Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Protection of Human Rights in Southeast Asia with Special Reference to the Rohingya in Myanmar: A Critical Study of the Effect of ASEAN’s Policy and Action on ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) Rachminawati, Rachminawati; Mokhtar, Khairil Azmin
Padjadjaran Journal of International Law Vol 3, No 2 (2019): PJIL VOLUME 3, NUMBER 2, JUNE 2019
Publisher : Padjadjaran Journal of International Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (505.423 KB)

Abstract

AbstractSince its inception over four decades ago ASEAN has been working towards improving the lives of its citizens. Year 2009 has opened another chapter with the inauguration of AICHR pursuant to Article 14 of the ASEAN Charter at the 15th ASEAN Summit. Ever since, AICHR has conducted various activities. In the midst of these ?progress?,  the vital question remains unanswered; To what extend AICHR has been successful in protecting human rights of citizens in ASEAN countries? This shall be answered through qualitative legal research. This study serves as an analytical basis to predict the future development of the AICHR as well as human rights protection in South East Asia. Furthermore, it contributes to the reform of both ASEAN and AICHR toward implementation of human rights in the region. This research focuses on human rights issues of the Rohingya in Myanmar whereby ASEAN?s policy and action relating to the issue are examined. The finding shows that the policy and action of ASEAN does not provide much support in protecting the rights of the Rohingya. On the contrary, the policy has hindered the effort of AICHR in protecting human rights. AICHR is considered not independent since it almost completely relies on ASEAN. This article thus suggests ASEAN and its member states  to take real and concrete measures to protect human rights.  In   achieving  AICHR  and ASEAN?s objectives, ASEAN member states must respect human rights and support AICHR with necessary power and measure.Keywords: AICHR, ASEAN, Human Rights, Myanmar, Rohingya. AbstrakSejak kelahirannya empat dekade yang lalu, ASEAN selalu berupaya meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Tahun 2009 membuka lembaran baru ASEAN dengan adanya inaugurasi AICHR berdasarkan Pasal 14 dari Piagam ASEAN pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-15. Semenjak itu, AICHR telah melaksanakan berbagai kegiatan. Dalam perkembangannya, masih terdapat  pertanyaan penting yang belum terjawab; sejauh mana keberhasilan AICHR dalam  melindungi hak asasi dari warga negara-negara di ASEAN? Untuk menjawabnya, pertanyaan ini akan dijawab melalui penelitian hukum kualitatif. Penelitian ini berfungsi sebagai dasar analisis untuk memprediksi perkembangan AICHR juga perlindungan HAM di ASEAN. Selain itu, penelitian ini diharapkan  dapat memberikan berkontribusi terhadap reformasi ASEAN dan juga AICHR dalam perlindungan HAM  di ASEAN. Penelitian ini memfokuskan pada isu HAM kelompok  Rohingya di Myanmar dengan menelaah kebijakan dan tindakan ASEAN terhadap isu tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan dan tindakan ASEAN tidak memberikan cukup  dukungan dalam perlindungan HAM terhadap Rohingya, namun sebaliknya, kebijakan-kebijakan yang ada telah menghalangi uapaya AICHR dalam melindungai HAM. Sehingga  AICHR tidak benar-benar independen sebab AICHR bergantung nyaris sepenuhnya pada ASEAN. Oleh karenanya, ASEAN dan negara-negara anggotanya sebaiknya melakukan berbagai upaya  yang nyata dan konkret untuk melindungi HAM. Agar AICHR bisa merealisasikan maksud dan tujuannya, ASEAN dan negara-negara anggotanya harus menghormati HAM dan mendukung AICHR melalui berbagai upaya dan kekuatan yang diperlukan.Kata Kunci: AICHR, ASEAN, Hak Asasi Manusia, Myanmar, Rohingya.
PROTECTION OF HUMAN RIGHTS IN SOUTHEAST ASIA WITH SPECIAL REFERENCE TO THE ROHINGYA IN MYANMAR: A CRITICAL STUDY OF THE EFFECT OF ASEAN’S POLICY AND ACTION ON ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS (AICHR) Rachminawati; Khairil Azmin Mokhtar
Padjadjaran Journal of International Law Vol. 3 No. 2 (2019): Padjadjaran Journal of International Law, Volume 3, Number 2, June 2019
Publisher : International Law Department, Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/pjil.v3i2.315

Abstract

AbstractSince its inception over four decades ago ASEAN has always worked towards improving the lives of its citizens. Year 2009 has opened another chapter with the inauguration of AICHR pursuant to Article 14 of the ASEAN Charter at the 15th ASEAN Summit. Since then AICHR has conducted various activities. In the midst of these ‘progress’ the vital question remains unanswered; To what extent AICHR has been successful in protecting human rights of citizens in ASEAN countries? This shall be answered through qualitative legal research. This study serves as an analytical basis to predict the future development of the AICHR as well as human rights protection in South East Asia. Furthermore, it contributes to the reform of both ASEAN and AICHR toward implementation of human rights in the region. This research focuses on human rights issues of the Rohingya in Myanmar whereby ASEAN’s policy and action relating to the issue are examined. The finding shows that the policy and action of ASEAN does not provide much support in protecting the rights of the Rohingya. On the contrary, the policy has hindered the effort of AICHR in protecting human rights. AICHR is considered not independent since it almost completely relies on ASEAN. As therefore, it is recommended that ASEAN and its member states take real and concrete measures to protect human rights. Hence, to achieve AICHR and ASEAN’s objectives, lASEAN and its member states must respect human rights and support AICHR with necessary power and measure. Keywords: AICHR, ASEAN, Human Rights, Myanmar, Rohingya. Abstrak Sejak kelahirannya empat dekade yang lalu, ASEAN selalu berupaya meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Tahun 2009 membuka lembaran baru ASEAN dengan adanya inaugurasi AICHR berdasarkan Pasal 14 dari Piagam ASEAN pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-15. Semenjak itu, AICHR telah melaksanakan berbagai kegiatan. Dalam perkembangannya, masih terdapat pertanyaan penting yang belum terjawab; sejauh mana keberhasilan AICHR dalam melindungi hak asasi dari warga negara-negara di ASEAN? Untuk menjawabnya, pertanyaan ini akan dijawab melalui penelitian hukum kualitatif. Penelitian ini berfungsi sebagai dasar analisis untuk memprediksi perkembangan AICHR juga perlindungan HAM di ASEAN. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan berkontribusi terhadap reformasi ASEAN dan juga AICHR dalam perlindungan HAM di ASEAN. Penelitian ini memfokuskan pada isu HAM kelompok Rohingya di Myanmar dengan menelaah kebijakan dan tindakan ASEAN terhadap isu tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan dan tindakan ASEAN tidak memberikan cukup dukungan dalam perlindungan HAM terhadap Rohingya, namun sebaliknya, kebijakan-kebijakan yang ada telah menghalangi upaya AICHR dalam melindungi HAM. Sehingga AICHR tidak benar-benar independen sebab AICHR bergantung nyaris sepenuhnya pada ASEAN. Oleh karenanya, ASEAN dan negara-negara anggotanya sebaiknya melakukan berbagai upaya yang nyata dan konkret untuk melindungi HAM. Agar AICHR bisa merealisasikan maksud dan tujuannya, ASEAN dan negara-negara anggotanya harus menghormati HAM dan mendukung AICHR melalui berbagai upaya dan kekuatan yang diperlukan. Kata Kunci: AICHR, ASEAN, Hak Asasi Manusia, Myanmar, Rohingya
ASEAN HUMAN RIGHTS DECLARATION: A NEW FORM OF UNIVERSALISM Rachminawati, Rachminawati Rachminawati
Indonesian Journal of International Law
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.447 KB)

Abstract

Just Recently ASEAN has adopted The ASEAN Human Rights Declaration. This declaration is a corner stone for ASEAN to establish human rights law instruments and mechanism in the future in order to support the upcoming ASEAN Community in 2015. However there are a lot of critiques upon the Declaration mostly come from human rights activist and NGOs. It is crticized that the declaration's principles and articles could be erode universality of human rights as stated in the Universal Declaration of Human Rights. Highly criticized is to article 7 of the Declaration which mention that the realization of human rights must be considered in the regional and national context bearing in mind differentpolitical, economic, legal, social, cultural, historical and religious backgrounds. It argues that this article will use as a tool for state to limit the people rights. Contrary to mainstream critiques, the paper argues that the declaration did not contain any principles that erode the universality of human rights and fundamental freedom. Article 7 of the declaration is a limitation of rights pursuant to the international human rights law called Margin of Appreciation. The margin of appreciation doctrine allows the court to take into effect the fact that the Convention will be interpreted differently in different member states. Judges are obliged to take into account the cultural, historic and philosophical differences between Strasbourg and the nation in question.
LESSON LEARNED FOR ASEAN FROM THE INTEGRATION OF HUMAN RIGHTS IN THE EUROPEAN UNION (THE EU) Rachminawati, Rachminawati
Indonesian Journal of International Law
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2381.809 KB)

Abstract

Human rights are one of the EU’s tools to integrate its member states as well as its citizens. The integration of human rights into EU law and policy build the concept of “the new EU” which is to establish “economic space” together with the space of liberty, justice and security which is implemented in the third pillar of the Maastricht Treaty .EU experience shows that the integration of human rights into their law and policy not only enhance the protection of human rights and democratic legitimacy but also economic, social welfare and peaceful life. Integration of human rights demonstrates the possibility of a plural nation which have a background of century-old conflicts to become one strong institution. The EU and ASEAN follow a similar path of regional integration. The success of the EU integration includes human rights integration and has made the EU a model for ASEAN integration. Despite, their differences, the ASEAN can learn the positive contribution of integrating human rights in the EU as the ASEAN is moving from economic cooperation to other related areas including human rights through ASEAN Community in 2015.
IMPORTANT LESSONS FROM AFRICAN HUMAN RIGHTS MECHANISM FOR ASEAN: COMMON PATH AND SELF-ENFORCING EQUILIBRIA Rachminawati; Khairil Azmin Mohktar
Padjadjaran Journal of International Law Vol. 4 No. 1 (2020): Padjadjaran Journal of International Law, Volume 4, Number 1, January 2020
Publisher : International Law Department, Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/pjil.v4i1.341

Abstract

AbstractIdeally, regional regimes are promising for investigating and remedying human rights violations. This manuscript focuses on the establishment process of regional mechanisms in Africa, specifically on the similarities and dissimilarities among them and look at how the enforcement mechanisms work. It seeks and analyses the process of creating a mechanism to protect individuals' rights in the African region, and present thoughts about how the institution can improve in protecting their peoples' human rights. According to the African experience, institutional building is a long process requiring flexibility and adaptiveness to many conditions facing ahead. As it goes with many uncertainties, all stakeholders, especially those in power, have strong and proactive leadership. In this regard, ASEAN can follow African states’ path to seek and build their human rights mechanisms under their interest as well as other regions’ common paths, such as establishing a commission followed by a court. Further, Africa succeeded in creating a Self-Enforcing Equilibria where African states and elites believe that they can violate the rule and would be worse off if they did so. It has passed this step successfully by establishing human rights institution, including human rights court, to avoid that. Conclusively, African proves that human rights can be protected and promoted without damaging state sovereignty and along the principle of non-interference. Therefore, ASEAN can learn from African's experience. To begin with, ASEAN is unnecessary to have the ideal human rights convention; at the beginning, it shall focus on what it needs and what can be agreed upon. Keywords: ASEAN, Regional Human Rights, Self-Enforcing Equilibria AbstrakSecara ideal, rezim hukum regional menjanjikan dalam menyelidiki dan menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia. Tulisan ini memfokuskan diri pada proses pembentukan mekanisme regional di Afrika, terutama berkenaan persamaan dan perbedaan yang ada, serta meneliti cara kerja penegakan hukum yang ada. Tulisan ini turut menganalisis proses pembentukan mekanisme dalam melindungi hak individu di Afrika, dan memberikan pandangan bagaimana institusi terkait dapat mengembangkan diri dalam melindungi hak asasi manusia. Berdasarkan pengalaman Afrika, pembentukan institusi adalah proses panjang yang membutuhkan fleksibilitas dan adaptasi terhadap situasi masa depan. Oleh karena ketidakpastian yang ada, seluruh pihak yang terkait, terutama yang berkuasa, memiliki kepemimpinan yang kuat dan proaktif. ASEAN dapat mencontoh langkah negara Afrika dalam membangun mekanisme hak asasi manusia seturut kepentingannya dan juga mencontoh langkah umum wilayah lain, seperti membentuk komisi dan pengadilan. Afrika berhasil membentuk self-enforcing equilibria, di mana negara dan pemimpin Afrika sadar bahwa aturan tersebut dapat dilanggar, namun dengan konsekuensi yang buruk. Afrika telah membentuk institusi hak asasi manusia, termasuk pengadilan hak asasi manusia, untuk mencegah hal tersebut. Pada akhirnya, Afrika membuktikan bahwa hak asasi manusia dapat dilindungi dan dimajukan tanpa merusak kedaulatan negara dan sejalan dengan prinsip non-intervensi. Dalam hal ini, ASEAN tidak perlu memiliki konvensi hak asasi manusia pada tahap awal, melainkan memfokuskan diri terhadap kebutuhannya dan apa yang dapat diselesaikan bersama. Kata Kunci: ASEAN, HAM Regional, Self-Enforcing Equilibria
IS THE AICHR AN UNWANTED HUMAN RIGHTS BODY IN THE ASEAN? THE ANSWER FROM THE INTERNATIONAL ORGANIZATIONAL LAW PERSPECTIVE Rachminawati
Padjadjaran Journal of International Law Vol. 6 No. 1 (2022): Padjadjaran Journal of International Law, Volume 6, Number 1, January 2022
Publisher : International Law Department, Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/pjil.v6i1.814

Abstract

The AICHR is a remarkable achievements of ASEAN after having the ASEAN Charter in 2007. However, since the TOR of AICHR has a serious institutional defect that makes the AICHR unable to protect peoples’ human rights, the AICHR could not be act as a human rights guardian in the region. It leads to the question whether the ASEAN and its member states want the body to be established to protect the people in the region? The answer to this question is important to figure out the future human rights mechanisms in the region. The question will be addressed through qualitative and normative legal research. Field research was conducted to resolve some questions that are not provided in the literature to enrich the understanding on the topic from the ASEAN elites, practioner, and academicians. It finds that The institutional defect and less political support showed that ASEAN and its member states do not want to have a reliable regional human rights mechanism. However, it finds that there was an evolutionary approach that has been conducted by the AICHR despite that situation to promote human rights in the region. The study suggests the AICHR to use strong words of the TOR and the ASEAN Charter to enhance their performance and reliability. A new approach for human rights mechanisms that sets in a formal way; under a legal-binding instrument are more favorable. Therefore, if the AICHR show that characteristic, it will be supported by the ASEAN and its member states.
HUMAN RIGHTS VS FUNDAMENTAL RIGHTS : THEORETICAL DIALECTICS OVER THE DEBATE BETWEEN UNIVERSALIST AND PARTICULARIST VIEWS Rachminawati
Mimbar Hukum Vol 35 No 2 (2023): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/mh.v35i2.6920

Abstract

Abstract The term “human rights” represents a universalist notion and doctrine of rights brought by the 1948 United Nations Universal Declaration of Human Rights, thus often appears to be in friction with particularistic notions of rights. Despite the Vienna Declaration 1993 purportedly settling the debate, problems appear to persist and often only escalates day after day. Here, I comparatively examine the doctrinal foundations of the “human rights” notion and compare it with the “fundamental rights” notion in how they affect the dilemma of universality versus particularism, and their impact on the enforcement and institutionalization of rights. This paper concludes by finding that the use of the term ‘fundamental rights’ instead of ‘universal human rights’ better accommodates states’ uniqueness ultimately achieving the ideals of human rights and is more acceptable to then afford more protectionAbstrak Istilah “hak asasi manusia” mewakili gagasan universal dan doktrin hak-hak yang ada dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa 1948, dan sering kali terlihat berseberangan dengan gagasan-gagasan hak yang bersifat partikularistik. Meskipun Deklarasi Wina 1993 seolah menyelesaikan perdebatan tersebut, ternyata hari demi hari tampak masalah-masalah itu masih ada dan sering kali semakin meruncing. Tulisan ini secara komparatif menelaah landasan doktrinal dari gagasan “hak asasi manusia” dan membandingkannya dengan gagasan “hak-hak fundamental” dalam hal bagaimana gagasan tersebut memengaruhi dilema universalitas versus partikularisme, serta dampaknya pada penegakan dan institusionalisasi hak-hak. Makalah ini menyimpulkan bahwa penggunaan istilah ‘hak-hak fundamental’ daripada ‘hak asasi manusia universal’ adalah lebih baik karena dapat menyesuaikan dengan keunikan setiap negara yang pada akhirnya mencapai cita-cita hak asasi manusia, selain lebih diterima oleh negara-negara sehingga diharapkan memberikan perlindungan yang lebih besar.
Stagnasi Penanganan Kasus Terorisme di ASEAN: Kritik terhadap Tumpang Tindih Regulasi dan Kendala Implementasinya rachminawati, rachminawati; Nursabila, Arivania Shafa
El-Dusturie Vol 2 No 2 (2023)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/el-dusturie.v2i2.7138

Abstract

Terorisme merupakan tindak pidana yang dapat menimbulkan efek domino negatif bagi stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut juga tentu berlaku bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. ASEAN sebagai organisasi internasional yang mewadahi relasi dan aktivitas negara-negara di Asia Tenggara, tentu juga memiliki concern terhadap isu terorisme yang mungkin mengancam negara anggotanya. Dalam hal ini, semenjak kelahirannya, ASEAN telah membuat berbagai produk hukum yang bertujuan untuk mengantisipasi kasus terorisme di kawasan Asia Tenggara, seperti ASEAN-US Joint Declaration for Coorperation to Combat International Terrorism 2002, Joint Declaration on Coorperation to Combat Terrorism 2003, ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) 2007. Namun, meskipun telah menghasilkan berbagai instrumen hukum yang spesifik mengkaji upaya pencegahan terorisme, tingkat kasus terorisme yang terjadi di ASEAN masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari Global Terrorism Database, insiden terorisme di Asia Tenggara mencapai 3.689 kasus sepanjang tahun 2016 hingga 2019. Berdasarkan data tersebut, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kasus terorisme masih menjadi cucuk yang mengancam eksistensi negara-negara ASEAN. Hal ini tentu menjadi satu permasalahan yang tidak boleh diabaikan oleh negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, dalam artikel ini, penulis bermaksud melakukan analisis dan kajian yuridis normatif terhadap instrumen hukum ASEAN serta organ yang bertugas menangani kasus terorisme serta bertanggung jawab atas pencegahannya, untuk kemudian menemukan jawaban mengapa terjadi stagnasi dalam penanganan kasus terorisme di ASEAN. Berdasarkan analisis, didapat kesimpulan bahwa terdapat setidaknya dua alasan yang menyebabkan stagnasi tersebut. Pertama, produk-produk hukum anti-terorisme di ASEAN belum memberikan mekanisme pembuatan organ atau komite yang jelas, sehingga dalam penanganannya, kasus terorisme ini diselesaikan dengan cara yang berbeda-beda. Yang kedua daripada hal tersebut, terdapat adanya perbedaan regulasi penyelesaian kasus terorisme antar negara anggota ASEAN sehingga mempersulit implementasinya di lapangan. Hal ini tentu membuat penanganan kasus cenderung lebih lama.
Stagnasi Penanganan Kasus Terorisme di ASEAN: Kritik terhadap Tumpang Tindih Regulasi dan Kendala Implementasinya rachminawati, rachminawati; Nursabila, Arivania Shafa
El-Dusturie Vol 2 No 2 (2023)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/el-dusturie.v2i2.7138

Abstract

Terorisme merupakan tindak pidana yang dapat menimbulkan efek domino negatif bagi stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut juga tentu berlaku bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. ASEAN sebagai organisasi internasional yang mewadahi relasi dan aktivitas negara-negara di Asia Tenggara, tentu juga memiliki concern terhadap isu terorisme yang mungkin mengancam negara anggotanya. Dalam hal ini, semenjak kelahirannya, ASEAN telah membuat berbagai produk hukum yang bertujuan untuk mengantisipasi kasus terorisme di kawasan Asia Tenggara, seperti ASEAN-US Joint Declaration for Coorperation to Combat International Terrorism 2002, Joint Declaration on Coorperation to Combat Terrorism 2003, ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) 2007. Namun, meskipun telah menghasilkan berbagai instrumen hukum yang spesifik mengkaji upaya pencegahan terorisme, tingkat kasus terorisme yang terjadi di ASEAN masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari Global Terrorism Database, insiden terorisme di Asia Tenggara mencapai 3.689 kasus sepanjang tahun 2016 hingga 2019. Berdasarkan data tersebut, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kasus terorisme masih menjadi cucuk yang mengancam eksistensi negara-negara ASEAN. Hal ini tentu menjadi satu permasalahan yang tidak boleh diabaikan oleh negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, dalam artikel ini, penulis bermaksud melakukan analisis dan kajian yuridis normatif terhadap instrumen hukum ASEAN serta organ yang bertugas menangani kasus terorisme serta bertanggung jawab atas pencegahannya, untuk kemudian menemukan jawaban mengapa terjadi stagnasi dalam penanganan kasus terorisme di ASEAN. Berdasarkan analisis, didapat kesimpulan bahwa terdapat setidaknya dua alasan yang menyebabkan stagnasi tersebut. Pertama, produk-produk hukum anti-terorisme di ASEAN belum memberikan mekanisme pembuatan organ atau komite yang jelas, sehingga dalam penanganannya, kasus terorisme ini diselesaikan dengan cara yang berbeda-beda. Yang kedua daripada hal tersebut, terdapat adanya perbedaan regulasi penyelesaian kasus terorisme antar negara anggota ASEAN sehingga mempersulit implementasinya di lapangan. Hal ini tentu membuat penanganan kasus cenderung lebih lama.