Delima -, Delima
Applied Technology Research Center for Health and Clinical Epidemiology

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Hipertensi dan Diabetes Mellitus pada Wanita Usia Subur (WUS) di Daerah Urban di Indonesia -, Delima; Isnawati, Ani; Raini2, Mariana
Jurnal Biotek Medisiana Indonesia Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : Central Basic Biomedical and Health Technology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (349.329 KB)

Abstract

Maternal mortality in Indonesia is still high. Gestational hypertension and diabetes mellitus are among the causes. Hypertension and diabetes mellitus in reproductive age women impact the gestation and the delivery. The objectives of this analysis on Riskesdas (National Basic Health Research) 2007 data were getting the percentage of hypertension and diabetes mellitus in reproductive age women in Indonesian urban in 2007.Analysis was done descriptively and analytically using Riskesdas 2007 community and biomedical data, i.e. blood pressure and blood glucose level. Total samples were 99 649 community samples and 8 951 biomedical samples. The results showed there were 10.2 % pregnant women aged 15-49 years old in Indonesian urban had hypertension and 4.9 % had diabetes mellitus, while 23.6 % of unpregnant women had hypertension and 4.0 % had diabetes mellitus. Three provinces with highest percentage of hypertension in unpregnant women were in Gorontalo, North Sulawesi, and South Kalimantan and highest percentage of diabetes mellitus were NAD, North Maluku, and Bangka Belitung. Unpregnant reproductive age women with DM had 2.3 times higher risk to have hypertension (adjusted prevalence OR=2.3; 95 % CI 1.82 % -2.99 %).Key words: reproductive age women, hypertension, diabetes mellitus, National Basic Health Research (Riskesdas) AbstrakAngka kematian maternal di Indonesia masih tinggi. Salah satu penyebabnya adalah hipertensi dan diabetes melitus pada masa kehamilan. Hipertensi dan diabetes melitus pada wanita usia subur dapat memengaruhi kehamilan dan persalinan. Analisis lanjut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 ini bertujuan menghitung persentase hipertensi dan diabetes melitus pada wanita usia subur di daerah urban Indonesia pada tahun 2007. Data Riskesdas 2007 bagian kesehatan masyarakat dan biomedik (kadar gula darah) dianalisis secara deskriptif dan analitik. Total sampel data kesehatan masyarakat sebanyak 99649 dan data biomedik sebanyak 8.951. Hasil analisis menunjukkan persentase hipertensi dan diabetes melitus pada wanita hamil usia 15-49 tahun di daerah urban Indonesia sebesar 10,2 % dan 4,9 %, sedangkan pada wanita yang tidak hamil sebesar 23,6 % dan 4,0 %. Tiga provinsi dengan persentase hipertensi tertinggi pada wanita tidak hamil adalah Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Selatan, sedangkan provinsi dengan proporsi diabetes melitus tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Maluku Utara, dan Bangka Belitung. Wanita usia subur tidak hamil dengan diabetes mellitus mempunyai risiko 2,3 kali lebih tinggi untuk mengalami hipertensi (OR suaian= 2,3; 95% CI 1,82-2,99).Kata kunci: wanita usia subur, hipertensi, diabetes mellitus, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
Respon Klinis dan Parasitologis Dihidroartemisinin - Piperakuin pada Subyek Malaria Falsiparum dan Malaria Vivaks pada Hari Ke-3 Kunjungan Ulang Risniati, Yenni; Hasugian, Armedy Ronny; Siswantoro, Hadjar; Avrina, Rossa; Tjitra, Emiliana; -, Delima
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 4 Des (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i4 Des.79.

Abstract

Background: Clinical and parasitological response of malaria treatment on day 3 follow-up (D3) is a crucial condition to predict the successful of treatment. D3 is a period time that Early Treatment Failure may happen which may cause severe or complicated malaria. Moreover, if the asexual parasitemia is still detected more than 10% study subjects, it is assumed parasites resistance against artemisinin. Methods: Analysis used data from Monitoring Drug Resistance In Subject With P.falciparum And P.vivax Malaria In  Kalimantan And Sulawesi. Clinical data was gotten from anamnesis to identify clinical symptoms and physical examination including vital and clinical signs that was notified in case report form (CRF). Parasitological data was cross check examination from NIHRD microscopist for parasite density, and PCR examination result for Plasmodium detection and speciation that were recorded in log book and/or CRF. Clinical and parasitological response of DHP was examined with compared the condition of falciparum and vivax malaria on D0 (before treatment) and D3 (after 3 days treatment with completed dose). Result: Total malaria subject that were analyzed 206 subject, that were 119 falciparum malaria and 87 vivax malaria. Proportion subject falciparum and vivax malaria with clinical symptoms deceased significantly on D3 (p<0.05), accepted diarrhea on subject with vivax malaria. Proportion clinical signs also decreased significantly on D3, accepted dyspneu on falciparum malaria subject. From 206 malaria subject, only 1 subject (0,8%) with falciparum malaria that still was found asexual parasite with low density (10/ul). Proportion subject with gametocyte also decreased significantly on falciparum malaria (p=0,000) and vivax malaria (p=0,000). Conclusion: Clinical and parasitological response of DHP in falciparum and vivax subjects was excellent by D3. Only one falciparum malaria subject (0,8%) was still detected asexual parasitemia with the density of 10/ul.   DHP has rapid action and no clear  signs artemisinin resistance.AbstrakLatar belakang: Respon klinis dan parasitologis pengobatan malaria pada hari ke 3 kunjungan ulang (H3), merupakan keadaan yang penting untuk memprediksi keberhasilan pengobatan. H3 merupakan kurun waktu yang memungkinkan terjadinya kegagalan pengobatan dini (Early Treatment Failure) yang dapat megakibatkan malaria berat atau malaria dengan komplikasi. Selain itu apabila parasitemia masih terdeteksi pada H3 sebanyak ?10% dapat sebagai tanda sudah terjadi resisten parasit terhadap derivat artemisinin. Metode: Analisis menggunakan data Monitoring Pengobatan malaria dengan DHP di Kalimantan dan Sulawesi. Data klinis merupakan hasil anamnesis untuk mengidentifikasi gejala klinis, dan pemeriksaan fisik termasuk tanda vital dan tanda klinis yang tercatat di formulir rekam medis subyek. Sedangkan data parasitologis merupakan data hasil pemeriksaan cek silang mikroskopis untuk kepadatan parasit, dan hasil PCR untuk deteksi dan spesiasi Plasmodium yang tercatat di log book dan/atau di formulir rekam medis subyek. Respon klinis dan respon parasitologis DHP dinilai dengan membandingkan keadaan subyek malaria falsiparum dan malaria vivaks pada H0 (sebelum pengobatan) dengan H3 (pada hari setelah pengobatan dengan dosis lengkap 3 hari). Hasil: Jumlah subyek malaria yang dianalisis adalah 206 yaitu 119 malaria falsiparum dan 87 malaria vivaks. Gejala klinis subyek malaria falsiparum dan malaria vivaks yang mendapat pengobatan DHP berkurang proporsinya secara bermakna pada H3  (p<0,05),  kecuali diare pada subyek malaria vivaks. Demikian pula tanda klinis berkurang proporsinya secara bermakna pada H3  (p<0,05), kecuali  sesak nafas pada subyek malaria falsiparum. Dari total 206 subyek malaria, hanya satu kasus (0,8%) malaria falsiparum yang masih terdeteksi parasit aseksualnya dengan kepadatan rendah (10/ul).  Proporsi subyek dengan gametositemia juga menurun bermakna pada malaria falsiparum (p=0,000) dan malaria vivaks (p=0,000). Kesimpulan: Respon klinis dan parasitologis DHP pada subyek malaria falsiparum dan malaria vivaks sangat baik di H3. Hanya satu subyek malaria falsiparum (0,8%) yang  masih terdeteksi aseksual parasitemia dengan kepadatan 10/ul. DHP cepat kerjanya dan belum ada tanda yang jelas parasit resisten artemisinin
DETEKSI DAN SPESIASI PARASIT MALARIA SAMPEL MONITORING PENGOBATAN DIHYDROARTEMISININ-PIPERAQUINE DI KALIMANTAN DAN SULAWESI: MIKROSKOPIS VS POLYMERASE CHAIN REACTION Herman, Reni; Ariyanti, Endah; Salwati, Ervi; -, Delima; Tjitra, Emiliana
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 3 Sept (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i3 Sept.91.

Abstract

In monitoring the treatment of malaria with Dihydroartemisinin-piperaquine (DHP), microscopic cross check and Polymerase Chain Reaction (PCR) performed to validate the results of laboratory examinations in the field. This study used finger prick samples from subjects with a diagnosis of malaria in monitoring the treatment of malaria with DHP in Kalimantan and Sulawesi. Samples taken at day 0, blood smears made on slides for microscopic and blood spot on filter paper for PCR examination. The PCR method used is a single-round multiplex polymerase chain reaction that has been modified, the examination of each species carried out in different tubes to distinguish the species P. falciparum or P. Vivax. Target of DNA amplification is a species-specific gene sequences in the small-subunit ribosomal RNA (SSUrRNA), 300 bp for P. falciparum and 276 bp for P.vivax.  P. falciparum and P.vivax identified in 229 samples of blood smears and blood spots. Microscopic and PCR gave the same results, positive 93.4% and negative 6.6% with a sensitivity of  99% and specificity 93.3%. P.falciparum sensitivity and specificity of 92% and 99%, P.vivax 97% and 94%, PCR as a gold standard. There are differences in the results of examination of 5 samples, ie with microscopic examination identified as P.vivax  while the PCR as P. falciparum. In this study, identification of  the microscopic parasite similar to the results of identification by PCR, but differ in determining the types of parasites. In general, the ability to microscopic diagnosis of malaria is very good, but confirmation by PCR is still needed.AbstrakPada monitoring pengobatan malaria  dengan Dihydroartemisinin-piperaquine (DHP),cek silang mikroskopis dan Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan untuk memvalidasi hasil pemeriksaan di laboratorium lapangan. Penelitian ini menggunakan sediaan darah jari dari subyek dengan diagnosis malaria pada monitoring pengobatan malaria dengan DHP di Kalimantan dan Sulawesi. Sampel diambil pada hari 0, dibuat sediaan apus darah pada kaca benda dan sediaan tetes darah (Blood spot) pada kertas saring. Terhadap sediaan apus darah dilakukan pemeriksaan mikroskopis, dan terhadap sediaan tetes darah dilakukan pemeriksaan PCR. Metode PCR yang digunakan adalah multiplex single round Polymerase Chain Reaction yang telah dimodifikasi, pemeriksaan masing-masing spesies dilakukan pada tabung yang berbeda untuk membedakan spesies P.falciparum atau P. Vivax. Target amplifikasi DNA adalah gen species-specific sequences pada small-subunit ribosomal RNA (SSUrRNA), 300 bp untuk P.falciparum dan P.vivax. P.falciparum dan P.vivax diidentifikasi pada 229 sampel berupa sediaan apus darah pada kaca benda dan blood spot. Hasil identifikasi dengan mikroskopis dan PCR, sampel positif 93,4% dan negatif 6,6% dengan  sensitifitas 99% dan spesifisitas 93,3%. Sensitifitas dan spesifisitas P.falciparum adalah 92% dan 99%, P.vivax 97% dan 94%, dihitung dengan PCR sebagai baku standar. Terdapat perbedaan hasil pemeriksaan terhadap 5 sampel, yaitu dengan pemeriksaan mikroskopis diidentifikasi sebagai P.vivax sementara pada pemeriksaan PCR sebagai P.falciparum. Pada penelitian ini, hasil identifikasi parasit dengan mikroskopis sama dengan hasil identifikasi dengan PCR, namun berbeda pada penentuan jenis parasit. Secara umum kemampuan tenaga mikroskopis pusat untuk menegakkan diagnosis malaria sudah sangat baik, namun untuk penentuan jenis Plasmodium masih memerlukan konfirmasi PCR.
HUBUNGAN KEPADATAN PARASIT DENGAN MANIFESTASI KLINIS PADA MALARIA Plasmodium FALCIPARUM DAN Plasmodium VIVAX Avrina, Rossa; Risniati, Yenni; Siswantoro, Hadjar; Hasugian, Armedy Ronny; Tjitra, Emiliana; -, Delima
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 3 Sept (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i3 Sept.93.

Abstract

Malaria is still a public health problem in Indonesia. The clinical manifestation of malaria is varied, and many factors may influence its clinical manifestation. Despite the species of malaria, density of parasitemia is known related to the severity or malignancy of malaria. It is worth to analyse the clinical and laboratory data of malaria cases in monitoring dihydroartemisinin-piperaquine (DHP) treatment. The extended analysed was done to assess the relationship between density of parasitemia and clinical manifestations. A subset data of monitoring DHP treatment in subjects with uncomplicated falciparum and vivax malaria in Kalimantan and Sulawesi which were consist of clinical and laboratory day-0 data was used in analysing. Clinical data were recorded through anamnesis and physical examination. Parasite density was counted by health centre microscopist and then cross-checked by certified microscopists of the Natiional Institute of Health Reseach and Development. Haemoglobin level was also measured  by health centre analyst using the existing Sahli hemoglobinmeter. For parasite density category, median is used for cut off point. In P.falciparum malaria, the cut off point is 5588/µl  and in P.vivax malaria is 3375/µl.  The relationship between parasite density and clinical manifestation in falciparum and vivax malaria was determined by bivariate and multivariate analysis with logistic regression using SPSS 17 software. The most of subject with P.falciparum and P.vivax malaria are children (<15 yeras old), male, and non indigenous. From analysis bivariate, variabels that can be analyzed by multivariate in P.falciparum malaria (p<0,25) are children under 15 years old (p=0,0 12) and Sulawesi island where subject live(p=0,163) and In P.vivax malaria is children under 15 years old (p=0,218). Because of other variables are considered biologicaly related to parasite density, therefore all variabel are analyzed with multivariate. From multivariate analysis, there is significant relationship between parasite density and chidren under 15 years old in P.falciparum malaria (OR = 0,4, CI95%= 0,2-1,0). In P.vivax malaria, parasite density is related to children under 15 years old (OR = 0,6, CI 95% =0,2-1,9), haemoglobin level under 11gr/dl (OR= 1,4, CI 95%= 0,5-3,8), non indigenous OR= 0,3, CI 95%= 0,1-1,2) and the sum of clinical symptom <7  (OR=0,7, CI 95%=0,3-1,9). Parasite density is not related with clinical manifestation in P.falciparum malaria.. Parasite density is related to children under 15 years old significantly in P.falciparum malaria. In P.vivax malaria, parasite density are related to children under 15 years old, anemia, non indigenous, and the sum of clinical symptom <7. But the relationship  isn?t significant. AbstrakMalaria merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Gejala/manifetasiklinis malaria bervariasi dan banyak faktor yang dapat mempengaruhi beratnya manifestasi tersebut. Selain spesies dari malaria, kepadatan parasit diketahui berhubungan dengan berat atau keparahan malaria. Untuk itu penting menaganalisa data klinik dan laboratorium dari subyek malaria pada monitoring pengobatan DHP. Bagian Data dari Monitoring drug resistance in subject with P.falciparum and P.vivax malaria in  Kalimantan and Sulawesi, Indonesia yang terdiri dari klinis dan laboratorium hari 0 dianalisa. Data klinis diambil melaluli anamnesa dan pemeriksaan fisik. Kepadatan parasit diperiksa oleh petugas mikroskopis Puskesmas dan di cek silang oleh petugas mikroskopis bersertifikasi di Badan Litbangkes. Data laboratorium lain yaitu kadar hemoglobin diperiksa oleh analis di Puskesmas menggunakan hemogobinmeter Sahli. Untuk pengelompokkan variabel kepadatan parasit , nilai median diambil sebagai cut off. Pada  malaria P.falciparum cut off nya adalah 5588/µl, dan pada malaria P.vivax adalah 3375/µl.  Hubungan antara kepadatan parasit dan manifestasi klinis pada malaria P.falciparum dan P.vivax ditentukan dengan analisis bivariat dan multivariat menggunakan regresi logistik dengan program SPSS 17.Subyek terbanyak pada malaria P.falciparum dan P.vivax adalah anak-anak (<15tahun), berjenis kelamin laki-laki, dan merupakan pendatang. Pada analisis bivariat,  variabel yang dapat  dianalisis multivariat pada malaria P.falciparum (p<0,25) adalah anak-anak yang berusia kurang 15 tahun  (p=0,012) dan pulau Sulawesi sebagai tempat tinggal subyek (p=0,163), sedangkan pada malaria P.vivax adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun(p= 0,218). Namun karena variabel-variabel lainnya dianggap berpengaruh secara biologis terhadap kepadatan parasit, maka semua variabel masuk kedalam analisis multivariat. Hasil dari analisis multivariat terlihat bahwa kepadatan parasit pada malaria P.falciparum berhubungan signifikan dengan anak ?anak yang berusia kurang dari 15 tahun (OR = 0,4, CI95%= 0,2-1,0). Pada malaria P.vivax, kepadatan parasit berhubungan dengan anak ?anak yang berusia kurang dari 15 tahun (OR = 0,6, CI 95% =0,2-1,9), kadar hemoglobin kurang dari 11gr/dl (OR= 1,4, CI 95%= 0,5-3,8), pendatang (OR= 0,3, CI 95%= 0,1-1,2) dan jumlah gejala klinik sedikit (OR=0,7, CI 95%=0,3-1,9). Namun hubungannya tidak bermakna. Pada malaria P.falciparum, kepadatan parasit tidak berhubungan dengan manifestasi klinis. Kepadatan parasit behubungan bermakna dengan anak- anak yang berusia kurang dari 15 tahun pada malaria  P.falciparum.  Pada malaria P.vivax, kepadatan parasit berhubungan dengan anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun, anemia, pendatang, dan jumlah gejala klinik. Namun hubungan variabel-variabel tersebut tidak bermakna.
RASIONALISASI PENGGUNAAN OBAT SIMPTOMATIK DAN OBAT LAIN YANG DIBERIKAN BERSAMAAN DENGAN OBAT ARTESUNATE-AMODIAKUIN PADA SUBYEK MALARIA DI DELAPAN PUSKESMAS SENTINEL KALIMANTAN DAN SULAWESI Isnawati, Ani; Gitawati, Retno; Tjitra, Emiliana; Rooslamiati, Indri; Raini, Mariana; -, Delima
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 3 Sept (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i3 Sept.94.

Abstract

Background. Since 2004, Malaria Program in Indonesia has used Artemisinin Combination Therapy (ACT) to replace the chloroquine resistance. The recommended ACT is Artesunate dan Amodiaquine (AAQ) combination for uncomplicated falciparum malaria. To relieve side effects and clinical complaints of malaria , health workers usually gave  symptomatic and other drugs in addition to antimalarial drugs. Methods. The methodology implemented in this study was a cross-sectional study to evaluate symptomatic and other drugs given together with antimalarial (AAQ) to uncomplicated malaria subjects (patients) infected by falciparum, vivax and mixed (falciparum dan vivax) plasmodium. Data were collected from case report form in 6 months (July to December 2010) from 8 (eight) sentinels puskesmas (primary health centers) in North Sulawesi, Central Sulawesi, West Kalimantan and East Kalimantan. Results. Total number of cases (89,4%) were given symptomatic and other drugs in addition to antimalarial drugs. Symptomatic and other drugs that mostly given were antipyretic/analgesic (90.8%) and vitamin-mineral (70%). There seemed to be over-use of vitamin-minerals since the indication to giving those medications were not quite clear. Antibiotics were mostly given to subjects with gastrointestinal complaints such as nausea, vomiting, and abdominal pain. The administration of antibiotic for non-bacterial infection were  irrational. Antihistamines were given to 94,3% subjects without cold and flu, and this cases also be defined as inappropriate use of medicine. In addition, antacids were also given to 12,5 %  subjects  without gastrointestinal complaints to anticipate side effects of antimalarial. AbstrakLatar belakang.Tahun 2004 Program Pemberantasan Malaria mulai menggunakan ACT menggantikan klorokuin yang telah resisten. ACT yang direkomendasikan adalah kombinasi Artesunat dan Amodiakuin (AAq), untuk malaria falsiparum tanpa komplikasi. Untuk mengatasi efek samping obat malaria dan untuk mengurangi gejala klinik akibat penyakit malaria serta gejala klinik penyakit penyerta, maka tenaga kesehatan (Nakes) akan memberikan obat simtomatik atau obat lain selain obat malaria. Pemberian obat kadang-kadang tidak hanya satu jenis tetapi berupa kombinasi dari beberapa jenis obat. Metode.Desain penelitian cross-sectional (potong lintang) dengan jenis penelitian observasional non intervensi, untuk mengetahui obat simtomatik atau obat lain yang diberikan tenaga kesehatan selain obat terapi malaria dengan Artesunat-Amodiakuin (AAq). Subyek penelitian adalah semua pasien yang didiagnosis malaria falsiparum, vivaks dan infeksi campuran (falsiparum dan vivaks) tanpa komplikasi Pelaksanaan pengumpulan data dimulai dari bulan Juli sampai dengan awal Desember 2010. Tempat penelitian dilakukan di empat provinsi yaitu provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Hasil.  Obat simtomatik paling banyak diberikan oleh Nakes adalah Antipiretik/analgesik sebesar 90,8% dan vitamin-mineral (70%). Vitamin-mineral diberikan tanpa indikasi jelas dan cenderung berlebihan.  Antibiotik  banyak diberikan pada subyek untuk indikasi gangguan saluran cerna (mual, muntah, nyeri abdomen) non-infeksi bakteri adalah cenderung tidak rasional. Antihistamin tercatat diberikan pada subyek tanpa keluhan batuk pilek dan ini termsuk pemberian obat yang tidak tepat. Ditemukan pemberian antasida dan antiemetik untuk subyek tanpa keluhan gangguan saluran cerna dalam upaya mengantisipasi efek samping obat malaria.