Teti Madiadipoera
Unknown Affiliation

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Makrolid menurunkan IL-8 sekret hidung dan meningkatkan fungsi penghidu pada rinosinusitis kronik tanpa polip Edo Wira Candra; Teti Madiadipoera; Iwin Sumarman; Sinta Sari Ratunanda
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 43, No 1 (2013): Volume 43, No. 1 January - June 2013
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (163.084 KB) | DOI: 10.32637/orli.v43i1.18

Abstract

Latar belakang: Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi kronik dengan etiologi multifaktorial.Interleukin-8 (IL-8) adalah sitokin proinflamasi yang dominan pada RSK tanpa polip. Penurunan fungsi penghidumerupakan suatu gejala yang sering dikeluhkan pada RSK. Klaritromisin merupakan antibiotik makrolid yang efektifkarena memiliki efek antibakteri dan antiinflamasi. Tujuan: Untuk mengetahui perbaikan gejala klinis, fungsipenghidu dan kadar IL-8 sekret mukosa hidung, serta mencari korelasi antara IL-8 dengan fungsi penghidu pada RSKtanpa polip. Metode: Penelitian ini merupakan randomized clinical trial open labeled pre and posttest design. Datadianalisis dengan menggunakan uji Wilcoxon, Mann Whitney, dan korelasi Rank Spearman. Penelitian berlangsung dipoliklinik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin pada 26subjek yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberikan klaritromisin dan kelompok kedua diberikanamoksisilin/klavulanat. Diagnosis berdasarkan penilaian skor gejala dengan visual analogue scale (VAS),nasoendoskopi, fungsi penghidu dengan sniffin sticks test, dan dilakukan pengukuran kadar IL-8 sekret mukosa hidungdengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Hasil: Didapatkan perbaikan VAS, fungsi penghidu,dan kadar IL-8 yang signifikan (p=0,001) pada kedua kelompok pascaterapi, dan penurunan skor VAS total yangsignifikan pada kelompok klaritromisin (p=0,036). Terdapat korelasi signifikan antara penurunan IL-8 denganpeningkatan fungsi penghidu (p=0,05) dan dengan gejala hidung tersumbat (p=0,022) hanya pada kelompokklaritromisin. Kesimpulan: Pemberian klaritromisin efektif menurunkan gejala klinis terutama hidung tersumbat,menurunkan kadar IL-8 sekret hidung, dan meningkatkan fungsi penghidu pada RSK tanpa polip.Kata kunci: Interleukin-8, klaritromisin, rinosinusitis kronik tanpa polip, sniffin sticks test.ABSTRACTBackground: Chronic rhinosinusitis (CRS) is a chronic inflammatory disease with multifactorial etiology.Interleukin-8 (IL-8) plays an important role as a major proinflammatory cytokine in CRS without nasal polyp.The common symptom is of olfactory function impairment. Claritrhomycin as macrolide antibiotic is effective forCRS because of their antibacterial and antiinflamatory activity. Purpose: To observe improvement of clinicalsymptoms, olfactory function, IL-8 level of nasal secretion and correlation between IL-8 with olfactory functionin CRS without nasal polyp. Method: This was a randomized controlled trial open labeled pre and posttestdesign. Data was analysed using Wilcoxon, Mann Whitney, and Rank Spearman correlation test. This study wasconducted in Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery Department Dr. Hasan Sadikin hospital. There were26 subjects divided in two groups, the first group was given clarithromycin and the second group was givenamoxicillin/clavulanate. The two groups underwent visual analogue scale (VAS), nasoendoscopy, sniffin stickstest and nasal secretion of IL-8 by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Result: The two groups had asignificant improvement VAS score after therapy (p=0.001) and clarithromycin group showed statisticallysignificant (p=0.036) on decreasing total VAS score than amoxcicillin/clavulanate group. There was significantcorrelations between reduction of IL-8, improvement of olfactory function (p=0.05) and nasal obstructionsymptom in VAS (p=0.022) only in clarithromycin group.Conclussion: Clarithromycin was effective in clinicalsymptoms reduction especially in nasal obstruction, IL-8 reduction in nasal secretion, and improvement ofolfactory function in chronic rhinosinusitis without nasal polyp.Keywords: Clarithromycin, interleukin-8, chronic rhinosinusitis without nasal polyp, sniffin sticks test.
Pengaruh tonsilektomi terhadap ukuran dan ekspresi IL-6 tonsil lingualis pada pasien OSA Sally Mahdiani; Teti Madiadipoera; Iwin Sumarman; Bambang Purwanto
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 42, No 2 (2012): Volume 42, No. 2 July - December 2012
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (390.247 KB) | DOI: 10.32637/orli.v42i2.29

Abstract

Background: Obstructive sleep apnea (OSA) is a sleep breathing disorder caused by upper airway  obstruction. It occurs on 51% adult and could cause systemic side effects. Hypertrophy of the palatine  and lingual tonsils cause upper airway obstruction and increasing cytokine IL-6 production. Obstruction and inflammation products have an important role in causing OSA. Inflammation of the palatine tonsil causes lingual tonsil to be inflamed. Purpose: To find out the impact of tonsillectomy on size and IL-6 expression of lingual tonsil. Method:The quasiexperimental open label pre and post test design was done on August 2010 – October 2011. There were 20 adult subjects with snoring, palatine and lingual tonsil hypertrophy. All subjects filled the Epworth Sleepiness Scale (ESS) questionnaire, underwent ENT examination and biopsy using fiber optic rhinolaryngoscope. Immunohistochemistry examination for IL-6  were performed on all biopsy specimens. Results: There is highly significant improvement on lingual  tonsil size score from 3 to 1 after tonsillectomy. IL-6 expression was significantly decreased from 12 to 2 after tonsillectomy. ESS score was also significantly decreased from 16 to 5. The reducing size of lingual tonsil correlates with decreasing of IL-6 expressions. Conclusion:Tonsillectomy on OSA patients reduced the IL-6 expression of the lingual tonsil and that cause the reducing of its size. Decreasing of obstruction and inflammation could lead to the decrease of the ESS score. Keywords: OSA, tonsillectomy, Epworth Sleepiness Scale, lingual tonsil size, IL-6 expression    Abstrak :  Latar belakang: Henti napas obstruktif saat tidur (OSA) merupakan gangguan napas saat tidur yang terjadi karena obstruksi saluran napas atas. Keluhan ini terjadi pada 51% orang dewasa dan menimbulkan efek samping sistemik berat. Pembesaran ukuran tonsil palatina dan tonsil lingualis akan menyebabkan obstruksi saluran napas atas dan mengakibatkan peningkatan produksi IL-6, sehingga akan menyebabkan OSA. Inflamasi yang terjadi pada tonsil palatina membuat tonsil lingualis mengalami inflamasi. Tujuan: Untuk melihat pengaruh tonsilektomi terhadap ukuran dan ekspresi IL-6 tonsil lingulis. Metode: Penelitian quasiexperimental open label pre and post test design di Poliklinik IK. THT-KL RSHS Bandung sejak Agustus 2010 – Oktober 2011. Subjek 20 orang dewasa dengan keluhan mendengkur, pembesaran tonsil palatina dan tonsil lingualis. Seluruh subjek mengisi kuesioner skala kekantukan Epworth (Epworth Sleepiness Scale/ESS), biopsi tonsil lingualis dengan rinolaringoskopi serat optik lentur dan imunohistokimia IL-6 jaringan biopsi. Hasil: Didapatkan perbaikan yang sangat bermakna skor ukuran tonsil lingualis sebelum tonsilektomi (3) dibandingkan setelah tonsilektomi (1). Nilai ekspresi IL-6 menurun sangat bermakna dari 12 menjadi 2. Skor ESS menurun secara bermakna dari 16 menjadi 5. Pengecilan ukuran tonsil lingualis berhubungan dengan penurunan ekspresi IL-6. Kesimpulan: Tonsilektomi pada pasien OSA dapat menurunkan ekspresi IL-6 pada tonsil lingualis, sehingga ukuran tonsil lingualis mengecil. Hilangnya obstruksi dan inflamasi mengakibatkan skor ESS menurun. Kata kunci: henti napas obstruktif saat tidur, tonsilektomi, Epworth Sleepiness Scale, ukuran tonsil lingualis, ekspresi IL-6
Efektivitas imunoterapi terhadap gejala, temuan nasoendoskopik dan kualitas hidup pasien rinosinusitis alergi Yuwan Pradana; Teti Madiadipoera; Melati Sudiro; Arif Dermawan
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 42, No 2 (2012): Volume 42, No. 2 July - December 2012
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (456.553 KB) | DOI: 10.32637/orli.v42i2.24

Abstract

Background: Rhinosinusitis is one of major health problems which increased the economic burden. With symptoms include nasal congestion, rhinorrhea, facial pain, and sometimes reduced or loss of smell, this condition may impair work productivity and quality of life (QOL). Rhinosinusitis is one of the comorbidity of allergic rhinitis. Allergen specific immunotherapy provides protection against the occurence of allergic symptoms and inflammatory reactions due to allergen exposure, that results in improvement  of QOL of allergic rhinosinusitis patients.   To assess the effectiveness of immunotherapy in the  severity of the disease, nasal symptoms, nasoendoscopic findings, drugs intake, and the QOL in allergic rhinosinusitis patients treated with specific immunotherapy. Methods: A retrospective descriptive study conducted at the Rhinology-Allergy Clinic of ORL-HNS Department, Dr.Hasan Sadikin General Hospital, Bandung, on January - December 2011, towards 25 patients, by anamnesis, severity of the disease using Visual Analogue Scale (VAS), nasal symptoms from Weeke, Davis and Okuda, nasoendoscopic findings from Lund-Kennedy, drug intake score, and QOL assesment using Rhinoconjuctivitis Quality of Life Questionaire. Results: There was a significant correlation (p<0,05) between specific immunotherapy for 1 year observed by reduced disease severity, reduced nasal symptoms, nasoendoscopic findings improvement, reduced drug intake, and increased Quality of Life which shows significant results from 3 months after immunotherapy using Wilcoxon differential test (p<0,001). Conclusion: Immunotherapy for 1 year was significantly reduced disease severity, reduced nasal symptoms, improved nasoendoscopic findings, reduced drug intake, and improvement of QOL in patients with allergic rhinosinusitis began from 3 months after immunotherapy and maintained afterwards. Key words: allergic rhinosinusitis, nasal symptoms, nasoendoscopy, specific immunotherapy, quality of life    Abstrak :  Latar belakang: Rinosinusitis merupakan salah satu masalah kesehatan yang semakin meningkat sehingga menjadi beban besar terhadap perekonomian masyarakat. Dengan gejala berupa hidung tersumbat, rinore, nyeri pada wajah dan dapat disertai berkurang atau hilangnya penciuman, kondisi ini dapat menurunkan produktivitas kerja dan kualitas hidup. Rinosinusitis merupakan salah satu komorbiditas dari rinitis alergi. Imunoterapi alergen spesifik bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap timbulnya gejala alergi dan reaksi inflamasi akibat pajanan alergen, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien rinosinusitis. Tujuan: Membuktikan efektivitas imunoterapi terhadap tingkat beratnya penyakit, gejala hidung, nasoendoskopi, penggunaan obat dan kualitas hidup pasien rinosinusitis alergi yang diberikan pengobatan imunoterapi selama 3, 6, dan 12 bulan. Metode: Dilakukan penelitian deskriptif retrospektif, di Poliklinik Rinologi Alergi Ilmu Kesehatan THT-KL RSHS Bandung, dalam periode JanuariDesember 2011 pada 25 pasien, menggunakan anamnesis, tingkat berat penyakit berdasarkan Visual Analogue Scale (VAS), gejala hidung  berdasarkan Weeke, Davis dan Okuda, pemeriksaan nasoendoskopi berdasarkan Lund-Kennedy, penggunaan obat dan penilaian kualitas hidup dengan Rhinoconjuctivitis Quality of Life Questionaire. Hasil: Didapatkan hubungan bermakna berdasarkan uji chi-kuadrat-Friedman   antara imunoterapi selama 1 tahun (p<0,05) terhadap penurunan tingkat berat penyakit, penurunan gejala hidung, perbaikan temuan nasoendoskopi, penurunan penggunaan obat, serta peningkatan kualitas hidup. Didapat perbaikan secara bermakna sejak 3 bulan pasca imunoterapi (p<0,001) berdasarkan uji beda Wilcoxon. Kesimpulan: Imunoterapi selama 1 tahun efektif terhadap penurunan tingkat berat penyakit, penurunan gejala hidung, perbaikan temuan nasoendoskopi, penurunan penggunaan obat, serta peningkatan kualitas hidup pada pasien rinosinusitis alergi, dengan perbaikan sejak 3 bulan dan bertahan hingga 1 tahun pasca-imunoterapi. Kata kunci: rinosinusitis alergi, gejala hidung, nasoendoskopi, imunoterapi, kualitas hidup 
Efektivitas Pelargonium sidoides terhadap penurunan gejala rinosinusitis kronik alergi tanpa polip disertai gangguan tidur Ahmad Juwaeni; Teti Madiadipoera; Iwin Soemarman; Sinta Sari Ratunanda
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 44, No 1 (2014): Volume 44, No. 1 January - June 2014
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.604 KB) | DOI: 10.32637/orli.v44i1.80

Abstract

Latar Belakang: Rinosinusitis kronik tanpa polip adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal lebih dari 12 minggu. Etiologinya multifaktorial, terbanyak alergi. Gejala utamanya kongesti hidung, hidung berair, nyeri wajah, gangguan penciuman, dan menyebabkan gangguan tidur. Gangguan tidur disebabkan kongesti hidung dan peningkatan mediator inflamasi IL-1, IL-6, dan TNF-α. Tujuan: Membuktikan efektivitas terapi adjuvan rinosinusitis kronik alergi tanpa polip disertai gangguan tidur menggunakan ekstrak Pelargonium sidoides. Perbaikan gejala dan tanda klinis, serta penurunan kadar IL-1, IL-6, dan TNF- α sekret hidung sebagai indikator. Metode: Quasi-experimental open labelledpre and posttest design pada 20 sampel, dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diterapi larutan cuci hidung NaCl isotonis, semprot hidung kortikosteroid dan ekstrak Pelargonium sidoides. Kelompok kedua (kontrol) tidak diberikan ekstrak Pelargonium sidoides. Gejala klinis dinilai dengan Total Nasal Score Symptoms (TNSS), Visual Analog Scale (VAS), dan nasoendoskopi. Kualitas hidup dengan Rhinoconjuntivitis Quality of Life Questionnaires (RQLQ), dan Sinonasal Outcame Test-20 (SNOT-20). Hasil: Penurunan skor Total Nasal Score Symptoms (TNSS) (p=0,001), Visual Analog Scale (VAS) hidung tersumbat (p=0.018), VAS hidung berair (p=0,02), VAS nyeri wajah (p=0,008),skor nasoendoskopi (p=0,03), dan Rhinoconjuntivitis Quality of Life Questionnaires (RQLQ) activity (p=0,003), sleep (p=0,001), non-nose/eye symptoms (p=0,005), dan emotional (p=0,01) pada kelompok perlakuan berbeda bermakna dibandingkan kelompok kontrol berdasarkan uji Mann-Whitney. Tidak ada perbedaan bermakna pada skor SNOT-20 (p=0,096), penurunan kadar IL-1 (p=0,529), IL-6 (p=0,529), dan TNF-α (p=0,971). Kesimpulan: ekstrak Pelargonium sidoides secara klinis efektif sebagai terapiadjuvan rinosinusitis kronik alergi tanpa polip disertai gangguan tidur, namun tidak didukung penurunan kadar IL-1, IL-6, dan TNF-α sekret hidung. Kata kunci: gangguan tidur, IL-1, IL-6, TNF-α, Pelargonium sidoides, rinosinusitis kronik alergi tanpa polip.  ABSTRACTBackground: Chronic rhinosinusitis without nasal polyps is inflammation of the nasal and paranasal sinus mucosa that lasts more than 12 weeks. It has multifactorial etiologies, and allergy is the most common. Its main symptoms are nasal congestion, runny nose, facial pain, smell disturbance, and can cause sleep disturbances. Sleep disturbances caused by nasal congestion and increased of inflammatory mediators IL-1, IL-6, and TNF-α. Purpose: To prove effectiveness of Pelargonium sidoides extract as adjuvant therapy in allergic chronic rhinosinusitis without nasal polyps accompanied by sleep disturbances. The indicators are improvement of clinical signs and symptom, and decreased level of IL-1, IL-6, and TNF-α nasal secretions. Methods: Quasi-experimental design with 20 samples, dividedinto two groups. First group treated with isotonic nasal saline solution, corticosteroid nasal spray, and extract of Pelargonium sidoides. Second group (control) were not given extract of Pelargonium sidoides. Clinical symptoms were measured with TNSS, VAS, and nasoendoscopy. Qualityof Life measured by RQLQ and SNOT-20. Results: TNSS (p= 0.001), nasoendoscopy score, VAS nasal congestion (p=0,018), rinorrhea (p=0,02) facial pain (0,008), and improving RQLQ activity (p= 0.003), sleep (p=0.001), non-nose/eye symptoms (p=0,005), and emotional (p=0,01) in the treated group significanly difference compare to the control group based on Mann-Whitney tes. No significant difference in SNOT-20 score , and decreased levels of IL-1, IL-6, and TNF-α. Conclusion: Pelargonium sidoides extract can be used as adjuvant therapy of chronic allergic rhinosinusitis without nasal polyps with sleep disturbance, but not supported by decrease of IL-1, IL-6, and TNF-α.nasal secretion.Keywords: IL-1, IL-6, TNF-α, Pelargonium sidoides, allergic chronic rhinosinusitis without nasal polyps, sleep disturbance.
Pengaruh sisplatin dosis tinggi terhadap penurunan fungsi sel rambut luar koklea Asti Kristianti; Teti Madiadipoera; Bogi Soeseno
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 40, No 2 (2010): Volume 40, No. 2 July - December 2010
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v40i2.1

Abstract

Background: Chemotherapy is worldwide used nowadays, and its toxicity still remain a problemespecially toxicity to the ear (ototoxicity). Cisplatin (cis-diamminedichloroplatinum) is one of themost commonly used chemotherapy and highly potent in treating epithelial malignancies. Ototoxicitycaused by cisplatin is irreversible, progressive, bilateral, sensorineural hearing loss especially on highfrequency (4-8 KHz) accompanied by tinnitus. Purpose: To observe the cochlear outer hair cells damagein malignancies patients treated with cisplatin. Methods: This study is an observational analytic studywith prospective design to determine the influence of high dose cisplatin on cochlear outer hair cellsfunction. The research was carried out at the ENT-HNS Department, Hasan Sadikin General HospitalBandung, from November 2007 until June 2008. Audiometry, tympanometry, and distortion productotoacoustic emission (DPOAE) examinations were conducted before chemotherapy and DPOAE, andtimpanometry was again measured three days after first and second cycles of cisplatin administration. McNemar test was performed to calculate the effects of high-dose cisplatin to the cochlear outer haircells function. To compare pre and post-cisplatin on alteration of cochlear hair cells function, Wilcoxontest was used. Results: In this study 60 ears from 30 subjects that meet the inclusion criteria, consistedof 25 man (83.3%) and 5 women (16.7%). The prevalence of damaged cochlear outer hair cells were63% at first cycle and 70% at second cycle of cisplatin administration. The decline of cochlear outerhair cells function was significant (p<0.001). Conclusion: High-dose cisplatin decreases cochlear outerhair cells function in patients with malignant neoplasm. Abstrak : Latar belakang: Kemoterapi sekarang rutin digunakan secara klinis di seluruh dunia. Sejalan denganhal tersebut toksisitas kemoterapi, khususnya terhadap telinga saat ini menjadi perhatian. Sisplatin(cis-diamminedichloroplatinum) adalah salah satu obat kemoterapi yang paling banyak digunakandan paling manjur untuk terapi keganasan epitelial. Efek ototoksik sisplatin yaitu terjadi gangguandengar sensorineural yang irreversible, progresif, bilateral pada frekuensi tinggi (4-8 kHz), dan disertaidengan tinitus. Tujuan: Untuk menilai penurunan fungsi sel rambut luar koklea pada penderita tumorganas sesudah pemberian sisplatin dosis tinggi dengan menggunakan DPOAE. Metode: Studi analitikobservasional dengan rancangan prospektif di Bagian IK. THT-KL RS. Hasan Sadikin Bandung mulaibulan November 2007 sampai dengan Juni 2008. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan audiometrinada murni, timpanometri, dan distortion product otoacoustic emission (DPOAE) prakemoterapi, kemudianDPOAE dan timpanometri diulang tiga hari sesudah siklus pertama dan kedua kemoterapi sisplatin. Datayang diperoleh diuji dengan uji McNemar dan uji Wilcoxon. Hasil: Dari penelitian didapat 60 telingadari 30 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi yang terdiri dari 25 laki-laki (83,3%) dan 5perempuan (16,7%). Insidens penurunan fungsi sel rambut luar koklea sebesar 63% (38 kasus) sesudahsiklus pertama dan 70% (42 kasus) sesudah siklus kedua. Hubungan penurunan fungsi sel rambut luarkoklea memberikan nilai yang sangat bermakna sejak pemberian siklus pertama (p<0,001). Kesimpulan:Pemberian sisplatin dosis tinggi pada penderita tumor ganas menyebabkan penurunan fungsi sel rambutluar koklea.Kata kunci: kemoterapi, sisplatin dosis tinggi, sel rambut luar koklea.