Pujiyono Pujiyono
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA MAKAR DI INDONESIA Jeremia Ganesh; Nyoman Serikat Putra Jaya; Pujiyono Pujiyono
Diponegoro Law Journal Vol 8, No 3 (2019): Volume 8 Nomor 3, Tahun 2019
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (365.597 KB)

Abstract

Makar (aanslag) diterjemahkan dari Bahasa Belanda lahir disaat Pemerintah Belanda mensiasati keajegan sosial yang pada masa itu dikenal sebagai perbuatan memisahkan diri dari sebuah bangsa, menjatuhkan pemerintahan, dan/ atau kejahatan terhadap Negara (Rebellion dan Insurrection). Ekspansi yang dilakukan Pemerintah Belanda kepada Negara jajahan dalam hal ini Indonesia pun disiasati dengan upaya yang sama mengacu pada Anti Revolutie Wet 1920 (Staatblad 619) dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS). Dalam pengaturannya di Indonesia yang ditunagkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tidak jauh berbeda dengan WvS yakni tidak dirubah secara substansi makan perbuatan Makar, karena dalam pengaturan tersebut hanya merubah istilah Raja dan Ratu menjadi Presiden dan Wakil Presiden, begitupula pada pembaharuannya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan kriminal baik secara penal maupun non penal sebagai upaya dalam menanggulangi tindak Pidana Makar di Indonesia saat ini, dan mengetahui bagaimana formulasi pembaharuannya pada masa yang akan datang dalam menanggulangi Tindak Pidana Makar sesuai kondisi hukum, sosial dan politik. Penelitian ini termasuk penelitian yuridis-normatif. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian, penulis melihat tidak terjadi kesinambungan dan sinergitas antara kebijakan kriminal dengan kondisi hukum, sosial dan politik dalam menanggulangi Tindak Pidana Makar di Indonesia
OPTIMALISASI MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA DI LUAR PENGADILAN Fry Anditya Rahayu Putri Rusadi; Pujiyono Pujiyono
Jurnal Ilmu Hukum Vol 10, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (281.934 KB) | DOI: 10.30652/jih.v10i1.8088

Abstract

Konsep mediasi penal merupakan penyelesaian damai kasus tindak pidana yang sangat ideal. Akan tetapi dalam praktiknya mediasi penal sulit dilaksakan, banyak faktor-faktor penghambat terlaksananya mediasi penal. Penelitian ini akan mengkaji permaslahan mengenai bagaimana optimalisasi pelaksanaan mediasi penal di Indonesia? Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan mendasarkan analisisnya pada peraturan perundang-undanagan, dengan menggunakan data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa penyelesaian perkara tindak pidana melalui konsep mediasi penal dapat dioptimalisasikan menjadi alternatif dalam menyelesaikan perkara tindak pidana di luar pengadilan di Indonesia. Bentuk penyelesaian mediasi penal melalui mekanisme musyawarah antara para pihak baik itu pelaku dan korban yang ditengahi oleh mediator selanjutnya dimintakan perdamaian pada untuk mengakhiri konflik. Ada dua konsep sebagai upaya untuk optimalisasi mediasi penal di Indonesia penyelesaian dengan menggunakan lembaga hukum adat di tengah masyarakat dan konsep yang kedua yaitu menjadikan konsep pertama sebagai bagian dari proses sistem peradilan pidana (SPP) di Indonesia.
Tindak Pidana Korupsi oleh Pejabat Negara Perspektif Hukum Pidana Politik Anton Jaksa Trisakti; Pujiyono Pujiyono
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 11 No 4 (2022)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2022.v11.i04.p06

Abstract

Political crimes or political criminal law in Indonesia are known in the Criminal Code, namely crimes against state security in Book Two of Chapter I. Meanwhile, the notion of political crime in Indonesia has not been explicitly defined in the legislation, giving rise to a wide understanding of the forms of political crimes. Corruption is a white-collar crime, it is necessary to study from the perspective of political criminal law whether corruption by state officials is a political crime. The purpose of this paper is to see whether a criminal act of corruption is a political crime and how is the punishment of criminal acts of corruption by state officials in the perspective of political criminal law. Normative juridical writing method with a conceptual approach. This study found that corruption by state officials is a political crime according to the categorization of the concept of political crime proposed by Dionysios Spinellis, namely crimes committed by power holders in accordance with Law Number 31 of 1999 concerning Corruption Crimes (UUTPK) Article 3 which states that the crime of corruption is a criminal act committed by a person who with the authority of his position or position is detrimental to state finances or the state economy. The punishment of a state official who commits a political crime, in this case a criminal act of corruption, may be subject to the provisions of Article 3 of the Corruption Crime Act in the form of imprisonment and/or a fine. Kejahatan politik atau hukum pidana politik di Indonesia dikenal dalam KUHP yaitu tindak pidana terhadap keemanan negara pada Buku Kedua Bab I. Sedangkan pengertian kejahatan politik di Indonesia belum didefiniskan secara eksplisit dalam perundang-undangan sehingga menimbulkan pemahaman yang begitu banyak mengenai bentuk dari kejahatan politik. Tindak Pidana Korupsi merupakan kejahatan kerah putih, maka perlu dikaji dari perspektif hukum pidana politik apakah kejatan korupsi oleh pejabat negara merupakn kejahatan politik. Tujuan penulisan ini untuk melihat apakah suatu tindak pidana korupsi merupakan kejahatan politik dan bagaimana pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi oleh pejabat negara dalam perspektif hukum pidana politik. Metode penulisan yuridis normatif dengan pendekatan konseptual. Penelitian ini menemukan bahwa korupsi oleh pejabat negara merupakan kejahatan politik sesuai ketegorisasi konsep kejahatan politik yang dikemukan Dionysios Spinellis, yaitu kejahatan dilakukan pemegang kekuasaan sesuai dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) Pasal 3 yang berbunyi bahwa tindak pidana korupsi merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang dengan kewenangan jabatan atau kedudukannya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pemidanaan terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana politik dalam hal ini tindak pidana korupsi dapat dikenakan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi berupa pidana penjara dan/atau pidana denda.
KEBIJAKAN PELAKSANAAN DIVERSI SEBAGAI PERLINDUNGAN BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM PADA TINGKAT PENUNTUTAN DI KEJAKSAAN NEGERI KUDUS Adi Hardiyanto Wicaksono; Pujiyono Pujiyono
LAW REFORM Vol 11, No 1 (2015)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (168.654 KB) | DOI: 10.14710/lr.v11i1.15752

Abstract

Anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara perlu mendapatkan perlindungan. Perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum dalam suatu sistem peradilan pidaana anak dilakukan melalui proses diversi yang berorientasi pada keadilan restorative. Pelaksanaan diversi diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang wajib dilakukan pada setiap tingkatan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri dengan ketentuan yang diatur dalam UU SPPA ini. Penelitian menganalisis kebijakan formulasi hukum pidana tentang diversi sebagai perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum dalam hukum positif Indonesia, bagaimana implementasi diversi sebagai suatu perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum pada tingkat penuntutan serta kendala-kendala apa yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan diversi di tingkat penuntutan dan upaya untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. Metode pendekatan penelitian  yuridis empiris dan data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kebijakan formulasi hukum pidana tentang diversi sebagai perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum dalam hukum positif Indonesia yaitu dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berorientasi pada suatu keadilan restoratif telah sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Konvensi Hak-Hak Anak dan dalam pelaksanaan upaya diversi khususnya pada tingkat penuntutan telah menuju ke arah yang lebih baik dengan keluarnya Peraturan Jaksa Agung Nomor : 006/PER-006/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan yang menjadi pedoman bagi jaksa dalam melakukan upaya diversi. Namun demikian dalam pelaksanaan upaya diversi tersebut yang masih terdapat kendala-kendala yang timbul baik yang sifatnya yuridis maupun teknis diantaranya kurangnya sosialisasi peraturan pemerintah mengenai pedoman pelaksanaan diversi yang baru dikeluarkan, kurangnya pemahanan para pihak mengenai pelaksanaan diversi serta kurangnya keahlian jaksa anak untuk memahami dan mengerti nilai-nilai dalam menerapkan konsep diversi yang berorientasi pada pendekatan restoratif justice sehingga untuk mengatasi kendala-kendala tersebut diperlukan perhatian dari pemerintah untuk segera mengeluarkan peraturan pelaksana yang berkaitan dengan pelaksanaan diversi, serta adanya sosialisasi bagi para pihak mengenai diversi dan diperlukan adanya pendidikan dan pelatihan khusus tentang penanganan anak yang berkonflik dengan hukum bagi para jaksa anak pada khususnya.