Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

KEBEBASAN BERAGAMA (Sebuah Analisis Perundang-Undangan Indonesia, HAM, dan Hukum Islam) Yudesman Yudesman
Islamika : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Vol. 13 No. 1 (2013): Islamika : Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kerinci, Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/islamika.v13i1.22

Abstract

Belief can not be enforced. That phrase is often used as a philosophical argument why religious freedom should be upheld. Associated with the issue of human rights, religious freedom became one of the individual rights that can not be dihegemoni by any authority. In fact, included in this latter region, the freedom is no religion at all. If this issue is positioned with Islamic law on the one hand and with the laws of Indonesia on the other hand, practically will invite conversation is not simple. Whereas in Islam, acts out of Islam which is known as riddah is viewed as a crime. Then, how is it possible not to religious freedom can be juxtaposed with the belief in one God who became the first principle of Pancasila state ideology. Thus, the claim that religious freedom is a basic philosophical getting strong argument, not necessarily can be a reality. Keyakinan itu tidak dapat dipaksakan. Inilah kalimat yang sering dijadikan argumen filosofis kenapa kebebasan beragama harus dijunjung tinggi. Dikaitkan dengan isu hak asasi manusia, kebebasan beragama menjadi salah satu hak individu yang tidak dapat dihegemoni oleh otoritas apapun. Bahkan, termasuk dalam wilayah yang terakhir ini, kebebasan untuk tidak beragama sama sekali. Apabila isu ini diposisikan dengan hukum Islam di satu sisi dan dengan perundang-undangan Indonesia di sisi lain, praktis akan mengundang perbincangan yang tidak sederhana. Padahal dalam Islam, perbuatan keluar dari Islam yang dikenal dengan riddah dipandang sebagai sebuah kejahatan. Kemudian, bagaimana mungkin kebebasan untuk tidak beragama dapat disandingkan dengan Ketuhanan yang Maha Esa yang menjadi sila pertama dasar negara Pancasila. Dengan demikian, klaim kebebasan beragama yang secara filosofis mendapatkan dasar argumentasi yang kuat, tidak serta merta dapat menjadi realitas kehidupan.
KEBEBASAN BERAGAMA: Sebuah Analisis Perundang-Undangan Indonesia, Ham, dan Hukum Islam Yudesman Yudesman
Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol. 8 (2012): Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (875.908 KB) | DOI: 10.32694/qst.v8i.1171

Abstract

Keyakinan itu tidak dapat dipaksakan.Inilah kalimat yang sering dijadikan argumen filosofis kenapa kebebasan beragama harus dijunjung tinggi.Dikaitkan dengan isu hak asasi manusia, kebebasan beragama menjadi salah satu hak individu yang tidak dapat dihegemoni oleh otoritas apapun. Bahkan, termasuk dalam wilayah yang terakhir ini, kebebasan untuk tidak beragama sama sekali. Apabila isu ini diposisikan vis a visdengan hukum Islam di satu sisi dan dengan perundang-undangan Indonesia di sisi lain, praktis akan mengundang perbincangan yang tidak sederhana. Bukankah dalam Islam, perbuatan keluar dari Islam yang dikenal dengan riddah dipandang sebagai sebuah kejahatan. Kemudian, bagaimana mungkin kebebasan untuk tidak beragama dapat disandingkan dengan Ketuhanan yang Maha Esa yang menjadi sila pertama dasar negara Pancasila. Dengan demikian, klaim kebebasan beragama yang secara filosofis mendapatkan dasar argumentasi yang begitu kuat, tidak serta merta dapat menjadi realitas kehidupan.
WAKAF DALAM KAJIAN MUAMALAT Yudesman Yudesman
Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol. 10 (2013): Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (533.221 KB) | DOI: 10.32694/qst.v10i.1188

Abstract

Wakaf merupakan salah satu institusi agama yang dapat berfungsi ganda, disamping merupakan sarana ubudiyah kepada Alloh, berbuat baik untuk kemaslahatan umat juga dapat menjadi pranata iqtishadiy (ekonomi) dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia wakaf umumnya berupa benda tidak bergerak yaitu tanah; dan dalam kenyataannya banyak yang tidak dikelola secara produktif, sehingga belum dirasakan manfaatnya bagi peningkatan taraf hidup masyarakat terutama kaum miskin, karena wakaf tersebut hanya dipergunakan untuk lokasi masjid, mushalla, madrasah/ sekolah, pondok pesantren, panti asuhan, kuburan; dan sedikit sekali yang berorientasi peningkatan ekonomi masyarakat. Di negara Islam lainnya seperti Qatar dan Kuwait dana wakaf tunai sudah berbentuk bangunan perkantoran, areal tersebut disewakan dan hasilnya digunakan untuk kegiatan umat Islam. Persoalan lain yang muncul adalah boleh tidaknya dilaakukan perubahan status benda wakaf bila tujuannya mengacu ke arah yang lebih sempurna, lebih berfungsi, lebih produktif, dengan tetap terjamin sifat luzum (permanent)nya. Dan apakah wakaf uang (cash waqf) atau barang bergerak lainnya dibolehkan bila ia diproduktifkan menjadi dana abadi dan dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umat terutama fakir miskin.
PRINSIP-PRINSIP DAN KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM Yudesman Yudesman
Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol. 11 (2014): Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (914.357 KB) | DOI: 10.32694/qst.v11i.1194

Abstract

Agaknya, semua ahli hukum Islam akan setuju tentang pentingnya pengetahuan tentang nilai-nilai yang fundamental dan komprehensif dalam hukum Islam untuk sampai kepada pemahaman yang baik tentang hukum Islam itu sendiri. Memang dalam mengartikulasikannya, para ahli tidak menggunakan istilah yang berbeda-beda. Misalnya, dalam wacana ushul fiqh, disebutkan bahwa salah satu syarat mujtahid adalah memahami dengan baik tentang al-maqāshid syar‘iyyah. Kemudian, di lain tempat diwacanakan tentang ushūl al-ahkām, qawā‘id al-ahkām, dan aneka istilah lainnya. Intinya, semua istilah tersebut ingin mendeskripsikan nilai-nilai abstrak yang mendasar atau hal-hal yang prinsipil dalam hukum Islam.
Teori Produksi dalam Sistem Ekonomi Islam Yudesman Yudesman
Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol. 6 No. 2 (2011): Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (338.174 KB) | DOI: 10.32694/qst.v6i2.1230

Abstract

Untuk memenuhi kebutuhan manusia, biasanya, semuanya tidak tersedia secara instan di alam ini. Maka, untuk itu intervensi manusia untuk menyediakan segala hal dalam rangka memenuhi kebutuhannya untuk menunjang kehidupannya tersebut menjadi niscaya. Kegiatan manusia secara sadar dan konstruktif untuk menghasilkan segala kebutuhan tadi sehingga terpenuhi semua kebutuhannya dari sumber-sumber yang tersedia di alam ini, dalam istilah ekonomi disebut aktifitas produksi.