Social media’s growth has given rise to platforms where people may freely express their opinions, which has resulted in the emergence of cancel culture, a phenomenon where individuals or brands experience public outrage, boycotts, or exclusion due to the breach of social or ethical standards. Originally grounded in moral responsibility, cancel culture has transformed into a wider social occurrence with diverse motivations. This research examines the evolving significance of cancel culture through the lens of Theo van Leeuwen’s social semiotics framework, emphasizing four main aspects: discourse, genre, style, and modality. Using qualitative methods such as interviews, the results show that cancel culture is frequently driven more by a propensity, especially in Indonesia, to follow trends and a fear of missing out (FOMO), than by well-informed decision-making. It also discovers that technology is being used more and more to advance commercial, political, economic, or personal interests. The study concludes that cancel culture has shifted from being a collective moral statement into a tactical instrument for shaping digital narratives and influencing public opinion. This transformation highlights the intricate relationship between social media, power dynamics, and cultural standards, revealing both the advantages and disadvantages of cancel culture in contemporary digital society. ABSTRAK Perkembangan teknologi telah memunculkan platform media sosial dimana orang dapat mengekspresikan pendapat, yang membentuk munculnya cancel culture, sebuah fenomena di mana individu atau merk mengalami kemarahan publik, boikot, atau pengucilan karena dianggap melakukan kesalahan fatal atau melanggar norma sosial. Fenomena yang awalnya didasarkan pada tanggung jawab moral, telah berubah menjadi gerakan sosial yang lebih luas dengan motif beragam. Penelitian ini menganalisis pergeseran makna cancel culture dengan pendekatan semiotika sosial dari Theo van Leeuwen, yang menekankan empat aspek utama: discourse, genre, style, dan modality. Metode penelitian kualitatif digunakan dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara, untuk memahami bagaimana makna cancel culture dibentuk dan digunakan dalam interaksi sosial di media digital khususnya di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, cancel culture sering kali didorong kecenderungan untuk mengikuti tren dan fear of missing out (FOMO) atau takut tertinggal, daripada memahami konteks masalah yang terjadi. Ditemukan juga bahwa, teknologi semakin sering dimanfaatkan untuk memajukan kepentingan komersial, politik, ekonomi, atau pribadi. Melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa cancel culture telah bergeser dari pernyataan moral kolektif menjadi instrumen taktis untuk membentuk narasi digital dan memengaruhi opini publik. Transformasi ini menyoroti hubungan antara media sosial, dinamika kekuasaan, dan standar budaya, yang mengungkap kelebihan dan kekurangan budaya pembatalan dalam masyarakat digital kontemporer.