Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Desain Interior Sebagai Medium Komunikasi Nonverbal Restoran Eat Happens Dalam Membentuk Reputasi Rana Putri Pradini; Jefri Audi Wempi
PRofesi Humas Vol 3, No 2 (2019): PRofesi Humas Accredited by Kemenristekdikti RI SK No. 10/E/KPT/2019
Publisher : LP3 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2248.53 KB) | DOI: 10.24198/prh.v3i2.18734

Abstract

Perubahan gaya hidup, kebiasaan, dan trend dalam menikmati serta mengkonsumsi makanan pada kalangan remaja maupun dewasa, membuat para pebisnis kuliner semakin kreatif menuangkan ide-ide baru mengenai restoran, salah satunya adalah Restoran Eat Happens. Penelitian ini membahas tentang desain interior sebagai medium komunikasi nonverbal restoran Eat Happens dalam membentuk reputasi. Hal ini dilakukan dengan tujuan memahami bagaimana penggunaan desain interior untuk membentuk reputasi restoran Eat Happens. Desain interior suatu restoran diharapkan sesuai dengan konsep restoran itu sendiri agar mencerminkan identitas restoran sehingga menjadi suatu ciri khas dan membentuk reputasi yang baik di benak konsumen. Penelitian ini menggunakan teori Masyarakat Konsumsi dan dilengkapi dengan teori Reputasi, Komunikasi Nonverbal dan Desain Interior. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Kualitatif Deskriptif. Dalam penelitian ini, desain interior industrial-vintage pada restoran Eat Happens mampu menarik perhatian konsumen kemudian konsumen merasa nyaman dan percaya untuk datang mengkonsumsi produk serta suasana restoran. Selanjutnya, konsumen akan terus memberikan timbal balik yang baik kepada restoran dengan bersedia merekomendasikan kepada keluarga dan kerabat nya yang secara tidak langsung dapat membentuk reputasi restoran Eat Happens dimata masyarakat. Penggunaan Desain Interior dianggap menjadi penting untuk memberikan kesan pertama yang baik kepada konsumen, dan menjadi sebuah komunikasi nonverbal restoran kepada konsumen yang dapat membentuk reputasi restoran Eat Happens.
EKONOMI KREATIF SEBAGAI PELUANG REMAJA AUTISTIK BERWIRAUSAHA Chrisdina; Jefri Audi Wempi; Nurul Hidayah
Bahasa Indonesia Vol 17 No 02 (2020): Sarwahita : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21009/sarwahita.172.4

Abstract

Abstract The existence of autistic individuals in Indonesia continues to increase, this can be seen from the number of inclusive schools that continue to emerge. The increase in the number of schools provides wider opportunities to have abilities both academically and skills. The academic ability achieved has not been able to allow autistic adolescents to have a job. Apart from that, parents also need to get an understanding of how to make an effort that these autistic adolescents can do. The creative economy, especially crafts, can be a solution to these problems. The LSPR Communication and Business Institute sees this phenomenon as an opportunity to be able to develop an empowerment program for autistic adolescents so that they can have the opportunity to be able to earn their own income. Through the work training center program, autistic adolescents are taught the skills to process textiles using dyeing techniques. During the Covid 19 pandemic the learning system applied was online. The advantage of online training allows parents to assist and be able to ask questions from the process to the opportunity to market the product. After the program has been running for 6 months, 2 home businesses have been formed, which have been carried out by autistic teenagers and their parents. It was concluded that the empowerment program for adolescents with autism must be accompanied by building awareness and the communication is well accepted. ability of parents to become entrepreneurs. The use of google meet as a new technology in Keywords: autism youth; creative economy; entrepreneurship Abstrak Keberadaan individu autis di Indonesia terus bertambah, ini nampak dari jumlah sekolah inklusi yang terus bermunculan. Pertambahan jumlah sekolah memberikan peluang yang lebih luas untuk memiliki kemampuan baik secara akademik maupun keterampilan. Kemampuan akademik yang dicapai belum dapat memberikan kesempatan para remaja autis memiliki pekerjaan. Selain hal itu orangtua juga perlu mendapat pemahaman bagaimana membuat sebuah usaha yang mampu dilakukan oleh para remaja autis tersebut. Ekonomi kreatif khususnya kerjainan dapat menjadi salah satu pemecahan masalah tersebut. Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR melihat fenomena tersebut menjadi sebuah peluang untuk dapat mengembangkan sebuah program pemberdayaa remaja autis agar mampu memiliki peluang untuk dapat memiliki penghasilan sendiri. Melalui program balai latihan kerja para remaja autis diajari keterampilan mengolah teksil dengan teknik celup. Pada masa pandemi Covid 19 sistem pembelajaran yang diterapkan adalah melalui daring. Keuntungan pelatihan daring memberikan kesempatan orangtua untuk mendampingi dan dapat bertanya mulai dari proses hingga kesempatan untuk memasarkan produk. Setelah program berjalan 6 bulan sudah terbentuk 2 usaha rumahan yang dikerjakan oleh remaja autis dan orangtuanya. Disimpulkan bahwa program pemberdayaan reamja autis harus dibarengi dengan dibangunnya kesadaran dan kemampuan orangtua untuk berwirausaha. Penggunaan media google meet sebagai teknologi baru dalam berkomunikasi dapat diterima dengan baik.
MAKNA TENUN IKAT DAYAK SINTANG DITINJAU DARI TEORI SEMIOTIKA SOSIAL THEO VAN LEEUWEN Januarti Januarti; Jefri Audi Wempi
Bricolage : Jurnal Magister Ilmu Komunikasi Vol 5, No 01 (2019): Accredited by Kemenristekdikti RI SK 36/E/KPT/2019
Publisher : Universitas Bunda Mulia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (625.152 KB) | DOI: 10.30813/bricolage.v5i01.1743

Abstract

ABSTRACTSintang’s Dayak ikat weaving, which is one of the cultural artifacts of Sintang District, West Kalimantan, is used by indigenous peoples (Dayak tribes) as part of their lives in the process of weaving and local customary events. In addition, Sintang’s Dayak ikat weaving is also used as a local branding communication medium through its use in the formal and informal activities of the government and the private sector, for example, in welcoming guests and giving souvenirs. However, the tradition of Sintang’s Dayak ikat weaving was once abandoned by the Dayak people because it was considered a symbol of underdevelopment or backwardness. Through the collaboration of several non-governmental institutions, a revitalization of Dayak ikat weaving was carried out which caused a shift in the meaning of Sintang’s Dayak ikat weaving. This matter forms the basis for the present research into the meaning of Sintang’s Dayak ikat weaving which uses Theo Van Leeuwen's semiotic social theory to understand: the meaning of Sintang’s Dayak ikat weaving, interpretation by the sign readers of Sintang’s Dayak ikat weaving, and how signs and meanings are exchanged based on semiotic resources. This is a qualitative study using the interpretive paradigm. Data collection was carried out through unstructured interviews with people who come in direct contact with the weaving process and people who enjoy woven products, as well as field observations and literature studies. The results showed that the meaning of Sintang’s Dayak ikat weaving went through a shift when there were influences from outside that changed the views of the Dayaks regarding Sintang’s Dayak ikat weaving, and its meaning is formed today by its function as cultural artifacts, regional identities, economic commodities and tourism potential and investment.Keywords; social semiotics, ikat weaving, culture, sintangABSTRAKTenun ikat Dayak Sintang yang merupakan salah satu artefak budaya di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat digunakan oleh masyarakat adat (suku Dayak) sebagai bagian dari kehidupan mereka dalam proses penenunan dan acara adat istiadat setempat. Selain itu, tenun ikat Dayak Sintang juga digunakan sebagai media komunikasi identitas daerah Sintang (local branding) melalui penggunaannya dalam kegiatan formal dan non formal pemerintah dan pihak swasta, misalnya dalam penyambutan tamu dan pemberian cendera mata. Namun, tradisi menenun tenun ikat Dayak Sintang pernah ditinggalkan oleh masyarakat Dayak karena tenun ikat Dayak Sintang dianggap sebagai lambang ketertinggalan atau keterbelakangan. Melalui kerja sama beberapa lembaga non pemerintah dilakukan revitalisasi tenun ikat Dayak yang membuat makna tenun ikat Dayak Sintang mengalami pergeseran. Hal tersebut mendasari peneliti melakukan penelitian mengenai makna tenun ikat Dayak Sintang ditinjau dari teori semiotika sosial Theo Van Leeuwen untuk memahami: makna dari tenun ikat Dayak Sintang, interpretasi pembaca tanda atas tenun ikat Dayak Sintang, dan bagaimana tanda dan makna dipertukarkan berdasarkan semiotic resources. Penelitian ini adalah penelitiaan kualitatif dengan menggunakan paradigma interpretif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara tidak terstruktur pada orang-orang yang bersentuhan langsung dengan proses penenunan dan orang-orang yang menikmati hasil tenunan, serta observasi lapangan dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna tenun ikat Dayak Sintang mengalami pergeseran ketika ada pengaruh dari luar yang mengubah pandangan orang Dayak mengenai tenun ikat Dayak Sintang, dan saat ini makna yang terbentuk adalah sebagai artefak budaya, identitas daerah, komoditas ekonomi serta potensi wisata dan investasi.Kata Kunci; semiotika sosial, tenun ikat, budaya, sintang
Hegemoni Hollywood Pada Film American Sniper Melis Tanaka; J. A. Wempi
Jurnal Komunikasi Global Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (412.601 KB) | DOI: 10.24815/jkg.v8i1.13523

Abstract

Most movies shown in Indonesian cinemas are Hollywood movies. From existing genres, war movies tend to be used by Hollywood to spread their hegemonic practices. American Sniper, which was released in 2014, is one of the examples. The heroic scene acted by the main lead persuades the audience that America has a hero involved in Navy SEALs. This study was qualitative research using a critical paradigm. Hollywood’s hegemony in the film American Sniper (2014) could be understood by elaborating the three dimensions of Critical Discourse Analysis by Norman Fairclough, along with the theory of hegemony by Antonio Gramsci. The result of the research shows that in microanalysis, there are universal and idealist elements such as patriotism, nationalism, and loyalty. Meso analysis found that PT. Omega Film is a registered distributor of Film Censorship Institute (LSF) as part of the Political Society, according to Gramsci, which plays a significant role in the distribution of Hollywood films in Indonesia. Based on the macro analysis, the American Sniper (2014) film is one of the hegemonic practices of Hollywood in the era of neo-conservative that contains American centric.
OPINI DAN SIKAP SUBKULTUR PEMUDA ATAS ISU STUNTING DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM Jefri Audi Wempi; Chrisdina Chrisdina; Yolanda Stellarosa; Rizka Septiana; Dunola Tri Nugraeni
Jurnal Pustaka Komunikasi Vol 6, No 1 (2023): Accredited by Kemendikbud Dikti SK No. 79/E/KPT/2023
Publisher : Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32509/pustakom.v6i1.2552

Abstract

Human resource development is the focus of the government in the 2020-2024 National Medium Term Draft. One of the concerns is stunting. Bandung Regency is one of the areas with a high prevalence of stunting. Data from the 2022 Indonesia Nutrition Status Study shows that the prevalence of stunting in the Bandung Regency area reaches 31.1 percent or 112,000 people. Sukamulya Village is one of the villages that has implemented a stunting prevention program seriously. The stunting prevalence rate can be reduced to 11 percent per year in 2021 from 14 percent in 2019. This figure is indeed quite good, but the decline in the number which is only 1 percent per year is an interesting thing to study. One of the causes of stunting is early marriage by young people. Therefore this study aims to understand the opinions and attitudes of the youth subculture of Sukamulya Village on the issue of stunting. The theory used in this research is Youth Subculture and Social Learning Theory. The research methodology uses a constructivist qualitative approach. The results showed that the opinions and attitudes of the youth subculture in Sukamulya Village were divided into three groups. Groups that have awareness of the issues of stunting and early marriage, groups that know about stunting issues but don't care about them and groups that don't know. The emergence of these three groups is due to different levels of consciousness and intellect.
Formation of Adolescents’ Understanding of Stunting Through The Communication Skilled Program at Vocational Schools Stellarosa, Yolanda; Chrisdina, Chrisdina; Wempi, Jefri Audi; Septiana, Rizka
Communicare : Journal of Communication Studies Vol. 10 No. 2 (2023): Communicare: Journal of Communication Studies
Publisher : Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37535/101010220234

Abstract

Stunting is a chronic malnutrition problem caused by a lack of nutritional intake for a long time resulting, in impaired growth in children. The Bandung Regency area is one of the areas experiencing an increasing number of stunting in years. Adolescents who are assumed to be the main element who should understand stunting, are not yet proven to be strong. A unique way is needed and should not give them the impression of being forced to learn new things. Communication and socialization training related to stunting issues is a strategy to instill an understanding of the importance of a healthy lifestyle as stunting prevention, as well as provide provisions to be able to disseminate this information through various innovations that can make their peers interested in stunting issues. This study used a quantitative research method, by distributing questionnaires to students at SMK Bintara Rancaekek, Linggar Village, West Java. The results of the study show that most respondents have a good understanding of stunting, which includes characteristics, causes, prevention, and participation or role, that adolescents want to carry out as agents of change in stunting prevention. Based on the results of the research, the provision included in communication training materials can be an alternative way of educating youth in the village. Keywords: Stunting, Adolescent Understanding, Communication Training, Agent of Change
“PERINGATAN DARURAT” AS A CANCEL CULTURE MOVEMENT THROUGH SOCIAL MEDIA IN INDONESIA Wempi, Jefri Audi; Chrisdina, Chrisdina; Rully, Rully
Nyimak: Journal of Communication Vol 9, No 1 (2025): Nyimak: Journal of Communication
Publisher : Faculty of Social and Political Science, Universitas Muhammadiyah Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31000/nyimak.v9i1.13075

Abstract

At that time, the Indonesian government was organizing regional elections, part of the ongoing general election process following the presidential and legislative elections. In a short period, a public movement emerged to reject and cancel the Draft Law (RUU) proposed by the Indonesian Parliament, following the Constitutional Court's ruling on presidential nomination thresholds and political party participation in elections. The "Cancel Culture" movement, known as the "Emergency Alert," quickly gained momentum and was carried out by various groups across Indonesia. It culminated in massive demonstrations involving diverse communities. This study’s key question is how the "Emergency Alert" movement, through social media, managed to oppose the regional election bill so quickly and effectively, motivating people to participate in both online and physical protests. The research aims to understand the content and platforms used in social media to shape public participation, and how the characteristics of new media triggered rapid and widespread engagement. Using new media, social media, and cancel culture theories, this qualitative research with a constructivist framework found that new media characteristics—interactivity, friendliness, richness, autonomy, playfulness, privacy, and personalization—were crucial in mobilizing support for the "Emergency Alert" movement.Keywords: Digital Political Activism, Cancel Culture, Emergency AlertABSTRAKPemerintah Indonesia saat itu tengah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, bagian dari proses pemilihan umum yang sedang berlangsung setelah pemilihan presiden dan legislatif. Dalam waktu yang singkat, muncul gerakan masyarakat untuk menolak dan membatalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan oleh DPR RI, menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden dan partisipasi partai politik dalam pemilu. Gerakan "cancel culture" yang dikenal sebagai "Peringatan Darurat" dengan cepat mendapatkan momentum dan dilakukan oleh berbagai kelompok di seluruh Indonesia. Puncaknya adalah demonstrasi besar-besaran yang melibatkan berbagai komunitas. Pertanyaan utama dari penelitian ini adalah bagaimana gerakan "Peringatan Darurat" melalui media sosial berhasil menentang RUU PILKADA dengan begitu cepat dan efektif, memotivasi orang untuk berpartisipasi dalam protes fisik dan online. Penelitian ini berupaya memahami konten dan platform media sosial yang digunakan untuk membentuk partisipasi publik dalam gerakan ini, dan bagaimana karakteristik media baru memicu keterlibatan yang cepat dan meluas. Penelitian ini menggunakan teori media baru, media sosial, dan budaya pembatalan, dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan kerangka konstruktivis. Temuan penelitian menunjukkan bahwa karakteristik media baru—interaktivitas, keramahan, kekayaan media, otonomi, keceriaan, privasi, dan personalisasi—sangat penting dalam memobilisasi dukungan untuk gerakan “Peringatan Darurat”.Kata Kunci:  Aktivitas Politik Digital, Cancel Culture, Peringatan Darurat
MOTION GRAPHICS SEBAGAI TEKNIK KOMUNIKASI DALAM IKLAN DI MEDIA SOSIAL Rahmadieni, Noviarizky Gamma; J. A. Wempi
Jurnal Spektrum Komunikasi Vol 13 No 1 (2025): Jurnal Spektrum Komunikasi : March 2025
Publisher : LPPM Stikosa - AWS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

In the current overly saturated era, marketers struggle with audience engagement and are forced to compete for audience attention. This study analyzes the impact of motion graphics as an advertising strategy in social media marketing, emphasizing its potential to attract attention and convey even the most complicated ideas in an easy-to-understand format. Unlike previous research, this study captures industry’s practitioners’ insights to explore the strategically advanced use of motion graphics for younger, more visually-oriented and digitally proficient audience. The results show that motion graphics, often perceived as simplistic design elements, offer powerful storytelling that enhances brand and audience connection, increasing branding and audience engagement. Practical applications can assist advertisers in formulating optimally clear and creative strategies by integrating motion graphics into advertising. Additionally, this work serves as a base for later research to broaden the scope of industry analysis and examine the sustainable impact of motion graphics on digital marketing efforts.
Pergeseran Makna Cancel Culture di Indonesia : Analisis Semiotika Sosial Theo van Leeuwen Prasetyo, Alvina Tanuwijaya; Andriana, Viola Athaya; Wempi, Jefri Audi
KOMUNIKATIF : Jurnal Ilmiah Komunikasi Vol. 14 No. 1 (2025): Komunikatif : Jurnal Ilmiah Komunikasi
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/jk.v14i1.7407

Abstract

Social media’s growth has given rise to platforms where people may freely express their opinions, which has resulted in the emergence of cancel culture, a phenomenon where individuals or brands experience public outrage, boycotts, or exclusion due to the breach of social or ethical standards. Originally grounded in moral responsibility, cancel culture has transformed into a wider social occurrence with diverse motivations. This research examines the evolving significance of cancel culture through the lens of Theo van Leeuwen’s social semiotics framework, emphasizing four main aspects: discourse, genre, style, and modality. Using qualitative methods such as interviews, the results show that cancel culture is frequently driven more by a propensity, especially in Indonesia, to follow trends and a fear of missing out (FOMO), than by well-informed decision-making. It also discovers that technology is being used more and more to advance commercial, political, economic, or personal interests. The study concludes that cancel culture has shifted from being a collective moral statement into a tactical instrument for shaping digital narratives and influencing public opinion. This transformation highlights the intricate relationship between social media, power dynamics, and cultural standards, revealing both the advantages and disadvantages of cancel culture in contemporary digital society. ABSTRAK Perkembangan teknologi telah memunculkan platform media sosial dimana orang dapat mengekspresikan pendapat, yang membentuk munculnya cancel culture, sebuah fenomena di mana individu atau merk mengalami kemarahan publik, boikot, atau pengucilan karena dianggap melakukan kesalahan fatal atau melanggar norma sosial. Fenomena yang awalnya didasarkan pada tanggung jawab moral, telah berubah menjadi gerakan sosial yang lebih luas dengan motif beragam. Penelitian ini menganalisis pergeseran makna cancel culture dengan pendekatan semiotika sosial dari Theo van Leeuwen, yang menekankan empat aspek utama: discourse, genre, style, dan modality. Metode penelitian kualitatif digunakan dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara, untuk memahami bagaimana makna cancel culture dibentuk dan digunakan dalam interaksi sosial di media digital khususnya di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, cancel culture sering kali didorong kecenderungan untuk mengikuti tren dan fear of missing out (FOMO) atau takut tertinggal, daripada memahami konteks masalah yang terjadi. Ditemukan juga bahwa, teknologi semakin sering dimanfaatkan untuk memajukan kepentingan komersial, politik, ekonomi, atau pribadi. Melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa cancel culture telah bergeser dari pernyataan moral kolektif menjadi instrumen taktis untuk membentuk narasi digital dan memengaruhi opini publik. Transformasi ini menyoroti hubungan antara media sosial, dinamika kekuasaan, dan standar budaya, yang mengungkap kelebihan dan kekurangan budaya pembatalan dalam masyarakat digital kontemporer.
Digital Social Movement Greenpeace dalam Membentuk Kesadaran Gen Z akan Polusi Udara Nurhalizah, Diza; Hasna, Auliya; Wempi, Jefri Audi
COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 5 No. 4 (2025): COMSERVA: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/comserva.v5i4.3309

Abstract

Penelitian ini berangkat dari latar belakang krisis polusi udara di Indonesia, khususnya di Jakarta yang secara konsisten mencatat tingkat polusi tertinggi di dunia, sehingga memerlukan pendekatan multidisipliner untuk penanganannya. Greenpeace sebagai organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan memanfaatkan media digital untuk meningkatkan kesadaran Generasi Z - kelompok demografis yang paling aktif di ruang digital sekaligus kelompok yang paling terdampak jangka panjang oleh masalah polusi udara. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas gerakan sosial digital Greenpeace dalam membangun kesadaran Generasi Z tentang isu polusi udara melalui berbagai platform media sosial. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan menerapkan model komunikasi Lasswell yang menganalisis elemen "who, says what, in which channel, to whom, with what effect". Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan tim kampanye Greenpeace dan anggota Generasi Z, observasi konten digital di platform Instagram, TikTok, YouTube, Spotify dan Website resmi, serta analisis metrik interaksi seperti like, comment, dan share. Hasil penelitian mengungkap efektivitas strategi digital Greenpeace melalui konten kreatif berbasis tren (Instagram: 760K followers, TikTok: 93.2K followers), podcast #NgobrolLingkungan (rating 4.9/5), dan kolaborasi dengan 3.000 relawan muda, dengan interaksi tertinggi pada konten visual-infografis (18.2 juta views) dan petisi online, membuktikan pendekatan multichannel yang adaptif berhasil membangun kesadaran Generasi Z. Temuan penelitian memberikan panduan praktis bagi NGO dalam menyusun kampanye digital berbasis data, memperkuat kolaborasi dengan Generasi Z, dan memaksimalkan platform audio-visual untuk edukasi lingkungan, sekaligus berkontribusi pada pengembangan teori komunikasi lingkungan di era digital.