Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

HUKUM ISLAM SEBAGAI REVOLUSIONER DAN EGALITER DALAM KEHIDUPAN SOSIAL Arzam Arzam
Islamika : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Vol. 14 No. 1 (2014): Islamika : Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kerinci, Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/islamika.v14i1.8

Abstract

The law of pre-Islamic pagan racist, feudal and patriarchal, Islamic appear to bring changes to the character of law as opposed to pagan law. Islam teaches equality is reflected in the principles and laws as well as the behavior of the Prophet Muhammad and his followers who want the egalitarian life. Quraish against Islam conflict is closely linked to the religious aspect and the social aspect is a counter to the egalitarian system of Islamic law. And by implication, the understanding of Islamic law must be followed by the realization that Islamic law has egalitarian character and it is a social change of the law that are not egalitarian Jahiliyyah be egalitarian Islamic law Hukum Jahiliyyah pra-Islam yang rasialis, feodal dan patriarkhis, Islam lahir dan muncul dengan membawa perubahan hukum dengan karakter yang bertolak belakang dengan hukum Jahiliyyah. Islam mengajarkan kesetaraan yang tergambar dari prinsip-prinsip dan hukum-hukumnya serta perilaku Nabi Muhamad Saw beserta para pengikutnya yang menghendaki adanya kehidupan egaliter. Pertentangan Quraisy terhadap Islam yang berkaitan erat dengan aspek keagamaan dan aspek sosial merupakan suatu kontra terhadap sistem hukum Islam yang egaliter. Dan sebagai implikasinya, pemahaman terhadap hukum Islam harus diikuti dengan kesadaran bahwa hukum Islam itu memiliki karakter egaliter dan hal tersebut merupakan sebuah perubahan social dari hukum Jahiliyyahyang tidak egaliter menjadi hukum Islam yang egaliter.
GELAR ADAT DI KERINCI DITINJAU DARI ILMU SOSIAL Arzam Arzam
Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol. 8 (2012): Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (427.845 KB) | DOI: 10.32694/qst.v8i.1174

Abstract

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, hal ini ditandai dengan budayanya yang multikulturalisme; memiliki budaya, adat dan suku yang sangat banyak dan beragam, seperti: Budaya/Adat Bali yang mendiami Pulau Bali, Budaya/Adat Jawa yang mendiami Pulau Jawa, Budaya/Adat Sasak yang mendiami Pulau Lombok. Demikian pula halnya salah satu budaya/adat yang mendiami Pulau Sumatera yaitu Budaya/Adat Kerinci yang ada di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Dalam tulisan ini khusus mengenai adat, dalam adat Kerinci terdapat beberapa gelar adat, yaitu: Depati, Datuk, Rio, Mangku, Patih, Manti Agung, Malano dan lain-lain. Gelar adat ini ada yang diperoleh secara turun temurun (ascribed status) dan ada yang diperoleh dengan pemberian gelar adat kehormatan (assigned status). Setelah mengetahui gelar adat tersebut selanjutnya pada tulisan ini akan ditinjau dari sudut pandang Ilmu Sosial tentang: a. Pendahuluan, b. Gelar Adat, c. Status Sosial dan Struktur Sosial, dan d. Kesimpulan.
MEMBANGUN PERADABAN ZAKAT Studi Terhadap Ayat, Hadis dan Regulasi Negara tentang Zakat, Infak dan Sedekah Arzam Arzam
Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol. 9 (2013): Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (682.992 KB) | DOI: 10.32694/qst.v9i.1183

Abstract

Banyak pihak menyatakan bahwa zakat, infak maupun sedekah adalah instrumen penting dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan yang akan memberikan efek lanjutan sangat besar dalam peningkatan kesejahteraan.[1] Namun sampai hari di Indonesia, negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, zakat, infak maupun sedekah dirasakan masih belum banyak membantu untuk terciptanya peningkatan kesejahteraan tersebut. Tentang pengelolaan zakat ini, sesungguhnya negara telah mengaturnya dalam sebuah undang-undang, yakni undang-undang Nomor 38 tahun 1999. Demikian pula infak dan sedekah disinggung di sana, meski porsi pembahasannya tidak begitu banyak. Bagaimanakah posisi dan peranan zakat, infak dan sedekah dalam Islam dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia, makalah sederhana ini akan mengurai tentang ayat hukum, hadis hukum dan regulasi negara tentang zakat, infak dan sedekah.
IBADAH DALAM DUNIA TASAWUF Arzam Arzam
Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol. 10 (2013): Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (488.066 KB) | DOI: 10.32694/qst.v10i.1189

Abstract

Untuk memperihalkan tentang Tuhan. Apa sahaja yang terlintas dalam fikiran dan perasaan, yang terucap oleh perkataan dan bahasa, yang digambarkan sebagai ibarat, misal dan sifat, semuanya bukanlah Allah s.w.t. Apa juga istilah yang digunakan semuanya juga bukan Allah s.w.t. Ahadiyyah, Wahdat dan Wahadiyyah bukanlah Allah s.w.t. Tiada kenyataan, kenyataan pertama, kenyataan ke dua dan kenyataan ke tiga semuanya bukanlah Allah s.w.t. Zat, sifat, asma’ dan af’al semuanya bukanlah Allah s.w.t. Roh Kudus, Roh Idhafi dan Roh Rabbani bukanlah Allah s.w.t. Alam Lahut, Balhut dan Jamhut bukanlah Allah s.w.t. Alam Ghaibul Ghuyub, Alam Ghaib, Alam Kabir dan Alam Saghir bukanlah Allah s.w.t. Alam Arwah dan Alam Misal bukanlah Allah s.w.t. Alam Malakut dan Alam Jabarut bukanlah Allah s.w.t. Semuanya, sekaliannya, yang beribu-ribu lagi istilah dan perkataan yang digunakan adalah sesungguhnya dan sebenarnya bukanlah Allah s.w.t. Semua itu hanyalah perihal tentang keadaan Allah s.w.t, kesucian Allah s.w.t, kebesaran Allah s.w.t, kebijaksanaan Allah s.w.t, keindahan Allah s.w.t, kekayaan Allah s.w.t, cahaya Allah s.w.t, kenyataan Allah s.w.t dan sesuatu tentang Allah s.w.t tetapi bukanlah Dia. “Dan bagi Allah jualah misal (sifat) yang tertinggi, dan Dialah jua Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana”. ( Ayat 60 : Surah an-Nahl ) Apa juga yang dikatakan tentang Allah s.w.t adalah misal dan sifat yang layak disebut oleh manusia. Allah s.w.t yang mengajarkan manusia apa yang layak diperkatakan tentang Diri-Nya. Al-Quran mengatakan: “Katakanlah…” Tuhan yang mengizinkan manusia berkata sesuatu tentang-Nya. Dia yang ajarkan dan izinkan manusia berkata: Katakanlah: “Dia adalah Allah, Maha Esa. Allah adalah as-Samad”. Dia yang mengajarkan dan mengizinkan manusia memanggil-Nya Allah dan berbagai-bagai nama yang baik-baik. Dia juga mengizinkan manusia mengatakan bahawa Dia Mendengar, Melihat, Berkuasa, Hidup, Berkehendak, Berkata-kata dan Mengetahui. Manusia hanya perlu beriman kepada-Nya dan katakan apa yang Dia izinkan untuk dikata. Keizinan memperkatakan tentang Diri-Nya yang diberikan-Nya melalui al-Quran adalah kebenaran yang sejati. Demikian pula halnya dengan kewajiban untuk disembang dan yang menyembah.
PEMAHAMAN MUHAMMAD SYAHRUR TENTANG AL-QUR’AN Arzam Arzam
Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol. 12 (2014): Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (423.992 KB) | DOI: 10.32694/qst.v12i.1205

Abstract

Syahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas pada Alqur’an surat an-Nisa’ ayat 13-14. Syahrur mencermati penggalan ayat ”tilka hudud Allaah” yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum (haqq at-tasyri’) hanyalah Allah semata. Sedangkan Muhammad Saw, meskipun beridentitas sebagai Nabi dan Rosul, pada hakekatnya otoritas yang dimiliki Muhammad tidak penuh dan ia sebagai pelopor ijtihad dalam Islam. Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman, dan peradaban masarakat pada waktu itu, artinya ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman. Maka, di sinilah kita mempunyai ruang untuk melihat Alqur’an dan berijtihad dengan situasi dan kondisi yang dilatar belakangi ilmu pengetahuan pada masa sekarang.
RIBA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIS Arzam Arzam
Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol. 6 No. 2 (2011): Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (690.597 KB) | DOI: 10.32694/qst.v6i2.1229

Abstract

Islam memang tidak menganjurkan kepada umat manusia untuk menjadikan harta kekayaan sebagai tujuan akhir dan paling utama dalam hidup. Islam juga tidak menganjurkan kepada mereka untuk mengabaikannya, karena harta kekayaan dapat menjadi sarana yang penting dan amat dibutuhkan untuk mendapatkan berbagai kemudahan dan kenikmatan hidup sebagai karunia Allah. Namun dalam proses interaksi manusia dalam bidang ekonomi ini harus memperhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam sehingga akan terhindar dari arah yang keliru, seperti terjadinya paraktek riba. Dimana Riba merupakan segala bentuk tambahan atau kelebihan yang diperoleh atau didapatkan melalui transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah
MEMBANGUN PERADABAN ZAKAT Studi Terhadap Ayat, Hadis dan Regulasi Negara tentang Zakat, Infak dan Sedekah Arzam Arzam
Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol. 13 No. 2 (2015)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sebagaimana syariat lainnya, zakat sebagai salah satu syariat yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya tentu memiliki tujuan tersendiri. Dengan kata lain tentu ada hikmah yang bisa dipetik jika seorang muslim melaksanakan zakat. Zakat, infak dan sadaqah diibaratkan sebagai salah satu fondasi umat Islam, jika di daerah tertentu banyak yang tidak berzakat tentu bangunan umat tersebut akan timpang dan oleng, sehingga umat tidak bisa membangun peradaban sesuai yang diinginkan dan diridhai Allah SWT. Berdasarkan regulasi Negara, Indonesia telah memiliki UU nomor 38 tahun 1999 tentang pengelola zakat, namun undang-undang ini dirasa masih banyak terdapat kelemahan. Namun demikian undang-undang ini merupakan sebuah terobosan yang sangat berharga dalam upaya untuk membumikan nilai-nilai syariat. Selain itu, demi untuk terus memacu meningkatkan kesadaran berzakat, infak dan sedekah, perlu dibuat peraturan daerah yang mengatur tentang hal tersebut.
GELAR ADAT DI KERINCI DITINJAU DARI ILMU SOSIAL Arzam Arzam
Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol. 14 No. 1 (2016)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, hal ini ditandai dengan budayanya yang multikulturalisme; memiliki budaya, adat dan suku yang sangat banyak dan beragam, seperti: Budaya/Adat Bali yang mendiami Pulau Bali, Budaya/Adat Jawa yang mendiami Pulau Jawa, Budaya/Adat Sasak yang mendiami Pulau Lombok. Demikian pula halnya salah satu budaya/adat yang mendiami Pulau Sumatera yaitu Budaya/Adat Kerinci yang ada di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Dalam tulisan ini khusus mengenai adat, dalam adat Kerinci terdapat beberapa gelar adat, yaitu: Depati, Datuk, Rio, Mangku, Patih, Manti Agung, Malano dan lain-lain. Gelar adat ini ada yang diperoleh secara turun temurun (ascribed status) dan ada yang diperoleh dengan pemberian gelar adat kehormatan (assigned status).  Setelah mengetahui gelar adat tersebut selanjutnya pada tulisan ini akan ditinjau dari sudut pandang Ilmu Sosial tentang: a. Pendahuluan, b. Gelar Adat, c. Status Sosial dan Struktur Sosial, dan d. Kesimpulan.