Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

KAJIAN MENGENAI KEBEBASAN BERKUMPUL DAN BERSERIKAT PASAL 28E AYAT (3) UNDANG-UNDANG DASAR 1945 MELALUI ORGANISASI KEMASYARAKATAN KAITANNYA DENGAN TEORI KEDAULATAN RAKYAT DAN HAK ASASI MANUSIA Bahar Elfudllatsani; , Isharyanto; Agus Riwanto
HUKUM PEMBANGUNAN EKONOMI Vol 7, No 1 (2019): JANUARI-JUNI
Publisher : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/hpe.v7i1.29190

Abstract

AbstractToday there is an increasingly strong view that the organizational community in all three domains,namely the state, the society, and the business world must be in a balanced and mutually supportive position to sustain the dynamics of the nation’s progress. In this article will be discussed about the arrangement of freedom of assembly and association in Article 28E Paragraph (3) of the 1945 Constitution as well as the theory of people’s sovereignty and human rights view freedom of assembly and association. This study uses normative legal research. Legal, historical, conceptual, and philosophical approaches were made in this study. State arrangements on the various forms and types of the organization need to be taken into account the importance of (i) the principle of separation (decoupling) (ii) the principles of “legal and onstitutional organization”, (iii) the principles of “good governance”, and (iv) the need for “Organizational empowerment” (v) the embodiment of the principle of “freedom of association” (vi) ensures, reflects, and does not diminish the meaning of principles of freedom of thought, freedom of thought, and freedom of expression. The Asian values   referred to in freedom of association, assembly and expression areformulated through political concepts in these Asian countries. Keywords: civil organization; freedom of assembly and associaton; popular sovereignty theory and human rightsAbstrakDewasa ini berkembang pandangan yang semakin kuat bahwa komunitas organisasi di ketiga ranah, yaitu negara, masyarakat, dan dunia usaha itu haruslah berada dalam posisi yang seimbang dan saling menunjang satu sama lain untuk menopang dinamika kemajuan bangsa. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai pengaturan kebebasan berkumpul dan berserikat dalam pasal 28E ayat  (3) undang-undang dasar 1945 dan juga teori kedaulatan rakyat dan hak asasi manusia memandang kebebasan berkumpul dan berserikat.Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Pendekatan perundang-undangan, historis, konseptual, dan filsafat dilakukan dalam penelitian ini. Pengaturan-pengaturan oleh negara terhadap aneka bentuk dan jenis organisasi tersebut, perlu diperhatikan pentingnya (i) prinsip pemisahan (decoupling) (ii) prinsip “legal and onstitutional organization”, (iii) prinsip “good governance”, dan (iv) kebutuhan akan “organizational empowerment” (v) perwujudan prinsip “freedom of association” (vi) menjamin, mencerminkan, dan tidak mengurangi arti dari prinsip-prinsip kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpikir, dan kebebasan berpendapat. Nilai-nilai Asia yang dimaksud dalam kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dirumuskan lewat konsep politis dalam negara-negara asia tersebut.Kata Kunci: Organisasi Masyarakat; Kebebasan berkumpul dan berserikat; teori kedaulatan rakyat dan Hak Asasi Manusia.
POLITIK HUKUM ASAS NON-LEGALLY BINDING REKOMENDASI OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI INSTRUMEN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN LAPORAN MALADMINISTRASI Agung Ariyanto; Lego Karjoko; , Isharyanto
HUKUM PEMBANGUNAN EKONOMI Vol 7, No 1 (2019): JANUARI-JUNI
Publisher : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/hpe.v7i1.29194

Abstract

AbstractThis study talk about analysis law political recommendations ombudsman that is not legally binding. Where in in law on Indonesian Ombudsman, this institution given the authority to made a mediation, reconciliation, and adjudication in decide maladministration. In terms of dispute resolution public service through adjudication ombudsman, ruling issued only to recommendations. The problem is how the power of these recommendations, for ombudsman is not institutions a court or forum court like the arbitration. The research is research law that is prescriptive with the approach the act and approach conceptual. Technique collection material law through the literature study and techniques analysis material law by using the method deduction. The results of this writing concluded to a weakness and lack of harmony between rules.Keywords: Legal politic; non-legally binding; recommendation of Indonesia Ombudsma; public service.AbstrakTulisan ini membahas tentang analisis politik hukum rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia yang bersifat tidak mengikat secara hukum (Non-Legally Binding). Di mana di dalam UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, institusi ini diberikan wewenang untuk melakukan mediasi, rekonsiliasi, dan ajudikasi dalam menyelesaikan perkara maladministrasi. Dalam hal penyelesaian sengketa pelayanan publik melalui ajudikasi Ombudsman, putusan yang dikeluarkan hanyalah sebatas rekomendasi. Persoalannya adalah bagaimanakah kekuatan rekomendasi ini, sebab Ombudsman bukanlah lembaga pengadilan atau forum pengadilan seperti halnya arbitrase.  Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat preskriptif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Teknik pengumpulan bahan hukum melalui studi pustaka dan teknik analisis bahan hukum dengan menggunakan metode deduksi. Hasil tulisan ini menyimpulkan adanya kelemahan dan ketidakharmonisan antara peraturan perundang-undangan antara, UU Pelayanan Publik, UU Ombudsman Republik Indonesia, dan  Peraturan Ombudsman Republik Indonesia.Kata Kunci: politik hukum;non-legally binding;rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia;pelayanan publik.