Sinta Sari Ratunanda
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 24 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 24 Documents
Search

Bedah Sinus Endoskopik Sebagai Pilihan Tata laksana Proptosis pada Mukosil Sinus Fronto-etmoidalis Asimetris Bilateral dengan Komplikasi Kusmiardiani, Desti; Ratunanda, Sinta Sari; Madiadipoera, Teti
Jurnal Sistem Kesehatan Vol 3, No 3 (2018): Volume 3 Nomor 3 Maret 2018
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (237.291 KB) | DOI: 10.24198/jsk.v3i3.16991

Abstract

Mukosil sinus paranasal merupakan lesi kistik pada sinus, dihasilkan dari akumulasi sekresi mukus dan deskuamasi epitel akibat obstruksi kronis dari osteum sinus. Mukosil memiliki sifat tumbuh lambat, sering di area sinus frontal dan etmoid, namun jarang terjadi bilateral asimetris. Mukosildapat menyebabkan distensi dinding sinus, sehingga dapat menimbulkan komplikasi ke area sekitarnya, terutama area mata. Dilaporkan satu kasus mukosil sinus fronto-etmoidalis asimetris bilateral dengan komplikasi orbita unilateral di Rumah Sakit Dr.Hasan Sadikin.Wanita 67 tahun dengan gejala klinis proptosis nonaksial pada orbita kanan, tanpa disertai diplopia, gangguan gerak bola mata maupun visus. Pasien memiliki riwayat bekerja di pabrik pembakaran genteng selama puluhan tahun. Metode pemeriksaan nasoendoskopi dan CT Scan menunjukkan mukosil bilateral asimetris pada sinus frontal-etmoid.Dilakukan prosedur pengangkatan mukosil dengan pendekatan marsupialisasi secara endoskopik. Pascaoperasi didapatkanhasil perbaikan gejala proptosis dan tidak terdapat rekurensi mukosil.Penatalaksanaan segera pembedahan endoskopik pada mukosil sinus frontoetmoidalis dapat memperbaiki komplikasi proptosis dengan morbiditas yang rendah dan luka operasi yang minimal, dibandingkan bedah terbuka.Kata kunci: Mukosil sinus frontoetmoidal, proptosis, pembedahan endoskopi sinus
Rinosinusitis Alergi pada Hipertiroidisme Kartika, Orlena Dharmantary; Ratunanda, Sinta Sari; Madiadipoera, Teti
Jurnal Sistem Kesehatan Vol 4, No 1 (2018): Volume 4 Nomor 1 September 2018
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.477 KB) | DOI: 10.24198/jsk.v4i1.19189

Abstract

Prevalensi penyakit alergi semakin meningkat di seluruh dunia, tetapi hubungan dan pengaruhnya dengan penyakit tiroid autoimun khususnya hipertiroidisme masih belum banyak dibahas dan dimunculkan kasusnya. Kasus ini diajukan untuk memberikan gambaran bahwa rinosinusitis alergi dan penyakit tiroid autoimun khususnya hipertiroidisme memiliki satu mata rantai yang saling berhubungan dari segi patofisiologi dan akan menentukan morbiditas hipertiroidisme tersebut. Dilaporkan dua kasus rinosinusitis alergi disertai hipertiroidisme. Kasus pertama wanita usia 64 tahun dengan benjolan di leher anterior, dan kasus kedua pasien pria usia 61 tahun yang dikonsulkan dari Poliklinik Endokrinologi Penyakit Dalam dengan keluhan utama hidung tersumbat. Pada kedua pasien dilakukan pemeriksaan skor total gejala hidung, penilaian kualitas hidup dengan SNOT-22, pemeriksaan nasoendoskopi dan Tes Kulit Tusuk (TKT), serta pemantauan kadar hormon tiroid dan konsumsi obat antitiroid, kemudian dilakukan tata laksana rinosinusitis alergi dengan pemberian cuci hidung, antibiotik, kortikosteroid intranasal, dan antihistamin generasi kedua. Didapatkan hasil penurunan skor total gejala hidung, perbaikan kualitas hidup, perbaikan secara nasoendoskopi, penurunan kadar hormon tiroid, serta penurunan konsumsi obat antitiroid. Rinosinusitis alergi pada hipertiroidisme harus ditangani dengan baik karena dengan mengatasi rinosinusitis alergi maka akan menurunkan morbiditas hipertiroidisme.Kata kunci: rinosinusitis alergi, penyakit tiroid autoimun, hipertiroidisme
Penggunaan terkini oksimetazolin pada praktik klinik sehari-hari dan rekomendasi Kelompok Studi Rinologi Indonesia Wardani, Retno Sulistyo; Zakiah, Azmi Mir’ah; Magdi, Yoan Levia; Irfandy, Dolly; Kusuma Dewi, Anna Mailasari; Sutikno, Budi; Hendradewi, Sarwastuti; Ratunanda, Sinta Sari; Munir, Delfitri; Dolly Irfandy
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 46, No 2 (2016): Volume 46, No. 2 July - December 2016
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (360.397 KB) | DOI: 10.32637/orli.v46i2.165

Abstract

Latar belakang: Oksimetazolin adalah bahan aktif dekongestan topikal yang digunakan untuk rinitis alergi maupun inflamasi mukosa hidung lainnya. Cara pemakaian oksimetazolin yang baik dan benar akan memengaruhi keberhasilan pengobatan. Efek samping rinitis medikamentosa merupakan komplikasi yang sering terjadi dan sebaiknya dapat dicegah. Tujuan: Penulisan tinjauan pustaka ini untuk memberikan pemahaman terkini tentang berbagai indikasi oksimetazolin pada praktik klinik Telinga Hidung Tenggorok sehari-hari, cara pemakaian yang tepat, efek samping dan komplikasi yang terjadi berdasarkan studi kepustakaan yang dipublikasikan di PubMed, Google Scholar, dan Scopus dalam 10 tahun terakhir (2007–2016) oleh tim adhoc anggota Kelompok Studi (KODI) Rinologi Indonesia. Tinjauan pustaka: Oksimetazolin memiliki indikasi yang diperluas jika digunakan bersama dengan bahan aktif lain. Oksimetazolin semprot hidung 0,05% yang digunakan bersama dengan steroid intranasal dilaporkan memberikan manfaat pada penatalaksanaan rinitis alergi, rinitis kronis, dan polip hidung. Oksimetazolin digunakan juga dalam bedah sinus endoskopik untuk mendapatkan visualisasi lapang operasi yang baik karena efek hemostatik vasokonstriktor intranasal. Keuntungan yang dilaporkan juga diiringi dengan kemungkinan efek samping dan komplikasi yang sudah dikenal sampai yang membahayakan hingga kematian akibat koarktasio aorta, infark miokard elevasi non-ST, dan krisis hipertensi. Kesimpulan: Rekomendasi yang dibuat oleh KODI Rinologi berdasarkan analisis secara sistematik dengan telaah kritis, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang penggunaan oksimetazolin yang bermanfaat dan dapat mencegah efek samping yang berbahaya.Kata kunci: Oksimetazolin, dekongestan intranasal, indikasi, efek samping, komplikasiABSTRACT Background: Oxymetazoline is an active ingredient of topical decongestant in treating allergic rhinitis and other nasal mucosal inflammation. A good and proper usage of oxymetazoline will influence a beneficial outcome. Rhinitis medicamentosa is a common complication that should be avoided. Purpose: Content of the literature review is the indications of oxymetazoline usage in daily ENT clinical practice; the proper usage, side effects and complications are appraised from Pubmed, Scopus and Google Scholar publications within the last 10 years (2011 – 2015). The work was performed by adhoc team consisted of member of Rhinology Study Group Indonesia. Literature Review: Oxymetazoline broader indications obtained when applied together with other active ingredients. Oxymetazoline 0.05% nasal spray with topical intranasal steroid was reported as having efficacy in management of allergic rhinitis, chronic rhinitis and nasal polyps. Oxymetazoline is used as topical vasoconstrictor during endoscopic sinus surgery to get clear endoscopic visualization due to its hemostatic effect. Combination of oxymetazoline with topical intranasal steroid, was reported to be beneficial in the management of allergic rhinitis, chronic rhinitis and nasal polyps. Oxymetazoline is also used as topical vasoconstrictor during endoscopic sinus surgery to get clear endoscopic visualization due to its hemostatic effect. The good result of oxymetazoline was reported along with its side effects, which could be fatal, such as coarctation of the aorta, non-ST elevation myocardial infarction, and critical hypertension. Conclusion: Recommendation from Rhinology Study Group Indonesia based on systematic analysis with critical appraisal that has been made, may widen the knowledge and understanding of oxymetazoline usage and indications, and also avoiding the dangerous side effects and complications.Keywords: Oxymetazoline, topical intranasal decongestant, indication, side effect, complication
Pengaruh imunoterapi spesifik terhadap adenoid pada pasien rinitis alergi Pratita, Nindya; Madiadipoera, Teti; Ratunanda, Sinta Sari; Dermawan, Arif; Boesoirie, Shinta Fitri
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 47, No 1 (2017): Volume 47, No. 1 January - June 2017
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (484.302 KB) | DOI: 10.32637/orli.v47i1.194

Abstract

Latar belakang: Rinitis alergi (RA) adalah suatu reaksi inflamasi hidung yang diperantarai oleh IgE, dengan gejala hidung tersumbat, rinore, bersin, dan rasa gatal, akibat mukosa hidung terpapar alergen.Hipertrofi adenoid (HA) dianggap sebagai salah satu komorbid dari RA, sehingga mungkin terdapathubungan antara RA dengan HA.Tujuan: Mengetahui pengaruh imunoterapi spesifik terhadap penurunanukuran adenoid pada pasien RA.Metode: Penelitian dilakukan dengan desain quasi-eksperimental,menggunakan anamnesis, nasoendoskopi, dan skin prick test (SPT). Pengukuran derajat adenoid dilakukanpada 32 sampel di Poliklinik Rinologi-Alergi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala- Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung selama Februari – Juni 2015. Penelitian ini dibagimenjadi dua kelompok yaitu kelompok pasien RA dengan HA sebagai komorbid yang mendapatkanpengobatan imunoterapi spesifik, dan kelompok yang mendapatkan terapi medikamentosa kombinasiberupa fluticasone furoate dengan cetirizine.Hasil: Pada kelompok yang diberikan imunoterapi spesifik,terjadi penurunan ukuran adenoid yang bermakna, dibandingkan dengan kelompok yang diberikan terapimedikamentosa kombinasi. Persentase penurunan untuk kelompok imunoterapi spesifik sebesar 80,4%,sedangkan pada kelompok pembanding sebesar 60,5%.Kesimpulan: Terdapat penurunan ukuran adenoidsecara signifikan pada kelompok yang mendapatkan pengobatan imunoterapi spesifik, yang lebih baikjika dibandingkan terapi medikamentosa kombinasi.Kata kunci: Rinitis alergi, hipertrofi adenoid, imunoterapi spesifik ABSTRACTBackground: Allergic rhinitis (AR) is an IgE-mediated inflammation reaction of the nosecharacterized by specific symptoms of nasal obstruction, rhinorrhea, sneezing, and nasal itching, whenthe nasal mucous membrane was exposed to allergen. Adenoid hyperthrophy (AH) is considered to beone of AR comorbid factor, and there might be a relationship between AR and AH. Purpose: To evaluatethe effect of specific immunotherapy in decreasing the size of AH in AR’s patients. Methods: This studydesign was a quasi-experimental. We used anamnesis, nasoendoscopic finding, and skin prick test.Measurement of adenoid had been conducted on 32 subjects in the Rhinology-Allergy Clinic of ORL-HNSDepartement of Dr. Hasan Sadikin General Hospital during February – June 2015. This study was dividedinto a group which was given specific immunotherapy, and a group which was given medical treatmentin the form of combination fluticasone furoate and cetirizine. Results: The group which was treated withspecific immunotherapy showed a significant decrease of the adenoid size compared to the group withcombination medication of fluticasone furoate and cetirizine. Specific immunotherapy decreased adenoidsize up to 80.4%, while in the other group was 60.5%.Conclusion: The study showed that the decreaseof adenoid size in the group treated with specific immunotherapy treatment was better than the grouptreated with combined medication treatment.Keywords: Allergic rhinitis, adenoid hyperthrophy, specific immunotherapy
Terapi necrobiotic xanthogranuloma dengan siklofosfamid-metilprednisolon Lesmono, Bayu; Dewi, Yussy Afriani; Ratunanda, Sinta Sari; Aroeman, Nur Akbar
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 46, No 2 (2016): Volume 46, No. 2 July - December 2016
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1439.852 KB) | DOI: 10.32637/orli.v46i2.168

Abstract

Latar belakang: Necrobiotic xanthogranuloma (NXG) merupakan suatu penyakit yang langka, kronis, dan progresif. NXG ditandai dengan lesi kulit ulseratif pada daerah indurasi, dan berwarna kuning, atau berupa nodul yang mengenai sel histiosit non Langerhans. Daerah predileksi tersering ialah pada wajah, orbita, dan ekstremitas. Etiologi belum diketahui, tetapi sering dikaitkan dengan monoclonal gammopathy. Gambaran histopatologi NXG yaitu ditemukan makrofag dan terdapat sel busa pada dermis, jaringan subkutan, nekrobiosis luas, sel datia Touton, dan folikel limfoid. Penderita memiliki lesi yang bersifat asimtomatik, parestesi, rasa terbakar, dan terkadang timbul rasa nyeri. Tata laksana NXG sampai saat ini masih sangat bervariasi. Tujuan: Memaparkan hasil penatalaksanaan dua pasien NXG. Laporan kasus: Dilaporkan pasien pertama, laki-laki 44 tahun dengan lesi pada kedua pipi dan dahi sejak 5 bulan sebelumnya. Terapi diberikan metilprednisolon dengan dosis 0,8 mg/kgBB tappering off selama 1 bulan dengan hasil perbaikan. Pasien kedua, wanita 29 tahun dengan lesi pada kedua pipi dan telinga sejak 5 bulan sebelumnya. Terapi diberikan siklofosfamid 750 mg/m2 per 3 minggu dengan hasil membaik. Metode: Pencarian dilakukan melalui PubMed dan Dermatol. Setelah menyaring judul dan abstrak yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, didapatkan lima artikel utuh. Kemudian, tiga artikel terpilih untuk ditelaah secara konsensus, meliputi kesahihan (validity), kepentingan (importancy), dan aplikabilitas (applicability) pada pasien necrobiotic xanthogranuloma. Hasil: Telaah artikel-artikel tersebut menunjukkan bahwa semua artikel memiliki karakteristik yang serupa dalam hal kesahihan (validity), hasil atau kesimpulannya. Walau demikian, ada beberapa kekuatan dan kelemahan pada masing-masing artikel. Kesimpulan: Penatalaksanaan NXG masih diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang banyak untuk mengetahui keefektifitasan penatalaksanaan NXG.Kata kunci: Siklofosfamid, metilprednisolon, necrobiotic xanthogranulomaABSTRACT Background: Necrobiotic Xanthogranuloma (NXG) is a rare, chronic, and progressive disease that provokes skin lesions, such as damage of the histiocytes of non-Langerhans cell, skin lesions (yellowish or noduled ulcerative lesions) in the induration skin. The most common predilection areas of this are on the face, orbital, and extremities. The etiology is still unknown, but sometimes associates with monoclonal gammopathy. NXG histopathologic contained macrophages and foam cells in the dermis, subcutaneous tissue, extensive necrobiosis, touton giant cells, and lymphoid follicles. Some patients who had lesions are asymptomatic, sometimes they will feel paresthesias, burning pain. Nowadays, this management is still vary widely. Objective: Sets forth the results of two patients NXG. Case: There were two patients. Patient number one, a 44-years-old man, with some lesions on both cheeks and forehead since 5 months ago. He was treated with methylprednisolon 0.8 mg/kg body weight, and tappered off for a month with improved results. Patient number two, a 29-years-old woman, with some lesions on both cheeks and ears since 5 months ago. She was treated with Cyclosphosphamide 750 mg/m2 with improved results within three weeks. Method: Searching for literature was conducted in PubMed and Dermatol. After screening titles and abstracts with inclusion and exclusion criteria, five articles were available as full texts. Three articles were selected to be reviewed for their validity, importancy and applicability in patient with necrobiotic xanthogranuloma. Results: The review showed that all those articles had a similar characteristic in validity, result, and conclusion. Nevertheless, each articles had its own strong points and weaknesses. Conclusion: NXG treatment still required further research by the number of samples that much to find out the efficiency management NXG.Keywords: Cyclophosphamide, methylprednisolon, necrobiotic xanthogranuloma
HUBUNGAN KADAR IL-8 SEKRET MUKOSA HIDUNG PADA RINOSINUSITIS KRONIK TANPA POLIP-NONALERGI DENGAN FUNGSI PENGHIDU SETELAH PEMBERIAN ANTIBIOTIK MAKROLID Candra, Edo Wira; Sumarman, Iwin; Ratunanda, Sinta Sari; Madiadipoera, Teti
Majalah Kedokteran Bandung Vol 46, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1266.558 KB)

Abstract

Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi kronik dengan etiologi multifaktorial. Interleukin-8 (IL-8) adalah sitokin proinflamasi yang dominan pada RSK tanpa polip-nonalergi. Penurunan fungsi penghidu merupakan suatu gejala yang sering dikeluhkan. Klaritromisin merupakan antibiotik makrolid yang efektif karena memiliki efek antibakteri dan antiinflamasi. Tujuan penelitian untuk mengetahui perbaikan gejala klinis, fungsi penghidu dan kadar IL-8 sekret mukosa hidung, serta mencari korelasi IL-8 dengan fungsi penghidu pada RSK tanpa polip-nonalergi.Penelitian ini merupakan randomized clinical trial open labeled pre and posttest design. Data dianalisis memakai Uji Wilcoxon, Mann Whitney, dan korelasi Rank Spearman. Penelitian berlangsung di poliklinik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin pada 26 subjek yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberikan klaritromisin dan kelompok kedua diberikan amoksisilin-klavulanat. Diagnosis berdasarkan penilaian skor gejala dengan visual analogue scale (VAS), nasoendoskopi, fungsi penghidu dengan sniffin sticks test, dan dilakukan pengukuran kadar IL-8 sekret mukosa hidung dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Didapatkan perbaikan VAS, nasoendoskopi, fungsi penghidu, dan kadar IL-8 yang signifikan (p=0,001) pada kedua kelompok pascaterapi, dan penurunan skor VAS total yang signifikan pada kelompok klaritromisin (p=0,036). Terdapat korelasi signifikan penurunan kadar IL-8 dengan peningkatan fungsi penghidu (p=0,05) dan dengan gejala hidung tersumbat (p=0,022) hanya pada kelompok klaritromisin. Simpulan, pemberian klaritromisin efektif menurunkan gejala klinis terutama hidung tersumbat, meningkatkan fungsi penghidu, dan menurunkan kadar IL-8 sekret mukosa hidung pada RSK tanpa polip nonalergi. [MKB. 2014;46(1):6?14]Kata kunci: Interleukin-8, klaritromisin, rinosinusitis kronik tanpa polip nonalergi, sniffin sticks testCorrelation between IL-8 level of Nasal Secretion in Non Allergic-Chronic Rhinosunusitis without Nasal Polyp and Olfactory Function After Macrolide Treatment Chronic rhinosinusitis (CRS) is a chronic inflammatory disease caused by multifactorial etiology. Interleukin-8 (IL-8) plays an important role as a major proinflammatory cytokine in non-allergic chronic rhinosinusitis without polyp. The common symptom is olfactory function disturbance. Claritrhomycin as a macrolide antibiotics is effective for CRS because of their antibacterial and antiinflamatory activities. The purpose of this study was to observe improvement of clinical symptom depending on the visual analogue scale (VAS) score, olfactory function, IL-8 level of nasal secretion, and correlation between IL-8 with olfactory function in non-allergic CRS without nasal polyp. This was a randomized controlled trial open labeled pre- and post-test design. Data analysis used Wilcoxon, Mann Whitney, and rank Spearman correlation test. This study was conducted at the Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery Division of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. There were 26 subjects divided in two groups, the first group was given clarithromycin and the second group was given amoxicillin-clavulanate. The two groups underwent visual analogue scale (VAS) assessment, nasoendoscopy, sniffing sticks test and nasal secretion of IL-8 by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). The two groups had a significant improvement VAS score after therapy (p=0.001) and clarithromycin group showed a statistically significant (p=0.036) effect on decreasing the total VAS score compared to the amoxcicillin-clavulanate group. There was significant correlations between decreasing IL-8 level, increasing olfactory function (p=0.05), and nasal obstruction symptom in VAS (p=0.022) was showed only in clarithromycin group. In conclusion, clarithromycin is effective in reducing clinical symptoms, especially in nasal obstruction, increasing olfactory function and decreasing IL-8 of nasal mucous secretion in non-allergic chronic rhinosinusitis without polyp. [MKB. 2014;46(1):6?14]Key words: Clarithromycin, interleukin-8, non allergic-chronic rhinosinusitis without polyp, sniffin sticks test DOI: 10.15395/mkb.v46n1.221
Efektivitas Terapi Kortikosteroid Intranasal pada Hipertrofi Adenoid Usia Dewasa berdasarkan Pemeriksaan Narrow Band Imaging Ratunanda, Sinta Sari; Satriyo, Jipie Iman; Samiadi, Dindy; Madiadipoera, Teti; Anggraeni, Ratna
Majalah Kedokteran Bandung Vol 48, No 4 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.465 KB) | DOI: 10.15395/mkb.v48n4.914

Abstract

Hipertrofi adenoid merupakan proses perubahan ukuran adenoid yang membesar, merupakan penyebab utama hidung tersumbat. Hipertrofi adenoid dapat terjadi karena proses yang fisiologis, akibat inflamasi, atau suatu keganasan. Proses inflamasi adenoid dapat dinilai menggunakan nasoendoskopi serat lentur dengan pencahayaan narrow band imaging (NBI). Kortikosteroid intranasal menjadi pilihan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan hipertrofi adenoid pada anak, namun belum banyak diteliti penggunaannya pada hipertrofi adenoid usia dewasa. Tujuan penelitian ini menilai efektivitas terapi kortikosteroid intranasal untuk mengurangi ukuran adenoid dewasa berdasarkan pemeriksaan NBI. Penelitian dimulai bulan November 2012–Januari 2013 di poliklinik Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (THT-KL RSHS) Bandung dengan metode kuasieksperimental open labeled pre and posttest design. Pemilihan sampel berdasarkan urutan kedatangan, ditentukan 11 subjek penelitian. Penegakan diagnosis pada subjek penelitian berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis THT, pemeriksaan nasoendoskopi serat lentur dilengkapi dengan NBI, dan dilakukan biopsi mukosa adenoid. Subjek penelitian diberikan terapi kortikosteroid intranasal selama empat minggu, kemudian dilakukan evaluasi ulang pemeriksaan NBI dan biopsi. Data dianalisis dengan uji Wilcoxon, hasilnya didapatkan perbaikan nilai derajat inflamasi adenoid secara signifikan pascaterapi kortikosteroid intranasal (p<0,05). Uji McNemar didapatkan hasil signifikan untuk penurunan ukuran adenoid (p<0,05). Uji rank Spearman untuk menganalisis hubungan gambaran histopatologi dengan penilaian NBI pra dan pascaterapi, hasilnya didapatkan korelasi bermakna (p<0,05). Simpulan, kortikosteroid intranasal efektif diberikan pada inflamasi penyebab hipertrofi adenoid usia dewasa berdasarkan pemeriksaan NBI. [MKB. 2016;48(4):228–33]Kata kunci: Hipertrofi adenoid, kortikosteroid intranasal, narrow band imagingEffectiveness of Intranasal Corticosteroids Treatment on Adult Adenoid Hypertrophy based on Narrow Band Imaging ExaminationAbstractAdenoid hypertrophy is a process in which adenoid size becomes enlarged and causes clinical symptoms, especially nasal obstruction. Adenoid hypertrophy can be due to physiological, inflammatory, or malignancy processes. Adenoid inflammatory process can be assessed using a flexible fiberoptic nasoendoscopy with narrow band imaging (NBI). Intranasal corticosteroid is one of the choices to treat adenoid hypertrophy in children; however, more experiments are needed to use it in adults. This study was performed in the period of November 2012 to January 2013 at the outpatient clinic of the Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery Department of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, using pre- and post-test open-labeled quasiexperimental design. Sample was selected through consecutive sampling, involving 11 subjects. Diagnosis was based on research subject’s anamnesis, ear nose and throat (ENT) physical examination, NBI-equipped fiberoptic nasoendocopy examination, and adenoid mucosal biopsy. Subjects were given intranasal corticosteroid therapy for four weeks. NBI-equipped fiberoptic nasoendocopy examination and biopsy examination were performed after therapy. Data were analyzed using Wilcoxon test, showing significant improvement of the adenoid inflammation after intranasal corticosteroids therapy (p<0.05). McNemar test results showed a significant reduction in adenoid size (p<0.05). Spearman rank test showed a significant correlation between histopathologic findings and NBI examination result (p<0.05). In conclusion, intranasal corticosteroids are effective for adult adenoid hypertrophy treatment based on NBI examination. [MKB. 2016;48(4):228–33]Key words: Adenoid hypertrophy, intranasal corticosteroids, narrow band imaging
Adaptasi Budaya, Alih Bahasa Indonesia, dan Validasi Sino-Nasal Outcome Test (SNOT)-22 Juanda, Ichsan Juliansyah; Madiadipoera, Teti; Ratunanda, Sinta Sari
Majalah Kedokteran Bandung Vol 49, No 4 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (115.2 KB) | DOI: 10.15395/mkb.v49n4.1145

Abstract

Kuesioner untuk menilai kualitas hidup saat ini semakin meningkat penggunaannya dalam penelitian klinis hasil intervensi medis, baik operatif maupun medikamentosa. SNOT-22 dianggap sebagai alat ukur yang paling sesuai untuk menilai kualitas hidup pasien rinosinusitis kronik.Tujuan penelitian ini melakukan adaptasi budaya, alih bahasa, dan validasi SNOT-22 ke dalam bahasa Indonesia. Penelitian deskriptif analitik potong lintang pada 50 pasien rinosinusitis kronik di Poliklinik Rinologi Alergi Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode November 2015–Februari 2016. Diagnosis berdasar atas anamnesis, tingkat berat penyakit, nasoendoskopi berdasa Lund-Kennedy, dan penilaian kualitas hidup dengan SNOT-22. Validasi kuesioner dalam bahasa Indonesia dilakukan dengan menerjemahkan kuesioner SNOT-22 versi bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh ahli bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali ke bahasa Inggris oleh ahli bahasa Inggris. Dilakukan uji reabilitas menggunakan Cronbach’s alpha dan uji validitas menggunakan Rank Spearman’s. Uji Cronbach’s alpha =0,936 (sangat andal), andal jika ≥0,7 menunjukkan konsistensi yang baik. Uji Rank Spearman’s: rs=0,961 dan rs=0,978 (valid); dan keandalan (korelasi skor genap dengan skor ganjil) rs=0,900. Simpulan, hasil uji statistik menunjukkan bahwa kuesioner SNOT-22 versi bahasa Indonesia merupakan alat ukur yang valid dengan konsistensi yang baik untuk menilai kualitas hidup pasien dengan rinosinusitis kronik. Kata kunci: Bahasa Indonesia, kualitas hidup, rinosinusitis kronik, SNOT-22, validasiIndonesian Cross-cultural Adaptation,  Translation, and Validation of Sino-Nasal Outcome Test (SNOT)-22Questionnaires for quality of life (QoL) have been increasingly used in clinical trials to evaluate the impact of medical and surgical procedures. Among these, SNOT-22 was considered as the most suitable tool for assessing QoL in chronic rhinosinusitis. The purpose of this study was to conduct cross-cultural adaptation, translation, and validation of the Indonesian version of SNOT-22. This was a descriptive analitical cross-sectional study on 50 patients with chronic rhinosinusitis at the Rhinology-Allergy Clinic of the ORL-HNS Department, Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran/Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, during the period of November 2015–February 2016. Diagnosis was made based on anamnesis while the severity of the disease was determined using nasoendoscopic findings (Lund-Kennedy). QoL was measured using SNOT-22. The validation process of the Indonesian questionnaire included translation of original SNOT-22 in to Indonesian by independent Indonesian translators, and backtranslation to English by English translators. The reliability of the questionnaire was measured using Cronbach’s alpha and the discriminant validity was assessed using Rank Spearman’s. Results showed a Cronbach’s alpha of 0,936, suggesting good internal consistency while the Rank Spearman’s correlation results suggested that the translation was valid (rs=0.961 and rs=0.978). Correlation for each individual QoL itemwas also reliable (rs=0.900). Therefore, the Indonesian version of the SNOT-22 is a valid instrument with good internal consistency and validity for assessing QoL in patients with CRS.Key words: Indonesian, chronic rhinosinusitis, quality of life, SNOT-2, validation
Rinosinusitis Alergi pada Hipertiroidisme Orlena Dharmantary Kartika; Sinta Sari Ratunanda; Teti Madiadipoera
Jurnal Sistem Kesehatan Vol 4, No 1 (2018): Volume 4 Nomor 1 September 2018
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.477 KB) | DOI: 10.24198/jsk.v4i1.19189

Abstract

Prevalensi penyakit alergi semakin meningkat di seluruh dunia, tetapi hubungan dan pengaruhnya dengan penyakit tiroid autoimun khususnya hipertiroidisme masih belum banyak dibahas dan dimunculkan kasusnya. Kasus ini diajukan untuk memberikan gambaran bahwa rinosinusitis alergi dan penyakit tiroid autoimun khususnya hipertiroidisme memiliki satu mata rantai yang saling berhubungan dari segi patofisiologi dan akan menentukan morbiditas hipertiroidisme tersebut. Dilaporkan dua kasus rinosinusitis alergi disertai hipertiroidisme. Kasus pertama wanita usia 64 tahun dengan benjolan di leher anterior, dan kasus kedua pasien pria usia 61 tahun yang dikonsulkan dari Poliklinik Endokrinologi Penyakit Dalam dengan keluhan utama hidung tersumbat. Pada kedua pasien dilakukan pemeriksaan skor total gejala hidung, penilaian kualitas hidup dengan SNOT-22, pemeriksaan nasoendoskopi dan Tes Kulit Tusuk (TKT), serta pemantauan kadar hormon tiroid dan konsumsi obat antitiroid, kemudian dilakukan tata laksana rinosinusitis alergi dengan pemberian cuci hidung, antibiotik, kortikosteroid intranasal, dan antihistamin generasi kedua. Didapatkan hasil penurunan skor total gejala hidung, perbaikan kualitas hidup, perbaikan secara nasoendoskopi, penurunan kadar hormon tiroid, serta penurunan konsumsi obat antitiroid. Rinosinusitis alergi pada hipertiroidisme harus ditangani dengan baik karena dengan mengatasi rinosinusitis alergi maka akan menurunkan morbiditas hipertiroidisme.Kata kunci: rinosinusitis alergi, penyakit tiroid autoimun, hipertiroidisme
Bedah Sinus Endoskopik Sebagai Pilihan Tata laksana Proptosis pada Mukosil Sinus Fronto-etmoidalis Asimetris Bilateral dengan Komplikasi Desti Kusmiardiani; Sinta Sari Ratunanda; Teti Madiadipoera
Jurnal Sistem Kesehatan Vol 3, No 3 (2018): Volume 3 Nomor 3 Maret 2018
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (237.291 KB) | DOI: 10.24198/jsk.v3i3.16991

Abstract

Mukosil sinus paranasal merupakan lesi kistik pada sinus, dihasilkan dari akumulasi sekresi mukus dan deskuamasi epitel akibat obstruksi kronis dari osteum sinus. Mukosil memiliki sifat tumbuh lambat, sering di area sinus frontal dan etmoid, namun jarang terjadi bilateral asimetris. Mukosildapat menyebabkan distensi dinding sinus, sehingga dapat menimbulkan komplikasi ke area sekitarnya, terutama area mata. Dilaporkan satu kasus mukosil sinus fronto-etmoidalis asimetris bilateral dengan komplikasi orbita unilateral di Rumah Sakit Dr.Hasan Sadikin.Wanita 67 tahun dengan gejala klinis proptosis nonaksial pada orbita kanan, tanpa disertai diplopia, gangguan gerak bola mata maupun visus. Pasien memiliki riwayat bekerja di pabrik pembakaran genteng selama puluhan tahun. Metode pemeriksaan nasoendoskopi dan CT Scan menunjukkan mukosil bilateral asimetris pada sinus frontal-etmoid.Dilakukan prosedur pengangkatan mukosil dengan pendekatan marsupialisasi secara endoskopik. Pascaoperasi didapatkanhasil perbaikan gejala proptosis dan tidak terdapat rekurensi mukosil.Penatalaksanaan segera pembedahan endoskopik pada mukosil sinus frontoetmoidalis dapat memperbaiki komplikasi proptosis dengan morbiditas yang rendah dan luka operasi yang minimal, dibandingkan bedah terbuka.Kata kunci: Mukosil sinus frontoetmoidal, proptosis, pembedahan endoskopi sinus