Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

HEGEMONI KERAJAAN BANJAR DI SEPANJANG DAS BARITO Imam Hindarto
Naditira Widya Vol 4 No 1 (2010): April 2010
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v4i1.135

Abstract

The Banjarese Sultanate sovereignty stretched across the south coast to the interior of Kalimantan. As an Islamic kingdom that relied on trade, the Banjarese Sultanate hegemony had made impact toward small kingdoms along the Barito River Basin. A number of archaeological and histotical data suggest the important role of the Barito River Basin in supporting the Sultanate of Banjarese existence. Based on such information, it can be inferred that the Barito River Basin act as the main economy buffer and the borderline of the Banjarnese Sultanate territorial region. In the long run, the Banjarese Sultanate hegemony over the Barito River Basin motivate the growth of a new identity within the political identity commonly known as Urang Banjar
DIKOTOMI BUDAYA SUNGAI PADA AWAL MASA PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAM DI DAS BARITO Imam Hindarto
Naditira Widya Vol 3 No 2 (2009): Naditira Widya Vol. 3 No.2
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v3i2.147

Abstract

Ecology an area will have an effect on to cultural character of society occupying it. Related to assumption, emerge a problems concerning difference of cultural character of society inhabiting DAS Barito start from upstream go downstream. Distribution analysis or archaeology remain distribution expected will assist in depiction of archaeology data distributions pattern in linear area. Pursuant to result of the analysis hence seeing that to be are cultural character dichotomy from among society upriver and downstream of DAS Barito of difference of ecology.
RUMAH PANJANG SEBUAH WANTAH INTEGRASI MASYARAKAT SUKU DAYAK KALIMANTAN Imam Hindarto
Naditira Widya Vol 2 No 1 (2008): Naditira Widya Vol. 2 No.1
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v2i1.164

Abstract

The spatial layout in a longhouse may depict community-integrity of its dwellers. Spatial management in a Dayak longhouse is generally based on a macrocosmic balance between natural and cultural environment;spatial division is set up upon a philosophical value to uphold spatial sacredness and everything that represent it. Such spatial management is further carried out by exercising a philosophical order and discipline upon the dwellers, which will then create regulation-abiding-individual and manageable social control and construction.
NILAI PENTING SUMBERDAYA BUDAYA KOTAWARINGIN LAMA Muhammad Wishnu Wibisono; Daud Aris Tanudirjo; Imam Hindarto
Naditira Widya Vol 16 No 1 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 1 Tahun 2022
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v16i1.500

Abstract

Historiografi Kabupaten Kotawaringin Barat tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Kerajaan Kotawaringin abad ke-17-19 Masehi. Kerajaan Kotawaringin tumbuh dan berkembang sebagai kawasan multietnis Bugis, Dayak dan Jawa. Beberapa sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin, di Kotawaringin Lama, yang masih tersisa adalah Astana Al-Nursari, Makam Kuta Tanah, Masjid Kyai Gede, dan Danau Masoraian. Hasil wawancara menunjukkan bahwa Astana Al-Nursari akan dikembangkan menjadi museum yang berintegrasi dengan ketiga sumber daya budaya lainnya. Rencana pengembangan tersebut diinisiasi oleh keturunan Kerajaan Kotawaringin, yang didukung oleh Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat. Namun demikian, sampai sekarang penelitian mengenai sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin yang menjadi langkah awal rencana pengembangan tersebut masih sebatas studi aspek sejarahnya. Penelitian kali ini ditujukan untuk memahami nilai penting sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin berdasarkan kondisi aktual masa kini. Pemahaman akan nilai penting tersebut diharapkan dapat menggambarkan karakter dan potensi Kotawaringin Barat yang dapat menjadi landasan dalam pengelolaan sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber daya budaya di Kotawaringin Lama, di Kalimantan Tengah, memiliki nilai penting yang dapat menjadi fondasi pengelolaan kawasan cagar budaya yang berintegrasi dengan kawasan lindung geologi. Integrasi pengelolaan dua kawasan lindung tersebut merupakan suatu langkah awal sebelum kawasan tersebut dapat dimanfaatkan secara praktis dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat di sekitar kawasan dan Indonesia secara umum. . The historiography of Kotawaringin Barat Regency cannot be separated from the existence of the 17th-19th century Kotawaringin Kingdom. The Kotawaringin kingdom grew and developed as a multi-ethnic region of Bugis, Dayak and Javanese. Some of the cultural resources of the Kotawaringin Kingdom, in Kotawaringin Lama, which still exists are the Astana Al-Nursari, the Kuta Tanah Cemetery, Kyai Gede Mosque, and the Masoraian Lake. The interview results suggest that Astana Al-Nursari will be developed into a museum that integrates with the other three cultural resources. The development plan was initiated by descendants of the Kotawaringin Kingdom, supported by the Regency Government of Kotawaringin Barat. However, until today research on the cultural resources of the Kotawaringin Kingdom, which is the first step in this development plan, is still limited to studying the historical aspects of the Kotawaringin Kingdom. This research is aimed at understanding the important value of the cultural resources of the Kotawaringin Kingdom based on current actual conditions. The understanding of these important values is expected to enable the depiction of the characteristics and potential of Kotawaringin Barat which can become the basis for cultural resources management of the Kotawaringin Kingdom. The results show that the cultural resources of Kotawaringin Lama, in Central Kalimantan, have important values that can become the foundation for the management of the cultural heritage region which is integrated with geoconservation. The integration of the management of the two protected areas is a first step before these regions can practically be used to improve people's welfare, especially the people living around the area and Indonesia in general.
Simbol Gunung dan Air pada Lanskap Budaya Situs Candi Agung di Kalimantan Selatan Imam Hindarto; Vida Pervaya Rusianti Kusmartono; Wahyu
PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 12 No. 2 (2023): Vol. 12(2) November 2023
Publisher : Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55981/purbawidya.2023.875

Abstract

The Candi Agung site is one of the cultural landscapes in South Kalimantan. The value of this cultural landscape is closely related to living traditions, belief systems, art and literature. This cultural landscape also represents the symbols of mountains and water in the culture of the Banjar people. These two physical-naturalistic components not only describe the landscape of South Kalimantan which consists of the Meratus Mountains and the Barito River but also describe the cultural landscape of the people who inhabited it. This study discusses the meaning of mountains and water in the cultural landscape of the Candi Agung Site. The aim is to understand the Candi Agung Site as an associative cultural landscape in Banjar culture. In order to understand this, data collection was carried out through observations of the Candi Agung Site and the views of the surrounding community. A documentation study on the Lambung Mangkurat Museum collection was carried out to complete the observation data. The analysis was carried out by describing aspects of mountain and water symbolism in the Lambu Mangkurat Story and the Banjar Kings Dynasty and Waringin City or known as the Banjar Hikayat. Apart from that, descriptions were also made of literary works entitled Tutur Candi. The interpretive framework of this study refers to the view that culture is a symbol system. This study produces an understanding of the cultural system of the Banjar people which was represented in the myth of the sacredness of mountains and water. These two natural elements are representations of supernatural forces which were manifested in the toponymy "mountain" of Candi Agung and the anthroponymy of Tunjung Buih. The connection between the two also represents harmony between the microcosm and the macrocosm.   Key words: Environment, cultural landscape, microcosm, dualism
NILAI PENTING SUMBER DAYA BUDAYA KOTAWARINGIN LAMA Muhammad Wishnu Wibisono; Daud Aris Tanudirjo; Imam Hindarto
Naditira Widya Vol. 16 No. 1 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 1 April Tahun 2022
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Historiografi Kabupaten Kotawaringin Barat tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Kerajaan Kotawaringin abad ke-17-19 Masehi. Kerajaan Kotawaringin tumbuh dan berkembang sebagai kawasan multietnis Bugis, Dayak dan Jawa. Beberapa sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin, di Kotawaringin Lama, yang masih tersisa adalah Astana Al-Nursari, Makam Kuta Tanah, Masjid Kyai Gede, dan Danau Masoraian. Hasil wawancara menunjukkan bahwa Astana Al-Nursari akan dikembangkan menjadi museum yang berintegrasi dengan ketiga sumber daya budaya lainnya. Rencana pengembangan tersebut diinisiasi oleh keturunan Kerajaan Kotawaringin, yang didukung oleh Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat. Namun demikian, sampai sekarang penelitian mengenai sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin yang menjadi langkah awal rencana pengembangan tersebut masih sebatas studi aspek sejarahnya. Penelitian kali ini ditujukan untuk memahami nilai penting sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin berdasarkan kondisi aktual masa kini. Pemahaman akan nilai penting tersebut diharapkan dapat menggambarkan karakter dan potensi Kotawaringin Barat yang dapat menjadi landasan dalam pengelolaan sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber daya budaya di Kotawaringin Lama, di Kalimantan Tengah, memiliki nilai penting yang dapat menjadi fondasi pengelolaan kawasan cagar budaya yang berintegrasi dengan kawasan lindung geologi. Integrasi pengelolaan dua kawasan lindung tersebut merupakan suatu langkah awal sebelum kawasan tersebut dapat dimanfaatkan secara praktis dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat di sekitar kawasan dan Indonesia secara umum.
An Archaeological Exploration on Religious Change in Liwa, West Lampung Rusyanti, Rusyanti; Imam Hindarto; Nurul Laili; Desril Riva Shanti; Auliana Muharini
Heritage of Nusantara: International Journal of Religious Literature and Heritage Vol. 13 No. 1 (2024): HERITAGE OF NUSANTARA
Publisher : Center for Research and Development of Religious Literature and Heritage

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31291/hn.v13i1.720

Abstract

Mountains, hills, and highlands have long been venerated in ancient beliefs as the dwelling places of deities. West Lampung, with its sacred sites, is a prime example of such places. These sites, evidenced by numerous archaeological findings, have recorded the evolution of religious significance over time. This study aims to explore the transformation of these sacred sites and their contemporary interpretations. The main objective of this research is to explore the progression of religious shift in Liwa, West Lampung. By examining archaeological records from 2011 to 2018, this study constructs chronological narrative of the region’s early religious history. The findings reveal four prevalent patterns that encapsulate the religious transformations from the 10th to the 19th centuries. These patterns, derived from archaeological data and supplemented by contextual and historical analysis, indicate a shift in religious practices in this region. This shift aligns with Lewis Rambo’s model of religious change in a macro context, characterized by encounter, interaction, communication and subsequent consequences. This study, therefore, provides valuable insights into the dynamic nature of religious practices and beliefs in Liwa over centuries.
BATU PUN: ARKEOLOGI DAN MITOS DAYAK LUNDAYEH DI LEMBAH KURID DI KRAYAN, NUNUKAN Ulce Oktrivia; Imam Hindarto; Rochtri Agung Bawono; Eko Herwanto
Naditira Widya Vol. 17 No. 2 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 2 Oktober Tahun 2023
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tradisi megalitik di kawasan Krayan telah berkembang seiring dengan perubahan zaman. Salah satunya adalah Batu Pun yang berada di lembah Kurid, di Nunukan. Tampaknya masyarakat Lundayeh yang bermukim di lembah Kurid belum memahami sepenuhnya arti keberadaan situs megalitik. Menurut mereka situs Batu Pun sudah ada jauh sebelum mereka memasuki kawasan ini. Pengetahuan umum yang diwariskan secara turun-menurun adalah mitos bahwa Batu Pun merupakan batu-batu megalitik yang terbentuk akibat mesab atau kutukan. Novelty dari penelitian ini adalah belum adanya kajian mitos yang berkaitan dengan tinggalan megalitik. Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah memahami tinggalan megalitik di lembah Kurid dalam perspektif arkeologi dan mitologi. Pengumpulan data dilakukan dengan pembukaan test pit, kajian pustaka, dan studi etnografi dengan wawancara mendalam secara partisipatoris tentang Batu Pun. Analisis dilakukan dengan cara komparasi dengan temuan serupa di kawasan yang sama untuk memahami konteks budaya yang terkait dengan Batu Pun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Batu Pun merupakan salah satu tinggalan budaya megalitik perupun berupa struktur batu yang membukit dengan beberapa menhir di bagian atasnya. Pada konteks arkeologis dan etnohistoris, perupun difungsikan sebagai media kubur, dan tidak berkorelasi dengan mitos masyarakat Lundayeh tentang mesab ”menjadi batu.” Hal tersebut membuktikan bahwa rentang waktu yang memisahkan antara masa pembangunan Batu Pun dengan masa kehidupan msyarakat Lundayeh yang hidup sekarang di Lembah Kurid telah mempengaruhi pemaknaan Batu Pun. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan gagasan tentang khazanah identitas budaya di kawasan perbatasan, serta menjadi salah satu bahan rujukan awal untuk kepurbakalaan di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalimantan Utara. The Lundayeh people believe that the megalithic of Batu Pun in the Kurid Valley was formed due to a mesab or a curse.. The novelty of this research is that no study of myths related to the megalithic of Batu Pun has been carried out. Based on this, the present research aims to understand the megalithic remains in the Kurid Valley from an archaeological and mythological perspective. Data collection was carried out by excavating a test pit, literature reviews, and an ethnographic study with participatory in-depth interviews about Batu Pun. The analysis was carried out by comparing similar findings in the area to understand the cultural context of Batu Pun. Research results show that Batu Pun is a perupun or grave that is formed as a mound-structure of stone with several menhirs on top. In archaeological and ethnohistorical contexts, the perupun does not correlate with the Lundayeh people's myth about mesab of petrification. This proves that the time that separates the construction period of Batu Pun and the present-day Lundayeh people who live in the Kurid Valley has influenced the transformation of the meaning of Batu Pun.
ANALISIS STRUKTURAL PADA MUKHALINGGA DI NANGA SEPAUK, KABUPATEN SINTANG, KALIMANTAN BARAT Imam Hindarto
Naditira Widya Vol. 13 No. 1 (2019): Naditira Widya Volume 13 Nomor 1 April Tahun 2019
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kebudayaan Hindu-Buddha di Nusantara mewariskan artefak-artefak arkeologi yang tersebar di seluruh pelosokkepulauan ini. Salah satu artefak tersebut berupa mukhalingga yang ditemukan di Nanga Sepauk, Kalimantan Barat.Mukhalingga mengandung simbol religi agama Hindu. Simbol tersebut dilatarbelakangi oleh struktur budaya masyarakatyang menciptakan artefak tersebut. Selama ini penelitian arkeologi terhadap mukhalingga membahas hanya kronologibudaya tanpa meneliti aspek struktur budayanya. Penelitian kali ini berupaya mengungkap struktur budaya yangmelatarbelakangi pendirian mukhalingga. Tujuan penelitian ini adalah memahami sejarah budaya masyarakat masa lalu diNanga Sepauk. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis struktural. Analisis dilakukan denganmenguraikan aspek asosiatif dan paradigmatif mukhalingga. Hasil analisis struktural menunjukkan bahwa mukhalinggamerupakan wujud dari tiga aspek, yaitu kekuatan Siwa, siklus kehidupan, dan dualisme gagasan. Pada konteks sejarahbudaya di Nanga Sepauk keberadaan mukhalingga menunjukkan adanya Siwaisme, kultus dewarâja, dan keberadaanmandala. The Hindu-Buddhist culture in Nusantara bequeaths archaeological artefacts scattered throughout the archipelago.One of such artefacts is the mukhalingga found in Nanga Sepauk, West Kalimantan. A mukhalingga contains religioussymbols of Hinduism which is formed by the cultural structure of a community who created the artefact. Until today,archaeological studies of mukhalingga discuss only its cultural chronology without examining the structural aspects of theculture. This research attempts to disclose the cultural structure underlying the establishment of a mukhalingga. Theobjective of this study is to understand the cultural history of the past in Nanga Sepauk. The research method used isqualitative with structural analysis. The analysis is carried out by breaking down the associative and paradigmative aspectsof a mukhalingga. The results of structural analysis suggest that a mukhalingga is a manifestation three aspects, i.e. thepower of Siwa, life cycle, and dualism of ideas. Regarding the context of cultural history in Nanga Sepauk the existence ofmukhalingga suggests the presence of Siwaisme, dewarâja cult, and the mandalas.
SITUS PULAU SIRANG: DATA BARU JEJAK PALEOLITIK DI KALIMANTAN Nia Marniati Etie Fajari; Jatmiko; Imam Hindarto; Eko Herwanto; Yuka Nurtanti Cahyaningtyas; Ulce Oktrivia
Naditira Widya Vol. 12 No. 1 (2018): Naditira Widya Volume 12 Nomor 1 April Tahun 2018
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Jejak budaya paleolitik di Kalimantan ditemukan di lembah Sungai Riam Kanan, yaitu di situs Awang Bangkal danRantau Balai. Data arkeologi yang ditemukan di situs-situs tersebut berupa kapak perimbas, kapak penetak, kapak genggam, kerakal dipangkas, dan fragmen serpih. Debit air waduk Riam Kanan yang akhir-akhir ini mengalami penurunan secara signifikan memunculkan situs yang semula tenggelam, yang disebut Pulau Sirang. Fenomena ini memunculkan pertanyaanpertanyaanyang berkaitan dengan bentuk, sebaran, dan kronologi data arkeologi. Penelitian ini merupakan penelitian penyelamatan yang bertujuan untuk mengumpulkan, dan mendokumentasikan data arkeologi sebanyak mungkin denganrangkaian metode penelitian survei, ekskavasi, dan analisis. Kami laporkan hasil survei dan ekskavasi di Pulau Sirangberupa (dalam terminologi Movius) kapak perimbas, kapak penetak, proto pahat genggam, kapak genggam, serpih, serut,bilah, lancipan, fragmen serpih, perkutor, batu inti, dan tatal. Sebaran artefak batu tersebut terkonsentrasi di permukaan Pulau Sirang utama, dan beberapa ditemukan di pulau-pulau lain di sekitarnya. Palaeolithic sites in Kalimantan are located in the Riam Kanan Valley at the Awang Bangkal and Rantau Balai sites. Lithics include pebble tools, hand-axes, flakes and debitage. Power plant construction has recently lowered the level of the Riam Kanan reservoir, revealing a formerly submerged site with surface lithics called Pulau Sirang. This phenomenonraises questions on the morphology of lithics, and their distribution and chronology. The present investigation is a rescueresearch which aims to collect and record as many archaeological data as possible by a sequence of method comprisingsurvey, excavation, and analysis. We report on archaeological survey and excavation at Pulau Sirang, a site which hasyielded (in Movius terminology) a range of choppers, chopping tools, proto-hand-adzes, hand-axes, flakes, scrapers,blades, points, flake shatter, awls, cores, and debitage. The distribution of these lithics is concentrated on the surface of themain Pulau Sirang, and some are also found on other small emergent islands around it.