Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Human Rights in the Distribution of Vaccines Against Civilians According to International Law: An Analysis of Human Rights Problems in the Acceptance of Vaccines COVID-19 in Philippines Nursabila, Arivania Shafa; Rifana, Ruri
Padjadjaran Journal of International Law Vol. 8 No. 1 (2024): Padjadjaran Journal of International Law, Volume 8, Number 1, January 2024
Publisher : International Law Department, Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/pjil.v8i1.1388

Abstract

In an effort to boost the Philippines' economic recovery amidst the COVID-19 pandemic, the government made the decision in January 2022 to allow foreign tourists to enter the country without the need for quarantine, as long as they can provide proof of vaccination. However, some Filipinos have expressed discontent with this choice, as unvaccinated individuals continue to face travel difficulties. Addressing this issue, President Rodrigo Duterte has warned that those who choose not to get vaccinated and violate stay-at-home orders may face arrest. Extensive analysis and literature review have revealed that vaccination is a communal right. While the decision to receive a vaccine is a personal choice, legal principles dictate that every individual has the right to choose what substances are introduced into their body. However, in cases where there is a high risk of contagion, such as with Covid-19, governments may mandate the distribution of vaccines for public safety. This conclusion is based on an evaluation of international legal instruments, including the UDHR, ICCPR, ICESCR, and others.
Stagnasi Penanganan Kasus Terorisme di ASEAN: Kritik terhadap Tumpang Tindih Regulasi dan Kendala Implementasinya rachminawati, rachminawati; Nursabila, Arivania Shafa
El-Dusturie Vol 2 No 2 (2023)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/el-dusturie.v2i2.7138

Abstract

Terorisme merupakan tindak pidana yang dapat menimbulkan efek domino negatif bagi stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut juga tentu berlaku bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. ASEAN sebagai organisasi internasional yang mewadahi relasi dan aktivitas negara-negara di Asia Tenggara, tentu juga memiliki concern terhadap isu terorisme yang mungkin mengancam negara anggotanya. Dalam hal ini, semenjak kelahirannya, ASEAN telah membuat berbagai produk hukum yang bertujuan untuk mengantisipasi kasus terorisme di kawasan Asia Tenggara, seperti ASEAN-US Joint Declaration for Coorperation to Combat International Terrorism 2002, Joint Declaration on Coorperation to Combat Terrorism 2003, ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) 2007. Namun, meskipun telah menghasilkan berbagai instrumen hukum yang spesifik mengkaji upaya pencegahan terorisme, tingkat kasus terorisme yang terjadi di ASEAN masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari Global Terrorism Database, insiden terorisme di Asia Tenggara mencapai 3.689 kasus sepanjang tahun 2016 hingga 2019. Berdasarkan data tersebut, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kasus terorisme masih menjadi cucuk yang mengancam eksistensi negara-negara ASEAN. Hal ini tentu menjadi satu permasalahan yang tidak boleh diabaikan oleh negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, dalam artikel ini, penulis bermaksud melakukan analisis dan kajian yuridis normatif terhadap instrumen hukum ASEAN serta organ yang bertugas menangani kasus terorisme serta bertanggung jawab atas pencegahannya, untuk kemudian menemukan jawaban mengapa terjadi stagnasi dalam penanganan kasus terorisme di ASEAN. Berdasarkan analisis, didapat kesimpulan bahwa terdapat setidaknya dua alasan yang menyebabkan stagnasi tersebut. Pertama, produk-produk hukum anti-terorisme di ASEAN belum memberikan mekanisme pembuatan organ atau komite yang jelas, sehingga dalam penanganannya, kasus terorisme ini diselesaikan dengan cara yang berbeda-beda. Yang kedua daripada hal tersebut, terdapat adanya perbedaan regulasi penyelesaian kasus terorisme antar negara anggota ASEAN sehingga mempersulit implementasinya di lapangan. Hal ini tentu membuat penanganan kasus cenderung lebih lama.
Stagnasi Penanganan Kasus Terorisme di ASEAN: Kritik terhadap Tumpang Tindih Regulasi dan Kendala Implementasinya rachminawati, rachminawati; Nursabila, Arivania Shafa
El-Dusturie Vol 2 No 2 (2023)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/el-dusturie.v2i2.7138

Abstract

Terorisme merupakan tindak pidana yang dapat menimbulkan efek domino negatif bagi stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut juga tentu berlaku bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. ASEAN sebagai organisasi internasional yang mewadahi relasi dan aktivitas negara-negara di Asia Tenggara, tentu juga memiliki concern terhadap isu terorisme yang mungkin mengancam negara anggotanya. Dalam hal ini, semenjak kelahirannya, ASEAN telah membuat berbagai produk hukum yang bertujuan untuk mengantisipasi kasus terorisme di kawasan Asia Tenggara, seperti ASEAN-US Joint Declaration for Coorperation to Combat International Terrorism 2002, Joint Declaration on Coorperation to Combat Terrorism 2003, ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) 2007. Namun, meskipun telah menghasilkan berbagai instrumen hukum yang spesifik mengkaji upaya pencegahan terorisme, tingkat kasus terorisme yang terjadi di ASEAN masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari Global Terrorism Database, insiden terorisme di Asia Tenggara mencapai 3.689 kasus sepanjang tahun 2016 hingga 2019. Berdasarkan data tersebut, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kasus terorisme masih menjadi cucuk yang mengancam eksistensi negara-negara ASEAN. Hal ini tentu menjadi satu permasalahan yang tidak boleh diabaikan oleh negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, dalam artikel ini, penulis bermaksud melakukan analisis dan kajian yuridis normatif terhadap instrumen hukum ASEAN serta organ yang bertugas menangani kasus terorisme serta bertanggung jawab atas pencegahannya, untuk kemudian menemukan jawaban mengapa terjadi stagnasi dalam penanganan kasus terorisme di ASEAN. Berdasarkan analisis, didapat kesimpulan bahwa terdapat setidaknya dua alasan yang menyebabkan stagnasi tersebut. Pertama, produk-produk hukum anti-terorisme di ASEAN belum memberikan mekanisme pembuatan organ atau komite yang jelas, sehingga dalam penanganannya, kasus terorisme ini diselesaikan dengan cara yang berbeda-beda. Yang kedua daripada hal tersebut, terdapat adanya perbedaan regulasi penyelesaian kasus terorisme antar negara anggota ASEAN sehingga mempersulit implementasinya di lapangan. Hal ini tentu membuat penanganan kasus cenderung lebih lama.