah 100,08%. Kadar artemisinin dalam ekstrak heksan herba Artemisia annua L dengan metode densitometri sebesar 0,46% dan kadar artemisinin dalam herba Artemisia annua L. 0,02% Kata Kunci: Artemisinin, Artemisia annua L, ekstrak heksan daun Artemisia annua L, Densitometri. Abstract Malaria desease is still problem health people in Indonesia, because morbiditas rate is high. Kinin and Klorokuin are used by most of people in the world, but it were resistance. Artemisinin and it’s derivate are used against resistance’s plasmodium. Artemisinin is isolation from Artemisia Annua L. plant. This is Chinese original plan but is cultivated in BPTO Tawangmangu. Artemisinin content determination in heksane extract from Artemisa annua using validated densitometry method. Artemisinin extract can be obtained by soxletasi using hexane and then fractionation was done by using acetonitril. This acetonitril extract is concentrated by rotary evaporator and artemisinin detection use thin layer chromatography with silica gel 60 GF 254 and eluen hexan :etil acetate (4:1). Separation was done by colloumm chromatography with silica gel and eluen hexane : etil acetate (4:1). Eluat which is content artemisinin determinated with the same way. Eluat with same Rf is fused and determination content using validated densitometry method. The validation result showed that linieritas with correlation coefficient is 0,9998, detection limit is 0,028 mg/ml, detection quantitation limit is 0,094 mg/ml, and deviation relative at least 2%. Recovery result artemisinin is 100,08%. Artemisinin content in heksane extract from Artemisia annua L with denisitometry method is 0,0850 grm and Artemisinin content in Artemisia annua L plant is 0,02% Key words: Artemisinin, Artemisia annua L, hexane extract Artemisia annua L, Densitometry method
RASIONALISASI PENGGUNAAN OBAT SIMPTOMATIK DAN OBAT LAIN YANG DIBERIKAN BERSAMAAN DENGAN OBAT ARTESUNATE-AMODIAKUIN PADA SUBYEK MALARIA DI DELAPAN PUSKESMAS SENTINEL KALIMANTAN DAN SULAWESI Isnawati, Ani; Gitawati, Retno; Tjitra, Emiliana; Rooslamiati, Indri; Raini, Mariana; -, Delima
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 3 Sept (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i3 Sept.94.

Abstract

Background. Since 2004, Malaria Program in Indonesia has used Artemisinin Combination Therapy (ACT) to replace the chloroquine resistance. The recommended ACT is Artesunate dan Amodiaquine (AAQ) combination for uncomplicated falciparum malaria. To relieve side effects and clinical complaints of malaria , health workers usually gave  symptomatic and other drugs in addition to antimalarial drugs. Methods. The methodology implemented in this study was a cross-sectional study to evaluate symptomatic and other drugs given together with antimalarial (AAQ) to uncomplicated malaria subjects (patients) infected by falciparum, vivax and mixed (falciparum dan vivax) plasmodium. Data were collected from case report form in 6 months (July to December 2010) from 8 (eight) sentinels puskesmas (primary health centers) in North Sulawesi, Central Sulawesi, West Kalimantan and East Kalimantan. Results. Total number of cases (89,4%) were given symptomatic and other drugs in addition to antimalarial drugs. Symptomatic and other drugs that mostly given were antipyretic/analgesic (90.8%) and vitamin-mineral (70%). There seemed to be over-use of vitamin-minerals since the indication to giving those medications were not quite clear. Antibiotics were mostly given to subjects with gastrointestinal complaints such as nausea, vomiting, and abdominal pain. The administration of antibiotic for non-bacterial infection were  irrational. Antihistamines were given to 94,3% subjects without cold and flu, and this cases also be defined as inappropriate use of medicine. In addition, antacids were also given to 12,5 %  subjects  without gastrointestinal complaints to anticipate side effects of antimalarial. AbstrakLatar belakang.Tahun 2004 Program Pemberantasan Malaria mulai menggunakan ACT menggantikan klorokuin yang telah resisten. ACT yang direkomendasikan adalah kombinasi Artesunat dan Amodiakuin (AAq), untuk malaria falsiparum tanpa komplikasi. Untuk mengatasi efek samping obat malaria dan untuk mengurangi gejala klinik akibat penyakit malaria serta gejala klinik penyakit penyerta, maka tenaga kesehatan (Nakes) akan memberikan obat simtomatik atau obat lain selain obat malaria. Pemberian obat kadang-kadang tidak hanya satu jenis tetapi berupa kombinasi dari beberapa jenis obat. Metode.Desain penelitian cross-sectional (potong lintang) dengan jenis penelitian observasional non intervensi, untuk mengetahui obat simtomatik atau obat lain yang diberikan tenaga kesehatan selain obat terapi malaria dengan Artesunat-Amodiakuin (AAq). Subyek penelitian adalah semua pasien yang didiagnosis malaria falsiparum, vivaks dan infeksi campuran (falsiparum dan vivaks) tanpa komplikasi Pelaksanaan pengumpulan data dimulai dari bulan Juli sampai dengan awal Desember 2010. Tempat penelitian dilakukan di empat provinsi yaitu provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Hasil.  Obat simtomatik paling banyak diberikan oleh Nakes adalah Antipiretik/analgesik sebesar 90,8% dan vitamin-mineral (70%). Vitamin-mineral diberikan tanpa indikasi jelas dan cenderung berlebihan.  Antibiotik  banyak diberikan pada subyek untuk indikasi gangguan saluran cerna (mual, muntah, nyeri abdomen) non-infeksi bakteri adalah cenderung tidak rasional. Antihistamin tercatat diberikan pada subyek tanpa keluhan batuk pilek dan ini termsuk pemberian obat yang tidak tepat. Ditemukan pemberian antasida dan antiemetik untuk subyek tanpa keluhan gangguan saluran cerna dalam upaya mengantisipasi efek samping obat malaria.
Kerasionalan Penggunaan Obat Diare yang Disimpan di Rumah Tangga di Indonesia Raini, Mariana; Gitawati, Retno; Rooslamiati, Indri
Jurnal Kefarmasian Indonesia VOLUME 5, NOMOR 1, FEBRUARI 2015
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/jki.v5i1.3473

Abstract

Diarrhea is a major health problem in developing countries. WHO data showed diarrhea caused the death of 2.5 million people, 80% are children under five years old. Riskesdas 2013 stated the prevalence of diarrhea in Indonesia is 7%, whereas 12.2% of it are children under five years old. Self-medication is common and access for the medicine is easy. This analysis aims to assess the rational use of diarrhea medication stored in households. The rational drug used is associated with the mother's education level and household ownership quintile. This study design is cross sectional. The data was taken from Riskesdas 2013 namely type of medicines (data from block VI), mother’s education level data (from block IV) and economic status presented as household ownership quintile level (data from block IX). The result showed that the highest percentage of diarrhea drugs stored at household is adsorbents (40.4%), followed by antibiotic (22.4%) and traditional medicine (18.5%). Rationality of diarrhea medications stored in households is 74.7% and irrational (25.3)%). Wealthy people (quintiles 4 and 5) are 2.019 times more rational compared with the poor (quintiles 1, 2 and 3), while mothers with a good education (high school and above) are 1.944 times more rational in using medicine for diarrhea treatment compared with mothers with low education (below high school).